Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soedjono Dirdjosisworo
Bandung: Sinar Baru, 1984
345.598 SOE f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fatimah
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Soetojo Prawirohamidjojo
Surabaya: Airlanga University Press, 1986
346.016 598 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soetojo Prawirohamidjojo
"Buku ini membahas mengenai sejarah terbentuknya UU tentang perkawinan, pengertian perkawinan, asas monogamy, perjanjian kawin, batalnya perkawinan, perkawinan campuran, kedudukan anak, dan putusnya perkawinan"
Surabaya: Airlangga University Press (AUP), 2012
346.016 598 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
"Pidana penjara saat ini sedanc aengalami "masa krlsis". Jenis pidana ini terinasuk salah satu jenia sanksi yang kurang disukai. Banyak krltik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perainpasan kemerdekaan ini, taik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang, menyertai atau yang berhubungan dengan diraa^asnya kemerde kaan seseorang itu sendiri. Kritik ' . tajam dan negatif itu tidak hanya ditujukan teriiadap pidana pen jara raenurut pandangan retributif tradisional, tetapi juga terhadap pidana penjara menurut pandangan modern yang lebih bersifat kemanusiaan dan oenek^kan pada unsur perbaikan si pelanggar (reformasi, rehabilitasi dan resosialisasi). Sorotan dan kritik tajam 'inipun tidak hanya dikemukakan oleh nara ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-ban^ sa di d\mia melalui beberapa kali seminar dan kongres internasional.
Di tengah gelorabang "masa krisis" yang demikian itu, ditambah pula dengan usaha pembaharuan hukum pidana yang diamanatkan oleh Perabukaan Undang-undang Dasar 1945, maka menjadi pentinglah nntuk raelakukan peninjauan kembali (reorientasi, re-evaluasi, reforma si dan reorganisasi) terhadap dua masalah kebijaksana an yang sangat raendasar mengenai penggunaan pidana penjara dilihat dari sudut politik kriminal. Pertama, mengenai perlu tidaknya pidana penjara itu tetap dipertahankan sebagai salah satu sarana kebijaksanaan penanggulangan kejahatan; dan kedua, mengenai sebera pa oauh kebi jaksanaan le'gislatif dalam menetapkan dan merumuskan pidana penjara selama ini dapat menun jang usaha mekanisme penanggulangan kejahatan.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap dua masalah sentral tersebut ternyata, bahwa walaupun kritik-kritik tajam banyak dilontarkan terhadap mas alah efektivitas pidana penjara, namun masih terdapat nilai-nilai positif yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar pembenaran dipertahankannya pidana penjara sebagai salah satu sarana kebijaksanaan pen^ggulangan kejahatan. Dasar pembenarannya dapat dilihat dari praktek perabuatan atau penyusunan undang-undang selama ini, dari aspek-aspek pokok tujuan pemidanaan, dari ciri pemidanaan dalam masyarakat modern, dari perlunya upaya perlindungan dan pengamanan masyarakat terhadap meningkatnya kejahatan dan tindakan-tindakan kekerasan di luar hukiim, serta di lihat dari sudut dukungan masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui kongres-kongres internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun pidana penjara masih patut dipertahankan sebagai salah satu sarana kebijaksanaan penanggulangan kejahatan, namun perlu ditempuh kebijaksanaan rasional yang selektif dan limitatif dalam pengoperasionalisasiannya.
Dalam penelitian ini dijumpai faktor-faktor kondusif dari kebijaksanaan legislatif selama ini yang kurang memberikan jarninan bagi terlaksananya kebijaksanaan yang demikian. Faktor-faktor kondusif tersebut, ialah :
a. sebagian besar perumusan delik kejahatfin di dalam produk perundang-undangan yang diteliti raemuat ancaman pidana penjara dan sebagian besar diantaranya memuat perumusan yang bersifat imperatif;
b. tidak adanya ketentuan perundang-undangan sebagai katup pengaman (veiligheidsklep) yang memberi pedoman dan kewenangan bagi hakim untuk menghindari, membatasi atau memperlunak penerapan pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif;
c. lemahnya ketentuan pidana bersyarat selama ini sehingga kurang dapat mengatasi- sifat kaku dari sistem perumusan pidana penjara secara imperatif;
d. lemahnya kebijaksanaan legislatif selama ini dalam mengefektifkan operasionalisasi pidana denda yang sering dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara;
e. tidak adanya pedoman penjatuhan pidana penjara yang dirumuskan secara eksplisit dalam perundangundangan;
f. tidak adanya ketentuan prosedural yanp memberi kewenangan untuk melakukan penundaan penuntutan pidana.
