Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Gerakan Jalan Lurus, 2002
327 KEP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Martina Safitry
"ABSTRAK
Dalam sejarah dipaparkan bahwa Inggris, Eropa bahkan Amerika mendukung realisasi proyek zionisme. Tetapi dukunganya tidak sekuat dan strategis Amerika Serikat. Terlebih lagi pada era George W Bush, yang mana idiosyncratic pemimpin Amerika ini berasumsi bahwa dunia ini anarki, sehingga harus diimbangi dengan cara menambah power agar Amerika dapat survive. George W Bush juga membantu dalam mengangkat wibawa zionisme, yaitu dengan mendoktrin sejumlah pandangan negatif terhadap Arab dan kaum muslim dalam emosi publik Amerika dan kebudayaannya, yang secara langsung atau tidak langsung, menyebabkan keberpihakan mereka kepada Israel dan gerakan zionisme.
Arti panting hubungan Amerika Serikat dengan Israel dapat dianalogikan dengan membangun satu sekutu yang tepat, baik dan ideal secara moral untuk menentang kekuatan lain yang menjadi lawan Amerika, yakni anti demokrasi dan komunis. Pola ini dapat disetarakan pula dengan pemikiran persekutuan Amerika-Israel sebagai kubu yang benar melawan pihak lain yang salah.
Untuk menguatkan hubungannya ini Israel menggunakan suatu lembaga lobi di Gedung Putih yang biasa dikenal dengan AIPAC. Lobi Israel memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah terkait dengan keamanan dan eksistensi Israel, yang secara umum diketahui bahwa Amerika sebagai sebuah negara adidaya tentu sangat berpengaruh, karena bagi siapa saja yang mengambil peran untuk mempengaruhi Amerika, keuntungan akan didapatkan. Namun ternyata ada beberapa peristiwa atau fakta dimana lobi tidak berperan.
Fakta-fakta yang dikemukakan dalam penelitian ini, menunjukan bahwa yang abadi adalah faktor kepentingan suatu negara, karena Amerika Serikat mempunyai kepentingan ideologi, politik, ekonomi dan pertahanan di Timur Tengah serta mencari sparing partner, dalam hal ini adalah Israel untuk mewujudkan misinya di Timur Tengah. Agar misi tersebut dapat terealisir Amerika Serikat harus mempertahankan eksistensi Israel dari acaman dunia Arab.

ABSTRACT
Historically, it is exposed that England, Europe even USA support the realization of Zionist project. But the support is not as strong and strategic as USA. Mostly in George W bush era, which idiosyncratic of this US leader assumed this world is anarchy, so must be balance by maximizing power so America can survive, George W Bush also helps and rises Zionism prestige, by doctrine amount of negative view about Arab and Moslem in American public emotion and culture directly or indirectly. It causes their side with Israel and Zionist movement.
Important meaning of USA affairs with Israel can be analogized by building a right good and ideal alliance morally to against other force which become USA enemy, democracy opponent and communist. This pattern also can be paralyzed with American-Israel alliance perspective as the right entrenchment against the wrong one.
To empower this affair, Israel uses a lobby institution in White House, known as AIPAC. Israel's lobby has objectives to influence American foreign policy in Middle East. It related with Israel security and existence, commonly known USA as powerful country obviously so influenced. For any one take part to influence USA, they'll get the advantage. But there are some evidence or facts where lobby couldn't take part.
The facts show the eternal is a country's interest factor, and for this research USA has ideology, politic, economy, and defense interest in Middle East and finding sparing partner, in this case Israel. To bring the mission in become reality, USA must defenses Israel's existence from Arabic world threat .
"
2007
T20724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randi Mohammad Ramdhani
"Saudi Arabia memiliki tempat yang sangat signifikan di dunia Arab dan Islam. Ini disebabkan statusnya sebagai negara terbesar di Semenanjung Jazirah Arab. Juga merupakan negara di dunia yang memiliki cadangan minyak terbesar sekitar 25% cadangan minyak dunia. Saudi Arabia berperan aktif dalam upayanya menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel, Peran Saudi Arabia dalam mewujudkan penyelesaian masalah Palestina merupakan tuntutan tugas dan misi politik luar negeri Saudi Arabia yang dirumuskan tahun 1943.
