Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19181 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Munir Fuady
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
343.072 MUN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Munir Fuady
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999
343.072 MUN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nadir
"buku ini membahas tentang hukum persaingan usaha atau bisnis di antaranya berupa proses produksi hingga jasa."
Malang: UB Press, 2015
343.072 1 NAD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hitt, Michael A.
Jakarta : Erlangga , 1999
658.401 HIT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Dina Irawati
"Lisensi paten berkaitan erat dengan hukum anti monopoli. Hal ini dikarenakan kekhasan yang di miliki oleh hukum paten yaitu adanya sifat monopoli yang melekat pada hukum paten. Monopoli dalam paten bersifat terbatas yaitu mengecualikan pihak lain untuk membuat, menggunakan dan menjual penemuan sampai dengan jangka waktu tertentu. Monopoli dalam lisensi paten di satu sisi bertujuan untuk mendorong penemuan teknologi baru dan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan penghargaan terhadap penemu/ inventor. Di sisi yang lain monopoli bila disalahgunakan dapat menyebabkan praktek monopoli yang dilarang oleh Hukum Antimonopoli.
Dampak praktek monopoli dalam lisensi paten harus dilarang dan dihindarkan. Pengaturan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan sangat diperlukan agar monopoli terbatas dalam paten tidak disalahgunakan oleh pemegang hak untuk melakukan praktek-praktek perdagangan yang bersifat monopoli ataupun persaingan usaha yang tidak sehat.
Undang-Undang 14 tahun 2001 tentang paten, pada pasal 71 disebutkan bahwa lisensi paten dilarang apabila memuat ketentuan yang merugikan perekonomian Indonesia ataupun menghambat alih teknologi. Pelaksanaan pasal 71 ini perlu pengaturan lebih lanjut namun demikian sampai sekarang peraturan pelaksananya belum ada. Undang-undang Anti Monopoli yang diharapkan dapat melindungi kompetisi dan melarang praktek monopoli ternyata justru mengecualikan Hak Kekayaan Intelektual. Termasuk di dalamnya lisensi paten.
Hukum Internasional maupun hukum nasional negara lain tidak mengecualikan lisensi paten dalam hukum persaingannya. Seharusnya Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain yang tidak mengecualikan lisensi paten dalam hukum persaingannya. Pengecualian ini dapat menjadi celah bagi para pelaku usaha untuk menyalahgunakan lisensi paten sebagai sarana mendapatkan atau mempertahankan monopoli melalui praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhasril
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
343.072 SUH h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Dharmadi
"Untuk memajukan industri yang mampu bersaing serta memberikan perlindungan hukum bagi para pendesain diberlakukanlah Undang-Undang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Akan tetapi aturan hukum di bidang desain industri belum sepenuhnya mendukung perkembangan desain industri di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya kasus pembatalan desain industri yang terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya pembatalan desain industri, yaitu tidak adanya kepastian mengenai kebaruan (novelty). Novelty merupakan persyaratan utama dalam paten dan desain. Suatu desain dianggap baru apabila ada perbedaan yang menyolok dengan desain yang sudah ada sebelumnya. Namun apabila perbedaan tersebut hanya terletak pada perbedaan yang minim, terkait beberapa unsur saja, baik itu warna maupun lekuk penampang luar, maka tidak akan bisa dianggap baru. Belum ada Pasal dalam Undang- Undang Desain Industri yang mengatur mengenai persamaan pada pokoknya yang dapat menentukan nilai kemiripan suatu desain industri yang dapat dijadikan acuan untuk menolak atau mengabulkan suatu permohonan desain industri. Dalam Pasal 2 ayat (2) menggunakan kata ?tidak sama? akan tetapi di dalam penjelasannya tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian maupun batasan kata "tidak sama" ataupun kemiripan antara desain yang satu dengan yang lain yang dapat dikatakan mempunyai unsur persamaan pada pokoknya atau berbeda. Undang-undang desain industri di Indonesia menganut stelsel pendaftaran/pendaftar pertama atau "first to file" dalam hal klaim atas hak desain industri yang baru. Lebih jauh dijelaskan dalam Pasal 26 ayat (5) menyatakan bahwa pemeriksaan substantif tidak akan dilakukan apabila tidak adanya keberatan dari pihak lain. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif mengakibatkan setiap permohonan desain industri harus dikabulkan dan langsung diberikan sertifikat desain industri. Apabila pemeriksaan substantif tidak dilakukan maka apabila terdapat 2 (dua) desain industri yang memiliki kemiripan ataupun sama, dan 2 (dua) desain industri tersebut tidak diajukan keberatan, maka kedua desain industri tersebut berhak mendapatkan sertifikat desain industri. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya sengketa desain industri dan maka dari itu harus diajukan pembatalan desain industri. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis dan analisis data yang dilakukan secara kualitatif.

