Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puspa Dewi
"Melalui berbagai tingkatan pertempuran dan perundingan sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka akhirnya konflik Indonesia - Belanda dapat diselesaikan lewat perundingan di Den Haag dalam suatu konferensi yang dinama_kan Konferensi Meja Bundar (KMB) dimulai pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Sebagai hasil dari perundingan tersebut, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Seri_kat (RIS) dan beberapa pasal yang harus diterima oleh RIS yaitu tentang pembayaran hutang yang diwariskan oleh pe_merintah colonial Belanda, dan soal penangguhan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RIS. Jumlah hutang yang harus dibayar oleh RIS sebesar kurang lebih 1.130 juta dolar Amerika. Sedang wilayah Irian Barat ditangguhkan sela_ma satu tahun dan statusnya akan ditentukan kemudian dengan jalan perundingan antara RIS dengan Belanda. Selama itu masalah dan status poitiknya berada di bawah pa_ngawasan United Nations Commission For Indonesia (UNCI). Dengan kesepakatan hasil-hasil KMB yang telah sa_ma-sama diterima oleh kedua belah pihak (RIS dan Belan_da), bukan berarti persoalan Indonesia-Belanda benar-benar telah berakhir, sebab dalam perkembangan-perkemba_nga selanjutnya perundingan-perundingan yang menyangkut pemyelesaian Irian Barat tidak pernah mencapai kesepaka_tan yang memuaskan terutama bagi Indonesia, Itulah se_babnya di kalangan masyarakat luas, partai-partai politik dan organisasi lainnya timbal kiinginan untuk membatalkan seluruh perjanjian KMB, karena sejak ditandatangani, Belanda senantiasa terutama sejak masa-masa awal penye_rahan kedaulatan, selalu terlibat dalarn persoalan-persoa_alan di Indonesia. Dan Indonesia menganggap bahwa pasal-_pasal yang menyangkut perjanjian KMB, terutama soal-soal yang menyangkut keuangan dan ekonomi, dimana dalam pasal- pasal tersebut memberikan hak-hak istimewa yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia . Kemudian soal yang menyangkut hubungan Uni Indonesia Belanda yang diangkat oleh rakyat Indonesia sebagai sisa penjaja_han Belanda. Sehingga ketika sampai tahun 1954, tidak ada tanda - tanda Belanda mau menyelesaikan masalah Irian Barat, maka Indonesia melakukan upaya untuk membatalkan perjanjian KMB dalam suatu perundingan yang diadakan di Den Haag pada bulan Juli tahun 1954. Dalam perundingan tersebut delegasi Indonesia yang dipimpin oleh menteri luar negeri Mr. Sunario hanya berhasil mencapai persetu_juan tentang pembubaran Uni Indonesia Belanda, dan peng_hapusan beberapa perjanjian KMB yang rnengenai hubungan Indonesia Belanda di bidang kebudayaan dan militer. Dalam perkembangan perundingan selanjutnya keti_ka masalah Irian Barat di bawa Indonesia ke Majelis Umum PBB tahun 1954, namun sidang-sidang ini tidak banyak mengungtungkan Indonesia, sementara perundingan dengan Be_landa juga tidak membawa hasil yang memuaskan bagi Indo_nesia. Oleh karena itu Indonesia terus melakukan upaya penyelesaian pembatalan seluruh parjanjian KMB. Kabinet Bur-hannudin Harahap pada tahun 1955 mengajukan Rancangan Un_dang - undang (RUTS) untuk membatalkan perjanjian-perjan_jian KMB, tetapi walaupun RUU itu sudah disetujui oleh DPRS namun tidak dapat menjadi undang-undang, karena presiden Soekarno rnenolak untuk menandatanganinya, Alasan presiden karena pemilu 1955 sudah selesai, jadi adalah lebih baik bila hasil pemilu yang menentukan UU itu. Selanjutnya dalam kabinet Ali II dalam progamnya untuk menyelesaikan seluruh perjanjian KMB dalam bulan April 1956 mengaju_kan Rancangan Undang-undang (RUU) pembatalan perjanjian KMB kepada DPR dan tidak menghadapi banyak kesukaran. Melalui Undang-undang No.13 tahun 1956 Indonesia secara sepihak membatalkan seluruh perjanjian KMB , dan sejak itu Indonesia merasa tidak terikat lagi dengan se_luruh perjanjian KMB, termasuk soal yang berkenaan dengan status wilayah Irian Barat. Belanda melakukan protes, dan memandang bahwa de_ngan tindakan pembatalan itu, Indonesia telah melanggar perjanjian Internasional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setitit, Stephanus G.
