Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14501 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudijono Sastroatmodjo
Semarang: IKIP Semarang, 1995
320 SUD p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Abrori
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada peran jawara di Banten sebagai elemen sosial yang nampak mempunyai pengaruh kuat di Banten dan seringkali mengambil sikap yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai Banten dan Jawara, seperti Kartodirdjo (1984), Hamid (1987), dan Tihami (1992) memperlihatkan bahwa jawara memang sudah lama menjadi elemen sosial yang berpengaruh karena tidak sedikit diantara mereka yang menjadi pemimpin masyarakat untuk bidang ekonomi, bidang politik (birokrasi) atau bidang agama. Sebagai pemimpin masyarakat atau elit sosial, jawara juga mendapat dukungan anak buah jawara yang hampir tersebar di seluruh wilayah Banten.
Keberadaannya sebagai elit sosial yang berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, memperlihatkan bahwa jawara adalah orang-orang yang ikut serta berpartisipasi politik. Dalam hal ini, akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di Banten. Kemudian dipilihlah sebuah organisasi jawara yang bemama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang sekretariat pusatnya terdapat di Serang. Dipilihnya organisasi tersebut mengingat para jawara yang akan dijadikan informan sesuai dengan konsep yang telah dibuat, tidak menetap pada suatu desa tertentu tetapi menyebar di beberapa desa atau kecamatan. Selain itu, Serang merupakan lbukota Propinsi Banten dimana suhu politik cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain.
Pada kasus jawara, perilaku politik mereka difokuskan pada budaya politik (pengetahuan, keyakinan dan sistem nilai yang mereka anut) dan kepemimpinan jawara. Untuk meneliti budaya politiknya, digunakan teori yang dibuat oleh Almond dan Verba. Untuk meneliti tentang kepemimpinannya, digunakan penjelasan kekuasaan oleh Weber, Parsons, Lasswell dan Mills.
Dari hasil kajian beradasarkan data yang diperoleh, pola perilaku politik jawara termasuk kepada pola perilaku pragmatic. Perilaku inilah yang mendorong para jawara untuk cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah.
Perilaku ini berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa pemimpin (termasuk pemimpin pemerintahan eksekutif dan legislatif) itu harus dihormati. Mereka yakin pemimpin tersebut sah secara hukum karena terpilih melalui pemilihan umum. Cara ini dipercaya oleh mereka sebagai bentuk demokrasi.
Namun, alih-alih berjuang untuk negara dengan doktrin "bela diri bela bangsa bela negara", perilaku politik mereka tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Ini terlihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jihad untuk mengejar kepentingan materi'. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenarnya adalah kepentingan ekonomi.
Untuk kepentingan ekonomi itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal. Karena sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional.
Pengejaran nilai eknomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural.
Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pala hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara.
Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut elit-elit tersebut sebagai amitma.
Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis.
Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dan mitra-mitranya juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial dimana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya control (pengawasan) terhadap lembaga-lembaga bersebrangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki.
Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah terjadinya decivilasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burhanuddin
"Penulis tertarik meneliti judul ini oleh karena: Pertama, perolehan suara PDIP pemilu 1999 di Kota Depok sangat mencolok, tetapi pemilu legislatif 2004 menurun drastis; Kedua, penelitian mengenai perubahan perilaku pemilih PDIP belum ada yang melakukannya. Menjelang pemilu 1999 mayoritas kalangan pemilih cenderung ke-PDIP, sebaliknya menjelang pemilu legislatif 2004 kecenderungan pemilih sangat kuat untuk keluar dari PDIP. Permasalahan penelitian adalah Mengapa terjadi perubahan perilaku pemilih PDIP dalam pemilu legislatif 2004 di Kota Depok?
Penarikan angket ditujukan pada pemilih PDIP yang merubah pilihan dalam pemilu legislatif 2004 dengan Cara snowbolling, sedang wawancara ditujukan pada tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda yang dianggap mengetahui banyak tentang permasalahan. Penarikan angket dan wawancara tersebut dilakukan di dua kecamatan, yaitu kecamatan Pancoran Mas dan kecamatan Sawangan sebagai sampel yang mewakili pemilih di perkotaan dan di pedalaman. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Definisi kharisma dari Weber digunakan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi pemilih PDIP pemilu 1999. Sedangkan pandangan Huntington mengenai titik balik demokrasi gelombang satu dan dua digunakan untuk menganalisis pemilih PDIP yang merubah pilihan dalam pemilu legislatif 2004.
