Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tokyo: Friedrich Ebert Stiftung, 1973
614.852 BIE o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Park, Chris
New York: Routledge, 1997
R 333.7 PAR e
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Cassava (Manihot esculena) is planted in dry area with different environmental conditions, therefore the yield is varied. The aim of the study was to analyze the genotype x environment interaction for starch yield in 9-month old cassava promising clones..."
630 IJAS 10:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Winarsih
"Skripsi ini meneliti tentang bentuk keterikatan tempat sebagai hasil dari hubungan antara stategi hidup masyarakat bantaran dengan Program Normalisasi dan Sodetan yang akan dilaksanakan di Bantaran Ci Liwung Jakarta dengan membagi daerah penelitian menjadi 3 kelas, yaitu rentan, sedang dan tidak rentan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif korelatif dan analisis life history.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, semakin rentan satu daerah, semakin tinggi hubungan keterikatan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Bentuk keterikatan yang ditemukan di daerah rentan yaitu emotional, daerah sedang adalah emotional dan daerah tidak rentan adalah behavioural dan cognitive.

This study examines the type of place attachment in the Ci Liwung riverbank population as a result of relationship between the people's living strategy with river normalization and diversion program in Jakarta's segment of Ci Liwung riverbank. The study area is divided into three classes, namely vulnerable, moderately vulnerable, and invulnerable. This is a qualitative study with descriptive correlative analysis and life-history analysis.
The results show that generally, the more vulnerable the area, the higher the attachment to the neighbourhood will be. Type of attachment found in vulnerable areas is emotional, and in moderately vulnerable and invulnerable areas is either behavioural or cognitive.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washington, DC: World Bank, 1991
304.2 WOR w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ine Minara S. Ruky
"Latar Belakang Permasalahan
Beberapa waktu terakhir ini industrialisasi di Indonesia, telah berkembang menjadi suatu permasalahan yang ramai dibicarakan. Gejala permasalahannya mulai timbul kira-kira pada tahun 1979 ketika perkembangan ekonomi internasional menunjukan indikasi yang kurang menggembirakan, serta usaha negara-negara maju untuk menekan laju pertumbuhan konsumsi energi dan meningkatkan effisiensi pemakaian energi, memberikan hasil yang nyata, sehingga mengakibatkan prospek pasar migas kita tidak secerah dimasa lalu.
Situasi di atas mempunyai dampak yang luas terhadap perekonomian Indonesia. Hampir 5 tahun sejak tahun 1982, tahun mana merupakan awal dari kesulitan ekonomi Indonesia, masih memperlihatkan gambaran yang kurang menggembirakan. Sampai dengan tahun 1985, perekonomian Indonesia masih memperlihatkan ketidakseimbangan. Ketergantungan kepada sektor primer ditunjukan dengan kenyataan bahwa 40 persen dari GDP masih berasal dari sektor ini, dan proses industrialisasi, baru mengantarkan sektor industri pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 15,8 persen. Dengan demikian strategi perencanaan dengan maksud merubah struktur perekonomian, belum merubah peranan sektor sekunder sebagaimana yang diharapkan.
Ketimpangan yang lain, dapat kita amati dalam komposisi ekspor. Dari kontribusi sebesar 22.6 persen dalam GDP, sumbangan sektor pertanian terhadap total ekspor hanya sebesar 7,9 persen saja, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang dalam GDP memberikan kontribusi sebesar. 18,2 persen menyumbang 69,47 persen.
Kecilnya peranan sektor pertanian dalam ekspor, dapat dimengerti mengingat tidak elastisnya penawaran dan permintaan akan produk sektor tersebut. Lonjakan ekspor kalaupun ada, seringkali bukan disebabkan oleh kenaikan permintaan karena perubahan tingkat pendapatan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh karena faktor-faktor lain yang kebanyakan kurang dapat diduga sebelumnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tung, Jiway Francis
"Tesis ini adalah sebuah studi kasus advokasi lingkungan, yang menyoroti ketertibatan LSM lokal maupun nasional dalam usahanya untuk membela, petani sawah dan tambak di Dukuh Tapak, Semarang Barat, Jawa Tengah, dari dampak negatif dari proses industrialisasi. Limbah industri yang mentah, dibuang ke kali Tapak, dari sebuah pabrik baru dibangun dengan modal Jepang dan merembet ke sawah melalui saluran irigasi, ke tambak tambak, serta sumur warga Tapak. Korupsi birokrasi pemerintah yang kerapkali ditemukan, sikap acuh tak acuh dari para industriawan, serta intimidasi dan tekanan yang dilakukan oleh polisi maupun aparat militer, bukan merupakan suatu temuan yang mengejutkan, melainkan dapat diduga sebagai gejala dan proses pembangunan yang sudah berjalan di Indonesia sejak awal 1970an. Temuan yang mengejutkan adalah cara LSM nasional menjalankan agenda mereka, terkadang di atas kebewatan warga Tapak, yang pada akhirnya justru merugikan warga Tapak.
