Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26527 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rusmadi Murad
Bandung: Alumni, 1991
346.043 RUS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Kasus pertanahan muncul sebagai akibat kebijakan pemerintahan yang inkonsisten, bias, dan tumpang tindih. UUPA No. 5/1960 menjadi dikebiri dengan keluarnya kebijakan sektorial misalnya perundang-undangan tentang Pertambangan; Kehutanan; Pemerintahan daerah (Otonomi) yang masing-masing menempatkan tanah sebagai suatu objek yang sama, sementara masing-masing departemen memiliki penafsiran yang berbeda-beda atas penguasaan objek tersebut..."
JHB 18 (2002)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lamech A.P., compiler
"ABSTRAK
Kemajemukan hukum atau pluralisme hukum merupakan salab satu tema penting dalam nuansa kajian antropologi hukum (Rouland, 1992:2-4). Pluralisme hukum seperti dijelaskan oleh Hooker (1975:2-4) berkembang antara lain melalui pemerintahan kolonial dan berdirinya negara-negara baru. Di Indonesia misalnya, proses terjadinya pluralisme hukum berawal dari penerapan hukum oleh penjajah terutama pada masa kolonial Belanda ketika penduduk Indonesia (jajahan) digolongkan menjadi tiga golongan dimana masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan Bumiputera (lihat: Arief, 1986:10-14; Ter Haar, 1980:21-25). Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, sistem hukum nasional diwarnai oleh koeksistensi hukum formal dari negara dan hukum adat dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia. Dalam hal ini, corak pluralisme hukum di Indoensia diwarnai oleh hukum formal yang sebagian merupakan peninggalan hukum kolonial dan produk hukum baru pemerintah Indonesia di satu pihak dan di lain pihak adalah hukum adat dari masing-masing kelompok etnis yang diakui keberadaannya oleh negara.
Eksistensi dan penerapan hukum yang berbeda-beda dalam kenyataan hidup bermasyarakat menimbulkan pandangan yang berbeda mengenai hukum mana yang menjadi pilihan utama untuk diterapkan. Salah satu aliran pendapat menyatakan bahwa bagaimanapun juga, dalam situasi pluralisme hukum, pada akhirnya yang menentukan adalah hukum dari negara. Pendapat yang dikenal dengan sebutan legal centralism ini ditentang oleh Griffiths (1986:4) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya hukum negara itu tidak sepenuhnya berlaku. Dalam masyarakat dapat dikenai lebih dari satu tatanan hukum. Di Indonesia kritik dari Griffiths ini didukung oleh kenyataan bahwa terdapat kasus-kasus dimana hukum nasional belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Alfian (1981:148), misalnya, menunjukkan peranan yang kurang berarti dari hukum nasional dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat Aceh. Tingkah laku mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma atau nilai-nilai agama dan adat daripada peraturan-peraturan hukum yang seyogyanya harus berlaku. Pada sisi lainnya, terutama dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa, terdapat juga situasi dimana lembaga hukum formal untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tidak mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan yang jauh terpencil. Contoh dari situasi seperti ini dijumpai pada orang Tabbeyan, sebuah desa di Kabupaten Jayapura (Irian Jaya), dimana terjadi konflik baik antar warga masyarakat itu sendiri maupun antara warga desa itu dengan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang konsesi hutan di daerah tersebut, namun tidak mudah memperoleh akses untuk menggunakan lembaga peradilan formal untuk menyelesaikannya (Tjitradjaja, 1993).