Saudi Arabia hingga kini tetap pada pendiriannya menganggap penyelesaian masalah Palestina merupakan togas dan misi politik luar negerinya yang dianggap perlu mendapat perhatian yang serius dan prioritas tinggi (urgent concern and top priority). Di antara upaya Saudi Arabia untuk menyelesaikan konflik, terdapat dua inisiatif perdamaian yang ditawarkan pada tahun 1982 dan 2002.
Inisiatif perdamaian ini menawarkan sebuah solusi perdamaian yang berlandaskan pads Resolusi PBB. Yang memberikan pengakuan kepada Israel untuk tetap eksis dan menawarkan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dengan imbalan Israel menerima dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 yang meminta untuk mengakliiri pendudukan pada garis batas 1967. Saudi meyakini bahwa usahanya membantu menyelesaikan masalah Palestina merupakan tugas dan tanggung jawab bangsa Arab dan umat Muslim.
Di sate sisi Saudi Arabia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, dimana Israel merupakan anak emas Amerika Serikat di Timur Tengah. Isu Palestina telah menjadi duri dalam hubungan Saudi Arabia dan Amerika Serikat sejak Perang Dunia II. Selama ini Saudi Arabia berpandangan kedekatannya dengan Amerika Serikat dapat mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel untuk menjadi penengah yang lebih adil. Namun upaya mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam masalah Palestina tidak efektif, dikarenakan sikap politiknya yang selalu menguntungkan Israel.

Saudi Arabia has a significant place in the Arab's world and Islam. It's caused by status Arab as the biggest country in Arabic peninsula, and the biggest oil's resource, more about 25 % oil's resource in the world. Saudi Arabia has effectively role to finish conflict between Palestine and Israel.
Saudi Arabia's role in finishing conflict Palestine and Israel is his effort and his mission of foreign policy since 1943. Saudi Arabia said that until now the Palestine's problem is an urgent concern and top priority.
Two initiatively peaces offered a peace solving based on United Nations resolutions in 1982 and 2002. This resolution give legality to Israel to exist and offer normalization of relation with Arabic's countries by fee Israel accept that resolution number 242 and 338 which asked to end occupy in the limited line 1967.
Saudi Arabia sure that his effort can finish Palestine's problem as his responsibility of Arabic and all of Moslem. In the other side, Saudi Arabia has relation closely with United States which Israel as his close partner. The Palestine's problem has difficult to Arabs' Saudi and united state's relations since second's war of the world. Arab said that closely with America is as mediator between Palestine and Israel, but his attitude not effectively because always give lucky to Israel.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Perubahan kebijakan luar negeri Polandia yang terjadi setelah berakhimya kekuasaan komunis di negara itu pada tahun 1990, merupakan suatu rangkaian yang tidak terlepas dari peristiwa domestik yang ditandai dengan adanya tuntutan-tuntutan ke arah perubahan. Peristiwa politik domestik yang sarat dengan berbagai tuntutan-tuntutan reformatif yang sekaligus telah memperpanjang dan menimbulkan krisis-krisis ekonomi dan politik di negara tersebut telah membuat Polandia berada dalam sebuah situasi yang sangat memprihatinkan. Situasi yang memprihatinkan ini dapat kita lihat dari munculnya instabilitas dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam situasi yang demikian inilah, pemerintahan baru Polandia mencoba melakukan berbagai langkah-langkah tertentu agar negara tersebut dapat keluar dari krisis yang menimpanya, yaitu keluar dari instabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Langkah-langkah perbaikan itu dilakukan lewat penggunaan kebijakan-kebijakan reformatif, baik pada level ekonomi maupun pada level politik, dan salah satu kebijakan itu dilakukan lewat instrumen kebijakan luar negeri.