The imposition of Law No. 31/2000 on Industrial Design is aimed to develop industry which is able to compete and to give legal protection to designers. However, Legal provisions in industrial design do not support the industrial design in Indonesia. It can be seen from various kinds of cancellation in industrial design. The results of the research showed that main factors which caused the cancellation of the industrial design is the uncertainty regarding novelty. Novelty is a patentability requirement. A design could be considered new, if there is a significant distinctive with the prior design. However, if the difference that just lays in distinctive minim one, concerning severally elemental only, therefore it can't be looked on as a new one. There is no article in Law on Industrial Design No. 31/2000, which rules the resemblance of an industrial design which can be used as the reference for rejecting or accepting a application request for an industrial design. Based on Article 2 Paragraph (2) uses the phrase "not similar", but in its explanation it does not clarify the term "not similar" or not resemble between one design and the other. The industrial design law in Indonesia embraces the "first to file" system in order to claiming the rights of the newest Industrial Designs. According to Article 26, paragraph (5) which states that the substantive examination will not be carried out if there is no complaint from other parties. The absence of substantive examination will cause the certificate for industrial design to be given. Substantive examination will not be carried out if there are 2 (two) industrial designs which resemble to each other; if there is no complaint about them, they have the right to get industrial design certificate. This will cause industrial design dispute; the result is that it has to be cancelled. The research used judicial normative approach, using literature materials and secondary data. The nature of the research was descriptive analysis; the data were analyzed qualitatively.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Djohan
"Tesis ini membahas kedudukan PT PLN (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara bidang ketenagalistrikan pasca berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan ditinjau dari hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan kedua undang-undang tersebut, PT PLN (Persero) tidak melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dan guna melindungi kepentingan hajat hidup orang banyak sebagaimana\ dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka pemerintah tetap menerapkan Public Service Obligation kepada PT PLN (Persero).

The thesis discusses about the position of PT PLN (Persero) as State-Owned Enterprises in electricity after the enactment of Law No. 30 Year 2009 concerning Electricity in terms of antitrust law and unfair competition as stipulated in Law No. 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. The conclusion of the thesis shows that based on the laws, PT PLN (Persero) is not practicing monopolistic and unfair competition. And in order to protect the interests of livelihood of the people as stated in Article 33 of the Constitution of 1945, the government continues to implement the Public Service Obligation to PT PLN (Persero)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28604
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Sumariyanto
"Undang-undang nomor 5 tahun 1999 sebagai kebijakan publik hendaknya dilaksanakan dengan memperhatian landasan idiil-nya yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya (had the public in mind). Kekurangan dan kelebihan UU No.5/99 beserta implementasinya harus dipandang secara aktual. Kondisi undang-undang tersebut-harus selalu dicermati agar kehadirannya dapat memenuhi tuntutan stakeholder dan mampu memenuhi tuntutan lingkungan usaha yang bergerak dinamis serta untuk mengkaji efektifitas pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.
Graham dan Richardson (1997), menyimpulkan bahwa yang menjadi perhatian utama hukum persaingan adalah praktek bisnis yang restriktif dan penyalagunaan kekuatan pasar. Oleh karena itu menurut Graham dan Richardson (1997), kebijakan persaingan seharusnya berorientasi pada upaya pencegahan berbagai tindakan balk yang berasal dari perilaku perusahaan maupun kebijakan publik yang dapat merusak proses persaingan. Hukum persaingan hendaknya juga tidak ditujukan untuk mencegah perusahaan menjadi besar, tetapi lebih berorientasi pada pengawasan terhadap perilaku antikompetitif setiap perusahaan untuk mencapai tujuan usahanya, baik untuk meningkatkan atau mempertahankan pangsa pasar yang telah dimilikinya.
Perkel (1998) dan Turner (1969) juga menyarankan implementasi kebijakan persaingan hendaknya lebih sebagai alat dengan batasan persaingan yang tidak kaku, karena keberadaan monopoli tidak selamanya berdampak negatif terhadap ekonomi dan keadilan. Artinya analisa anti persaingan tidak terbatas pada ukuran perusahaan absolute atau relative atau pada posisi pasar, tetapi juga analisa terhadap perilaku pelaku usaha dan dampaknya terhadap persaingan. Perusahaan dominan akan berperilaku kompetitif jika pasarnya contestable dengan hambatan masuk yang rendah. Demzet (1994), menambahkan bahwa perusahaan dengan tingkat efesiensi yang baik secara umum akan melakukan ekspansi pasar. Meningkatnya konsentrasi da!ani pasar yang terbuka, dapat merupakan hasil dari persaingan yang efesien.
