Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149713 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Santi Jayani
"ABSTRAK
Penulis tertarik untuk menganalisa puisi Philip Larkin yang mempunyai tema masa tua dan kematian karena penyair kontemporer ini mempunyai pandangan tersendiri tentang hal tersebut.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menyelidiki pandangan Philip Larkin mengenai masa usia lanjut dan kematian dengan menganalisa puisi-puisinya yang terdapat dalam album High Windows. Tujuh puisi terpilih untuk dianalisa. lebih lanjut, yang adalah: The Trees, High Windows., The Old Fools, The Explosion, The Building, Cut Grass, dan Dublinesque.
Puisi-puisi tersebut dianalis secara intrinsik berdasarkan teori Rene Wellek, yaitu menginterpretasi puisi dengan menganalisa unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Kesimpulan analisis skripsi ini adalah bahwa Philip Larkin mempunyai pandangan yang berbeda dari kalangan umum yang beragama terhadap masa tua dan kematian. Menurut Larkin, masa tua yang merupakan bagian akhir dari kehidupan manusia di dunia tetap merupakan hal yang sangat berarti. Di masa tua, manusia masih mempunyai eksistensi, masih mempunyai kemampuan untuk melakukan hal-hal yang berarti buat diri sendiri. Di kematian, manusia tidak berarti apa-apa, manusia 'hilang' dan hal ini bersifat abadi.

"
1989
S14166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petch, Simon
Sydney: Sydney University Press, 1981
821.914 PET a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Facruddin Ambo Enre
Djakarta: Gunung Agung, 1963
808.81 FAC p (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Susilowati Ramelan
"ABSTRAK
Latar belakang
Angka kematian bayi (AKB) sudah sejak lama dipakai sebagai salah satu indikator status kesehatan masyarakat suatu negara. Angka ini di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 93 kematian per 1000 kelahiran pada tahun 1983 ( Utomo, 1984). Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, didapatkan AKB sebesar 71,8 permil (Budiarso dkk., 1986). Meskipun angka tersebut menunjukkan perbaikan bila dibandingkan dengan AKB pada tahun 1983, namun masih merupakan AKB tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN. Pada tahun 2000 diharapkan angka tersebut dapat ditekan menjadi 45 permil (Dep. Kes. RI.1984).
Dari angka kematian bayi tesebut, kematian neonatal dini (KND) merupakan porsi terbesar. Vaughan (1987) memperkirakan bahwa sebagian besar (sekitar 61%) dari kematian bayi terjadi pada masa neonatal dini. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Barros dkk. (1987) meski persentase yang lebih rendah, 45%. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa penurunan AKND akan mengakibatkan penurunan AKB secara bermakna (Markum dkk., 1983). WHO memperkirakan bahwa AKND di Indonesia menduduki tempat tertinggi di negara-negara anggota ASEAN, ialah 32,9 permil (WHO, 1984). Upaya penurunan AKND secara khusus dapat dinilai sebagai bagian dari upaya ilmu kesehatan anak, namun secara. umum hal tersebut juga merupakan upaya pelayanan kesehatan menyeluruh yang melibatkan berbagai bidang dan keahlian.
Tinggi rendahnya AKND dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Faktor tersebut adalah faktor bayi itu sendiri, faktor ibu, faktor perilaku masyarakat khususnya perilaku ibu faktor sosial dan ekonomi, factor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan dan lain-lain. Masing-masing faktor tersebut tidak dapat dianggap
secara eksplisit berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Faktor bayi yang sudah banyak dikenal mempengaruhi AKND adalah berat lahir, masa gestasi, nilai Apgar, dan pelbagai penyakit neonatus khususnya sindrom gangguan pernapasan. Pelbagai faktor ibu yang ikut menentukan AKND antara lain adalah umur, pendidikan, penyakit selama masa kehamilan misalnya eklamsia, serta paritas.
Bayi baru lahir adalah hasil reproduksi yang dipaparkan pada lingkungan baru melalui proses persalinan. Hasil reproduksi tersebut dapat dinilai antara lain dengan berat badan bayi waktu lahir. Berat badan waktu lahir tersebut, di lingkungan kedokteran dikenal sebagai berat lahir, dinilai seba-gai salah satu
indikator tumbuh-kembang janin dari sudut gizi?
