Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82818 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Sudirman
"Penelitian ini mengenai puden berundak Pasamuan yang terletak di desa Pasir Eurih Kecamatan Ciomas, Bogor. Situs Pasamuan merupakan bangunan dengan 9 teras dengan bentuk dan tinggalan yang memiliki ciri mirip dengan bangunan megalitik. Melihat ciri bangunan tersebut yang serupa dengan bangunan megalitik permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimanakah sebenarnya bentuk dan ciri lengkap Situs Pasamuan serta benda-benda peninggalan yang terdapat di dalamnya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal bagi penelitian selanjutnya. Langkah-langkah dalam penelitian adalah deskripsi banguan dan temuan yang terdapat di punden berundak Pasamuan, data tersebut kemudian di bandingkan dengan bangunan megalitik yang memeiliki cirri yang sama. Situs yang dijadikan pembandingan adalah punden berundak yang terdapat di Jawa Barat, yaitu punden berundak Gunung Padang, Pangguyungan, Pasir Gantung, dan Pasir Kolecer. Punden berundak tersebut dipilih karena memilki persamaan bentuk dan memiliki pengaruh kepercayaan yang sama yaitu agama Sunda Kuna atau yang dikenal dengan sebutan kabuyutan_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S11410
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anugrah P. F.Alim
"Penelitian ini memfokuskan pada bangunan Pasir Karamat beserta objek di dalamnya. Bangunan tersebut berada dalam wilayah administratif Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kota Bogor. Keadaan topografis daerah tersebut berupa lahan yang miring. Pada sisi sebelah timur Sindangbarang mengalir Sungai Ciomas, sedangkan pada sisi selatan berdiri Gunung Salak dengan kelima puncaknya. Bangunan berundak Pasir Karamat merupakan salah satu bagian dari situs kepurbakalaan yang terdapat di Kampung Sindangbarang. Bangunan berundak tersebut berada pada dataran tinggi pegunungan, yang secara astronomis terletak pada posisi 06_45_-06_25_ LS dan 105_38_ - 105_10_ BT, dan memiliki ketinggian 391 m dari permukaan laut. Dalam bangunan Pasir Karamat terdapat objek yang serupa dengan tinggalan dari tradisi megalitik. Salah satunya adalah dengan diketemukannya monolit yang profilnya mirip dengan dolmen pada teras VII, maupun dengan diketemukannya monolit yang profilnya mirip dengan menhir pada teras IX bangunan. Kajian terhadap bangunan Pasir Karamat menunjukkan bangunan tersebut mempunyai kesamaan dengan arsitektur bangunan tinggalan tradisi megalitik, yaitu bangunan punden berundak. Kajian ini juga menunjukkan adannya kemungkinan bangunan Pasir Karamat lampau digunakan sebagai bangunan suci, apabila melihat dari keberadaan sumber air di dekatnya, maupun apabila melihat dari keberadaan objek dalam bangunan yang mirip dengan dolmen, dan menhir."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S11504
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Junus Satrio Atmodjo
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan monografi yang khusus membicarakan bangunan punden berundak di Gunung Penanggungan, suatu jenis bangunan kuna keagamaan Hindu yang bukan termasuk 'candi' dan biasanya hanya didirikan pada daerah sekitar gunung. Keaneka ragaman bentuk arsitektur dan penggarapan punden merupakan perhatian utama dalam skripsi ini, termasuk usaha mencari latar belakang dari alasan pendirian bangunan ini secara keagamaan maupun arsitektur.Metode yang dipakai adalah metode perban_dingan analitis. Melalui metode ini semua bangunan contoh penelitian diperbandingkan satu dan lainnya untuk mendapatkaa ciri umum dasar bentuk arsitektur yang berlaku bagi seluruh punden Situs Penanggungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua punden situs ini dibuat berdasarkan satu pola yang sama; yaitu selalu membagi badan bangunan menjadi tiga bagian terpisah. Yang oleh penulis disebut sebagai tanggul bawah, bangunan induk, dan tiga altar utama. Juga terbukti bahwa tidak ada dua atau lebih punden situs yang bentuknya mirip sama, se_tiap punden memiliki varisi bentuk dan pe_ngerjaan yang berbeda. Selain itu pemilihan arsitektur punden sendiri.yang berteras memperlihatkan adanya hubungan dekat antara praktek-praktek pemujaan arwah nenek moyang sebagai tradisi keagamaan Indonesia asli dengan unsur-unsur agama Hindu dalam-bentuk perpaduan .Secara keseluruhan disimpulkan bahwa ba_ngunan punden berundak Gunung Penanggungan adalah hasil perpaduan antara unsur budaya Indonesia asli dengan agama Hindu dalam u_jud baru yang mewakili keduanya.Yaitu bagunan berteras yang membawa corak Hindu."