"Buku ini adalah kisah perjalanan hidup Bon Setitit, seorang putra Kei yang cukup besar perannya di masa pergerakan nasional. Memegang ijazah OSVIA Makasar, Bon Setitit bekerja di departemen dalam negeri Hindia Belanda. Saat menjabat sebagai Controleur yang membawahi wilayah Saumlaki Tanimbar, ia bersama rekan-rekannya menyatakan sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda (Mosi Rakyat Kei), dengan mengatasnamakan Maluku Terselatan. Mosi itu mengenai pembagian wilayah yang berpotensi menciptakan kemiskinan dan perlakuan yang tidak adil terhadap rakyat di wilayah tersebut. Ia mengibarkan bendera Sang Merah Putih di halaman kantornya, sehingga membuat pemerintahan Hindia Belanda marah terhadapnya. Bon dipecat dari jabatannya, dipanggil pulang ke Ambon bahkan jabatan sebagai Hakim Negara urusan Pidana dicabut. Sementara pangkat Letnan Dua tidak ada kejelasan, pangkat Controleur-nya tetap dipertahankan. Bon merupakan satu-satunya Controleur pribumi.
Hukuman dijatuhkan dengan memberinya tugas belajar, padahal sebelumnya kesempatan tugas belajar itu sudah dinyatakan tertutup. Hal ini sangat diluar dugaan Bon. Ia menerima beasiswa tersebut walaupun merasa sedih karena harus meninggalkan teman seperjuangan. Namun, pendaftarannya ke Universitas Leiden, Jurusan Indologie-Ekonomi, sempat tertunda karena ijazah Hoogere Burgerschool-nya belum ditandatangani Menteri Pendidikan Belanda. Akibatnya, ia harus menunggu tahun ajaran baru 1949/1950, yang baru dibuka pada November 1949. Ketika menempuh Pendidikan di Belanda itulah ia mendapat tugas untuk duduk di Sekretariat Jenderal Konferensi Meja Bundar (KMB).
Surat penugasannya diberikan oleh Ministerie Van Overzeese Gebeidsdelen—Kementerian Departemen Seberang Laut Belanda, departemen yang bertanggung jawab bagi para penerima beasiswa—melalui Sekretaris Jenderalnya. Kesempatan duduk di KMB ia pergunakan semaksimum mungkin karena ia memahami bahwa perundingan ini sangat penting bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Dalam kesempatan itu, ia berkenalan dengan para delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Konferensi ini berlangsung hampir tiga bulan, waktu yang panjang dan melelahkan bagi para delegasi. Sidang KMB dipantauan oleh PBB dan beberapa negara peninjau untuk memastikan perundingan berjalan dengan kesepakatan tanpa paksaan atau tekanan.
Satu peristiwa besar dan mendunia setelah PD II dan Bon menjadi saksi sejarah dalam peristiwa tersebut. Banyak permasalahan yang dibicarakan harus disepakati tanpa merugikan kedua belah pihak. Tugas kesekretariatan adalah mengerjakan notulensi dan risalah selama persidangan, termasuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Bon melakukannya dengan sangat hati-hati dan memilih kata yang menguntungkan bangsanya.
Pada 1 November 1949, sidang KMB berakhir dengan mencapai kesepakatan: kedaulatan bagi Indonesia. Pada 2 November 1949, dilakukan penandatanganan kesepakatan antara delegasi Belanda dan delegasi Indonesia. Peristiwa itu merupakan sejarah penting bagi Indonesia sebagai negara berdaulat dengan pengakuan dari dunia. Penyerahan kedaulatan dilaksanakan pada Desember 1949, oleh pimpinan tertinggi kedua negara dan dilaksanakan dalam waktu bersamaan di masing-masing negara.
Hal yang menakjubkan dilakukan Bon pada masa studinya. Materi kuliah Indologi-Ekonomi diselesaikannya hanya dalam waktu dua setengah tahun dengan predikat summa cum laude, padahal waktu kuliah rata-rata lima tahun dan dibatasi hanya tiga tahun untuk para penerima beasiswa. Komisariat Agung Republik Indonesia di Den Haag, lembaga yang dibentuk pasca-KMB untuk menangani proses penyerahan kedaulatan, memberikan surat agar Bon segera pulang ke Indonesia, selambat-lambatnya Mei 1952.
Ia kemudian ditempatkan di Kementerian Dalam Negeri RI dengan pangkat Referendaris golongan VI/b, menjabat sebagai Kepala Otonomi dan Desentralisasi. Referendaris adalah pegawai tinggi yang menduduki jabatan di departemen. Selama di Kemendagri ia menyusun rancangan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Namun, karena terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan saat itu yang lebih ke arah sentralistik, departemen otonomi dan desentralisasi yang baru didirikan terpaksa dibubarkan. Bon memutuskan mengundurkan diri pada akhir 1954."
