Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50022 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ully Puriandari
"Otaku mengacu pada orang-orang yang tenggelam pada sekelompok subkultur yang saling sangat berkaitan satu sama lain, seperti komik, anime, game, PC, science fiction (tema perang luar angkasa dalam anime, komik, dll), tokusatsu (tema kepahlawanan dalam film yang diperankan oleh manusia), figure (patung kecil dari tokoh suatu anime), dan lain sebagainya (Azuma Hiroki). Subkultur sendiri memiliki makna sebagai sebuah cabang kebudayaan atau kebudayaan cabang yang memiliki nilai dan norma yang khas, yang berbeda dengan masyarakat dominan. Parameter sebuah kebudayaan untuk dapat digolongkan sebagai subkultur adalah memiliki otonomi namun tetap memiliki ketergantungan, serta memiliki karya yang merupakan hasil dari pengekspresian diri (Ina Masato). Seseorang akan dapat dikatakan sebagai seorang otaku apabila orang tersebut menggemari subkultur-subkultur Jepang seperti anime, komik, dsb secara mendalam dalam kehidupan mereka. Bahkan kegemaran mereka yang berlebihan terhadap hal-hal tersebut dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan masyarakat sekitarnya. Tingginya intensitas seorang otaku melakukan berbagai kegiatan mereka menyebabkan semakin minimnya komunikasi mereka dengan masyarakat sekitar, bahkan keluarga mereka. Seperti masyarakat pada umumnya, otaku bekerja dan mencari nafkah, tetapi sebagian besar panghasilannya dihabiskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan otakunya. Kegiatan otaku antara lain, berburu barang koleksi yang berkaitan dengan kegemaran mereka, chatting di Internet dengan teman-teman dunia mayanya, mengunjungi maid cafe (kafe dengan pelayanan yang unik), menghadiri komike (comic market), dan lain sebagainya. Otaku sering melakukan kegiatan-kegiatan otakunya di Akihabara, di Tokyo. Dalam kaitannya dengan subkultur Jepang seperti anima, komik, dsb, otaku berperan sebagai penggemar subkultur-subukltur tersebut. Akan tetapi, dengan melihat parameter sebuah kebudayaan yang digolongkan ke dalam subkultur, pada perkembangannya, otaku dapat juga disebut sebagai subkultur Jepang itu sendiri. Karena otaku terbebas dari sistem masyarakat yang berlaku dominan dengan memisahkan diri mereka dari masyarakat. Tetapi otaku masih tetap tergantung pada sistem ekonomi, karena mereka membutuhkan uang untuk melakukan kegiatan mereka. Selain itu otaku juga menghasilkan karya yang berupa pengekspresian diri mereka, karena tidak sedikit otaku yang membuat anima atau komik yang terkenal di Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dibtyanto Satyo Prakoso
"Konsumsi simulacra dalam bentuk anime, manga dan game oleh kelompok otaku dalam masyarakat Jepang semakin bertambah sejak meningkatnya ekonomi Jepang secara signifikan pada akhir tahun 80an atau yang dikenal dengan masa bubble economy. Salah satu bentuk simulacra yang paling digemari oleh kelompok otaku sejak akhir tahun 80an adalah moe. Moe merupakan perasaan cinta seseorang, yaitu otaku, terhadap karakter dalam anime, manga dan game. Moe sebagai simulacra merupakan penggambaran karakter anime, manga dan game yang jauh dari realitas sebenarnya. Moe boom adalah sebuah fenomena yang merupakan dampak dari konsumsi simulacra moe oleh kelompok otaku yang didukung oleh strategi pasar yang berusaha meraup keuntungan dari hal tersebut. Penelitian ini akan membahas secara mendalam mengenai hubungan antara konsumsi simulacra moe oleh kelompok otaku dan strategi pasar terhadap meledaknya fenomena moe. Hasil penelitian ini akan menguatkan argumentasi bahwa konsumsi simulacra moe otaku dan strategi pasar memiliki hubungan yang relatif kuat terhadap munculnya fenomena moe boom di Jepang.