1986
S11753
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Santoso
"Bangunan megalitik dibangun atas dasar kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan akan hal ini dimanifestasikan dalam berbagai bentuk megalitik. Pada beberapa punden berundak, kepercayaan ini dapat dibuktikan dengan adanya altar dengan orientasi ke tempat yang lebih tinggi atau penempatan menhir sebagai perwujudan roh nenek moyang. Keumuman yang ada di teras-teras punden berundak adalah ditemukannya menhir yang ditempatkan pada teras utama. Permasalahan penelitian dalam kaitannya dengan hal ini adalah batu lumpang di situs Pasir Lulumpang memiliki keunikan dengan ditempatkan pada teras teratas punden berundak. Tentunya dengan kondisi yang demikian, batu lumpang punden berundak situs Pasir Lulumpang memiliki kekhasan dalam hal organisasi ruang yang ada. Adanya upaya untuk mencari jawaban dengan analogi etnografi tentu saja menjadi alternatif bagi peneliti sebagai sumber interpretan yang juga menjadi bantuan analisis dengan permasalahan sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Adanya penempatan batu lumpang di teras teratas setidaknya menunjukkan bahwa ada yang dibedakan dalam hal penempatannya jika dibandingkan dengan fenomena di punden berundak lainnya. Di sini demikian nyata adanya fenomena pertandaan. Dengan kenyataan tentang permasalahan penelitian di atas maka adanya batu lumpang di puncak punden berundak ini menimbulkan berbagai pertanyaan, yaitu:Komponen-komponen apa saja yang termasuk dalam fenomena pertandaan pada punden berundak?, Apakah yang menjadi ground dalam pertandaan? Termasuk qualisign, sinsign, atau legisign? Apakah yang termasuk dalam ikon, indeks, dan simbol dalam hubungan antara tanda dengan referent-nya?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S11745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Nugroho
"Penelitian ini mengenai bangunan berundak Situs Gunung Gentong yang terletak di Gunung Subang, Desa Legokherang Kecamatan Cilebak, Kuningan, Jawa Barat. Situs Gunung Gentong merupakan bangunan berundak dengan 6 teras dengan temuan berupa gentong, menhir, batu temugelang, batu lumpang, monolit, dan batu tegak. Bentuk bangunan berundak Situs Gunung Gentong belum diketahui. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk bangunan berundak Situs Gunung Gentong, apakah berbentuk anak tangga atau kah berbentuk piramida, dan atau kah berbentuk pola baru yang belum ditemukan sebelumya. Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah deskripsi bangunan dan temuan yang terdapat di bangunan berundak Situs Gunung Gentong, data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis bentuk, setelah itu dilakukan perbandingan antara Situs Gunung Gentong dengan konsep dan teori mengenai punden berundak megalitik yang telah diungkapkan oleh para ahli arkeologi. Hasil penelitian ini menjukkan bahwa bangunan berundak Situs Gunun Gentong merupakan bangunan megalitik yaitu punden berundak dan temuan yang terdapat di dalamnya adalah gentong, menhir, batu temugelang, batu lumpang, monolit, dan batu tegak. Situs Gunung Gentong memiliki bentuk anak tangga dan menjadi situs perantara di kawasan Gunung Subang. Dilihat dari bentuk bangunan dan temuan yang terdapat di punden berundak Situs Gunung Gentong ada kemungkinan bangunan ini digunakan untuk pemujaan.