Kasus Tapak metibatkan suatu koalisi longgar dari LSM nasional maupun lokal. Pada awalnya, LSM lokal dan warga Tapak menempuh pelbagai cara, termasuk meminta bantuan dari birokrasi pemerintah yang sama sekali tidak mengindahkan nasib mereka, dan berusaha membuat perusahaan pabrik mengendalikan dan mengolah limbahnya. Setelah usaha-usaha tersebut tidak berhasil, mereka berusaha mengendalikan limbahnya sendiri dengan penanaman encek gondok serta pohon bakau untuk meringankan efek pencemaran serta erosi, dan juga membelokkan saluran kali Tapak supaya tidak melewati sawah dan tambak tambak mereka. Usaha-usaha tersebut tidak berhasil dan pemerintah mengizinkan pabrik baru dibangun serta memasukkan Tapak dalam kawasan industri di mana industri diperbotehkan mencemari lingkungan. Seiring dengan situasi warga Tapak yang semakin hari semakin buruk, taktik yang mereka tempuh mencerminkan keputusasaan mereka. Bekerjasama dengan Walhi, LSM lingkungan di Indonesia yang ternama, mereka mencegat Menteri Perindustrian ketika dia memberi ceramah di Universitas Kristen Satyawancana di Salatiga, Jawa Tengah, untuk menuntut pertanggungjawaban serta tindakan korektif urrtuk mengatasi masalah pencemaran.
Setetah aksi tersebut, para demonstran Tapak melarikan diri untuk menghindari kejaran aparat Pada waktu yang sama, warga Tapak memutuskan untuk minta bantuan dari YLBHI, serta LBH Semarang untuk menggugat perusahaan yang bertanggungjawab atas pencemaran di Tapak. Pada waktu itu, aparat berusaha mengakhiri kasus Tapak dengan tindakan represif dan intimidasi. Pertemuan warga dirazia, tokoh warga diancam, dan mata-mata digunakan untuk menciptakan suasana mencekam serta tidak menentu.
Keterlibatan dua LSM ternama yang berorientasi advokasi membawa akibat-akibat yang tidak sengaja. Sampai titik ini, LSM lokal di Semarang bekerjasama secara akrab dengan warga Tapak untuk memutuskan jalan baiknya. LSM lokal menganggap perannya sebagai pendamping warga serta untuk membantu melaksanakan keputusan yang diambil warga Tapak, Walhi serta YLBHI, dengan jaringan nasional dan internasional yang luas, mempunyai sumber daya serta opsi yang beranekaragam. Mereka cenderung membuat agenda sendiri, yang meninggalkan LSM serta warga Tapak untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil dalam rapat LSM atau sebagai penonton dalam sebuah drama yang lebih besar antara pemerintah dan LSM nasional tersebut.
LSM-LSM nasional menyelenggarakan boikot konsumer yang pertama di Indonesia yang ditujukan pads perusahaan yang mencemari kali Tapak. Boikot tersebut bersama dengan keterlibatan Mental KLH Emil Salim, memaksa perusahaan pencemar untuk menyetujui mediasi. Persetujuan yang dihasilkan mewajibkan pengusaha membayar ganti rugi dan merehabilitasi lingkungan kali Tapak. Persetujuan tersebut dianggap sebagai kasus pertama di mana mediasi lingkungan diselenggarakan dengan berhasil. LSM-LSM nasional menerbit buku dan memberi ceramah di mancanegara mengenai keberhasilan kasus tersebut. LSM baru bernama, ICEL, the Indonesian Center for Environmental Law, didirikan oleh salah satu staf dari YLBHI yang paling menjagokan mediasi sebagai solusi tepat bagi kasus Tapak. ICEL didirikan dengan bantuan dari USAID untuk mengembangkan mediasai serta solusi lain berdasarkan jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa lingkungan.