Pilihan kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintahan baru Polandia dalam rangka perbaikan-perbaikan kehidupan ekonomi politik domestik negara itu adalah dengan sikap dan pandangan yang "berkiblat ke Barat". Pilihan kebijakan luar negeri yang berkiblat ke Barat ini merupakan suatu sikap dan pandangan Polandia yang sangat berbeda dengan sikap dan pandangan luar negeri pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni ketika negara itu masih di bawah kepemimpinan komunis. Sikap dan pandangan baru dari pemerintahan baru Polandia ini dapat kita lihat pada orientasi kebijakan kebijakan luar negerinya. Orientasi kebijakan itu adalah keinginan yang kuat dari pemerintah baru Polandia untuk bergabung dengan NATO dan UE. Orientasi pilihan ini dilakukan dengan tujuan mempercepat pencapaian keinginan-keinginan dometik tadi yang pada dasarnya adalah sekaligus menjadi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Kemudian untuk tujuan ini., pemerintahan baru Polandia telah melakukan berbagai persiapan-persiapan, yaitu persiapan yang disesuaikan dengan keinginan-keinginan Barat itu sendiri (NATO dan UE). Kebijakan luar negeri Polandia yang menempatkan Barat sebagai orientasi pilihannya ini tentulah dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan utama dari pengambilan sikap dan pandangan ke Barat ini adalah !arena alasan-alasan ekonomi dan politik serta untuk memperoleh jaminan keamanan. Dengan demikian, dalam pandangan Polandia, Barat adalah satu-satunya pihak yang mampu mengembalikan kondisi instabilitas domestiknya tadi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawati
"ABSTRAK
Kemiskinan dan keterbelakangan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP, Segala bantuan dan keistimewaan yang diberikan UE sejak tahun 1975 -bahkan beberapa negara lebih lama lagi- tidak mampu secara signifikan melepaskan diri dari lingkaran keterpurukan. Alih-¬alih mengalami kemajuan pesat, Negara-negara ACP terutama di Sub Sahara Afrika, terus-menerus didera pertikaian, politik, etnis, dan agama yang tidak berkesudahan.
Tahun 2000, Konvensi Lome antara ACP-UE yang telah empat kali diperbaharui berakhir. Negosiasi baru yang telah dimulai sejak 1998 akhirnya menyepakati Perjanjian Cotonou yang berlaku efektif 1 April 2003. Perjanjian Cotonou merupakan babak baru hubungan ACP-UE karena di dalamnya beberapa hal baru diperkenalkan dan beberapa hal yang menjadi chi Konvensi Lorne seperti Stabex dan Sysmin dihapuskan.
Tesis ini bermaksud melihat dimensi-dimensi baru dalam Perjanjian Cotonou. Setelah menganalisa dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Cotonou tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan Konvensi Lorne. ACP menerima Perjanjian Cotonou karena posisi tawarnya lemah terhadap UE. ACP masih mengharapkan bantuan teknis dan finansial dari UE sedangkan UE dengan perkembangan internal dan eksternal melihat posisi ACP tidak lagi sepenting sebelumnya. Tujuan UE terhadap ACP sekarang lebih eksplisit yaitu secepatnya mengintegrasikan ACP ke dalam perdagangan dunia yang bagi ACP tentu tidak mudah dan akan banyak mengorbankan kepentingan nasionalnya."
2007
T 20654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Hermawan
"Krisis nuklir Iran berawal ketika pada Agustus 2002, Dewan Nasional Perlawanan Iran, oposisi pemerintah Iran yang berada di pengasingan, melaporkan tentang adanya fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan fasilitas air berat di Arak. Dalam perkembangan selanjutnya, pada Januari 2006 Iran melepaskan segel IAEA dan memulai penelitian bahan bakar nuklir yang kemudian dilanjutkan dengan pengayaan uranium.
Di sisi lain, pasca tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat melakukan revisi mendasar tentang strategi keamanan nasionalnya yang tercermin dengan diadopsinya konsep preemption dan prinsip unilateralism dalam National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 merupakan justifikasi bagi Amerika Serikat untuk bertindak secara proaktif dengan menyerang negara lain yang dianggap membahayakan keamanan nasionalnya sebelum negara tersebut menyerang AS. Implikasi dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari agresi dan invasi militer AS di Afghanistan dan Irak.
Kebijakan luar negeri AS terhadap krisis nuklir Iran dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi dinamika politik domestik Amerika Serikat yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan terhadap krisis nuklir Iran, sedangkan faktor eksternal merupakan konstelasi politik internasional yang dominan.