Perubahan pilihan yang ditemukan peneliti terutama tertuju ke-PKS, disusul ke-Partai Golkar dan ke-Partai Demokrat. Terhadap pemilih yang beragama Islam secara umum merubah pilihan ke-PKS dan ke-Partai Golkar. Sedangkan pemilih yang beragama Protestan dan Katolik secara umum merubah pilihan ke-Partai Demokrat dan ke-PDS. Dilihat dari aspek etnis dan jenis kelamin secara umum pemilih merubah pilihan ke-PKS dan ke-Partai Golkar. Penulis berkesimpulan bahwa faktor Megawati Soekarnoputri merupakan faktor yang dominan mempengaruhi pemilih PDIP dalam pemilu 1999. Namun faktor dominan dimaksud tidak lagi ber-pengaruh dalam pemilu legislatif 2004 oleh karena kegagalan Megawati memperbaiki kondisi perekonomian, serta kekecewaan pemilih terhadap PDIP."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Political ethics ought to be become thevalue of standard and size measure in political behavior to Indonesia society through the political socialization."
361 DINA 6:2 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Komalasari
"ABSTRAK
The representation of womens interest through women Members of Parliament (MPs) is achieved if there is a connection between constituents and parliamentarians. In order to be able to establish cooperation, it requires a deep understanding of their behavior. This study reveals the variety of relationships and political economic affiliations that surround women MPs. The relationship has been built since the nomination period to become a member of parliament, which in turn raises various interests and pressures that women parliamentarians must respond to. By understanding the various interests and pressures faced by women MPs, civil society can design action plans that trigger positive responses so as to minimize the potential risks."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2019
305 JP 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Jatnika
"Pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu negara dengan memberikan suara secara langsung dalam bilik suara. Dari seluruh warga negara yang memiliki hak pilih, terdapat warga negara yang pertama kali ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu pemilih pemula (17-21 tahun). Mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya. Namun, ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik. Mereka tetap melaksanakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara.
Pertanyaan penelitian (research question) yaitu faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilih pemula di DKI Jakarta dalam menentukan pilihan politiknya kepada satu partai politik tertentu dalam suatu sistem multipartai pada Pemilu 2004? Studi ini menggunakan uraian teori partisipasi, budaya politik dan perilaku pemilih. Kemudian menentukan variabel berdasarkan teori tersebut yaitu afiliasi politik orang tua, identifikasi kepartaian, figur, agama, dan isu-isu politik.
Lokasi penelitian tersebar di kelima wilayah kota DKI Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara dengan digunakan cluster dan simple random sampling. Pengumpulan data di lapangan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Responden ditentukan secara purposive. Responden yang diperoleh sebanyak 198 dari 200 responden. Studi ini mengungkapkan secara umum pendapat responden terhadap afiliasi politik orang tua menyatakan mempunyai pengaruh yang semakin kuat apabila orang tua aktif dalam partai politik, terutama sebagai pengurus partai. Begitu juga terhadap figur tokoh dan identifikasi politik menurut mereka mempunyai mempunyai pengaruh yang kuat, sedangkan variabel agama dan isu-isu politik/program partai tidak begitu besar pengaruhnya dalam menentukan pilihan politiknya.
Berdasarkan pilihan politiknya, terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam memilih partai politik. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut (1) Pemilih Partai Golkar menyatakan bahwa orang tua mempunyai pengaruh kuat dalam menentukan pilihan politik responden; (2) Pemilih PDIP memiliki hubungan emosional kuat dengan partai nasionalis yang menjadi identifikasi partai mereka. Pilihan politik mereka juga dipengaruhi oleh orang tua dan figur tokoh idola yang menjadi calon presiden; (3) Pemilih PPP dipengaruhi oleh orang tua dan agama yang dianut responden sehingga membentuk identifikasi politik; (4) Pemilih Partai Demokrat, ternyata perilaku politiknya hanya dipengaruhi secara kuat oleh citra figur tokoh idola yang menjadi calon presiden dari partainya; (5) Pemilih PAN dipengaruhi oleh orang tua dan figur tokoh idola yang menjadi calon presiden; (6) Pemilih PKS dipengaruhi oleh faktor agama yang membentuk identifikasi partai berasas Islam, dan diperkuat dengan pemahaman berdasarkan program dan komitmen/janji partai; (7) Pemilih PDS mendapat pengaruh kuat dari orang tua dan agama yang dianut.