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophia Rini Hapsari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lee, Young-Ju
"BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia dan Korea memiliki pengalaman sejarah yang sama, yaitu mengalami masa pendudukan Jepang. Indonesia dijajah Jepang mulai tanggal 8 Maret 1942 sampai 17 Agustus 1945.1 Pada awalnya kedatangan Jepang dipandang positif bagi orang Asia Tenggara dan berhasil mematahkan mitos bahwa "orang berkulit putih tidak dapat dikalahkan". Apalagi seruan atau semboyan Jepang yakni "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya" dan "Asia untuk Orang Asia" cukup menarik untuk mengambil hati rakyat Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pemerintah Jepang yang menyebut dirinya sebagai sang pembebas pada waktu itu juga telah menjanjikan kemerdekaan, namun ternyata semuanya tidak terwujud dan hanya merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia. Justru yang diterima oleh bangsa Indonesia adalah penderitaan yang lebih parah dibandingkan dari penjajah Belanda.2.
Sementara itu, pengalaman pahit bagi bangsa Korea dimulai pada tahun 1910, ketika Dinasti Chosun (kerajaan Korea, 1392-1910) digulingkan oleh Imperialis Jepang. Selama 35 tahun Jepang melakukan penjajahan yang kejam terhadap bangsa Korea. Jepang dengan kekuatan militer merampok baik tanah, bahan pangan maupun sumber-sumber alam dan tenaga manusia Korea. Keadaan seperti itu tidak membuat bangsa Korea patah semangat, tetapi malah sebaliknya, bangsa Korea berjuang melawan penjajahan Jepang dan akhirnya memperoleh kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1945.
Dari pengalaman sejarah yang sama dari kedua negara, terdapat beberapa perbedaan, seperti lama waktu penjajahan, kebijakan, dan lain-lainnya.
Dibandingkan dengan Indonesia, periode penjajahan Jepang di Korea lebih lama dan dapat dikatakan lebih kejam - bahkan Jepang melaksanakan kebijakan penghapusan homogenitas bangsa Korea untuk menghancurkan secara total sejarah dan kebudayaan Korea. Dapat dikatakan penindasan Jepang terhadap Korea mencapai puncaknya pada tahun 1940-an, hingga kegiatan-kegiatan di berbagai sektor terutama seni dan budaya dilarang dan sangat tidak bebas. Bahkan, dalam rangka penjepangan, pemerintah penjajahan melaksanakan kebijakan baru, yaitu pelarangan penggunaan bahasa Korea di sekolah dan pemaksaan penggunaan nama Jepang sebagai ganti nama Korea.4
Sementara di Indonesia Jepang mendukung pemakaian bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi untuk menghapus sisa-sisa dan pengaruh Belanda serta membentuk beberapa organisasi untuk memobilisasi rakyat. Kebijakan Jepang terhadap Indonesia kelihatannya membantu perkembangan Indonesia, tetapi semuanya dilaksanakan demi kepentingan Jepang. Namun ada beberapa tokoh Indonesia mengabaikan kekuatan dan kemampuan bangsa Indonesia dan memberikan penilaian yang berlebihan atas kebijakan Jepang di Indonesia, sebagaimana kutipan berikut:
Semua itu sangat sekali menyinggung perasaan bangsa Indonesia, tapi tak dapat disangkal bahwa ada juga baiknya, karena bangsa kita dengan demikian ditempa badan dan jiwanya dan diajar mengerjakan pekerjaan yang besar-besar dalam hubungan yang besar-besar sehingga kita dengan sekaligus diangkat ke tingkat internasional, sambil merasakan kesakitan tumbuh besar yang tiba-tiba dan tergesa-gesa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: PT Cerah Budaya Indonesia, 2024
899.221 ANG
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Jhon
Yogyakarta: Ganding Pustaka, 2016
808.81 SIR r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Putriadita Kusumadewi
"Posttraumatic growth adalah perubahan positif yang muncul setelah individu mengalami peristiwa traumatis dalam hidupnya, salah satunya adalah kematian salah satu orang tua di masa perkembangan emerging adulthood. Dalam menghadapi situasi sulit tersebut, perceived social support yang dirasakan individu dan religious coping yang dilakukan dapat memunculkan posttraumatic growth pada individu. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui apakah perceived social support dan religious coping dapat memprediksi kemunculan posttraumatic growth di emerging adult yang mengalami kematian salah satu orang tua di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan 66 partisipan berusia 18 sampai 25 tahun dan pernah mengalami kematian salah satu orang tua dalam waktu minimal enam bulan sampai maksimal tiga tahun lalu untuk mengisi kuesioner Multidimensional Scale of Perceived Social Support, Brief RCOPE, dan Posttraumatic Growth Inventory. Hasil analisis regresi linear menunjukkan dan religious coping (F (3,62) = 5,814, p<0,05) dapat memprediksi posttraumatic growth secara signifikan (R2= 0,220, p<0,05). Hal ini berarti perceived social support yang dirasakan dan religious coping yang dilakukan dapat membantu munculnya posttraumatic growth pada emerging adult yang mengalami kematian salah satu orang tua. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan intervensi untuk emerging adult yang berduka.