Persetujuan yang dihasilkan proses mediasi, tidak pemah dilaksanakan dan usaha untuk pengawasan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Warga Tapak menerttma ganti rugi akan tetapi jumlahnya tidak memadai untuk menggantikan 14 tahun pencemaran yang dideritakan mereka. Pemulihan kali Tapak tidak pernah terjadi dan pencemaran mulai lagi, dengan matinya ikan, udang serta rusaknya sawah-sawah. Warga Tapak ingin melanjutkan guggatannya terhadap perusahaan pencemar lagi, akan tetapi YLBHI melarang LBHS untuk melanjutkan kasusnya lagi. Larangan tersebut terjadi ketika YLBHI tengah bernegosiasi dengan pemerintah di daerah lain mengenai kasus lain dengan menggunakan metode mediasi lingkungan juga. Menurut YLBHI, warga Tapak terikat oleh persetujuan mediasi untuk tidak menggugat lagi.
Tanpa kemungkinan untuk melanjutkan kasusnya, terlupakan oleh LSM nasional dan masih diintimidasi oleh aparat, warga Tapak tidak ada pilihan lain kecuali menjual sawahnya dan tambaknya pada pemda setempat dengan harga murah, yang dijual kembali pada industriawan untuk membangun pabnk pabrik baru.
Di suatu negara di mana selama Orde Baru, penegakan hukum tidak ada dan keputusan pengadilan dibuat berdasarkan jumlah suap atau kedekatan koneksi pada istana, tidak masuk akal bahwa LSM nasional bisa bersikap baik dan percaya bahwa mediasi lingkungan tanpa sanksi yang jelas dapat menyelesaikan kasus Tapak dengan baik kecuali dengan mempertimbangkan faktor kepentingan sendiri. Mengapa warga Tapak dikorbankan demi kepentingan kasus mediasi lingkungan yang lain, jika kasus Tapak menunjukkan kelemahan serius bahkan fatal dan model mediasi? Mengapa akiivis LSM berusaha mempromosikan model penyelesaian sengketa yang tidak praktis dan tidak pintas pada donor intemasional? Jawabannya secara pasti melebihi jangkauan penelitian ini, akan tetapi, saya berpendapat bahwa jawabannya terletak pada hubungan antara organisasi internasional Berta donor dengan LSM di dunia ketiga. Hubungan tersebut melibatkan lebih dari penyaluran dana dan ide melainkan penyaluran ideologi yang terjadi dalam konteks strukturalisasi ketergantungan dana di mana legitimasi diukur oleh donor daripada masyarakat akar rumput yang merupakan basis dukungan LSM yang sebenamya.

This thesis a case study of environmental advocacy, examining the involvement of local and national NGOs in defending rice and shrimp farmers in Tapak village, West Semarang, Central Java, from the effects of industrialization. Raw industrial waste, dumped into the Tapak river by a newly built Japanese owned factory, quickly found its way into rice-fields-through irrigation ditches, as well as into ponds for raising shrimp and village wells. The pervasive corruption of government bureaucrats, callous indifference of industrialists, and intimidation and coercion by police and military, that I have found in this case study were neither unusual nor unexpected, but rather symptomatic of the process of development which has been occurring in Indonesia since the early 1970s. What was unexpected was the way national NGOs involved in the case pursued their own agenda, even over the objection of the villagers involved and ultimately totheir detriment.
The Tapak case involved a loose coalition of local and national NGOs. In the beginning, local NGOs and villagers pursued a variety of tactics including working their way up a totally unresponsive bureaucracy and trying to make factory management control and treat their waste. When these efforts proved fruitless, they switched to physical efforts to control the waste themselves including the planting of encek gondok plants and mangrove trees to try and alleviate the effects of the pollution and erosion, and also diverted the main channel of the river to bypass rice fields and fishponds. These efforts also were not successful as the government continued to allow new factories to be built and also zoned Tapak village into an area designated as an "industrial area" where factories would be allowed to pollute the environment.
As the Tapak villagers' situation grew more desperate, so did the tactics they employed. Working together with Waihi, Indonesia's most prominent environmental NGO, they interrupted the Minister of Industry during a lecture he was giving at a university in Salatiga, Central Java, to demand government accountability and corrective action, afterwards fleeing the inevitable pursuit by police and military. At the same time, the Tapak villagers decided to enlist YLBH1, Indonesia's national legal aid institute and its local office, LBHS to sue the polluting companies. At this point, the military raised the level of intimidation and coercion to try to end the case. Village meetings were raided, local leaders were threatened and village spies and informants were used to create an atmosphere of fear and mistrust.
The involvement of two of Indonesia's most prominent advocacy oriented NGOs, YLBHI and WALHI, brought unintended consequences. Up to this point, local Semarang based NGOs worked very closely with the Tapak villagers to decide what course of action totake. The local NGOs saw their role as one of support and to help facilitate any decision the villagers made. Waihi and YLBHI, with a wide network of national and international contacts, had a much wider range of resources and possible solutions. They tended to formulate the agenda themselves, leaving local NGOs and villagers to implement what had been decided in NGO meetings or as mere bystanders in a larger drama between the government and the national NGOs.
