Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148783 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astuti Pralestari
"Akutagawa Ryuunosuke adalah salah satu dari sekian banyak pengarang Jepang yang berhasil. Rashomon, Nana dan Fume no Ito adalah tiga dari sekian banyak karyanya. Ketiga karya Akutagawa Ryuunosuke ini mengandung unsur egoisme. Dalam Rashomon dikisahkan seorang genin yang harus memilih antara tetap hidup tetapi berbuat jahat ataukah mati. Keputusan genin, akhirnya sangat dipengaruhi oleh ucapan tokoh lain yaitu seorang nenek. Tentu saja pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi kadar egoisme yang terdapat dalam diri genin. Dalam Rana dikisahkan bagaimana seorang pendeta yang masih mempunyai egoisme, padahal seharusnya memikirkan penyampaian ajaran agama. Di sini Akutagawa menyatakan bahhwa di dalam diri manusia ada perasaan yang saling berlawanan. Di satu pihak tidak akan tega melihat kesu_litan orang lain tetapi di pihak lain juga tidak suka melihat orang yang kesulitan itu terlepas dari lilitan_nya. Dalam kumo no Ito dikisahkan seorang penjahat besar bernama Kandata yang ditolong benang Laba-laba untuk keluar dari neraka. Namun karena Keegoisannya is jatuh kembali ke neraka. Melalui kisah ini, Akutagawa Ryuuno_suke menyampaikan bahwa egoisme bukan saja akan merugikan orang lain, tetapi juga dapat merugikan diri sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wibawarta
Jakarta: Kalang, 2004
895.64 BAM a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Amalia
"Kesa to Moritoo adalah salah satu karya Akutagawa Ryuunosuke. Cerita ini terdiri dari dua buah monolog dari dua orang tokoh utama bernama Kesa dan Moritoo. Di dalam monolognya, mereka menceritakan sebuah peristiwa yang sama dan apa yang mereka rasakan mengenai peristiwa itu. Di dalam hal ini mereka memiliki dua pandangan berbeda dan emosi yang berbeda di dalam mengingat kembali peristiwa tersebut. Alur dapat diartikan sebagai konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami pelaku. Bisa dibilang bahwa dengan teori ini, bukan penulislah yang menentukan alur dari ceritanya, melainkan para pembacanya, Skripsi ini meneliti tentang dua buah alur yang ada di dalam Kesa to Moritoo. Jenis alur, persamaan, dan perbedaan yang terdapat di dalamnya. Metode deskriptif analisis dengan pendekatan intrinsik digunakan di dalam skripsi ini untuk menganalisis cerita ini. Teknik penelitiannya adalah dengan membaca karya tersebut berulang-ulang, menterjemahkan, dan kemudian baru menentukan di bagian mana sebuah alur dimulai. Cerita ini memiliki struktur alur yang sama. Masing-masing monolog memiliki lima tahapan alur yaitu eksposisi, komplikasi dan konflik, klimaks, relevasi, dan selesaian. Alur mereka sama-sama merupakan alur sorotbalik (flash back). Monolog mereka juga sama-sama diawali dan diakhiri dengan narasi. Namun jenis selesaian yang dimiliki masing-masing alur berbeda. Monolog Moritoo memiliki selesai yang bersifat terbuka (solution) sedangkan monolog Kesa memiliki selesai yang bersifat menyedihkan (catastrophe). Kedua monolog ini saling melengkapi satu sama lain. Pembaca cerita Kesa to Moritoo akan dapat meramal kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya setelah bagian terakhir dari monolog Kesa selesai mereka Baca walaupun Akutagawa tidak menuliskannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mugiyanti
"Akutagawa Ryuunosuke adalah seorang sastrawan Jepang terkenal hidup pada tahun 1889 sampai tahun 1927. Ia dila_hirkan pada tahun 1889 di Tokyo dan lulus dari Universitas Kerajaan Tokyo pada tahun 1916. Ia meninggal dunia karena bunuh diri dengan minum obat tidur secara over dosis. Meskipun ia hidup dalam waktu singkat, tetapi ia banyak meninggalkan karya-karya bermutu, yang sebagian be_sar berupa cerita pendek. Karyanya banyak yang telah di_terjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, bahkan ada juga yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, misal_nya Hana (Hidung), Kappa (Kappa), dan Rashomon (Rashomon). Yang dapat dikatakan mewakili karya-karyanya antara lain: Rashomon, Hana, Imogayu, Kumo no Ito, dan