This research on the building site of Mount Gentong terraces located on Mount Subang, Village District Legokherang Cilebak, Kuningan, West Java. Mount Gentong a building site with 6 terraces with the findings of the barrel, menhirs, stone enclosure, mortar stones, monoliths, and the upright stone. Shape of the building site of Mount Gentong is unknown. Problems in this study is how the shape of the building terraces of Mount Gentong Site, whether stair shaped or pyramid shaped, or whether new shape patterns that have not been found previously. The steps in this research is a description of buildings and the findings contained in the Site of Mount Gentong building terraces, the data are then analyzed using analysis of form, after it carried out the comparison between the site of Mount Gentong with concepts and theories about punden megalithic terraces that has been expressed by the archaeologist. The results of this study indicate that the building site of Mount Gentong terraces are the megalithic buildings which is punden terraces and the findings contained therein are the keg, menhirs, stone enclosure, mortar stones, monoliths, and the upright stones. The site Mount Gentong has the shape stairs and into the site an intermediary in the region of Mount Subang. Judging from the shape of the building and the findings contained in the Site of Mount Gentong punden terraces there is a possibility the building used for worship."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S88
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Nafisah Nasruddin
"Desa memiliki wewenang untuk bertanggung jawab dalam membina kekuasaannya secara mandiri yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan BPD, hal ini didasari oleh Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan desa disertai dengan anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Namun dalam praktiknya masih banyak terjadi penyelewengan anggaran, salah satu jenis anggaran yang menjadi fokus penelitian adalah dana desa. Berdasarkan teori elite capture oleh Diya Dutta yaitu dalam proses desentralisasi atas kuasa yang dimiliki seorang elit politik dapat melakukan penyelewengan anggaran dengan dorongan dari kondisi internal dan eksternal desa. Berdasarkan temuan peneliti yang dilakukan dengan metode kualitatif melalui teknik wawancara mendalam sejalan dengan teori elite capture bahwa kasus korupsi dana desa yang dilakukan oleh Kepala Desa Pasir Eurih pada tahun 2018 disebabkan oleh fungsi pengawasan BPD yang lemah, bentuk pengawasan dan partisipasi masyarakat yang tidak berjalan dengan baik dan tata kelola pemerintahan desa yang tidak didasarkan oleh penerapan prinsip good governance yaitu transparansi, responsif dan akuntabel. Beberapa penyebab tersebut membuka peluang terjadinya kasus korupsi yang masuk ke dalam fenomena elite capture.

The village has the authority to be responsible for fostering its power independently which is carried out by the Village Government and BPD, this is based on Law Number 6 of 2014 concerning Villages. In running the government, village development and empowerment is accompanied by a budget provided by the Central Government. However, in practice there are still many budget irregularities. One type of budget that is the focus of research is village funds. Based on the theory of elite capture by Diya Dutta, namely in the process of decentralization of power owned by a political elite, they can commit budget fraud with encouragement from the internal and external conditions of the village. Based on the findings of researchers conducted using qualitative methods through in-depth interview techniques in line with the elite capture theory that the village fund corruption case committed by the Village Head of Pasir Eurih in 2018 was caused by a weak BPD supervisory function, forms of supervision and community participation that did not go well and village governance that is not based on the application of good governance principles, namely transparency, responsiveness and accountability. Some of these causes open opportunities for corruption cases to enter the elite capture phenomenon."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Yuhana
"Perhatian terhadap peranan wanita dalam pembangunan meningkat sejak permulaan tahun 70-an, dan memuncak pada tahun 1975 dengan diproklamirkannya Tahun Wanita Sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada pertengahan tahun tersebut diadakan pula Konferensi Wanita Sedunia di Mexico City. Indonesia sejak dasawarsa tersebut, memperlihatkan berbagai program kegiatan, seminar, lokakarya, penelitian oleh, dari dan untuk wanita. Maksudnya ialah untuk lebih mengenal keadaan wanita dalam masyarakat yang mengalami perubahan pesat, menganalisis apa yang terjadi, serta menemukan cara menanggulangi hal-hal yang perlu diperbaiki atau dihilangkan. Munculnya perhatian ini berarti pengakuan bahwa kaum wanita merupakan sumber manusiawi, seperti tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sama dengan kaum pria (Mely G. Tan, 1984 : v).
