Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3035 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chyatte, Samuel B.
New Jersey: Medical economis, 1979
617.461 059 CHY b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Czaczkes, J.W.
New York: Bruner Mozer, 1978
617.461 059 CZA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Pendahuluan: Kekakuan arteri merupakan prediktor mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis merupakan proses yang menginduksi inflamasi, ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi, Pentraxin 3 (PTX3), intradialisis. Rerata kekakuan arteri pada pasien HD dua kali seminggu di Indonesia menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada literatur.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko kekakuan arteri pada pasien hemodialisis kronik dengan berfokus pada frekuensi hemodialisis dan PTX3.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Medistra pada pasien yang menjalani hemodialisis minimal 1 tahun dengan frekuensi dua dan tiga kali seminggu. Kekakuan arteri diukur dengan carotid-femoral pulse wave velocity. Pemeriksaan PTX3 dilakukan sebelum hemodialisis dimulai.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 122 subjek, 82 subjek diantaranya menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tidak ada perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD 2x dan 3x seminggu. PTX3 > 2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri (p=0,021). Pada analisis multivariat, PTX3 berhubungan dengan kekakuan arteri (adjusted OR 5,18; IK 95% 1,07-24,91), demikian juga penyakit kardiovaskular (adjusted OR 3.67; IK 95% 1.40-10.55), kolesterol LDL (adjusted OR 3.10; IK 95% 1.04-9.24), dan dialysis vintage (adjusted OR 2.72; IK 95% 1.001-7.38).
Simpulan: PTX >2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri. Tidak terdapat perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD dua kali dan tiga kali seminggu.

Introduction: Arterial stiffness is a mortality predictor in hemodialysis patients. Hemodialysis induces inflammation, marked by intradialysis increment of inflammatory marker, Pentraxin 3 (PTX3). The mean arterial stiffness in twice-weekly hemodialysis patients in Indonesia is lower than studies done in thrice-weekly patients.
Objective: To determine factors associated with arterial stiffness in hemodialysis patients, focusing on the role of hemodialysis frequency and PTX3.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Medistra Hospital Jakarta in twice- and thrice-weekly hemodialysis patients. Arterial stiffness is measured by carotid-femoral pulse wave velocity.
Results: The study is conducted in 122 subjects, 82 of them undergo twice-weekly hemodialysis. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly subjects. PTX3>2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness (p= 0.021). In multivariate analysis, PTX3 is associated with arterial stiffness (adjusted OR 5.18; 95% CI 1.07-24.91), as well as cardiovascular disease (adjusted OR 3.67; 95% CI 1.40-10.55), LDL cholesterol (adjusted OR 3.10; 95% CI 1.04-9.24), and dialysis vintage (adjusted OR 2.72; 95%CI 1.001-7.38).
Conclusions: Predialysis PTX3 level above 2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Ferry Tigor P.
"Pendahuluan: Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK (penyakit ginjal kronik) yang menjalani HD(hemodialisis) kronik adalah penyakit kardiovaskuler. Faktor utama penyebab kejadian kardiovaskuler pada pasien PGK yang menjalani HD adalah hipertensi. Diagnosis hipertensi pada pasien PGK yang menjalani HD tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan adanya efek retensi cairan, office hypertension, dan proses ultrafiltrasi setelah HD. Baku emas diagnosis hipertensi pada pasien HD adalah pemeriksaan tekanan darah interdialitik dengan menggunakan alat ABPM (ambulatory blood pressure monitoring). Namun alat ini memiliki banyak kendala dalam pemeriksaannya. Studisebelumnyayang meneliti tekanan darah pre dan post dialisis dibandingkan dengan tekanan darah ABPM memberikan hasil yang masih kontroversial.
Tujuan: Mengetahuikorelasi dan nilai diagnostik rerata tekanan darah pre dan post hemodialisis dengan baku emas tekanan darah interdialisis yang diukur dengan metode ABPM.
Metode: Dilakukanstudidiagnostik dan uji korelasi dengan desain penelitian potong lintangpadatiga puluh lima pasien dewasa dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kronik. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pengukuran ABPM selama 24 jam dan tekanan darah saat pre dan post dialisis.