Yabu no Naka. Novel Hana dan Imagayu mendapat pujian dari Natsume Soseki, yaitu salah seorang guru Akutagawa. Dari karya Akutagawa bahkan ada yang telah difilmkan oleh sutradara Jepang terkenal yang bernama Kurosawa Aki_ra, dengan.judul Rashomon, dan mendapat penghargaan (grand prize) pada Festival Film ke-15 di Venice, Italia pada tahun 1951. Film Rashomon merupakan karya paduan dari novel yang berjudul Rashomon dan Yabu no Naka. Dalam film Ra_shomon, Kurosawa mengambil Yabu no Naka untuk dijadikan alur cerita, yaitu mengenai konflik-konflik yang ditimbul_kan sehubungan dengan adanya peristiwa kematian seseorang. Sedangkan dari karya Akutagawa yang berjudul Rashomon, di_ambil judulnya, suasana dan latar belakang, dan karakter orang-orang yang membicarakan kejadian pembunuhan dan yang mempermasalahkan antara kebenaran dan kesalahan serta ke_wajiban-kewajibannya. Dalam skripsi ini, penulis akan membahas karya Akuta_gawa yang berjudul Yabu no Naka (Di Dalam Semak). Karya ini disadur dari Konjaku Monagatari, sebuah cerita rakyat pada zaman Heian (794-1192) dan dimuat dalam majalah Shin_shico edisi Januari 1922. Yabu no Naka yang terdapat di Konjaku Monogatari ber_kisah mengenai sepasang suami istri yang sedang melakukan perjalanan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang pemuda yang membawa pedang bagus, sehingga si suami tadi berkeinginan untuk menukarkan busur dan panah miliknya dengan pedang itu. Akan tetapi setelah penukaran terjadi, sewaktu mereka masuk ke dalam semak, tiba-tiba pemuda itu membentangkan anak panah dan siap membidikkannya ke arah suami istri itu. Suami itu benar-benar terkejut, dan tidak dapat berbuat apa-apa. Lalu pemuda itu mengikat suami itu di akar pohon, dan memperkosa istrinya. Setelah adanya peristiwa itu, si istri tidak mempercayai suaminya lagi kare_na si suami tidak dapat dijadikan tempat berlindung. Si istri minta dikembalikan ke kampung halamannya di Tanba no Kuni. Sampai akhir cerita, tidak diketahui pemuda itu sia_pa. Yabu no Naka, versi Akutagawa merupakan rekaan baru, yang didalamnya diikutkan berbagai tokoh yang memberikan kesaksian sehubungan dengan adanya suatu peristiwa di da_lam semak, yaitu diketemukannya mayat seorang samurai. Ide penulisan ini dicetuskan oleh Akutagawa sewaktu ia berada dalam kondisi puncaknya, pada saat ia mengalami kegun_cangan jiwa. Ia mencoba mengeluarkan Yabu no Naka versi baru yang temanya pun telah diperbaharui. Di dalam Yabu no Naka ini, pengarang tampaknya mencoba mencari apakah kebe_naran obyektif itu ada atau tidak. Di dalam Yabu no Naka karya Akutagawa, dikisahkan mengenai kesaksian 7 orang di pengadilan sehubungan dengan diketemukannya mayat seorang samurai di dalam semak. Ke-7 orang itu adalah: 1. Si penebang pohon, orang yang menemu_kan mayat di dalam semak. 2. Pendeta Budha, orang yang bertemu dengan pasangan suami istri yang pada keesokan harinya diketemukan mayat si suami itu di dalam semak. 3. Seorang prajurit polisi, yaitu orang yang menangkap Tajo_maru seorang penjahat yang dituduh telah membunuh si samurai. 4. Seorang perempuan tua, sebagai ibu mertua si samu_rai. 5. Tajomaru, si penjahat yang mengaku bahwa dialah orang yang membunuh si samurai. 6. Orang yang datang ke kuil Kiyomizudera (Masago), sebagai istri si samurai, yang .juga telah mengaku membunuh suaminya sendiri. 7. Kesaksian si samurai yang telah meninggal melalui mulut seorang du_kun (kesaksian Takehiro). Dia bersaksi bahwa dia bunuh diri. Dari kesaksian 7 orang, dalam bahasan skripsi ini penulis akan berpusat pada 3 orang kesaksian saja yaitu, kesaksian Tojomaru, kesaksian Masago, dan kesaksian Ta_kehiro melalui mulut seorang dukun, karena mereka merupa_kan tokoh yang penulis anggap penting dalam kaitannya dengan pokok bahasan Yabu no Naka. Setelah membaca beberapa karya Akutagawa, penulis merasa tertarik dengan salah satu hasil karyanya yang ber_judul Yabu no Naka. Karena karya ini isi ceritanya menarik untuk dijadikan pokok bahasan skripsi ini. Yabu no Naka mirip dengan cerita detektif, akan tetapi berbeda dengan cerita detektif biasa. Pada cerita detektif biasanya si tersangka akan berusaha sekuat tenaga