Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150843 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Ruth Eveline
"Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari manusia membutuhkan komunikasi antar sesamanya. Dalam komunikasi yang terpenting adalah tersampaikannya pesan kepada penerima seperti yang diinginkan oleh pengirim. Manusia menggunakan bermacam-macam media untuk berkomunikasi; salah satu diantaranya yang sudah dikenal adalah film yang merupakan media komunikasi audio-visual. Komunikasi dalam film dilakukan dengan menggunakan gambar-gambar atau lambang-lambang dan suara sesuai dengan fungsinya sebagai media komunikasi audio-visual. Oleh karena itu, dewasa ini film dianggap sebagai media komunikasi yang sangat efektif. Pesan yang ingin disampaikan akan lebih mudah diterima dibanding dengan meng_gunakan media komunikasi lainnya, seperti misalnya, buku, kaset, dan sebagainya. Cobalah kita simak acara film pendidi_kan Sesame Street di RCTI, suatu acara televisi untuk anak_anak yang sangat digemari di negara asalnya, Amerika Serikat. Acara ini ternyata juga sudah menjadi acara favorit anak-anak khususnya di Jakarta. Acara tersebut sebenarnya ingin memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak, seperti pengenalan akan angka, huruf, kata dan pengenalan akan alam sekitarnya, tetapi karena hal itu dilakukan melalui film, anak-anak yang pada umumnya cepat bosan, menjadi tertarik dan antusias terhadap acara tersebut. Keberhasilan suatu film dalam penyampaian pesan tentunya tidak terjadi begitu saja, perlu dukungan skenario yang baik dan dibutuhkan sutradara yang cakap. Seorang sutradara harus dapat menggunakan subyek sinematik, seperti faktor makhluk, ruang, waktu dan peristiwa semaksimal mungkin sehingga setiap adegan dapat memberi makna bagi penonton dan pesanpun dapat diterima. Tujuan pembuatan film bisa bermacam-macam. Ada film yang dibuat untuk memperkenalkan obyek-obyek pariwisata dan berbagai kebudayaan suatu tempat dengan tujuan menarik para wisatawan. Ada pula film yang dibuat untuk memberikan pelajaran kepada murid-murid sekolah, seperti acara-acara pendidikan di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S14523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurita Rossiana Dewi
"ABSTRAK
Perubahan suatu bahasa akan terus berlangsung dan biasanya membutuhkan waktu yang relatif lama dan proses yang panjang, tak terkecuali bahasa Jerman. Sejarah perkembangan bahasa Jerman dibagi menjadi ke dalam beberapa kelompok periodisasi, dimulai dari Althochdeutsch (750-1050), Mittelhochdeutsch (1050-1350), Frühneuhochdeutsch (1350-1650), Neuhochdeutsch (1650-1900), dan akhirnya masuknya bahasa sekarang ini atau Gegenwartsprache (1900-saat ini). Di makalah ini, saya meneliti ciri-ciri kebahasaan yang muncul dalam Minnesang berjudul Tagelied dan Vil süeziu senftiu toeterinne karya Heinrich von Morungen yang berkaitan dengan ciri kebahasaan Mittelhochdeutsch dengan metode penelitian kualitatif dan studi pustaka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan ciri-ciri kebahasaan Mittelhochdeutsch yang muncul di Tagelied dan Vil süeziu senftiu toeterinne karya Heinrich von Morungen. Berdasarkan analisis yang dilakukan, ditemukan bahwa pada kedua karya Minnesang tersebut terdapat ciri-ciri kebahasaan Mittelhochdeutch, baik sistem fonetik dan sistem morfologi sintaksis, yaitu vokal panjang, vokal pendek, umlaut panjang, umlaut pendek, diftong, konsonan, baik konsonan satu bunyi untuk dua grafem maupun konsonan satu grafem banyak bunyi, penggunaan kata ganti orang (Personalpronomen), kata ganti kepemilikan (Possessivpronomen), Tempus, Modus, Indefinitartikel, dan penulisan nomina yang tidak diawali dengan huruf kapital.

