Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54865 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mustika Arum Warnasih
"Tema dari skripsi ini adalah Enjokosai, yaitu sebuah fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Jepang, khususnya di daerah perkotaan, berupa suatu tindakan remaja putri usia belia, sekitar 14 - 18 tahun yang berkencan dengan pria dewasa untuk rnendapatkan sejumlah uang. Tindakan yang dilakukan bukan hanya sebatas pads kencan saja, tapi sudah sampai pada hubungan intim. Untuk pelayanan yang diberikan oleh remaja putri ini, mereka akan menerima imbalan berupa uang sekitar 30.000 yen, dan bila sampai melakukan hubungan intim maka, jumlah uang yang diterima akan lebih besar lagi. Fenomena ini relatif baru dikenal oleh masyarakat Jepang, karena merebak ke permukaan sekitar tahun 1995. Melihat dari tindakan yang dilakukan maka Enjokosai adalah pelacuran, akan tetapi para pekaku Enjokosai berpendapat tindakan yang mereka lakukan bukanlah pelacuran karena berbeda dengan pelacuran yang di dalamnya terdapat korban yaitu wanita yang melacurkan diri karena terpaksa akan kebutuhan ekonomi, sementara dalam Enjokosai tidak ada pihak yang menjadi korban sebab mereka melakukannya dengan senang hati tanpa paksaan dari pihak manapun. Kebutuhan ekonomi memang bukanlah alasan dari para pekaku Enjokosai mengingat bahwa anak-anak ini memang berasal dari golongan menengah ke atas, jadi secara ekonomis mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan. Hal inilah yang kemudian menarik untuk ditelaah dan diteliti lebih lanjut lagi, yaitu faktor-faktor apakah sebenamya yang melatarbelakangi kemunculan dan merebaknya fenomena ini. Penulis membatasi pembahasan faktor-faktor yang berkaitan dengan keberadaan fenomena Enjokosai dan untuk mencapai tujuan penulisan, maka penulis menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Berdasarkan penelaahan dari data-data yang didapat maka, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa keberadaan Enjokosai dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: v Pertama, pengaruh kemajuan ekonomi Jepang yang menghasilkan barang_-barang konsumsi telah memberi pengaruh pada daya konrol seseorang, terutama remaja dalam mengkonsumsi barang. Keinginan untuk memiliki barang tersebut semakin kuat ditambah dengan adanya anggapan bahwa dengan memiliki barang tersebut akan mengukuhkan statusnya dalam kelompoknya. v Kedua, perubahan struktur keluarga Jepang yang telah mempengaruhi hubungan antar anggota keluarga. Perubahan ini juga berdampak pada semakin sedikitnya komunikasi yang terjadi antara ayah dan anak. v Ketiga, Gakkoka (pengakademisan) yang terjadi dalam keluarga, yang memicu kemunculan rasa jengah dan muak pada diri anak terhadap sekitarnya, dan mendorong mereka untuk mencari ruang baru yang terlepas dari semua tuntutan-tuntutan akademis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Skripsi yang berjudul Fenomena Shoushika dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Jepang Dewasa Ini mengemukakan permasalahan tentang semakin sedikitnya jumlah populasi anak-anak yang ada di Jepang sekarang ini, akibat terus menurunnya tingkat kelahiran. Fenomena rendahnya jumlah anak di Jepang ini, dikenal dengan istilah shoushika. Sejak Perang Dunia ll, jumlah rata-rata kelahiran di Jepang telah mengalami pasang surut, namun sejak tahun 1975 rata-rata tingkat kelahiran anak di Jepang terus menurun dengan stabil dan tidak mengalami peningkatan hingga tahun 2003 ini. Dengan menurunnya rata-rata kelahiran, berarti jumlah populasi anak-anak berkurang, dan hal ini mengakibatkan terus berkurangnya jumlah populasi usia produktif, yang berarti bahwa jumlah sumber daya manusia di Jepang pun mengalami penurunan. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, penulis berusaha mendeskripsikan dan menganalisa faktor-faktor penyebab dari semakin berkembangnya fenomena shoushika serta pengaruh yang ditimbulkannya. Perubahan Cara pandang generasi muda Jepang sekarang ini, khususnya kaum wanita, dalam menilai pernikahan, keluarga, dan anak, merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan shoushika. Wanita Jepang saat ini, khususnya, sudah tidak melihat pernikahan. sebagai suatu keharusan, melainkan sebagai suatu pilihan hidup, sehingga mereka bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hal ini dikarenakan kesulitan yang dihadapi oleh wanita-wanita Jepang yang ingin berkarir dan juga berkeluarga untuk menjalankan keduanya secara bersamaan. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu faktor penyebab berkembangnya shoushika, karena dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jepang, cara hidup dan kemakmuran bangsa Jepang juga mengalami perubahan. Sedangkan, pengaruh yang ditimbulkan oleh semakin berkembangnya shoushika, tidak hanya dalam segi kependudukan, tetapi juga mempengaruhi segi Ekonomi, pendidikan, social, dan berbagai segi kehidupan masyarakat Jepang, dan juga jumlah pajak yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, fenomena shoushika yang ada dalam masyarakat Jepang sekarang ini, merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup serta keberadaan bangsa Jepang di masa depan. Semakin menurunnya jumlah kelahiran dan jumlah populasi anak-anak di Jepang, akan menjadikan bangsa Jepang sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari generasi yang semakin menua, tanpa kehadiran anak_anak sebagai tulang punggung pembangunan dalam usaha mencapai kemakmuran."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Chatrine Margaretha
"Manbiki yang artinya adalah mencuri di pertokoan, adalah suatu bentuk kenakalan remaja yang saat ini sangat meresahkan masyarakat Jepang pada umumnya dan pemilik toko buku pada khususnya. Besarnya kerugian yang diderita pemilik toko buku akibat Manbiki, memaksa mereka untuk lebih memperketat keamanan di toko mereka. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mencegah atau paling tidak mengurangi maslaha Manbiki, seperti, memasang kamera pengawasan, memasang detektor di pintu masuk dan melakukan pendekatan yang lebih baik terhadap pembeli. Meningkatnya masalah Manbiki di tengah masyarakat Jepang merupakan suatu akibat dari beberapa hal, yaitu kurangnya pendidikan moral dan persaingan yang keras di sekolah, merenggangnya hubungan antara orangtua dan anak, lemahnya hukum yang ada, pengaruh yang besar dari komik dan semakin bertambahnya jumlah toko buku baru di Jepang. Upaya penanggulangan masalah Manbiki yang 70% dari pelakunya adalah remaja ini, tidak dapat dilakukan dengan sendiri-sendiri. Semua pihak yaitu pihak pemilik toko, pihak keluarga, pihak sekolah dan pihak pemerintah harus bekerja sama dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan ruetode deskriptif analisis, yaitu mengumpulkan data-data yang diperlukan, mendeskripsikan dan menganalisanya. Data-data yang penulis pakai didapat dari buku-buku, artikel koran dan Internet."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S15348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo: The International Society for Educational Information, 1989
952 INT j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Frieska Sekar Nadya
"Jepang memiliki kebudayaan-kebudayaan tradisional yang sampai sekarang masih terus dijaga dan diselenggarakan. Salah satu kebudayaan tradisional tersebut adalah matsuri. Matsuri merupakan suatu kegiatan keagamaan yang diselenggarakan sedikitnya oleh satu unit keluarga untuk melayani kamisama (dewa). Salah satunya adalah hadaka matsuri. Hadaka matsuri yang masih ada hingga sekarang adalah Saidaiji Eyou di Okayama. Dalam Saidarji Eyou, para peserta berusaha mendapatkan shingi untuk mendapatkan keberuntungan selama setahun mendatang.
Mutsuro Takahashi (Tamotsu Yato, 1968:149), mengungkapkan bahwa di dalam matsuri Jepang, ketelanjangan mempunyai konotasi yang lebih luas. Hadaka dapat diartikan sebagai ketelanjangan secara total, atau hanya menutupi salah satu bagian tubuh, atau sebagian tubuh yang tidak berbusana. Hal ini mungkin akan membingungkan, khususnya untuk orang asing. Ketika mendengar kata "hadaka matsuri", yang ada di dalam benak mereka adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam matsuri tersebut pasti `telanjang bulat', mengikuti definisi yang ada di dalam kamus. Akan tetapi, ternyata pelaku ritual tidak benar-benar telanjang bulat, mereka masih memakai fundoshi (cawat), kain berwarna putih yang digunakan khusus menutupi alat kelamin pria.
Menurut Yoneyama Toshinao (1986: 171), Yanagita Kunio juga membedakan matsuri menjadi dua, yaitu matsuri itu sendiri dan sairei. Sairei merupakan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan dengan meriah dan disaksikan oleh banyak penonton. Saidayi Eyou, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk sairei, karena diselenggarakan dalam bentuk yang besar dan meriah jika dibandingkan dengan penyelenggaraan awalnya. Akan tetapi, hal ini bukan berarti dengan adanya perubahan matsuri menjadi sairei, merupakan penurunan dalam kebudayaan atau keagamaan di Jepang. Sebaliknya hal ini dijadikan momen bagi bangsa Jepang untuk mempertahankan budaya matsuri tersebut."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Elsy
"Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri. Sejak kecil ia memerlukan perawatan dan kasih sayang seorang ibu, setelah besar dan dewasa butuh seorang teman untuk mendampingi hidupnya sehingga terbentuklah sebuah keluarga. Setelah tua atau jompo serta dalam kondisi yang lemah kembali lagi ia membutuhkan perawatan untuk membantu kelangsungan hidup di hari tuanya.
Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka merasa aman karena anak dan saudara-saudara lainnya masih merupakan jaminan yang paling baik bagi orang tuanya. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang tua mereka yang sudah tidak dapat mengurus diri sendiri. Dalam kondisi fisik yang lemah dan sakit-sakitan, dalam kesepian, kebosanan dan menderita post power syndrome (sindroma setelah berakhirnya masa kekuasaan, umumnya setelah seorang pensiun) tidak ada pekerjaan setelah pensiun, anak-anak bertanggung jawab dengan penuh loyalitas dan hormat memelihara, membiayai, mendidik dan mengawasi orang tua sebagaimana pernah mereka lakukan terhadap anak-anaknya. (Rianto Adi, 1999: 193-194)
Sistem keluarga pada masyarakat tradisional Jepang dikenal dengan istilah ie. Sistem ie ini berlangsung sejak zaman Tokugawa sampai akhir perang dunia II. Pada zaman Meiji (1869-1912) sistem ie ini dikukuhkan dalam undang-undang Meiji. Pada zarnan Meiji 80% dari aktifitas perekonomian adalah pertanian, sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris. Dalam masyarakat agraris, sebuah ie mempunyai fungsi penting sebagai organisasi manajemen ekonomi dalam lingkungan keluarga.
Menurut Nakane Chia (1967 : 1) ie adalah unit sosial dasar dari tempat tinggal bersama anggota suatu rumah tangga yang anggotanya terdiri dari kerabat dan non kerabat. Sebuah ie dipimpin oleh kepala ie yang disebut dengan kucho. Kacho ini kemudian harus digantikan oleh chonan (anak laki-laki sulung) sebagai pewaris yang apabila telah menikah tetap tinggal dengan ayah (kepala ie) dan ibunya. Oleh karena itu, dalam sebuah ie terdapat dua atau tiga generasi yang tinggal bersama. Chonan ini mempunyai hak untuk berbagi dalam mengelola kekayaan ie, memberikan sumbangan kerja untuk ekonomi ie, dan kepada siapa kepala ie dapat bergantung di usia tuanya. Dengan kata lain, chonan ini harus merawat dan menanggung hidup orang tuanya di hari tua. Oleh karena itu, masa pensiun merupakan masa yang paling menyenangkan bagi kepala ie karena kehidupannya diurus dan diperhatikan oleh chonan dan istrinya.
Setelah pensiun orang tua atau kepala ie yang telah mewariskan ie kepada anaknya itu akan mendapat penghormatan yang cukup dan mempunyai peran yang sesuai dengan usianya dalam masyarakat. Ia mempunyai kedudukan dan peranan yang menonjol sebagai orang yang dituakan, yang dianggap bijaksana dan berpengalaman membuat keputusan dan kaya pengetahuan. Di sisi lain, meskipun sebagai menantu kedudukan wanita rendah, akan tetapi perannya sebagai ibu dari anak-anak akan dihormati, dan pada masa tuanya sebagaimana tradisi yang terdapat pada ie keberadaan wewenangnya akan diserahkan kepada menantu perempuannya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T14637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
364.6 DJO s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
364.6 PRA s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
345.077 3 DJO s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Antika Sesiadani
"Baby Boom adalah suatu keadaan dimana angka fertilitas suatu negara meningkat secara drastis dalam kurun waktu yang sangat singkat. Umumnya, Baby Boom terjadi di sejumlah negara maju, salah satunya adalah Jepang. Baby Boom di Jepang terjadi pasca Perang Dunia II. Hal ini terjadi selain karena perang tetapi juga dikarenakan bom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan jumlah penduduk Jepang saat itu menurun dengan drastis. Akibatnya, pemerintah Jepang saat itu pun memerintahkan untuk meningkatkan angka fertilitas di Jepang dalam waktu singkat. Keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pun berhasil dan sedikit demi sedikit Jepang kembali menuju normal dan perekonomian pun semakin meningkat karena banyaknya tenaga kerja muda. Namun, hal ini tidak bertahan lama. Alasannya, penduduk yang lahir pada masa Baby Boom itu memasuki pensiun secara masal dan menjadi masalah yang cukup memberatkan pemerintah Jepang saat ini. Banyaknya lansia, berkurangnya tenaga kerja muda dan mahalnya pajak dan tunjangan menjadi faktor utama dalam masalah yang harus dihadapi baik oleh pemerintah maupun penduduk usia produktif dan membawa Jepang menuju kehancuran.

Baby Boom is a situation that fertility rate of a country growing rapidly in a very short time. Commonly, Baby Boom existed in a few of developed countries, such as Japan. Baby Boom in Japan was happened at Post-World War II. Beside war, other factor that Baby Boomer could happen was a bomb that had been dropped to Hiroshima and Nagasaki. At that time, population in Japan was in dangerous situation, so the government ordered to his citizen to increase the fertility rate. The decision that the government had been made was succeed, and step by step, Japan back to normal and also, economic sector had been developed in a good way because there are so many of young workers. However, this decision did not long last, citizen that was born in Baby Boom?s period was already in their pension time and they did it in mass. This thing become the country?s problem. The increasing of elderly, decreasing of young workers and expensive tax and pension fund are main factor that the government and young workers have to face and also bring Japan to the verge of collapse
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>