The national NGOs organized Indonesia's first domestic consumer boycott aimed at products produced by factories polluting the Tapak river, which by this time numbered fourteen. This boycott combined with the subsequent involvement of the Minister of the Environment, Emil Salim, forced polluting companies into mediation. The resulting agreement specified monetary compensation and restoration of the Tapak river. It was hailed as a landmark agreement, the first case of environmental mediation_ The national NGOs published books and gave lectures abroad about this case as an example of successful environmental mediation. A new NGO, ICEL, the Indonesian Center for Environmental Law, was founded by a key staff member with YLBHI who had been the foremost proponent of mediation in the Tapak case. 1CEL was founded with substantial aid from USAID to promote mediation and other legal based solutions to environmental problems.
The agreement which came out of the mediation process was never implemented and attempts at enforcement were superficial at best. Villagers did get monetary remuneration but it was inadequate to compensate for the 14 years of pollution they had suffered. Restoration of the Tapak river never happened, and pollution soon started again, killing fish and shrimp and poisoning rice fields. Villagers wanted to resume the lawsuit againstthe polluting companies, but YLBHI, the national legal aid office, ordered their local office not to assist the villagers_ This order occurred in the context of YLBHI negotiating with the government on another case involving environmental mediation. YLBHI maintained that legally, the villagers were constrained by the mediation agreement not to try to sue the companies involved again.
Not having legal recourse, abandoned by national NGOs, and still subject to harassment and intimidation by the mifrtary, the Tapak villagers had no choice but to one by one, sell their rice fields and fishponds to the local government at low prices which in turn sold the land to industrialists to build more factories.
In a country where during the New Order, the rule of law was nonexistent and court cases were decided by the size of the bn'bes or strength of connections to the presidential palace, it is inexplicable that national NGOs could be so naive to believe that environmental mediation without specified sanctions could possibly bring a successful resolution to the Tapak case unless sett-interest is factored in. Why would the Tapak villagers be sacrificed in the interest of another ongoing case of environmental mediation if their experience had shown serious if not fatal flaws in the mediation model? Why would NGO activists try and promote an impractical and inappropriate model of conflict resolution to international donors?
The definitive answer to these questions is beyond the scope of my research but t suspect it lies in the relationship between international organizations and donors with NGOs in Third World countries. This relationship involves more than just the transfer of money and ideas but rather a transfer of ideology which occurs in the structuralizing context of monetary dependency where legitimization is measured by donors rather than the grassroots which comprise NGOs true constituency.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T9260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Acry Deo Datus
"Pembangunan industri akhir-akhir ini mempunyai dilema. Pertama, industri sebagai indikator ekonomi ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, sedangkan misi lain sebagai sarana politik ingin mewujudkan pemerataan dan keadilan dalam menikmati pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Pemerataan dan keadilan tersebut seringkali tidak tercapai dan karena itu menimbulkan konflik. Konflik dalam bentuk apa saja tidak diinginkan oleh pemerintahan manapun. Oleh karenanya setiap pemerintahan akan berusaha untuk melaksanakan pemerataan dan keadilan dengan sebaik-baiknya. Cara yang digunakan oleh pemerintahan negara-negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang berkembang akhirakhir ini ialah antara lain dengan upaya mengatasi kemiskinan, pengangguran, keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan. Kedua, industrialisasi akan berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan produksi. Kelemahan yang sering dipermasalahkan ialah eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang cenderung merusak kelestarian alam dan pencemaran lingkungan hidup.
Ada berbagai pandangan mengenai dilema pertama. Menurut Dorodjatun, ada dua pandangan terhadap suatu peristiwa ekonomi. Pandangan dari kelompok ekonomi murni dan non ekonomi, murni. Kelompok ekonomi murni berpendirian bahwa fakta ekonomi harus bisa diukur baik secara "cardinal" maupun secara "ordinal". Hal itu berarti suatu peristiwa ekonomi harus dapat diperhitungkan prospek dan hasil penjualan, pembelian, laba atau rugi. Tujuan terutama ialah memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya. Kelompok ini tidak akan mengaitkan proses ekonomi dengan masalah pemerataan kesejahteraan dan distribusi pendapatan maupun kekayaan. Sehingga nampak ciri khasnya dalam pengkajian selalu menggunakan metode kuantitatif, yang tidak dapat diganti dengan analisa politik atau sosiologi.