Hasil: Uji korelasi Pearson menunjukkan korelasi rerata TD sistolik pre-post dialisis dan sistolik ABPM sebesar r = 0,669 dan p = 0,000 dengan AUC sebesar 84,4 % (95% IK, 71,5 % - 97,3%) dengan p = 0,001 serta nilai sensitivitas 82,14%, spesifisitas 71.43%, nilai duga positif 92%, dan nilai duga negatif 50%. Uji korelasi Pearson mendapatkan korelasi antara rerata TD diastolik pre-post dialisis dan diastolik ABPM sebesar r = 0,359 dan p = 0,034 dengan AUC sebesar 67,6 % (95% IK, 49,3 % - 86,0%) dengan p = 0,075 serta nilai sensitivitas 82,14%, spesifisitas 85,71%, nilai duga positif 95,83%, dan nilai duga negatif 54,55%.
Simpulan: Rerata tekanan darah sistolik pre-post hemodialisis dapat digunakan untuk diagnosis hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kronik.

Background: Cardiovascular disease is the leading cause ofmorbidity and mortality in hemodialysis patients. Hypertension is the single most important factor for the development of cardiovascular complications. Diagnosing hypertension in hemodyalisis patients is not easy, because of fluid retention effect, office hypertension, and ultrafiltration after hemodyalisis session. Gold standard for diagnosing hypertension in hemodialysis patient is interdialytic blood pressure measurment with ABPM. Nevetheless this method have many difficulties to perform. Previous research which studied correlation between pre and post dialysis blood pressure and ABPM showed controversial result.
Objective: To determine the correlation and diagnostic value of mean pre-post hemodialysis blood pressurewith ABPM metohd as gold standard.
Method: A diagnostic study with cross sectional design was conducted in thirty five adult patients with chronic hemodialysis. Patients whofulfilled inclusion criteria were recruited for measuring their blood pressure using 24 hours ABPM and also pre - post dialysis BP.
Result: Pearson's correlation test showed that the correlation between pre-post hemodyalisis mean systolic blood pressure and ABPM systolic was 0.669 with p = 0.000 and AUC of 84.4 % (95%CI, 71.5 % - 97.3%) with p = 0.001, and also sensitivity 82.14%, spesificity 71.43%, positive predicitive value 92%, and negatif predictive value 50%. Pearson's correlation test also showed correlation between pre-post hemodyalisis mean blood pressure diastolic was 0.359 with p = 0.034 and AUC of 67.6 % (95%CI, 49.3 % - 86.0%) with p = 0.075 and also sensitivity 82.14%, spesificity 85.71%, positive predictive value 95.83%, and negative predictive value 54.55%.
Conclusion: Systolic mean pre-post hemodyalisis blood pressurecan be used to diagnose hypertension in chronic hemodialysis patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T35630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Susanti Papuke
"Pasien yang menjalani hemodialisis sering mengalami stres fisiologis ataupun ketakutan akibat nyeri saat kanulasi fistula. Pengembangan intervensi dengan metode sederhana dan aman perlu dilakukan untuk mengontrol nyeri secara efektif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh relaksasi Benson terhadap intensitas nyeri kanulasi hemodialisis. Penelitian menggunakan desain quasi eksperimen dengan kelompok intervensi dan kontrol masing-masing 16 responden dengan cara consecutive sampling. Uji statistik yang digunakan adalah Wilcoxon dan Mann Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi Benson pada kelompok intervensi p: 0.001, ada perbedaan signifikan intensitas nyeri kanulasi antara kelompok intervensi dan kontrol p: 0,001. Hasil ini membuktikan bahwa relaksasi Benson efektif menurunkan nyeri kanulasi hemodialisis. Disarankan agar teknik ini dapat diterapkan sebagai salah satu penanganan nyeri non-farmakologis bagi pasien yang mengalami nyeri kanulasi hemodialisis.

Patients undergoing hemodialysis often experience physiological stress or fear from pain during fistula cannulation. The effective simple and safety method intervention to control pain should be developed. This study aimed to analyze the effect of Benson relaxation on the intensity of hemodialysis cannulation pain.The research used a quasi experimental design with intervention and control groups with 16 respondents in each group selected by consecutive sampling method. Statistic analysis used wilcoxon and Mann Whitney test.