Mekanisme pengoperasionalisasian pidana penjara yang rasional, selektif dan limitatif dalarn rangka usaha penanggulangan kejahatan akan dapat terjatmin apabila dalam kebijaksanaaji legislatif :
1. tersedia pembagian jenis dan kualitas pidana peram pasan keiherdekaan;
2. tersedia pedoman penjatuhan pidana penjara yang dirurauskan secara eksplisit;
3. sejauh mungkin menghindari perumusan pidana penjara secara imperatif, khususnya perumusan tunggal;
4. ada ketentuau-ketentuan yang merupakan katup-pengajnan untuk mengimbangi, dalam arti untuk dapat menghindari, membatasi atau memperlunak sistem perumusan pidana penjara secara imperatif, yang berupa:
a. ketentuan prosedural untuk melakukan penundaan penuntutan bersyarat;
b. ketentuan yang dapat lebih menjamin penerapan pidana (penjara) bersyarat secara lebih efektif;
c. pedoman untuk menerapkan sistem perumusan pidana penjara secara imperatif, khususnya secara tinggal, yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara dengan menyedia kan alternatif pidana atau tlndakan lain yang lebih ringan.
5. ada ketentuan untuk merubah atau menghentikan sama sekali pelaksanaan pidana penjara yang telah dijatuhkan hakim."
Depok: Universitas Indonesia, 1986
D240
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Chusnul Chatimah
"Asuransi adalah sebuah bisnis yang muncul akibat adanya risiko. Konsep yang digunakan asuransi untuk menangani risiko tersebut dengan cara mengalihkan risiko dari peserta asuransi kepada perusahaan asuransi (transfer of risk ). Para ahli ekonomi Islam melihat konsep transfer of risk ini mengandung unsur maysir (perjudian), gharar (ketidakpastian) dan riba (bunga), keberadaan unsur-unsur tersebut tidak sejalan dengan sistem ekonomi Islam, sehingga mereka berusaha menjalani asuransi dengan meniadakan ketiga unsur tersebut. Dalam asuransi syariah risiko tersebut dibagi dengan pihak lain (risk sharing), yaitu sesama peserta asuransi, sehingga istilah tertanggung dan penanggung menjadi berbeda dengan asuransi pada umumnya. Perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai operator (pengelola) yang bertugas mengurus masalah administrasi data peserta, mengelola risiko, mengelola dana dan membayarkan klaim sesuai dengan perjanjian. Asuransi syariah merupakan suatu lembaga keuangan syariah yang bertumpu pada konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, memberikan perlindungan bagi semua peserta dan menjadikan peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain. Di Indonesia, perusahaan asuransi syariah pertama yang didirikan adalah PT. Asuransi Takaful Indonesia pada tahun 1994, sejak saat itulah asuransi syariah mulai dikenal dan berkembang hingga saat ini. Namun, perkembangan keberadaan asuransi syariah di Indonesia saat ini masih menyisakan problematika yang belum terselesaikan secara tuntas. Maka dari itu, penulis mencoba membahas mengenai beberapa problematika yang dihadapi asuransi syariah di Indonesia, yakni penempatan asuransi syariah dalam peraturan perundang-undangan perasuransian di Indonesia, undang-undang asuransi syariah di masa mendatang dan praktik asuransi syariah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang menghasilkan kajian preskriptif. Kesimpulan dari tulisan ini adalah asuransi syariah di Indonesia belum memiliki pengaturan yang khusus, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan pelaksana sehingga praktik asuransi syariah yang telah berjalan selama ini belum memiliki pedoman secara formal. Pemerintah Indonesia diharapkan segera membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Syariah karena keberadaan Undang-Undang tersebut selain memberikan landasan hukum yang kokoh bagi lembaga asuransi syariah juga membantu dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangannya dimasa mendatang dan mengoptimalisasi peran instansi yang terkait baik instansi pemerintah maupun lembaga yang terkait dengan kegiatan asuransi syariah.

Insurance is a bussines which come from a risk. The concept used by insurance to handle the risk is by transfering the risk from participants to insurance company (transfer of risk). Islamic economic expert thinks that transfer of risk concept contains three element, maysir (gamble), gharar (uncertainty) and riba (interest). Those things are forbiden in economic Islam. So they trying to practicing insurance without those elements. In the syariah insurance, the risk is devide among other insurance participants (risk sharing) and syariah insurance company acting as operator or administrator which manage the found and to pay the claim with agreement. Syariah insurance is a syariah economic institution that using helping each other in good things concept and devotion, protecting all participants and making all participants as a big family that help each other. In Indonesia the first syariah insurance company is PT. Asuransi Takaful Indonesia which was established in 1994. Since then the syariah insurance company has been growing and keep spreading. But the growing of syariah insurance company still have problem which is not fulfilled yet. According those situation the writer tried to write about those problems around syariah insurance such as legal basic in Indonesia insurance law system, syariah insurance law in the future,and practical of syariah insurance in Indonesia. This study used normative study which has the prescriptive studies result. The result of this research is syariah insurance in indonesia still does not have legal basic such as the act of syariah insurance or other regulation, means the curent syariah insurance does not have formal regulation. This is government's task to make the law of syariah insurance in the future, because this regulation will give legal basic for syariah insurance and can create good environment for the developing of syariah insurance industries in the future. It also can complete syariah insurance law and to optimize syariah institution, government institution or other institution which has relation with syariah insurance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T38166
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bandung: Fokusmedia, 2005
345.023 23 HIM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>