Beberapa faktor internal adalah: National Security Strategy 2002, kepentingan strategis (minyak) AS di kawasan Teluk, perubahan persepsi publik AS tentang ancaman dan keamanan nasional, serta menguatnya peran Presiden AS dalam menentukan kebijakan luar negeri AS. Sementara itu untuk faktor eksternal, ancaman terhadap keamanan Israel, serta kebangkitan politik Islam di Timur Tengah merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh AS.Tesis ini mencoba menganalisa faktor strategis yang mendasari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap krisis nuklir Iran pada masa pemerintahan George Walker Bush, terutama pasca dirumuskannya NSS 2002.

Iran's nuclear crisis began in August 2002, when Board of Iran National Resistance, oposition of Iran Government, denounced evidence of uranium enrichment facility in Natanz and heavy water reactor in Arak. In January 2006 Iran broke IAEA seal and started research on nuclear fuel, followed with uranium enrichment activity.
On the contrary, post of 9/11 aftermath, US revised her fundamental national security, which reflected on adopting concept of preemption dan unilateralism into National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 acts as justification for US Government to take any necessary and proactive measure by attacking countries which endanger US interests. Transformation of US national security brings implication of military target and use of force abroad which can be obviously seen in Iraq and Afghanistan invasion.
US foreign policy towards Iran's nuclear crisis is affected by many internal and external factors. Internal factors are characterized by national politics which have significant influence to perception of decision maker, while external factors attribute to dominant international politics.
Some of internal factors are: National Security Strategy 2002, US interests (oil) in gulf, changing of US public opinion on threat and national security, and role of US President in guiding foreign policy. External factors are Israel's national security point of view, and the rise of political Islam in Middle East The thesis tries to analyze strategic factors of US foreign policy responding to Iran's nuclear crisis during George Walker Bush administration, mainly after NSS 2002."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andaru Satnyoto
"Sejak runtuhnya koinunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, masyarakat internasional mengalami eforia harapan akan terjadinya kerjasama yang erat antar negara untuk menghadapi masalah-masalah global seperti masalah pemanasan global.
Pada bulan Juni 1992, dalam KTT Bumi Rio De Janeiro masyarakat internasional menerima dan mengadopsi kesepakatan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC).
Walaupun masyarakat internasional telah mencapai konsensus atas pemanasan global dan sepakat bekerja sama untuk mengatasinya melalui Kerangka Kerja Konvensi Perubahan lklim, namun konvensi yang dihasilkan ini harus diimplementasikan dan masih perlu dirinci lebih lanjut hingga berlaku efektif. Upaya ini tidak mudah karena masih adanya berbagai perbedaan kepentingan antara negara-negara.
Tesis ini hendak menelaah faktor-faktor yang terkait dengan efektifitas kerjasama internasional dalam perubahan iklim. Efektifitas kerjasama internasional ini dapat dilihat dari hasil atau pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat internasional tersebut dan pencapaian pelembagaan pengaturan kerjasama atau realm internasional pengendalian pemanasan global.
Konsensus internasional atas perubahan iklim yang secara prinsip menerima keadaan bahwa manusia dalam berbagai aktifitas kehidupannya telah menyumbang timbulnya pemanasan global, mendorong diterimanya konvensi untuk mengatasi perubahan iklim/pemanasan secara global.
Pemanasan global terutama disebabkan meningkatnya jumlah gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas methan, klorofluorkarbon dan uap air.
Kerjasama internasional dalam rangka pengendalian pemanasan global belum berjalan efektif sebagaimana terlihat laju pertambahan karbondioksida terus berlangsung dan pelembagaan kerjasama internasional melalui konvensi dan protokol belum mendapat dukungan implementasi dari negara-negara peserta secara kuat.
Kurang efektifnya kerjasama internasional tersebut terkait dengan luasnya cakupan pemanasan global, dan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk mereduksi emisi gas-gas rumah kaca yang secara ideal seharusnya 60% di bawah emisi tahun 1990 atau sekurang-kurangnya 5,2% di bawah emisi tahun 1990 sesuai Protokol Kyoto.
Kurang efektifnya kerjasama Internasional juga tercermin dari relatif lemahnya pelembagaan kerjasama tersebut sehingga tidak mampu membentuk rezim pengendalian perubahan iklim yang kuat. Masyarakat Internasional baru mampu mencapai pembentukan Rezim perubahan iklim yang bersifat promosional dan belum mampu membentuk pola " Enforcement Regime "."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Driss, Rachid
Tunisia: Kedutaan Besar RI, 2004
303.482 DRI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>