The result showed that there was a significant difference pain intensity before and after conducting Benson relaxation in the intervention groups p 0.001, there was significant difference of pain intensity during canulation between intervention and control groups p 0.001. This result confirms that Benson relaxation is effective in reducing pain hemodialysis cannulation. It is recommended that the technique could be applied as non pharmacologic pain management for patients with pain on hemodialysis cannulation."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasmiati
"Pasien yang menjalani hemodialisis akan mengalami beban gejala (syndrome burden) yang salah satunya adalah kesulitan tidur. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas tidur pasien. Kejadian kualitas tidur yang buruk lebih tinggi ditemukan pada pasien yang menjalani hemodialisis dibandingkan dengan populasi umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi Benson terhadap peningkatan kualitas tidur pasien hemodialisis. Penelitian ini merupakan quasi eksperimen pre dan post test desain with control group, yang melibatkan 44 orang responden. Selama 4 minggu kelompok intervensi mendapatkan intervensi relaksasi Benson dan pada kelompok kontrol mendapatkan intervensi standar. Kualitas tidur dinilai sebelum dan setelah pemberian intervensi menggunakan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Indeks. Hasil pengukuran diperoleh nilai median skor kualitas tidur pada kelompok intervensi setelah pemberian relaksasi Benson adalah 4, sedangkan pada kelompok kontrol setelah pemberian intervensi standar adalah 10. Hal ini berarti terdapat pengaruh pemberian relaksasi Benson terhadap skor global kualitas tidur pada kelompok intervensi dibandingkan dengan skor global kualitas tidur pada kelompok kontrol (p value 0,000, α= 0,05). Dengan demikian, relaksasi Benson secara klinis dan statistik memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas tidur pasien. Relaksasi Benson diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan terapi komplementer keperawatan dalam meningkatkan kualitas tidur pasien yang menjalani hemodialisis rutin.

Burden of symptoms will be experienced by patients undergoing hemodialysis, which one of them is difficulty of sleeping. This condition affect on the quality of the patient's sleep. The incidence of poor quality of sleep among hemodialysis patients are higher than general population. This study aims to determine the effect of Benson's relaxation on improving the quality of sleep of HD patients. This study was a quasi-experimental pre-test and post-test design with control group, which involved 44 respondents. The intervention was conducted for 4 weeks, where the intervention group received Benson's relaxation and the control group received standard intervention. Sleep quality assessed before and after providing the intervention using the Pittsburgh Sleep Quality Index instrument. The measurement results obtained that the median score of sleep quality in the intervention group after giving Benson relaxation was 4, while in the control group was 10. This means that there is an effect of giving Benson relaxation on the global score of sleep quality in the intervention group compared to the global score of sleep quality in the control group (p value of 0.000, α= 0,05). It can be concluded that Benson's relaxation has clinically and statistically effect on increasing the patient's sleep quality. Expectedly, Benson's relaxation can be used as a complementary nursing therapy to overcome problems related to sleep quality in patients undergoing hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Dwi Hartanti
"Penilaian keefektifan dari tindakan hemodialisis diketahui dari nilai adekuasi hemodialisis. Exercise intradialisis merupakan latihan fisik dengan pergerakan terencana dan terstruktur, yang dapat meningkatkan bersihan ureum sehingga meningkatkan nilai adekuasi hemodialisis. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh exercise intradialisis terhadap adekuasi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal terminal.
Desain penelitian ini menggunakan randomized control trial (RCT) dengan menggunakan rancangan pretest-postest with control group. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode consecutivesamplingdengan randomisasi alokasi menggunakan randomisasi blok. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 26 responden pada kelompok intervensi dan 25 responden pada kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara nilai adekuasi hemodialisis pada kelompok intervensi setelah diberikan exercise intradialisis, (p value = 0,0001). Penelitian ini merekomendasikan penerapan exercise intradialisis untuk membantu meningkatkan nilai adekuasi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal terminal dengan hemodialisis.