General election is one form of political participation as a realization of democracy. During the election, people become the most determining party on political process in a country that voted directly inside the polling booths. From overall voters with voting rights there were voters who cast their votes for the first time in general election, those are young voters (17-21 years of age) or often called beginner voters. They do not have voting experience of previous elections. However, without voting experience does not mean lack opportunity to channel their political aspiration. They still fulfill their voting rights at the voting polls (TPS).
The research question is what factor(s) influencing beginner voters in DKI Jakarta in making their political decision on particular political party in a multiparty system on 2004 General Election? This study used the analysis of participation theory, political culture and voter behavior. Next, determining the variables based on those theories namely parents' political affiliation, party's identification, figure, religion, and political issues.
The research location spread over five regions of DKI Jakarta that is West Jakarta, Central Jakarta, South Jakarta, East Jakarta and North Jakarta with cluster and simple random sampling. Field data collections were using questionnaires. Respondents were chosen purposively. There were 198 counted respondents out of 200 respondents.
The study generally shows that the parents' political affiliation variable has a stronger influence especially when the parents are active in political parties as party's official members. Figure symbol and political identification variables also have a significant influences, while religion and political issues/party's program variables do not have a significant influence toward beginner voter's behavior in deciding their political choice. Although for certain party voters, religion factors have a strong influence.
Based on political choice, there were distinguish factors influencing beginner voters' behavior. This matter can be seen as follows (I) Golkar Party voters expressed that parents have strong influence on changing respondents political choice; (2) PDIP voters had strong emotional relations with nationalist party which became their party's identification. Their political choice was also influenced by parents and model figure who became a candidate for president; (3) PPP voters were influenced by parents and respondents' religions for their political identification; (4) Democrat Party voters, it turns out that their political behavior only influenced by a strong image figure of idol of their candidate for president; (5) PAN voters were influenced by parents and model of president figure of their party; (6) PKS voters were influenced by religion factor which identified this Islamic party, and strengthened by an understanding of program and commitment/promises of he party; (7) PDS voters got strong influence from parents and their religions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Japar
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dampak sistem kepartaian terhadap perilaku politik masyarakat desa Sistem kepartaian dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu floating mass, asas tunggal, dan sistem multipartai terbatas. Sedangkan perilaku politik dibagi menjadi 3 (tiga) juga yaitu mendukung, menentang dan apatis terhadap sistem kepartaian.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan angket. Wawancara dilakukan terhadap 9 orang informan dan angket diberikan kepada 95 responden yang diambil secara acak dari 4 orang di Desa Jalaksana. Kedua metode ini digunakan untuk saling menguatkan, kemudian dianalisis dengan teori-teori yang relevan.
Dampak floating mass terhadap perilaku politik adalah semakin terbentuk perilaku politik yang menentang terhadap kebijakan tersebut, artinya masyarakat desa memiliki kecenderungan yang signifikan untuk menentang pelaksanaan floating mass. Perilaku politik menentang tersebut merupakan reaksi dari keinginan masyarakat desa untuk Mud. dangan partai, agar partai dapat melaksanakan fungsinya yang penting yaitu pendidikan politik, menampung aspirasi mereka dan menjadi - juru bicara" terhadap pemasalahan yang mereka hadapi. Dengan begitu pula maka partai dapat menyiapkan kader-kader yang cakap di tingkat paling bawah yang merupakan basis tradisional partai. Implikasi dari perilaku politik itu adalah masyarakat desa meninginkan kebijakkan ini agar dapat segera dicabut.
