Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107706 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
291.177 AGA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
HB. Hery Santosa
"Heterogenitas agama pada suatu masyarakat/bangsa, sangat rentan untuk terjadinya konflik. Konflik yang terjadi karena masalah ini, seringkali menjadi sumber terjadinya konflik yang lebih besar, dan berpotensi untuk terjadinya disintegrasi suatu bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa masalah agama merupakan masalah yang paling mudah untuk dijadikan sasaran provokasi, baik yang berasal dari dalam kelompok maupun dari kelompok lain. Hal ini tampak dari konflik yang terjadi di berbagai wilayah akhir-akhir ini, yang selalu dikaitkan dengan masalah agama.
Heterogenitas agama di wilayah Indonesia, sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dulu, tepatnya sejak zaman Majapahit. Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah hampir sama dengan wilayah NKRI sekarang, juga terdiri dari banyak suku dan agama. Sifat agama dari kerajaan Majapahit dapat dilihat dari banyaknya peninggalan yang sudah diketemukan, yang sebagian besar mempunyai latar belakang agama. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada fungsi agama dalam pemerintahan, terutama masa kejayaan Majapahit.
Secara operasional, permasalahan yang akan dicari jawabannya adalah bagaimana fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan Majapahit, dan sejauhmana para penguasa memanfaatkan agama didalam penyelenggaraan pemerintahan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan warga masyarakatnya.
Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia masa lampau. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan yang telah diketemukan hingga saat ini, baik yang berupa peninggalan yang bersifat monumental, maupun peninggalan-peninggalan yang berupa naskah atau prasasti. Meskipun demikian, beberapa peninggalan yang sudah diketemukan, masih banyak yang belum diidentifikasi dan belum dapat dijelaskan keberadaannya. Oleh karenanya, penelitian mengenai kerajaan Majapahit ini masih sangat terbuka, baik yang bersifat pendahuluan maupun penelitian-penelitian lanjutan yang pernah dilakukan sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pembahasan masalah fungsi agama pada masa kejayaan Majapahit ini diharapkan dapat memberi gambaran kehidupan keagamaan pada masa kejayaan Majapahit, terutama mengenai fungsi dan peranannya di dalam penyelenggaraan Negara.
Guna mencapai tujuan tersebut, kajian ini akan membentangkan suatu pemikiran yang mengacu pada suatu kerangka analisis yang dapat dipakai untuk lebih memahami unsur-unsur dan aspek-aspek keagamaan yang pernah ada dan berkembang pada masa kejayaan Majapahit. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat positif sebagai sumbangan data dan pemikiran tentang fungsi dan peran agama dalam suatu pemerintahan di masa lampau. Dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan peninggalan-peninggalan yang berasal dan masa yang bersangkutan. Harapan ini tidaklah berlebihan, karena peninggalan-peninggalan dari masa kejayaan Majapahit, hampir semuanya berhubungan dengan pemerintahan pada masa itu.
Oleh karena data yang digunakan semuanya berupa peninggalan purbakala, baik yang berupa naskah, prasasti, relief maupun peninggalan purbakala lainnya, maka pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pendekatan arkeologis. Sedangkan dalam menganalisa data untuk mendapatkan jawaban permasalahan, digunakan pendekatan structural-fungsionalisme, dengan harapan dapat memperoleh gambaran tentang fungsi dari masing-masing sistem dan subsistem yang terkait dengan pemerintahan pada waktu itu.
Berdasarkan sumber sejarah dan peninggalan-peninggalan yang sudah ditemukan, dapat diketahui bahwa agama, yang dalam hal ini diartikan sebagai norma atau aturan yang menjamin agar hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan Tuhan-nya tidak kacau, memiliki peran yang sangat penting di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai suatu negara yang bersifat kosmis, agama difungsikan sebagai tuntunan atau pedoman di dalam menyusun birokrasi pemerintahan. Suatu kerajaan yang dianggap sebagai jagat kecil (mikrokosmos), menempatkan pejabat-pejabat pemerintahan dan para penguasa daerah seperti dewa-dewa lokapala, sehingga keseimbangan (equilibrium) antara makrokosmos dan mikrokosmos dapat tercapai. Di samping itu, agama juga difungsikan sebagai sarana legitimasi oleh para penguasa. Raja Jayanagara yang mengawali masa kejayaan Majapahit, melegitimasi dirinya sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Di dalam beberapa prasasti yang sudah ditemukan, Jayanagara menggunakan symbol (lancana) ikan/mina (matsya). Malaya atau ikan ini merupakan salah satu awatara dewa Wisnu.