ABSTRACT
The change of language will continue and it usually takes a relatively long time and a long process, no exception the German language. The history of development of German language is divided into several groups to periodization, starting from Althochdeutsch (750-1050), Mittelhochdeutsch (1050-1350), Frühneuhochdeutsch (1350-1650), Neuhochdeutsch (1650-1900), and finally the entrance of present language or Gegenwartssprache (1900-today). In this paper, I have analysed the characteristics of language that appears in Minnesang entitled Tagelied and Vil süeziu senftiu toeterinne by Heinrich von Morungen relating to Mittelhochdeutsch linguistic characteristics with qualitative research methods and literature. The purpose of this research is to explain the characteristics of Mittelhochdeutsch linguistic that appears in Tagelied and Vil süeziu senftiu toeterinne by Heinrich von Morungen. The result of the analysis shows that both these Minnesang works have Mittelhochdeutch linguistic characteristics, either phonetic system and morphology syntax system, namely long vowels, short vowels, long umlaut, short umlaut, diphthong, consonant, either consonant one sound for two grapheme or consonant a grapheme many sounds, the use of the personal pronoun (Personalpronomen), a possessive pronoun (Possessivpronomen), Tempus, Modus, Indefinitartikel, and the writing of nouns that do not begin with a capital letter."
2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mentari Putrirahayu Prawira
"Penelitian ini membahas film The Lobster (2015) karya Yorgos Lanthimos yang dikategorikan sebagai film distopia. Dengan menggunakan teori film dan konsep distopia, strategi naratif film The Lobster menunjukkan bahwa film ini tidak menggambarkan sebuah dunia apocalypse atau teknologi yang futuristik dalam membangun latar distopianya. Dunia pada film ini digambarkan seperti halnya masyarakat masa kini. Hal utama yang mengkonstruksi latar distopia pada film ini adalah pengaturan terhadap seksualitas masyarakat. Analisis dengan konsep kekuasaan dan wacana seksualitas Foucault menunjukkan bahwa hal film ini merupakan sebuah sindiran atau kritik terhadap pengaturan pernikahan. Film ini juga berusaha menunjukkan bahwa ideologi konservatisme akan seksualitas yang ‘sehat’ pada abad ke 18 dan 19 masih ada hingga kini dan menyebabkan hirarki dan diskriminasi.

This research is an analysis of the text of the film that discusses The Lobster (2015) by Yorgos Lanthimos which is categorized as a dystopian film. Analysis using film theory and the concept of dystopia, the narrative strategy of The Lobster shows that this film does not depict an apocalyptic world or futuristic technology in constructing its dystopian setting. The world in this film is depicted like today's society. The main thing that constructs the dystopian setting in this film is the control of the sexuality. This film also shows the contestation of sexuality discourse which is depicted in the three dominant settings of the film, namely the city, the hotel, and the forest. Analysis with Foucault’s concept of and sexuality discourse shows that sexuality is a practice of power to discipline society. The results of this study also show that the film The Lobster is a satire or criticism of marriage arrangements. The film The Lobster tries to show that the ideology of conservatism of 'healthy' sexuality in the 18th and 19th centuries still exists today and causes hierarchy and discrimination. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marina Augustina Isakh
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Imelda Novita
"Diese Arbeit behandelt die,. verschiedenen Moglichkeiten der Themenentfaltung and des thematischen Strukturaufbaus in verschiedenen Textsorten. Diise Arbeit besteht aus vier kapiteln."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S15008
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Aufa Fitri
"Artikel ini membahas tentang Pertjatoeran Doenia dan Film sebagai majalah film yang bercorak nasionalisme Indonesia. Majalah ini terbit pada 1941 – 1942 seiring dengan sifat pergerakan nasional Indonesia yang condong ke arah kooperatif dan pengembangan kemajuan bangsa melalui ekonomi, usaha-usaha dagang, sekolah, dan juga pers Indonesia. Di saat yang sama, terjadi peningkatan signifikan pada produksi film di Hindia Belanda menyusul kesuksesan Terang Boelan (1937) yang membuktikan bahwa resep tertentu dalam membuat film dapat menjanjikan keuntungan finansial yang besar. Majalah ini kemudian muncul untuk mendukung industri film yang sedang berkembang di Hindia Belanda dan mengarahkannya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Pertjatoeran Doenia dan Film memiliki peran dalam membangun rasa nasionalisme bangsa Indonesia melalui diskursus- diskursus yang termuat dalam lembaran majalah mengenai hakikat film Indonesia, hubungan antara modernisme dan kemajuan bangsa, hingga pemberitaan-pemberitaan tentang politik pergerakan menjelang akhir kolonialisme Belanda. Untuk mencapai kesimpulan tersebut, digunakan sembilan nomor majalah Pertjatoeran Doenia dan Film dan dianalisis dengan berbagai literatur tentang periode akhir kolonialisme Belanda. Sebagai soft media yang mengedepankan berita hiburan, majalah ini dapat lolos menyuarakan cita-cita kaum pergerakan pada masa itu tanpa diberangus oleh pemerintah.