Consumption of simulacra in anime, manga and game by otaku in Japanese society rise since the bubble economy in 80s. One of those simulacra is moe. Moe means being strongly attracted to characters, especially in anime, manga and game. Today‟s moe has been widely spread in almost every media that related with otaku. This study will analyze the relation between the consumption of simulacra by otaku and the market strategy that makes the moe boom.;Consumption of simulacra in anime, manga and game by otaku in Japanese society rise since the bubble economy in 80s. One of those simulacra is moe. Moe means being strongly attracted to characters, especially in anime, manga and game. Today‟s moe has been widely spread in almost every media that related with otaku. This study will analyze the relation between the consumption of simulacra by otaku and the market strategy that makes the moe boom."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42479
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Virgianti
"Skripsi ini membahas globalisasi dengan simulacra di dalamnya yang membawa dampak merosotnya intensitas interaksi sosial di tengah masyarakat Jepang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui sumber sekunder seperti: buku, data statistik, jurnal ilmiah dan berbagai publikasi elektronik. Berdasarkan teori simulacra Baudrillard, terbukti dalam hasil penelitian ini bahwa realitas dimana interaksi sosial telah berkurang adalah benar mendorong terwujudnya simulacra untuk aktif membentuk hyperreality berupa interaksi intim dengan para karakter dua dimensi (kyarakutaa) yang pada akhirnya melahirkan individu-individu yang disebut otaku.

This thesis explain about globalization that contains simulacra which decreases the frequency of social interaction in Japanese society. This research was done using qualitative method and descriptive design while the data collection was taken from secondary sources, such as: books, statistics, scientific journals, and various electronic publications. Refering Baudrillard?s simulacra theory, this research proves that the reduction of social interaction causes simulacra to actively construct a hyperreality in a form of intimate interaction with two dimensional characters (kyarakutaa), which in the end creates unique individuals named otaku."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S449
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arif
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas peran otaku dalam perkembangan doujinshi melalui Comic Market yang merupakan pasar doujinshi terbesar yang diadakan di Tokyo, Jepang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian tentang otaku dalam tulisan ini diambil dari perspektif bisnis yang diungkapkan oleh Nomura Research Institute. Otaku dalam tulisan ini digambarkan sebagai 'enthusiastic consumer', orang yang sangat antusias terhadap bidang yang menjadi hobi dan kegemarannya, serta memiliki ciri-ciri psikologis yang unik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa otaku berperan dalam perkembangan doujinshi melalui tiga hal, yaitu dari segi kreativitas, koleksi, dan komunitas.

ABSTRACT
The focus of this study is the role of otaku in the development of doujinshi through Comic Market which is the biggest doujinshi convention held in Tokyo, Japan. Otaku in this research is viewed from business perspective which was revealed by Nomura Research Institute. Otaku, known as enthusiastic consumer, are the people who devote themselves in their hobby and interest, and possess unique psychological characteristics. The result of this research indicates that otaku have three major roles in the development of doujinshi, namely creativity, collection, and community."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S536
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iman Rustarmadi
"Skripsi ini membahas mengenai kaitan budaya konsumsi Otaku MMORPG Jepang dengan genre light novel Overlord. Dengan menggunakan teori aspek semiotic dari Roland Barthes, penulsi mengkaji light novel ini dari segi sintagmatik dan paradigmatic. Hasil Analisis menunjukkan bahwa di dalam light novel Overlord, terdapat konten konten MMORPG yang membentuk hubungan sintagmatik dan paradigmatiknya. Hal ini membuktikan bahwa Overlord adalah sebuah light novel yang dibentuk dengan unsur MMORPG. Dengan menggunakan teori konsumsi database dari Hiroki Azuma, bisa diasumsikan bahwa light novel Overlord telah memakai database MMORPG untuk mengembangkan narasi yang dijualnya.

This Thesis explains about relations between light novel Overlord and Japanese MMORPG Otaku consumption culture. By applying Roland Barthes rsquo s theory of Semiotic Aspects, writer will analyze this light novel from syntagmatic and paradigmatic point of view. This analysis showed that within light novel Overlord, there is MMORPG content which build the syntagmatic and paradigmatic relationship inside. This analysis showed that Overlord is a light novel created by MMORPG elements. By applying database consumption theory by Hiroki Azuma, this shows that Overlord have used MMORPG database to create it rsquo s narrative."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S67935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Wilyan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang perilaku konsumsi dan produksi anime otaku dalam novel ringan Saenai Heroine no Sodatekata yang berbeda dari perilaku produksi dan konsumsi sebagaimana dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Menggunakan teori narration-driven consumption oleh Eiji Otsuka dan database-driven consumption oleh Azuma Hiroki, penulis mengkaji novel ringan ini dengan metode deskriptif analisis, membandingkan bagaimana perilaku anime otaku ditampilkan dalam novel ini dengan anime otaku dalam dunia nyata dan bagaimana perilaku mereka berbeda dari masyarakat pada umumnya.