Menyadari pentingnya meningkatkan potensi wanita, berbagai studi telah dilakukan untuk menyoroti masalah "wanita dan kerja". Data Studi Makro dan data Studi Mikro menunjukkan dengan "nyata" peranan wanita di pedesaan dalam pekerjaan nafkah di berbagai sektor, pertanian dan non pertanian. Dari data Sensus Penduduk 1980 (Biro Pusat Statistik) nampak bahwa dari 16.9 juta pekerja wanita (dibanding dengan 34.6 juta pekerja pria), sebanyak 9.1 juta (53.8 %) tenaga kerja wanita terlibat di bidang pertanian.
Sekitar 7.8 juta (46.2 %) tenaga kerja wanita terlibat di sektor non pertanian, mencakup bidang dagang, jasa, transportasi dan industri "manufacturing". Data hasil Studi Mikro menunjukkan tenaga kerja wanita sebagian besar berada di bidang industri rumahtangga (seperti industri makanan jadi) dan bidang dagang (makanan jadi, minuman dan rokok). Bidang-bidang usaha ini kini dikenal dengan sektor informal.
Faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi peranan wanita dalam pekerjaan nafkah. Sistem kekerabatan yang berbeda (patrilineal, matrilineal atau bilineal) yang mengenal pola adat menetap (setelah kawin) yang berbeda-beda mempunyai implikasi yang berbeda-beda pula terhadap peranan wanita dalam pekerjaan nafkah.
Sistem kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak menunjukkan kuatnya status sosial laki-laki dalam keluarga dan kerabatnya sejak proses sosialisasi anak sebagai penerus keturunan dan pembawa nama keluarga. Kuatnya peran serta wanita dalam pekerjaan nafkah, khususnya di bidang pertanian memberikan posisi yang kuat pada wanita Batak dalam mengatur perekonomian rumahtangga, hal mana memberikan motivasi yang kuat pada pendidikan anak (Asmi Hutajulu, 1987).
Sistem kekerabatan yang sama (patrilineal) pada masyarakat Bali, dan pengaruh yang besar dari agama Hindu yang mengenal sistem kasta mengembangkan adat istiadat yang khas pula bagi wanita Bali. Dalam mengatasi tuntutan untuk bekerja keras pada wanita Bali dan tak jarang pula disertai dengan imbalan kerja nafkah yang lebih kecil dan penilaian terhadap statusnya yang rendah, ternyata kebiasaan falsafah dan religi menyatakan semua pekerjaan itu adalah "dharma" dan baik, telah membenarkan peran serta wanita Bali dalam pekerjaan nafkah yang dianggap tidak pantas pada wanita Jawa. Hal ini telah membantu jangkauan yang lebih besar terhadap peluang bekerja yang meningkat karena berkembangnya pariwisata di Bali (I Gusti A.A. Ariani, 1986).
Sistem kekerabatan bilineal pada masyarakat Minahasa ternyata menempatkan wanita pada status sosial yang senilai dengan pria, lebih-lebih jika disertai dengan sumberdaya pribadi berupa pendidikan formal yang tinggi pada wanita. Peran serta wanita dalam adat Mapalus di bidang pertanian yang mencerminkan tipe pekerjaan nafkah berburuh tani karena mendapat upah ternyata tidak menempatkan pekerjaan tersebut pada jenjang yang paling rendah seperti pada masyarakat pedesaan di Jawa (A. E. Wahongan Kosakoy, 1987).
Menurut Standing (1981), agak sukar untuk mengungkapkan adanya pola umum tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja wanita karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Disamping faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya, partisipasi wanita dalam angkatan kerja juga berhubungan erat dengan siklus kehidupan perkawinan, umur pada kehamilan pertama dan jumlah anak yang dilahirkan (G. Standing, 1985: 395)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Hendhycas Bambang P.
"Bangunan-Bangunan Punden Berundak Di Situs Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit Abad 15-6 Masehi: Tinjauan Arsitektur. 368 halaman, 35 gambar, 13 tabel, 8 peta, 4 sketsa, 54 foto, 70 acuan (1845 - 1993). Beberapa laporan penelitian dari tahun 1845 - 1993 menjelaskan tentang penemuan beberapa kepurbakalaan di situs Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit maupun daerah di sekitarnya. Sebagian besar kepurbakalaan tersebut adalah berupa bangunan punden berundak, yang lazimnya dijumpai di banyak situs gunung di Jawa Timur. Laporan-laporan tersebut merupakan dasar utama di dalam melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan di lapangan. Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah mengungkapkan pola bangunan punden berundak di situs Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit dalam tinjauan arsitektur.