Menurut penulis, advokasi UU No.5/99 terhadap persaingan usaha di Indonesia masih didominasi oleh pemikiran yang didasari pendekatan struktur, dimana konsentrasi pasar dianggap memiliki korelasi positif dengan perilaku aritikompetisi para pelaku usaha dalam rangka meningkatkan market power dan pangsa pasarnya. dengan demikian, untuk mencegah atau menghindari perilaku antikompetisi pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar oleh setiap pelaku usaha harus dibatasi agar pasar tidak terkonsentrasi hanya pada sedikit pelaku usaha dengan penguasaan pangsa pasar yang dominan. Orientasi UU No.5/99 sebagai implementasi kebijakan persaingan lebih sebagai instrumen untuk menciptakan dekonsentrasi pasar. Hal tersebut tampak jelas pada "tujuan kebijakan persaingan" yang terdapat dalam undang-undang tersebut, yaitu mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Hal ini tentunya bertujuan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan posisi dominan melalui pemanfaatan kekuatan pasar yang dapat saja dilakukan oleh sebuah perusahaan dominan dalam suatu pasar relevan bersangkutan.
Pendekatan struktur dalam UU No.5/99 yang berorientasi pada konsentrasi pasar sebagai indikator ada tidaknya pemusatan kekuatan ekonomi tentunya akan menjadi dasar identifikasi KPPU terhadap suatu kasus yang dinilai atau dilaporkan sebagai perilaku anti persaingan. Dalam hal ini, model pendekatan yang berorientasi pada dekonsentrasi pasar jugalah yang akan menjadi dasar analisa KPPU dalam menyimpulkan dan memutuskan berbagai kasus anti persaingan yang ditanganinya.
Selain itu, menurut penulis, di dalam UU No.5/99 juga terdapat beberapa pasal tentang perilaku perusahaan dominan yang tidak ditetapkan dengan pendekatan perilaku yang tepat. Beberapa pasal tersebut antara lain
1. Pasal 6 (enam) UU. No.5/99 tentang Diskriminasi Harga,
2. Pasal 7 (tujuh) UI) No.5/99 tentang Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar,
3. Pasal 15 (lima betas) ayat 2 (dua) tentang Tying, dan
4. Pasal 25 (dua puluh lima) UU No.5/99 tentang-Posisi Dominan.
Sebagai suatu yang relatif baru di Indonesia dan dalam rangka menformulasikan suatu format dan implementasi kebijakan persaingan yang tepat, maka perlu dikaji apakah pendekatan struktur daiam UU No.5/99 yang dijadikan sebagai dasar analisa dan penanganan berbagai kasus yang dianggap menghambat persaingan masih relevan. Perkernbangan ekonomi, politik dan sosial yang dinamis perlu dipahami untuk dapat pada suatu saat dituangkan sebagai perubahan UU No. 5/99.
Penulis berpendapat, pendekatan struktur semata tidak mampu mencakupi seluruh aspek persaingan usaha di industri modern seperti sekarang ini. Pada suatu industri tertentu di pasar oligopoli, dimana barang atau jasa yang diproduksi bersifat sensitif terhadap skala produksi, dibutuhkan modal yang sangat besar untuk menghasilkan biaya satuan (marginal cost) yang rendah. Perusahaan dominan pada jenis industri seperti ini seharusnya tidak dipermasalahkan, apalagi hanya didasari analisa pendekatan struktur. Hal terpenting yang perlu diadvokasi UU No.5/99 melalui KPPU adalah menjaga pasar dari perilaku bisnis perusahaan yang bersifat restriktif dan membatasi persaingan, serta meminirnalisasi hambatan masuk dalam suatu industri tanpa harus memecah konsentrasi pasar menjadi struktur yang lebih atomistic.
Selain itu, pengaturan perilaku perusahaan dominan dalam UU No.5/99 hendaknya dilakukan dengan pendekatan perilaku yang tepat. Pengaturan perilaku perusahaan dominan dengan pendekatan yang kurang tepat justru dapat menjadi disincentives bagi perusahaan-perusahaan tersebut daiam mengembangkan usahanya. Perusahaan akan membatasi total output, inovasi, aan pengemhangan teknologinya, karena khawatir akan timbulnya penguasaan pasar yang besar yang berarti melanggar hukum persaingan. Hal tersebut tentunya akan mengakibatken inefesiensi dalam industri bersangkutan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, pendekatan perilaku berbasis teori ekonomi mikro dan orgarisasi industri sebaiknya digunakan bersama-sama dengan pendekatan struktur dalam mengidentifikasi dan menganalisa berbagai kasus anti persaingan yang terkait dengan perilaku perusahaan dominan. Analisa dengan menyertakan pendekatan perilaku yang tepat diharapkan mampu menghasilkan suatu kesimpulan dan keputusan yang lebih komprehensif dan lebih tepat dalam penanganan berbagai kasus anti kompetisi yang terkait perilaku perusahaan dominan. Dengan demikian tujuan utama hukum persaingan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui efesiensi pasar dapat tercapai."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yani
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999
343.072 1 AHM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>