Keberadaan yang sesungguhnya dari sistem-sistem hukum dalam situasi pluralisme hukum dapat dilihat dalam pola pilihan yang dibuat terhadap sistem-sistem hukum tersebut dan hagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu secara efektif dapat dipakai untuk menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama dalam penyelesaian sengketa yang timbul (Hooker, 1975). Secara teoritis semua sistem hukum mendapat peluang yang sama untuk dipilih sebagai sistem yang diandalkan dalam menghadapi setiap peristiwa hukum. Namun demikian pada kenyataannya pilihan-pilihan hukum mana yang dipakai bergantung pada strategi pembangunan hukum negara yang bersangkutan dan situasi-situasi nyata yang mengarahkan pilihan atas suatu sistem hukum. Dalam kaitan inilah proses penyelesaian sengketa pada suatu situasi pluralisme hukum dapat dipakai sehagai suatu pendekatan dalam menganalisa keberadaan dan keefektifan dari sistem hukum yang ada dalam memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga masyarakat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sigma conferences, 2002
346.04 SEM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Huala, Adolf
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
341.52 ADO h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sholih Mu`adi
Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010
346.04 SHO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Reffi Saptilya Wijaya
"[Tesis ini membahas mengenai “Analisa Hukum Perjanjian Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa Jual Beli Obyek Hak Atas Tanah“. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode yuridis normatif yaitu dengan melihat bagaimana bentuk perjanjian perdamaian pada penyelesaian sengketa perdata dalam sistem peradilan di Indonesia. Perdamaian sebagai salah satu bentuk perjanjian, Pasal 1851
KUHPerdata mengatur definisi perdamaian “suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara“. Dimasukannya prosedur perdamaian ke dalam sistem peradilan
didasarkan pada Pasal 130 HIR/154 Rbg dimana dijelaskan hakim wajib
menganjurkan para pihak yang berperkara untuk menempuh prosedur perdamaian terlebih dahulu. Perjanjian perdamaian sah jika dibuat secara tertulis. Perjanjian perdamaian yang ditetapkan dalam suatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Dalam perjanjian formil kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat
sesuatu atau tidak melakukan dan tidak berbuat sesuatu. Apabila salah satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh prosedur eksekusi;This thesis discusses “Legal Analysis on Peace Agreement for Dispute Resolution of Land Right Object Sale and Purchase“. This is a descriptive study that uses juridical normative method, which sees what form does the Peace Agreement for civil dispute settlement in Indonesia’s justice system take. Peace as a form of agreement, on act 1851 of Civil Code, mentioned that the definition of peace agreement is “an agreement, with which both party, by giving, pledging or holding an object, ending a dispute that haven’t been solved or even prevent a dispute“. The inclusion of peace procedure in justice system is based on act 130 of HIR/154 Rbg whereas elaborated that a judge is required to advise the disputing parties to go through peace procedure first. Peace Agreement is valid if made in writing. Peace Agreement which set in a specific formal way is called a formal
agreement. In a formal treaty or oral agreement solely between the parties have yet bore any liability on the pledging party, be it to give, do, commit or not to do something. If one of the parties is negligent, the other party, which is aggrieved, said party can take execution procedures., This thesis discusses “Legal Analysis on Peace Agreement for Dispute Resolution
of Land Right Object Sale and Purchase“. This is a descriptive study that uses
juridical normative method, which sees what form does the Peace Agreement for
civil dispute settlement in Indonesia’s justice system take. Peace as a form of
agreement, on act 1851 of Civil Code, mentioned that the definition of peace
agreement is “an agreement, with which both party, by giving, pledging or
holding an object, ending a dispute that haven’t been solved or even prevent a
dispute“. The inclusion of peace procedure in justice system is based on act 130 of
HIR/154 Rbg whereas elaborated that a judge is required to advise the disputing
parties to go through peace procedure first. Peace Agreement is valid if made in
writing. Peace Agreement which set in a specific formal way is called a formal
agreement. In a formal treaty or oral agreement solely between the parties have
yet bore any liability on the pledging party, be it to give, do, commit or not to do
something. If one of the parties is negligent, the other party, which is aggrieved,
said party can take execution procedures.]"
Universitas Indonesia, 2015
T44160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Oka Cahyadi Wiguna
"Abstrak
Perkembangan yang terjadi saat ini, banyak terjadi sengketa-sengketa pertanahan yang bersifat vertikal maupun horizontal. Permasalahan mengenai pertanahan yang terjadi sering disebabkan akibat salim klaim penguasaan hak atas tanah. Sengketa tanah yang dimaksudkan adalah sengketa perdata tentang tanah. Mewujudkan win-win solution dalam penyelesaian sengketa perdata tentang tanah relatif sulit dapat terwujud, apabila penyelesaiannya diselesaikan melalui sidang peradilan (litigation). Pilihan hukum (choice of law) yang dapat dipilih untuk memperoleh dan mewujudkan win-win solution dalam menyelesaikan sengketa perdata tentang tanah tentunya adalah melalui alternative dispute resolution. dengan cara negosiasi, mediasi dan konsiliasi. Dalam rangka penyelesaian sengketa perdata tentang tanah diselesaikan melalui alternative dispute resolution, maka penyelesaiannya tidak dapat mengabaikan asas-asas hukum yang berlaku mengenai perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda dan asas personalitas"
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018
340 JHP 48:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>