Posttraumatic growth defines as positive changes that arise after individuals experience traumatic events in their lives, like the death of a parent in emerging adulthood. In dealing with these difficult situations, perceived social support and religious coping can lead to posttraumatic growth in individuals. This study aims to determine whether perceived social support and religious coping can predict posttraumatic growth in emerging adults that lost one of the parents in Indonesia. This research is a quantitative study involving 66 participants, aged 18 to 25 years and had experienced the death of one parent within a minimum of six months to a maximum of three years ago, to fill out the Multidimensional Scale of Perceived Social Support questionnaire, RCOPE Brief, and Posttraumatic Growth Inventory. Using linear regression analysis method, perceived social support and religious coping (F (3,62) = 5,814, p < 0,05) can predict posttraumatic growth significantly (R2= 0,220, p<0,05). This means that perceived social support and religious coping can help the emergence of posttraumatic growth in emerging adults who experience the death of one parent. The result of this study can be considered as an intervention for bereaved emerging adults.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldine Abigail Theophilus
"Anak merupakan peristiwa traumatis yang sangat menyakitkan bagi orang tua yang ditinggalkan. Perjuangan dalam memaknai peristiwa kehilangan tersebut dapat memunculkan pertumbuhan positif atau post-traumatic growth pada beberapa orang tua. Tidak semua individu yang melalui peristiwa traumatis pasti mengalami post-traumatic growth sehingga pemahaman akan faktor sosial dan faktor individual yang memengaruhi kemunculan post-traumatic growth menjadi penting. Penelitian ini melihat peran persepsi dukungan sosial dan forgiveness dalam memprediksi post-traumatic growth pada orang tua yang mengalami kematian anak. Responden penelitian ini adalah 38 orang tua yang mengalami kematian anak dalam enam tahun terakhir. Responden diminta untuk mengisi alat ukur Heartland Forgiveness Scale (HFS), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), dan Post-traumatic Growth Inventory (PTGI). Hasil analisis metode regresi berganda antara persepsi dukungan sosial dan forgiveness terhadap PTG menunjukkan hasil yang signifikan (R2 = 0,223, p < 0,05). Dari kedua prediktor, hanya persepsi dukungan sosial (β = 0,448, F(2, 35) = 5,034, p < 0,01) yang secara signifikan memprediksi post-traumatic growth, sedangkan forgiveness (β = 0,087, F(2, 35) = 5,034, p > 0,05) tidak signifikan dalam memprediksi post-traumatic growth. Persepsi dukungan sosial yang positif dapat membantu orang tua untuk memaknai kehilangan yang dialami secara lebih efektif dan berdampak pada kemunculan

The death of a child is a traumatic experience for the parents of the deceased. Nevertheless, the struggle to make meaning out of the loss experienced may induce positive changes, known as post-traumatic growth, among some bereaved parents. Post-traumatic growth does not happen in all individuals after encountering a traumatic event, hence effort to understand the social and individual factors which influence post-traumatic growth is much needed. This study aims to investigate the role of perceived social support and forgiveness in predicting post-traumatic growth among bereaved parents. A total of 38 parents who experienced child loss in the last six years completed the Heartland Forgiveness Scale (HFS), the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), and the Post-traumatic Growth Inventory (PTGI). Multiple regression analyses showed that perceived social support and forgiveness significantly predicted post-traumatic growth (R2 = 0,223, < 0,05). Among the two predictors, perceived social support significantly predicted post-traumatic growth (β = 0,448, F(2, 35) = 5,034, p < 0,01), whereas forgiveness did not (β = 0,087, F(2, 35) = 5,034, p 0,05). It is found that higher perceived social support helps parents to cope with the loss more effectively and effects the emergence of post-traumatic growth."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>