This article discusses Pertjatoeran Doenia dan Film as film magazine with Indonesian nationalism as its characteristic. This magazine published in 1941-1942 along with the nature of Indonesian national movement by its cooperative and national development through economy, trading businesses, schools, and Indonesian press. At the same moment, there was significant increase of Dutch East Indies‟ film industry following the success of Terang Boelan (1937) that proved a certain recipes in film making could bring huge number of financial returns. Then, this magazine appeared to support the developing film industry in Dutch East Indies and make it beneficial to the behalf of Indonesia nation. From this research, it can be concluded that Pertjatoeran Doenia dan Film has a role in developing sense of Indonesian nationalism through discourses contained in the magazine about the essence of Indonesian film, the connection between modernism and nation development, and coverage of political movement in the end of Dutch colonialism in Indonesia. In reaching that conclusion, nine numbers of series of Pertjatoeran Doenia dan Film magazine were used and analyzed with various literatures about the late period of Dutch colonialism. As a soft media delivering entertainment news, this magazine was able to voicing the ideals of the nationalists at the time without being suppressed by the government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S7011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Shuri Mariasih Gietty
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zamhari Abidin
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
345 ZAM p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zaqiatul Mardiah
"Konsep semantik modus, keaspekan dan waktu kebahasaan dalam bahasa Arab mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dari bahasa-bahasa lainnya. Bahasa arab memiliki dua bentuk verba untuk mengungkapkan ketiga konsep tersebut, yakni verba ma:di dan verba mUda: ri'. Penggunaan bentuk verba tertentu dalam sebuah kalimat lebih banyak disebabkan oleh penekanan pada fungsi verba dalam menemtkatkan peristiwa pada garis waktu, baik secara internal maupun secara eksternal. Dikatakan secara internal karena tidak memiliki pusat deiktis, tetapi berkaitan dengan konstituen waktu sebuah situasi yang terjadi. apakali situasi itu sedang dilakukan ataukah sudah selesai dilakukan, Adapun dikatakan secara eksternal karena penempatan peristiwa mengacu pada sebuah rujukan waktu yang pada umumnya berupa ?moment of speaking''. Artinya, kalau memiliki pusat deiktis. Lain halnya dengan modus. Di dalam bahasa Arab, modus dinyatakan hanya Lila bentuk verba muda: ri '.
Untuk mengkaji mengapa sebuah bentuk verba digunakan dalam sebuah kalimat dan mengapa bentuk yang lain tidak digunakan, penelitian ini memakai teori uji penyulihan yang dikemukakan oleh Bache (1997: 108-1 10). Dari uji penyulihan tersebut diperolch empat tipe kalimat, yaitu:
(1) kalimat yang tidak dapat disulih karena tidak mempunyai bentuk variannya;
(2) kalimat yang tidak gramatikal;
(3) kalimat yang mengalami perubahan makna; dan (4) kalimat yang mengalami perubahan makna secara halus. Tipe kalimat yang terakhir inilah yang dipakai untuk menjauhu makna dasar sebuah kalegori dan makna hasil interaksinya. Dari sinilah dipcroleh informasi tentang waktu kebahasaan dan keaspekan dalam sebuah kalimat. Begitu Pula dengan modus ataupun modalitasnya.
Makna dasar terbagi dua, yaitu makna dasar keaspekan dan makna dasar waktu kebahasaan atau kekataan. Apabila sebuah kalimat disulih dengan kalimat varian yang berbeda aspeknya rnenghasilkan perubahan hanya pada makna keaspekannya, hal ini disebut makna dasar keaspekan. Apabila yang berbeda kalanya dan mengakibatkan perubahan hanya pada makna kekalaan, hal ini disebut dengan makna dasar kekalaan. Makna hasil interaksi merupakan makna yang dihasilkan dari sebuah uji penyulihan yang berakibat bukan hanya pada perubahan satu kategori saja, melainkan pada lebih dari satu kategori secara bersamaan: misalnya berakibat pada perubahan makna kekalaan dan aksionalitas atau berakibat pada perubahan makna keaspekan dan keakalaan.