ABSTRACT
This thesis explains about consumption and production behaviour of anime otaku in light novel series Saenai Heroine no Sodatekata. The writer analyses the consumption and production behaviour of Japanese geek and its differences from normal form of consumption and production. Utilising narration driven consumption theory by Eiji Otsuka and database driven consumption theory by Azuma Hiroki, the writer applies these theories to the light novel and compared it with real life anime otaku behaviour, furthermore shows the differences of consumption behaviour between casual people compared with anime otaku. "
2017
S68115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Diana Khaled
"Jepang adalah salah satu negara yang memiliki industri Mobile game dengan pendapatan tertinggi di tingkat global. Salah satu bentuk monetisasi dalam industri mobile game Jepang yaitu menerapkan sistem free-to play, di mana para pemain dapat mengunduhnya secara gratis, namun terdapat fitur pembelian yang disebut sebagai In-app purchase. Penelitian ini bertujuan menganalisis aktivitas In-app Purchase pemain mobile game free-to play Jepang pada regional Indonesia dengan menggunakan konsep Otaku Animal Database Consumption. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis data penjelasan interpretatif, di mana peneliti menginterpretasi hasil transkrip wawancara informan, lalu menjelaskannya lewat konsep yang digunakan dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukan temuan aktivitas permainan dan in-app purchase para pemain mobile game free-to play Jepang di Indonesia serta ciri khas sistem permainannya yang dapat dijelaskan melalui teori dan konsep Otaku Animal Database Consumption dan beberapa aktivitas pemain yang menunjukan beberapa dari konsep Internet gaming disorder.

.Japan is one of the highest revenue mobile game industry country at the global level. How the Japanese mobile game industry monetize their mobile game is by implementing a free-to-play system, where players can download it for free, but there is a purchase feature called In-app purchase. This study aims to analyze the In-app Purchase activities of Japanese free-to-play mobile game players in the Indonesian region using the concept of Otaku Animal Database Consumption. This type of research is a qualitative research by using interpretive explanation data analysis method, in which the researcher interprets the results of the interview transcripts of the informants, then explains them through the concepts used in the study. The results of the study show the findings of game activities and in-app purchases of Japanese free-to-play mobile game players in Indonesia as well as the characteristics of the game system which can be explained through the theory and concept of Otaku Animal Database Consumption and several player activities that show some of the concepts of Internet gaming disorder"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Asmarajaya
"Dengan maraknya perkembangan media yang semakin menjadi khusus, telah terbit sebuah majalah yang membahas topik seputar dunia selancar (surfing). Dengan kehadiran media ini setidaknya dalam isinya menggambarkan sejumah aspek dari subkultur yang sebenarnya telah ada di masyarakat. Kekhususan media yang memusatkan topiknya pada dunia surfing ini memang merupakan potensi tersendiri untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap dunia surfing ini sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan komunitas dan subkultur. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran media claim] perkembangan subkultur. Media sebagai pembentuk gagasan memiliki kekuatan dalam memproduksi gagasan dan memberikan pengaruh baik kepada individu maupun masyarakat. Peneliti juga berusaha menelaah hal-hal yang terkait dalam pembentukan gagasan oleh media dan gagasan yang disampaikan media untuk mengembangkan subkultur tersebut. Ditunjuang dengan konsep-konsep utarna mengenai fungsi dan peran media dalam masyarakat, aktivitas media, dan gagasan media; penelitian kualitatif-deskriptif ini mempergunakan metode studi kasus dimana penggunaannya bertujuan untuk menelaah mengenai media yang juga berkaitan dengan adanya subkultur. Dengan menggunakan metode ini diharapkan peneliti mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sehingga