Pelegitimasian yang dilakukan oleh Jayanagara ini berhubungan dengan situasi politik pada waktu itu, terutama yang terkait dengan usaha dan keberhasilan Jayanagara di dalam menghalau dan mengembalikan takhta kerajaan, yang sebelumnya dipenuhi dengan serangkaian pemberontakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh raja Tribhuwanatunggadewi, yang juga menggunakan nama Wisnu di dalam abhisekanama-nya. Raja Hayamwuruk, meskipun tidak menggunakan unsur dewa dalam nama gelarnya, tetapi juga memanfaatkan agama di dalam melegitimasi dirinya. Usaha Hayamwuruk dalam melegitimasi diri dilakukan dengan cara memberikan penghormatan terhadap para leluhur, dan mengakui serta mengakomodasi seluruh komponen agama yang ada dan berkembang pada masa pemerintahannya. Upacara-upacara ritual, seperti upacara Sraddha, dan pembangunan serta membangun kembali candi-candi tempat pendarmaan pendahulunya, merupakan bentuk nyata dari raja Hayamwuruk yang memanfaatkan agama sebagai sarana legitimasi.
Di samping sebagai sarana legitimasi, agama juga memiliki fungsi sebagai sarana integrasi. Secara politis, penempatan tokoh-tokoh agama di dalam birokrasi pemerintahan merupakan suatu bentuk nyata dari usaha untuk mempersatukan perbedaan yang ada. Mpu Tantular, sebagai pujangga kraton, membuktikan adanya pengakuan dan pengakomodasian berbagai agama yang ada dengan memunculkan semboyan yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, seperti yang tertulis dalam salah satu karyanya yang berjudul Sutasoma. Bentuk integrasi di tingkat kerajaan ini juga ditunjukkan dengan adanya toleransi antar kelompok agama. Toleransi antar agama tampak dari bangunan-bangunan keagamaan yang memiliki sifat dari dua atau lebih kelompok/sekte agama. Pembangunan dan pemugaran beberapa candi yang dilakukan oleh raja Hayamwuruk, seperti candi Jago, candi Jawi, candi Panataran dan beberapa candi lain yang memiliki dua atau lebih ciri kelompok agama, merupakan bukti nyata dari fungsi agama tersebut.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, agama juga memiliki fungsi sebagai pengendali sosial. Di tingkat pusat, secara nyata kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit diambil dari kitab agama, yang dikenal dengan nama Kutaramanawadarmasastra. Kitab yang merupakan perpaduan dari naskah-naskah India dan disesuaikan dengan situasi politik dan sosial masyarakat Majapahit ini dijadikan kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit. Di samping itu, adanya sapatha yang selalu mengikuti sebuah ketetapan hukum, merupakan kontrol sosial yang sekaligus menjadi pengendali sosial, sehingga ketetapan dari suatu putusan dapat dijamin pelaksanaannya. Fungsi agama sebagai pengendali sosial, atau fungsi agama di bidang peradilan ini juga ditunjukkan dengan penempatan tokoh-tokoh agama sebagai pejabat peradilan. Kenyataan ini membuktikan bahwa agama memiliki fungsi yang cukup penting di dalam sistem peradilan Majapahit, terutama sebagai kontrol atau pengendali sosial, sehingga hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungan alam serta manusia dengan Tuhan-nya tidak kacau. Fungsi agama sebagai sarana pengendali sosial ini cukup efektif, terbukti dengan tidak adanya gejolak politik maupun gejolak sosial yang muncul pada masa pemerintahan raja Hayamwuruk.