Sedangkan, Kelompok Kedua, menganggap bahwa cara pandang Kelompok Pertama hanya mampu melihat indikator-indikator dipermukaan (keuntungan ekonomi), tetapi tidak mampu menjangkau "arus bawah" yaitu kondisi sosial, politik, ekonomi masyarakat, yang lebih menceriterakan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menurut Kelompok Kedua, variabel maupun parameter ekonomi hanya merupakan tujuan sementara dari sejumlah aktor yang berada dibelakang variabel atau parameter dimaksud. Diduga bahwa aktor yang dimaksudkan Dorodjatun adalah para penentu kebijaksanaan (policy maker) dan pengambil keputusan (decision making), sehingga dengan demikian sangat bertalian erat dengan suatu sistem politik tertentu. Menurut Dorodjatun dalam karya tulisnya "Pendekatan Politik Ekonomi (Political-Economy)" berpendapat bahwa : Kegiatan ekonomi sebagaimana halnya kegiatan-kegiatan lainnya di masyarakat, tidak terlepas dari konteks politik yang ada di masyarakat yang bersangkutan, karena sistem politik bukan saja membentuk "power relationship" di suatu masyarakat, akan tetapi juga turut menentukan nilai serta norma yang berlaku yang dirasakan pengaruhnya bahkan di dalan kegiatan ekonomi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Soesilowati
"Seperti yang tercanangkan dalam PELITA demi PELITA, maka PELITA IV yang telah berakhir ini, telah ditentukan sebagai permulaan era industrialisasi ekonomi Indonesia. Diharapkan agar pertumbuhan industri lebih cepat dari sektor-sektor lainnya. Sejalan dengan pengembangan industri, akan membawa pula perubahan-perubahan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya entah positif maupun negatif. Daerah Cilegon, dengan semakin berkembangnya industri di sana, yang dimulai sejak tahun 1960-an, yaitu didirikannya pabrik baja Trikora yang kini menjadi PT Krakatau Steel, tentunya telah mengakibatkan perubahan-perubahan. Untuk melihat perubahan-perubahan apa yang terjadi, dilakukanlah penelitian ini.
1. Pembatasan konsep industrialisasi
Industrialisasi menurut Moore, berarti digunakannya sumber-sumber kekuatan nirnyawa (in-animate) secara meluas dalam produksi ekonomi, dan sering digunakan dalam pengertian yang sama dengan modernisasi ekonomi. Moore sendiri menggunakannya dalam pengertian yang lebih luas. Secara sederhana dikemukakan oleh Dharmawan bahwa industrialisasi pada suatu masyarakat berarti adanya pergantian teknik produksi dari cara yang masih tradisional ke cara modern, yang dalam segi ekonomi industrialisasi berarti munculnya kompleks industri yang besar dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi, diusahakan secara massal. Dalam tulisan ini industrialisasi secara operasional dimaksudkan dengan berdirinya sebuah perusahaan industri baja di sebuah daerah pedesaan, yaitu tumbuhnya industri baja PT Krakatau Steel di Cilegon.
2. Syarat-syarat Perkembangan Industrialisasi
Dikemukakan oleh Soemiatno, bahwa masyarakat Barat yang bersifat individualistis, materialistis, rasionil, berani dan penuh tanggung jawab serta senantiasa mencari sesuatu yang baru, merupakan pra kondisi yang menguntungkan bagi lahirnya industri disana. Berdasarkan pengamatannya sebelum PELITA II dikatakan bahwa kondisi tersebut belum ada pada masyarakat Indonesia. Sedangkan Mountjoy mengemukakan bahwa industrialisasi bukan hanya sekedar mendirikan perusahaan-perusahaan industri, akan tetapi pembangunan itu meminta dan sekaligus menghasilkan perubahan-perubahan besar dalam masyarakat dan struktur kehidupan sosial. Dalam memajukan ekonomi faktor terpenting adalah manusia itu sendiri, sehingga bagi negara-negara berkembang yang ingin memajukan sektor industri dalam perekonomiannya, mereka harus meningkatkan kualitas penduduknya sampai ke tingkat yang memadai.
Demikian halnya dengan Indonesia, walaupun Soemiatno telah mengatakan pada PELITA II masyarakat Indonesia belum siap untuk menghadapi industrialisasi, kini dalam rangka menyongsong tahap lepas landas diharapkan kondisi tersebut sudah berubah, Diasumsikan bahwa masyarakat sudah siap mengikuti irama kehidupan industrial, yang mungkin tidak dapat dihindari menuju ke masyarakat industri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ine Minara S. Ruky
Depok: UI-Press, 2008
PGB 0029
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>