untuk menyangkal segala tuduhan terhadapnya, tetapi di akhir cerita si pelaku akan mengakui tuduhan-tuduhan itu dan akan diketa_huilah pelaku yang sebenarnya dikarenakan adanya bukti kuat beserta kesaksian orang lain. Akan tetapi hal ini tidak akan ditemui dalam novel Yabu no Naka. Di dalam semak diketemukan mayat si samurai dengan 1 tusukan di dadanya. Di dalam pengadilan ada 2 orang yang mengakui bahwa dialah yang membunuh si samurai itu. Sedangkan si samurai sendiri melalui mulut seorang dukun bersaksi bahwa dia bunuh diri. Sampai akhir cerita kita tidak tahu siapa penyebab kematian samurai itu. Nam-paknya Akutagawa pun tidak mempermasalahkan apa yang menja_di penyebab kematiannya, dibunuh ataukah bunuh diri. Jadi menurut penulis disinilah letak menariknya isi cerita Yabu no Naka dalam hal pencarian kebenaran obyektif."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S13732
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rum
"Pokok yang dipilih untuk penulisan skripsi ini sa_ngat terbatas, yakni satu karya Akutagawa Ryunosuke (selanjutnya disebut Akutagawa saja), yaitu Hana (Hidung) - sebuah novel pendek yang dihasilkan Akutagawa pada awal karirnya di dalam dunia kesusastraan. Hana ditulis Akutagawa pada tahun 1916, dimuat di dalam majalah Shin shicho (15 Pebruari 1916, periode IV, nomor perdana), kemudian dimuat lagi di dalam majalah Shinsosetsu, 5 Mei 1916. Hana merupakan basil saduran Akutagawa yang berasal dari cerita rakyat pada jaman Heian (797-1190) yang didapat Akutagawa di dalam kumpulan cerita rakyat Konjaku Monogatari dan Ujishui Monogatari_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1982
S13728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmawati Martini
"Majas personifikasi merupakan bentuk kiasan yang memasangkan sifat-sifat manusia pada benda mati. Penerjemahan majas personifikasi kerap kali menimbulkan banyak permasalahan. Berdasarkan sumber data dari cerpen-cerpen karya Akutagawa Ryunosuke yang berjudul Kappa, Kumo no Ito, dan Imogayu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Bambang Wibawarta dengan judul Kappa, Benang Laba-laba, dan Bubur Ubi ditemukan bahwa majas personifikasi Jepang dapat diterjemahkan ke dalam bentuk figuratif yang tidak hanya berbentuk personifikasi saja, namun ditemukan juga bentuk hiperbola dan simile. Selain itu majas personifikasi juga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk nonfiguratif. Berdasarkan bentuknya, dari 15 data yang terkumpul dapat diuraikan menjadi penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas personifikasi BSa yang berjumlah 9 data, penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas hiperbola BSa yang berjumlah 1 data, penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas simile BSa yang berjumlah 2 data, dan penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi bentuk nonfiguratif BSa yang berjumlah 3 data. Mengacu pada angka-angka tersebut ternyata sebagian besar majas personifikasi Jepang diterjemahkan menjadi majas personifikasi juga. Berdasarkan kesepadanan makna, dari semua data yang terkumpul menunjukkan bahwa penerjemahan majas personifikasi ini semuanya sepadan maknanya. Untuk mencapai kesepadanan makna tersebut dilakukan beberapa prosedur penerjemahan, yakni modulasi, transposisi, pergeseran dalam tataran sintaksis dan pergeseran dalam tataran semanti."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Sarasworo
"Imogayu karya Akutagawa Ryunosuke pertama kali dimuat dalam Shinshosetsu terbitan bulan September tahun 5 Taisho (1916). Bahan ceritanya diambil dari cerita yang terdapat dalam Konjaku Monogatari volume 26 bab 17. Imogayu mengisahkan seorang samurai kelas kelima (Goi) yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk dapat makan imogayu. Imogayu atau bubur ubi rambat adalah makanan lezat yang pada masa itu dianggap sebagai makanan mewah. Pekerja rendahan seperti Goi hanya bisa menikmatinya sekali setahun pada saat pesta Tahun Baru di kediaman Fujiwara. Karena itu, wajar saja jika keinginannya itu telah terpendam selama bertahun-tahun. Akhirnya, keinginannya itu dapat terwujud berkat usaha dan