"Tesis ini memuat penelitian lentang kemarnpuan perempuan dewasa muda memberikan pemaafan. Pemaafan yang diharapkan dapat diberikan adalah pemaafan total. Konsep pemaafan yang menjadi dasar penelitian ini disusun oleh Baumeister, Exline, dan Sommer (dalam Worthington, 1998).
Pemaafan didefinisikan sebagai proses coping individu yang dapat menerima dan mengatasi emosi negatif (seperti rasa marah, benci, sakit hati), dan menggantinya dengan kinginan yang kuat untuk mencari sesuatu yang bermakna, seperti misalnya, kedamaian.
Enright(1993) mendefinisikan pcniaafan interpersonal sebagai suatu kehendak yang kuat untuk melepaskan penilaian yang negatif terhadap pelaku kejahatan yang telah melukai korban, dan menggantinya dengan keinginan untuk berbelas-kasih terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Sementara menurnt Worlington pcmaafan terbagi dalam dua dimensi. Pertama, dimensi inzefpersonal, yang ditandai dengan kemarnpuan individu bertemu kembali dengan orang yang melukainya, dan menerimanya sebagaimana saat sebelum peristiwa yang menyakitkan (transgression) teijadi. Kedua, dimensi intrapsikis yang ditandai dengan hilangnya emosi negatif dari dalam diri individu yang menjadi korban.
Menurut Pargament (1997) pemaafan yang demikian terjadi karena korban melakukan religious coping. Agama yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai yang baik, mampu menjadikan individu menahan diri dari membalas dan berbuat kjahatan. Seberapa besar peran falctor agama dalam pengambilan keputusan individu untuk memberi pemaafan, inilah yang ditelaah dalam penelitian ini.
Penelitian ini menjadikan perempuan dewasa muda yang menjadi korban child abused sebagai informan. Hal tersebut sesuai dengan maksud pendekatan kualitatif yang menjadikan pengalaman subyektif individu sebagai fenomenon yang menarik unmk diteliti. Dari tiga orang perempuan dewasa muda yang masing-masing mengalami kekerasan selama kurang lebih 5 tahun, digali seberapa jauh mereka sudah memaaikan pelaku kekerasan dan
pengalaman masa lalu mereka.
Sebagai hasil penelitian didapati ternyata tidak seorang pun dapat memaafkan secara total. Mereka hanya dapat memaafkan dalam batas tertentu yaitu secara interpersonal saja, ataupun hanya secara intrapsikis saja, bahkan ada juga yang tidak bisa memberi pemaafan.
Ketidakmampuan perempuan dewasa muda memaafkan secata total para pelaku kekerasan tentunya disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut adalah proses coping yang belum selesai, dan tidak didapatinya pemaafan intrapsikis. Korban masih dibelenggu oleh rasa marah, benci, dendam, dan berbagai emosi negatif
lainnya.
Selanjutnya, ditemukan pula bahwa agama sebagai fasilitator sosial pun bersifat ambivalen. Artinya, individu yang menaruh kepercayaannya pada agama dapat terdorong untuk memberi pemaafan, tetapi juga sebaliknya tidak memberi pemaafan. Sebagai contoh, pada korban kekerasan seksual yang merasa dirinya ‘kotor’, dan tidak layak dimaafkan, kepercayaannya pada agama mendorong korban untuk tidak memaafkan pelaku, sama seperti korban pun tidak dapat memaafkan dirinya sendiri."