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2024
920 SET d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1949
060 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pujiatiningtyas
"Gerakan Assat yang terjadi pada tahun 1956 adalah, merupkan suatu gerakan ekonomi bangsa Indonesia. Persoalan yang diabhas dalam tulisan ini adalah tentang kekhawatiran masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna, karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12749
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dougherty, Martin
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016
398.22 DOU r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djakarta: Biro Perantjang Negara, 1959
338.959 8 IND l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Rachman Kunjono
"Tesis ini menganalisis tentang Kerjasama Pertahanan dan Keamanan Australia - Indonesia (1995-1999): Studi Kasus Pembatalan Persetujuan Pemeliharaan Keamanan Hubungan bilateral Australia dengan Indonesia mencapai titik terendah dan sempat memanas karena masalah Timor Timur pada masa pemerintahan Howard (Australia) dan Habibie (Indonesia), yang antara lain berakibat pada pembatalan secara sepihak oleh Indonesia, Persetujuan Pemeliharaan Keamanan Australia - Indonesia pada 16 September 1999.
Pembatalan persetujuan keamanan tersebut disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam negeri sendiri (internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar (eksternal). Sejauh mana faktor tersebut berpengaruh, dalam studi kasus pembatalan persetujuan keamanan Australia - Indonesia, adalah permasalahan pokok yang diangkat dalam tesis ini.
Persetujuan pemeliharaan keamanan tersebut temyata tidak dapat berfungsi dan tidak dapat digunakan ketika terjadi krisis di Timor Timur. Padahal dalam kesepakatan tersebut kedua belah pihak telah sepakat akan mengadakan konsultasi bila salah satu pihak menghadapi kesulitan yang menyangkut kepentingan keamanan bersama dan bila perlu mengambil tindakan bersama atau sendiri-sendiri sesuai dengan proses pads masing-masing pemerintahnya. Hal ini jugs menunjukkan tidak berfungsinya forum menteri kedua negara, khususnya . antar Menteri Pertahanan kedua negara dalam mendiskusikan masalah Timor Timur. Untuk membahas permasalahan dalam tesis ini menggunakan teori-teori politik internasional mengenai konsep kebijakan luar negeri dari KJ.Holsti, }toward Lentner, Lloyd Jensen, Harold dan Margaret Sprout, serta Stephen L.Spiegel. Juga dicoba menggunakaan konsep persepsi dari Bruce Russet dan Harvey Starr untuk menganalisa persepsi para aktor politik kedua negara dalam konteks hubungan internasional kedua negara dalam masalah Timor Timur.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengandalkan data dan informasi yang dianggap relevan dengan penelitian ini.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan persetujuan keamanan tersebut sebagai reaksi atas aksi dan sikap Australia terhadap Indonesia yang berlebihan dalam masalah Timor Timur. Namun sikap dan tindakan Australia tersebut berawal dari adanya anarkis dan pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat.
"
2000
T3519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angginta Amalia
"Penelitian ini membahas perubahan yang terjadi di wilayah barat Papua sebelum dan sesudah Pemberontakan Obano (Obano Opstand) pada 1956. Pembahasan mengenai perubahan dimulai dari perubahan yang dirasakan oleh penduduk di wilayah Obano dan meluas ke seluruh wilayah barat Papua. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan berdasarkan sumber primer berupa surat kabar nasional dan regional Belanda serta surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Papua edisi 1956-1961. Selain itu digunakan laporan Kementerian Luar Negeri Indonesia dan film dokumenter ‘De Obano-opstand’ yang dipublikasikan Anderetijden.nl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan di wilayah barat Papua sebelum pemberontakan yang berasal dari upaya Belanda adalah masuknya peradaban Barat, ilmu agama, serta fasilitas yang menunjang kemajuan kehidupan penduduk asli. Sementara perubahan yang terjadi setelah pemberontakan adalah kerusakan berupa terbakarnya Obano Pemberontakan ini juga membuat pemerintah Belanda mengubah kebijakan untuk masa depan wilayah barat Papua berdasarkan keluhan yang menjadi penyebab terjadinya pemberontakan.

This paper discusses the changes that occurred in the western region of Papua before and after the Obano Rebellion in 1956. The discussion about the changes will begin with the changes felt by residents in the Obano area and extend to the entire western region of Papua. This research used historical method and based on Dutch national and regional newspapers, as well as those published in the western region of Papua as the primary source. In addition, this research also used the report by Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia and a documentary film 'De Obano-opstand’ that published by Anderetijden.nl. The results of this paper indicate that the changes in the western region of Papua before the rebellion that came from the Dutch efforts were the entry of Western civilization, religious knowledge, as well as facilities that supported the progress of the lives of the natives. While the changes that occurred after the rebellion was the burning of Obano and it could be seen from the facilities that were burned down. This rebellion also made the Dutch government change its policy for the future of the western region of Papua based on complaints by native inhabitants."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
New York, Department of Public Information United Nations, 1957
R 341.13 YEA
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>