kebaikan hati Fujiwara Toshihito, seorang samurai yang berasal dari kelas atas. Tetapi setelah di hadapannya terhidang berliter-liter imogayu, Goi malah merasa cemas dan ragu-ragu untuk menyantapnya. Skripsi ini menganalisis tokoh utama dan tokoh bawahan dalam Imogayu. Apakah tokoh itu termasuk tokoh pipih atau tokoh bulat. Kemudian, dianalisis pula metode yang digunakan oleh Akutagawa dalam penokohan dari segi asal usul, keadaan lahiriah dan watak tokoh-tokohnya. Dalam penokohan dikenal metode analitik, yaitu metode yang men-ceritakan secara langsung tentang si tokoh, dan metode dramatik, yang menjelaskan tokoh itu melalui cakapan dan lakuannya. Tokoh Goi tidak menunjukkan perubahan yang mencolok dari sikap dan sifatnya, maka ia adalah tokoh pipih. Sedangkan, tokoh Fujiwara Toshihito memperlihatkan perkembangan lakuan yang cukup mencolok, sehingga ia termasuk tokoh bulat. Penokohan dalam Imogayu dilakukan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik digunakan untuk menjelaskan asal usul dan keadaan lahiriah tokoh Goi dan Fujiwara Toshihito. Metode dramatik digunakan untuk menjelaskan watak Fujiwara Toshihito. Sedangkan watak Goi dijelaskan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmawati Martini
"Majas personifikasi merupakan bentuk kiasan yang memasangkan sifat-sifat manusia pada benda mati. Penerjemahan majas personifikasi kerap kali menimbulkan banyak permasalahan. Berdasarkan sumber data dari cerpen-cerpen karya Akutagawa Ryunosuke yang berjudul Kappa, Kumo no Ito, dan Imogayu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Bambang Wibawarta dengan judul Kappa, Benang Laba-laba, dan Bubur Ubi ditemukan bahwa majas personifikasi Jepang dapat diterjemahkan ke dalam bentuk figuratif yang tidak hanya berbentuk personifikasi saja, namun ditemukan juga bentuk hiperbola dan simile. Selain itu majas personifikasi juga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk nonfiguratif. Berdasarkan bentuknya, dari 15 data yang terkumpul dapat diuraikan menjadi penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas personifikasi BSa yang berjumlah 9 data, penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas hiperbola BSa yang berjumlah 1 data, penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas simile BSa yang berjumlah 2 data, dan penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi bentuk nonfiguratif BSa yang berjumlah 3 data. Mengacu pada angka-angka tersebut ternyata sebagian besar majas personifikasi Jepang diterjemahkan menjadi majas personifikasi juga. Berdasarkan kesepadanan makna, dari semua data yang terkumpul menunjukkan bahwa penerjemahan majas personifikasi ini semuanya sepadan maknanya. Untuk mencapai kesepadanan makna tersebut dilakukan beberapa prosedur penerjemahan, yakni modulasi, transposisi, pergeseran dalam tataran sintaksis dan pergeseran dalam tataran semantik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13777
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Fauzia
"Astrid Fauzia Kritik sosial dalam Uma no ashi karya Akutagawa Ryunosuke Dengan menggunakan teori mengenai kedudukan sastra dalam masyarakat, tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengungkapkan kritik sosial yang tersembunyi dalam Uma no Ashi, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke, serta mencari tahu pemicu yang menyebabkan Akutagawa memunculkan kritik tersebut dalam cerita ini. Setelah membaca banyak referensi, penulis menemukan bahwa melalui cerita yang dipublikasikan pada tahun 1925 ini, Akutagawa mengkritik kebijakan sensor yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap kesusastraan Jepang, sistem birokrasi, dan system keluarga masyarakat Jepang yang memberikan beban terberat hanya kepada kepala rumah tangga. Kritik sosial tersebut dihadirkan secara tidak langsung melalui fragmen-fragmen cerita yang disampaikan dengan nada satir. Akugawa juga memasukan makna tersembunyi pada nama tokoh-tokohnya serta mengelaborasi lebih lanjut ide dasar pembuatan cerita ini, yakni peribahasa Jepang yang berbunyi bakyaku wo arawasu (terbongkarnya penyamaran atau rahasia kelam yang selama ini ditutupi).