Dampak Panetapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi partai adalah semakin terbentuk perilaku politik yang meindnkung terhadap asas tunggal, artinya masyarakat desa mendukung sepenuhnya terhadap asas tunggal. Dukungan ini lebih disebabkan trauma masa lalu yang marak dengan konflik antarpartai yang disebabkan oleh perbedaan ideologi. Selain itu masyarakat desa lebih menginginkan kehidupan yang harmonis tanpa adanya konflik, yang dapat mengakibatkan ketegangan hidup bertetangga. Implikasi dari dukungan itu masyarakat desa lebih menyetujui tema-tema karnpanye yang berorientasi program tidak bersifat ideologis. Sikap ini disebabkan pengalaman kampanye selama ini sering terjadi keberingasan massa yang banyak rnenelan korban yang tidak perlu.
Dampak dari pelaksanaan sistem multipartai terbatas adalah semakin terbentuknya perilaku politik yang menentang terhadap sistem multipartai terbatas, artinya masyarakat desa mempunyai kecenderungan yang signifikan untuk menolak berlakunya sistem tersebut. Perilaku ini tarbentuk karena partai politik yang ada selama Orde Baru dianggap tidak mampu menampung aspirasi masyarakat dan sudah terjadi kejenuhan terhadap partai, itu dibuktikan dengan pendirian partai baru.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdin Abdul Rachman
"ABSTRAK
Politik pada dasarnya merupakan fenomena yang berkaitan erat dengan manusia, di mana manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan dalam dirinya mempunyai potensi untuk berubah dan berkembang. Perubahan perilaku politik elite agama ternyata tidak spontan, tetapi melalui proses yang memakan waktu panjang. Meskipun banyak variabel yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku politik, namun dalam penelitian ini hanya dipilih beberapa variabel yang dominan yang diperkirakan paling berpengaruh yaitu pembangunan ekonomi, sosialisasi politik dan birokrasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses terjadinya perubahan tingkah laku politik elite agama di Kabupaten Pidie dan faktor-faktor apa yang paling dominan dalam proses perubahan tingkah laku politik itu. Pola tingkah laku politik berkaitan erat dengan nilai-nilai umum yang dianut masyarakat Pidie yang amat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Tetapi nilai-nilai umum tersebut tampaknya telah mengalami perubahan yang kemudian membawa pengaruh terhadap perilaku politik elite tersebut.
Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang diajukan untuk melihat perilaku politik elite agama. Pertama, semakin meningkat keberhasilan pembangunan ekonomi akan menyebabkan semakin cepat proses perubahan perilaku politik elite agama. Kedua, semakin intensif pelaksanaan sosialisasi politik di kalangan elite agama, maka semakin cepat pula proses perubahan perilaku politik. Ketiga, semakin berperan birokrasi, maka proses perubahan perilaku politik akan semakin cepat terjadi.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pidie Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pemilihan Kabupaten Pidie berdasarkan pertimbangan bahwa kabupaten ini secara historis merupakan daerah di mana selalu terjadi konflik politik yang berdimensi sosial, ekonomi dan politik seperti revolusi sosial di tahun 1946, pemberontakan Darul Islam (DI) di tahun 1953 dan juga menjadi pusat pemberontakan separatis Aceh Merdeka pada tahun 1976 sampai sekarang. Di samping itu kabupaten ini merupakan basis kuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di mana Golkar baru berhasil meraih kemenangan dalam pemilu 1992.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi mempunyai korelasi dengan perubahan perilaku politik elite agama yaitu meninggalkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk mendukung Golongan Karya (Golkar).
Di samping itu, sosialisasi politik juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku politik elite agama. Penerimaan Ideologi Pancasila dan ditinggalkannya ideologi Islam oleh elite agama menunjukkan terjadinya perubahan orientasi politik elite agama yang selanjutnya mendorong terjadinya perubahan perilaku politik elite tersebut dalam bentuk mendukung Golongan Karya.
Selanjutnya hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa birokrasi berperan terhadap perubahan perilaku politik elite agama di Kabupaten Pidie. Tampaknya elite agama telah kehilangan peranan dominannya dalam bidang politik, dan telah menjadi sasaran dari berbagai kepentingan politik khususnya kepentingan politik pemerintah.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mansyur Semma
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
364.132 3 MAN n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Politic is not a simple word. Aristotle identifies it with human togetherness. In line with this identification, Hannah Arendt suggests that politics is not a kind of dominating actions, but the way in which the human beings promote freedom of actions in the public sectur. The essence of politics, then is communication. In this line of thought, power can be understood as one' ability to act/behave with and within others / in togetherness with others on base of a given mandate."
300 RJES 14:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>