Data yang digunakan dalam karya ini berupa novel dan ayat Al Quran, sedangkan metodenya adalah metode penelitian struktural normatif, Dengan menggunakan metode penelitian tersebut, kajian ini memandang satuan bahasa sebagai unit analisis dalam struktur kalimatnya dan makna merupakan titik total: analisis data. Selain ilu, penelitian ini juga hendak menerapkan kaidah-kaidah semesta tentang pengungkap modus, keaspekan, dan waktu kebahasaan ke dalam bahasa Arab; antara lain konsep Sislem Rujukan Waktu (SRW) yang dikernukakan Hoed (1993) dan meta kategori kala, aspek, dan aksionalitas yang ditulis oleh Bache (1994).
Dari analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab-ditinjau dari segi bentuk-mengenal dua bentuk, yakni bentuk lampau dan tak lampau. Namun, dilihat dari konsep semantis waktu kebahasaan bahasa Arab mengenal waktu kebahasaan absolut, yaitu waktu lampau, kini, dan rnendatang. Waktu kini dan ntendalarlg dinyatakan dengan menggunakan verba muda:rii sedangkan waktu lampau diungkapkan dengan mcnggunakan verba ma:di dan unsur leksikal berupa verba bantu/ka:nal, serta konteks kalimat. Ditinjau dari konsep semantis keaspekan, bahasa Arab memiliki dua macam keaspekan, yaitu imperfeklilitas dan perfektifitas. Perfektilitas dinyatakan oleh bentuk verba ma:di, sedangkan Imperfektifitas dinyatakan oleh bentuk verba muda: ri'.

Mood, Asexuality, and Temporality in Arabic Language The semantic concept of mood, aspectuality, and temporality in Arabic language is uniquely different from other languages. Arabic has two verb forms to discover these three concepts, which are ma: di and muda: ri?. The use of that verb in a sentence depends on temporal constituency of it rather another function, internally and externally. It is said internally because it has no deictic center, but is associated to constituent of time of the occurrence of a situation, either the situation is being done or has been done. It is said externally because the placement of event refers to some other time, usually to the moment of speaking. We mean that kala has deictic center. It is different to mood. In Arabic, mood is expressed by the verb form muda:ri' only.
This investigation uses substitution test theory of Bache (1997: 108 - 110) to study why a form of verb is used in a sentence and the other is not used in. From the test, we obtain four types of sentences; those are:
(1) a sentence we cannot substitute because it has no variance form;
(2) an ungrammatical sentence;
(3) a sentence that is experiencing a meaning change; and
(4) a sentence that is experiencing a smoothly meaning change. The latest type of sentence is used to understand the definition level of a category and the function level of it. From this process, it will be obtained information on temporality and aspectuality in a sentence. Mood or modality of sentence will also be obtained.
The definition level is divided into two forms, that are the definition level of aspectuality and temporality or tense, When a sentence is substituted with a variant of sentence, that is in different aspect, produce a change only in its aspect meaning, it is said the definition level of aspectuality. When the difference is in its tense and this cause a change only in the meaning of tense, it is called the definition level of temporality. The function level result is produced by a substitution test that has an impact not only on the change of one category but also on the change of temporality meaning and actionality, or has an impact on the change of aspectualtity and temporality.
We use novel and ayat Al Quran as resources of data, and normative structural as a research method. Based on the research method, this study views constituent as a unit of analysis in a sentence structure and the meaning is the starting point of data analysis. This research will also apply the mechanism of universe on the discovery of mood, aspectuality, and temporality into Arabic; some of those are the concept of The Time Benchmark System (SRW) of Hoed (1993) and the metacategory of tense, aspect, and actionality of Bache (1994).
The results of analysis revealed that Arabic - in term of form -- has two forms, which are the past and not the past forms. Meanwhile, according to semantic concept, the temporality of Arabic acknowledges the absolute temporality, which is past, present, and future times. The present and future times is expressed by using a verb muda: ri ', but the past time is expressed by using a verb ma: di and the lexical item that is modal /ka:na/, and a sentence context. From the view of aspectuality semantic concept, Arabic has two types, which are imperfectivity and perfectivity. Perfectivity is expressed by a verb form ma: di, meanwhile imperfectivity is expressed by a verb form muda: ri?.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T12108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>