Using the theory about literature position in society, the purposes of this research are to reveal social critics hidden in Uma no Ashi, short story written by Akutagawa Ryunosuke, and find out the trigger why Akutagawa put those citics in this sotry. After read up many references, the writer found out that through this story, which was published in 1925, Akutagawa critisized the censorship enacted by government in Japanese literature, bureaucracy system, and japanese family system which gives the heaviest burden only to the head of family. Those social critics were expressed indirectly through some fragments of the story with satirical way. Moreover, he too put some hidden meanings in names of characters and elaborated the basic idea of this story; Japanese phrase called bakyaku wo arawasu (to reveal one's true nature).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S13485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wawat Rahwati
"Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bagairnana interaksi antara tokoh perempuan dengan slam, dan bagaimana gambaran metafor air sebagai salah satu unsur alam serta perannya terhadap tokoh perempuan dalam menghadapi penindasan dari patriarki.
Dengan menggunakan perspektif ekofeminisme kultural, didapati bahwa dalam novel tersebut mengandung bentuk-bentuk interaksi antara perempuan dengan alam secara empiris dan biologis. Hentuk interaksi secara empiris digambarkan melalui komunikasi antara tokoh Kaoru dengan irama ombak laut yang menyatu dalam hatinya melahirkan energi dan spirit pada diri Kaoru. Interaksi antara Kaoru dengan laut juga digambarkan melalui pembenaman tubuh Kaoru ke dalam air laut. Hentuk interaksi seperti ini tidak hanya bersifat empiris, tetapi juga bersifat biologis karena tubuh Kaoru yang berada di dalam air dapat diumpamakan sebagai bentuk spesies yang hidup dalam rahim seorang Thu yang disebut dengan janin (fetus). Melalui interaksi antara Kaoru dengan air laut tersebut, maka dapat diketahui pula bahwa air memiliki peranan panting yaitu sebagai proses revitalisasi pads diri Kaoru. Air telah memberikan perubahan pada diri Kaoru, yaitu semangat dan keyakinan bare untuk dapat menghadapi berbagai tekanan dari masyarakat patriarki, salah satunya mengalahkan Kepala Polisi di pengadilan. Air yang telah melahirkan semangat pada tokoh Kaoru, secara metaforis tidak hanya digambarkan sebagai media penghapus dosa, tetapi juga dipersonifikasikan sebagai sesuatu yang hidup, memiliki spirit dan dapat bergerak sesuai dengan iramanya. Terciptanya berbagai interaksi antara perempuan dengan alam melalui tokoh Kaoru dalam novel Hana wo Hakobu Imouto ini, menunjukkan sebuah gagasan kritis terhadap budaya patriarki yang bersifat dualistis dan hierarkis dengan menekankan kebudayaan perempuan yang selama ini dianggap rendah oleh masyarakat patriarki.

This research is aim at showing how woman character interact with nature, and how water as one of the elements signifies it many meanings metaphoric and than what role it plays to woman character in facing patriarchal oppression.
By employing the cultural eco-feminism perspective, it is found that the novel contents forms of empirical and biological interaction between woman and nature. The empirical interaction has been illustrated through communication between Kaoru as a woman character and the rhythm of waves which has become united in her which in turn produces energy and spirit. Interaction between Kaoru and the sea is portrayed by her submergence in to the sea. This kind of interaction is not only empirical, but also biological, as her submergence in to the sea can be compared to the species that dwell in the mother's womb called fetus. Through Kaoru's interaction with the sea it can be inferred that water plays a significant role as a revitalization process in Kaoru; spirit and new confidence to face the oppression of patriarchal society, for example defeating the police chief in court. Water that has given spirit to Kaoru, metaphoric is not only portrayed as a medium for purifying sin, but also personified as a living thing that possesses spirit and can move according to its rhythm. The interaction between woman and nature through Kaoru in this novel shows a critical idea toward dualistic and hierarchical patriarchal culture with the emphasis on woman culture that has been look down upon for generations by patriarchal society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>