mendapat gambaran dan pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang diteliti. Studi kasus ini diperkuat dengan studi literatur, wawancara mendalam yang dilakukan terhadap beberapa responden, dan pengamatan (observasi). Dari hasil analisa penelitian menunjukan 'bahwa media berperan dalam perkembangan subkultur. Hal ini diperkuat dengan basil analisa gagasan mengenai gaya hidup dalam komunitas surfing yang termuat dalam isi dan kegiatan off-print yang dilakukan media. Dad temuan lain juga dapat dilihat bahwa media terkait dengan komersialisasi dimana di dalamnya terdapat komodifikasi. Namun bagaimanapun juga media tetap berperan dalam mengembangkan subkultur surfing ini karena media telah membentuk dan menyalurkan gagasan-gagasan surfing sehingga mempengaruhi kerangka pikir dan perilaku (cognitive mind) audiens yang menimbulkan minat untuk terjun dan bergabung dalam komunitas ini. Disini juga peneliti menemukan bahwa hasil pembentukan subkultur yang terjadi terdiri dari berbagai level yaitu individu yang hanya mengikuti gaya hidup dan yang menjadi surfer sekaligus anggota komunitas yang sesungguhnya. Dari penelitian yang dilakukan dengan metode studi kasus ini memungkinkan adanya generalisasi dengan fenomena lainnya yang serupa. Sehingga dari hash penelitian ini diharapkan bahwa dengan bermunculannya media-media baru yang semakin mengkhususkan topik bahasannya, tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan, tapi juga harus memiliki tanggung jawab sosial pada masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4326
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apit Andrianto
"Kaum muda atau remaja banyak melakukan eksperimen untuk mencari jati diri antara lain dengan menggunakan musik. Mereka bahkan kemudian menjadi pendorong dari kelahiran subkultur. Musik rock dipakai sebagai salah satu satu yang mampu merangsang pemikiran dan pembentukan kelompok tandingan yang direpresentasikan melalui lahirnya komunitas-komunitas subkultur. Kelahiran subkultur, pada awalnya, tidak pernah bisa dipisahkan dengan gaya hidup menyimpang. Anggota-anggota subkultur dianggap melakukan praktek-praktek penyimpangan perilaku seperti tindakan kriminal, alkohol, drugs, atau seks bebas. Rock sebagai musik yang muncul dengan semangat pemberontakan dijuluki sebagai musik 'iblis' karena dianggap merangsang kebiasaan hidup menyimpang tersebut.
Komunitas slanker merupakan salah satu kelompok subkultur kaum muda di Indonesia yang mendasarkan pada musik rock. Seperti halnya subkultur-subkultur lain, slanker juga tidak bisa melepaskan diri dari stigma negatif berupa penyimpangan hidup. Di awal kemunculannya, anggota-anggota kelompok slanker juga banyak melakukan gaya hidup menyimpang seperti mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang. Namun pada perkembangannya, mereka meninggalkan kebiasaan hidup menyimpang itu. Dipengaruhi oleh kelompok musik idola mereka Slank, subkultur slanker menentang budaya bangsa yang penuh dengan korupsi, kolusi, dominasi, segregasi, dan kepalsuan yang dianggap sebagai 'kultur dominan'. Sebagai kelompok subkultur mereka menciptakan simbol-simbol spesifik untuk menegosiasikan bentuk budaya alternatif atas budaya dominan dan atau tradisional. Busana mereka cuek dan apa adanya, gaya bahasa mereka terbuka dan kadang kasar, mereka memiliki cara jabat tangan khas, dan mereka juga menciptakan pesan-pesan tertentu terkait dengan focal concern sebagai kritik sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali identitas subkultur slanker dengan mengaitkan peran media KoranSlank terhadap pembentukan identitas mereka. Paradigms konstruksionisme dipakai sebagai landasan penelitian dengan mengaplikasikan metode etnografi. Pengetahuan dan realitas dalam kerangka pemikiran konstruksionisme bersifat dialektis. Proses pemahaman terhadapnya, tidak dapat mengabaikan faktor historis dan kultural. Oleh sebab itu, etnografi dipilih sebagai metode untuk menggali data alamiah dengan lebih dalam, berkaitan dengan kebutuhan informasi historis dan kultural. Aplikasi metode penggalian data menggunakan tekhnik observasi Iangsung, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Etnografi juga dipilih agar memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dengan para informan berkaitan dengan informasi-informasi