The assessment of effectiveness of hemodialysis can be identified by measuring adequacy of hemodialysis. Intradialisis exercise is physical exercise with a planned and structured movement, which can increase the clearance of urea thus increasing the value of hemodialysis adequacy. This study aims to determine the effect of exercise intradialisis the adequacy of hemodialysis in patients with end stage renal disease.
This research used randomized control trial (RCT) design with pretest-posttest design with control group. The samples in this study using a consecutive sampling method with randomized allocation using block randomization. The sample size used in this study were as many as 26 respondents in the intervention group and 25 respondents in the control group.
The results showed that there were significant differences between the value of adequacy of hemodialysis in the intervention group after exercise intradialisis given, (p value = 0.0001). The study recommends intradialisis exercise for increase the value of adequacy of hemodialysis in patients end stage renal disease with hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35061
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Epi Rustiawati
"Adekuasi hemodialisis tercapai dengan terpenuhinya dosis sesuai kebutuhan pasien untuk mendukung pasien mampu hidup secara optimal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan dosis dengan adekuasi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Serang Banten.
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi melibatkan 46 pasien hemodialisis dengan tehnik purposive sampling. Variabel penelitian ini meliputi durasi HD, quick of blood, dan adekuasi dengan perhitungan rumus Kt/V.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara durasi HD dengan adekuasi hemodialisis. Rerata adekuasi hemodialisis pasien 1,6. Seluruh pasien menjalani hemodialisis dengan frekuensi 2 kali per minggu dengan durasi HD 4-5 jam, quick of blood 200-265 ml/mt.
Hasil pemodelan menunjukan durasi HD berkontribusi paling besar terhadap adekuasi setelah dikontrol oleh jenis kelamin, ukuran tubuh, lama menjalani terapi, akses vaskuler, dan dialiser pengunaan ulang. Perawat perlu memperhatikan pengaturan durasi HD untuk mencapai adekuasi hemodialisis yang optimal.

The adequacy of hemodialysis can be achieved by meeting the needs of hemodialysis patients given, in order that the patients able to life optimally. The purpose of this research was to identify the correlation between dose with adequacy on patients undergoing hemodialysis at RSUD Serang Banten.
Description correlation involved 46 patients hemodialysis with technical purposive sampling. This study observed the duration of hemodialysis, quick of blood, and adequacy with Kt/V formula.
There was significant corelation between the duration of hemodialysis and adequacy. The average of hemodialysis adequacy patients 1,6, twice per week by 4 - 5 hours, quick of blood 200-265 ml/mt.
The modelling result that duration of hemodialysis the most contributed to the adequacy after being controlled by sex, body size, vintage of hemodialysis therapy, vascular access, and dialyzer reuse. The nurses need to pay attention to the duration to achieve optimal adequacy hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suko Pranowo
"Kompres dingin merupakan salah satu tindakan mandiri keperawatan untuk mengurangi nyeri saat kanulasi HD, yang sudah diteliti dan direkomendasikan di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Namun tindakan tersebut sudah tidak dilanjutkan sebagai upaya untuk mengurangi nyeri kanulasi HD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pelaksanaan pemberian kompres dingin sebelum kanulasi pada pasien HD. Penelitian dengan desain survei deskriptif, menggunakan total sampling dengan sampel sebanyak 10 perawat dan 46 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawat negatif (50%), keyakinan perawat rendah (50%), pasien terbanyak memiliki pendidikan dasar (43,5%), sikap pasien negatif (50%), dukungan sosial pada pasien rendah (50%). Pelaksanaan kompres dingin tidak dilanjutkan kemungkinan disebabkan karena dukungan dari kepala ruang yang rendah, tingkat pendidikan pasien yang rendah, dan rendahnya dukungan keluarga pada pasien. Penelitian ini mendapatkan gambaran bahwa intervensi kompres dingin mampu laksana, sehingga diharapkan manajerial rumah sakit membuat kajian dalam bentuk SOP, dan memberikan dukungan terhadap pelaksanaan manajemen nyeri kanulasi HD.