Di dalam analisa pembahasan arsitektur bangunan punden berundak ini selain melakukan komparasi terhadap situs sejenis, terutama situs Gunung Penanggungan, juga berdasarkan atas pengamatan lingkungan secara geografis, geomorfologis maupun geologisnya. Untuk itu tidak terlepas akan peranan beberapa peta yang berhubungan, baik peta topografi maupun peta geologi situs Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit.
Dari inskripsi yang dijumpai, diperkirakan situs ini berasal dari abad ke-15--6 Masehi. Atas perbandingan dengan data serupa dan masa yang sama di situs Gunung Penanggungan, maka pola arsitektur yang tampak pada sebagian besar bangunan punden berundak di situs Gunung Arjuna dan Gunung Ringgit terdiri atas pola halaman, bangunan induk serta altar. Pola arsitektur tersebut terungkap selain atas jenis bahan batuan yang digunakan pada sebagian besar konstruksi bangunan punden berundak maupun pada sebagian besar area adalah berupa jenis pirokiastika, .iuga atas' dasar asumsi perhitungan Hukum mekanika yang diterapkan.
Berdasarkan atas analisa pets geologi, ternyata jenis batuan piroklastika banyak dijumpai di situs Gunung Arjuno dibandingkan di Gunung Ringgit. Namun meskipun demikian masih dijumpai sebuah bangunan punden berundak di situs Gunung Ringgit yang diperkirakan menggunakan jenis batuan pirokiastika pada konstruksi bangunan induknya. Berdasarkan atas pengamatan peta topografi, terutama atas kemiringan lereng gunungnya dan beberapa penelitian geomorfologi atas perkirakan persebaran daerah permukiman, maka sebagian besar kepurbakalaan di situs Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit tersebar di lereng sebelah timur.
Berdasarkan atas data di lapangan, terdapat dua jenis bangunan induk, yaitu berdasarkan atas kemiringan lereng dan bangunan induk yang menyerupai bangunan piramid terpenggal di bagian puncaknya. Namun dari kedua jenis bangunan induk tersebut hal yang tetap dipertahankan adalah bentuk teras undakan. Beberapa peneliti sebelumnya mengungkapkan bahwa teras undakan pada bangunan berundak merupakan bagian dari prosesi keagamaan yang pernah dilakukan. Namun dalam penelit.ian ini belum mengungkapkan keagamaan yang berkembang terut.ama yang berhubungan dengan kehadiran bangunan-bangunan punden berundak di situs Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit pada abaci 15-6 Masehi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S11739
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusriati
Semarang: Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan Departemen Agama RI , 1994
297.65 YUS l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Motivasi
"Masalah kesehatan dan keselamatan kerja di bengkel pembuatan alas kaki diakibatkan oleh lemahnya manajemen risiko, sehingga dibutuhkan pengkajian risiko dalam rangka pengelolaan risiko. Penelitian ini berisi analisis risiko kesehatan dan keselamatan kerja di Bengkel Pembuatan Alas Kaki Tahun 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai tingkat risiko kesehatan dan keselamatan kerja pada setiap tahapan proses produksi alas kaki. Penilaian risiko menggunakan metode W.T. Fine yaitu dengan menganalisis nilai konsekuensi, pajanan dan kemungkinan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa level risiko yang dimiliki pada setiap langkah kerja meliputi level very high yaitu bahaya kimia, level priority 1 yaitu bahaya ergonomi dan bahaya mekanik, level substantial yaitu desain kerja (housekeeping), level priority 3 yaitu bahaya kinetik dan acceptable yaitu bahaya psikososial.

Occupational health and safety problems in small and medium enterprises are caused by lack of risk management. This research aimed to assess the OHS risk level at five small shoes industries. Risk assessment was done by implementing W.T Fine method to analyze risk level by scoring the level of probability, exposure and consequence.
This study found that the risk of chemical hazard (solvent vapor from glue) was very high; the risk of ergonomic and mechanical hazard were categorized as priority 1, the risk of poor housekeeping was substantial; the risk of kinetic hazard was priority 3; and the risk of psychosocial hazards was acceptable.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S63542
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>