yang mereka berikan ataupun atas interpretasi-intepretasi hasil yang didapatkan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa identitas slanker terangkum dalam gaya yang disebut dengan slengean. Identitas tersebut beroperasi dalam interaksi antara apa yang dimiliki secara personal oleh masing-masing anggota (identitas personal) dengan gaya kolektif yang mencerminkan milik komunitas (identitas kelompok). Media KoranSlank berperan besar dalam membentuk gaya slengean, memberi pemaknaan aimbol-simbol komunitas, dan membangun kohesifitas slanker yang akan memperkuat identitas slengean. Implikasi dari hasil penelitian ini memberi pemahaman tentang komunitas slanker sebagai bentuk subkultur yang merespon dominasi budaya tidak dengan praktek-praktek penyimpangan hidup. Pembentukan subkultur slanker lebih merupakan negosiasi atas budaya darninan negeri yang dianggap penuh dengan korupsi, segregasi, hipokrisi, dan kepalsuan. Respon terhadap dominasi budaya tidak dilakukan seperti halnya gerakan politik, tetapi lebih melalui bentuk-bentuk ide budaya seperti gaya busana, gerakan sosial, dan gerakan moral melalui pembuatan kata-kata mutiara. Jumlah anggota, daya kreativitas, dan kohesifitas kelompok menjadi potensi besar bagi pengembangan dan pemberdayaan komunitas.
Makna teoritik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelahiran subkultur sebagai bentuk dari budaya kaum muda menjadi penyedia bentuk identitas kelompok alternatif diluar dari yang ditawarkan oleh sekolah dan pekerjaan. Kaum muda merespon dominasi budaya dengan melakukan negosiasi budaya. Perubahan sosial yang tidak mungkin terhindarkan menyebabkan sifat otentisitas subkultur bersifat lentur, mengikuti perubahan tersebut. Subkultur slanker lebih menunjukkan perlawanan budaya dalam praktek kompromistis. Para anggota subkultur masih mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang dimiliki orang tua. Norma-norma dan nilai-nilai tradisi atau religi tetap dihormati. Berbeda dengan subkultur lain yang banyak muncul di Barat, subkultur di Indonesia lebih terlihat masih memperhatikan nilai-nilai tradisional. Karenanya, cakupan teoritik (theoretical scope) terkait dengan subkultur perlu memperhatikan faktor lokalitas. Sifat kompromi subkultur terhadap budaya dominan dan atau budaya orang tua perlu diperhatikan terutama terhadap subkultur-subkultur yang lahir di dunia timur."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sava Ainaya Madjid
"Tugas akhir ini membahas mengenai representasi subkultur menhera yang terlihat dalam budaya populer berupa karya musik. Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis data deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebagai subkultur, menhera memungkinkan individu untuk mengekspresikan emosi dan rasa yamu (病む; sakit), mengkomunikasikan pengalaman mereka dengan self-injury, ikizurasa (生きづらさ; pain of living) dan gangguan mental, serta membentuk komunitas yang saling mendukung. Karya musik Takayan merepresentasikan menhera secara keseluruhan, mencakup mereka yang mencari kesehatan mental dan mereka yang menunjukkan manifestasi subkultur menhera. Proses representasi dilakukan melalui penggunaan bahasa yang berkaitan dengan menhera, baik berupa kata maupun tanda visual. Dengan karya musiknya, selain mewakili menhera, Takayan memberikan afirmasi, pengakuan, pemberdayaan, dan dukungan bagi pendengarnya.

This final project discusses the representation of the menhera subculture in music as a product of popular culture. The research utilizes qualitative descriptive data analysis method. The findings suggest that as a subculture, menhera enables individuals to express emotions and feelings of yamu (病む; suffering), communicate their experiences with self-injury, ikizurasa (生きづらさ; pain of living), and mental disorders, as well as form supportive communities. Takayan's music represents menhera as a whole, encompassing those seeking mental health and those exhibiting manifestations of the menhera subculture. The process of representation is achieved through the use of language related to menhera, with words and visual symbols. Through their music, Takayan not only represents menhera but also provides affirmation, acknowledgement, empowerment, and support to their listeners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>