Cold compress is one of nursing interventions in pain management for hemodialisys cannulation that have been studied and recommended in RSUD Kraton Pekalongan, but the intervention does not proceed in an attempt to reduce the pain of hemodialisys cannulation. This study aimed to describe the factors that contribute to the implementation of the provision of cold compress before hemodialisys cannulation in patients. The method of this study was descriptive with total sampling (10 nurses and 46 patients). The results showed that nurses had a negative attitude (50%), had low confidence (50%), patients had a lower level of education background (43.5%), had a negative attitude (50%), had a low of social support (50%). Implementation of cold compress was not continue due to a lack of supervisor support for the nurses, a low of family support for the patients and a low level of patients education background. However all factor related to nurses enhance the cold compress practice. This study describe that the intervention could be implemented by expecting managerial hospital contribution to make an assessment standart form for operating procedure of cold compress and fully support the implementation of hemodialysis cannulation pain management during intervention.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
T46184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frieda Audryana Prastysia
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) menjadi salah satu penyakit yang menjadi perhatian di berbagai negara karena jumlah penderita yang meningkat setiap tahun. Menurut data RISKESDAS, prevalensi pasien PGK di Indonesia sebesar 0,2% pada tahun 2013 dan bertambah menjadi 3,8% pada tahun 2018. Sebagian besar pasien PGK mengalami gejala atau perubahan pada rongga mulut, salah satunya pada lidah. Perubahan kondisi rongga mulut berdampak secara signifikan pada kualitas hidup pasien. Kesadaran dan pengetahuan mengenai temuan klinis rongga mulut pasien PGK sangat penting sebagai edukasi bagi tenaga kesehatan dan pasien. Serta masih sedikit adanya penelitian terkait gambaran lidah pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa melatarbelakangi penelitian ini. Tujuan: Mengetahui profil gambaran klinis lidah berupa distribusi dan frekuensi atrofi papila, ukuran lidah, coated tongue, dan fissured tongue pada pasien PGK yang sedang menjalani hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa. Metode: Penelitian deskriptif dengan data yang didapatkan dari hasil pemeriksaan rongga mulut dan data sekunder dari rekam medis pasien PGK yang sedang menjalani hemodialisis Hasil: Dari 108 pasien PGK, terdapat 19 orang (17,9%) mengalami atrofi papila, 106 pasien (100%) adanya coated tongue, 85 pasien (80,2%) adanya fissured tongue. Pasien paling banyak ditemukan memiliki ukuran lidah dengan kategori 1 berdasarkan klasifikasi House (76,4%), memiliki perluasan coated tongue berdasarkan indeks Winkel sebesar 12 (22,6%), memiliki coated tongue berwarna putih (93,4%), dan memiliki jumlah fissured tongue dengan kategori ringan (31,1%). Kesimpulan: Pada penelitian ini menunjukkan bahwa masalah dan perubahan pada rongga mulut dapat ditemukan pada pasien PGK yang sedang menjalani hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a disease of concern in various countries because the number of cases increases every year. According to RISKESDAS data, the prevalence of CKD patients in Indonesia was 0.2% in 2013 and increased to 3.8% in 2018. Most of CKD patients have symptoms or clinical features in the oral cavity, one of which is the tongue. Changes in the condition of the oral cavity have a significant impact on the patient's quality of life. Awareness and knowledge regarding the clinical findings of the oral cavity of CKD patients is important to be educated for health workers and patients. There has not been any research related to the tongue features in CKD patients undergoing hemodialysis at the Air Force Hospital (RSAU) dr. Esnawan Antariksa. Objective: This study aims to determine the clinical features of the tongue in the form of distribution and frequency of papillary atrophy, tongue size, coated tongue, and fissured tongue in CKD patients undergoing hemodialysis at RSAU dr. Esnawan Antariksa. Methods: Descriptive study is done by examining the patient’s oral cavity and using the secondary data found in patient’s medical record. Results: From 108 CKD patients, 19 patients (17.9%) had papillary atrophy, 106 patients (100%) had coated tongue, 85 patients (80.2%) had fissured tongue. Most patients were found to have a tongue size with category 1 based on House classification (76.4%), had an extended coated tongue based on the Winkel index of 12 (22.6%), had a white coated tongue (93.4%), and had the number of fissured tongue in the mild category (31.1%). Conclusion: This study reveals that problems and changes in the oral cavity could be found in CKD patients undergoing hemodialysis at RSAU dr. Esnawan Antariksa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>