Di samping memiliki fungsi atau difungsikan oleh para penguasa, agama juga memiliki peran yang cukup besar dalam bidang sosial. Hal ini dapat dilihat dari fungsi agama dalam bidang politik, ekonomi maupun dalam kehidupan masyarakat umum. Dalam bidang politik, agama berfungsi sebagai penyeimbang dalam penyusunan birokrasi pemerintahan. Keberadaan tokoh-tokoh agama di dalam susunan birokrasi pemerintahan dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai golongan agama dalam masyarakat. Hal ini sangat perlu, karena sebuah negara dengan berbagai kelompok agama merupakan kerawanan tersendiri, atau merupakan sumber konflik terbesar apabila tidak diatasi sejak dini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tokoh-tokoh agama dalam birokrasi pemerintahan ditempatkan pada jabatan yang berhubungan dengan masalah pengendalian sosial.
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka kerajaan Majapahit tidak dapat meninggalkan hal-hal yang bersifat spiritual. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upacara-upacara ritual selalu mewarnai dalam kegiatan pertanian. Penghitungan musim yang didasarkan pada gejala alam, kegiatan pertanian yang selalu dimulai dengan upacara ritual, masa panen yang juga selalu dimulai dengan upacara-upacara ritual, sampai dengan pengakuan dewi Sri sebagai dewi kesuburan yang dikaitkan dengan tanaman padi, merupakan bukti nyata bahwa agama memiliki fungsi dan peran yang cukup besar dalam bidang pertanian.
Dalam bidang perdagangan, agama juga memiliki fungsi dan peran yang cukup penting, meskipun tidak secara nyata seperti dalam bidang pertanian. Dalam bidang perdagangan, agama berfungsi sebagai pengontrol hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli. Pada masa kejayaan Majapahit, perdagangan tidak merupakan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga merupakan kegiatan sosial. Hal ini tampak dari sistem perdagangan di daerah-daerah yang ditetapkan menjadi sima, dimana perdagangan dibatasi, baik mengenai jumlah maupun jenis dagangannya. Pembatasan jumlah dan jenis dagangan ini semakin ketat pada daerah-daerah yang ditetapkan menjadi sima yang disebabkan karma daerah tersebut terdapat bangunan suci. Pembatasan jumlah dan jenis dagangan ini apabila diperhatikan secara seksama, dimaksudkan untuk menjaga kelestarian alam, sehingga hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya tetap harmonis. Demikian pula hasil pajak atau denda dari pelanggaran sistem perdagangan, sebagian juga diperuntukkan bagi kepentingan bangunan suci. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama, meskipun tidak secara eksplisit, memiliki fungsi dan peran yang cukup besar di dalam sistem perdagangan yang berlangsung pada waktu itu. Peran dan fungsi agama ini semakin nyata dengan diaturnya sistem perdagangan di dalam kitab perundang-undangan agama.
Sedangkan di dalam bidang perindustrian, agama berperan sebagai pengendali teknologi, sehingga perlakuan manusia terhadap peralatan yang digunakan tidak semena-mena. Anggapan terhadap peralatan industri yang memiliki sifat kedewaan dan upacara ritual yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan, merupakan bukti nyata dari peran agama dalam bidang perindustrian. Kecenderungan masyarakat untuk tidak melepaskan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan dan teknologi ini merupakan bukti bahwa masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang religius.
Sebagai masyarakat religius, maka kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan. Di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga masyarakat. Mengenai jarak sosial, yang biasanya disebabkan karena identitas kelompok maupun kedudukan salah satu kelompok agama di dalam masyarakat yang mengakibatkan kecemburuan antar kelompok agama, dapat diminimalisasikan dengan pengakuan seluruh agama yang ada serta pemberian hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan. Sedangkan mengenai integrasi sosial, masing-masing kelompok memberi pengakuan terhadap kelebihan dari kelompok lain. Adanya satu bangunan suci (candi) yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dalam bidang agama. Hal ini juga merupakan bukti adanya toleransi antar kelompok agama, yang pada akhirnya akan memunculkan bentuk-bentuk budaya yang diberi warna agama.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pada masa kejayaan Majapahit, masyarakatnya bersifat agamis, dalam arti segala kegiatan dan kehidupannya diwarnai unsur agama. Pemerintah yang menyadari keanekaragaman agama yang ada dan berkembang pada waktu itu, memanfaatkan secara maksimal fungsi agama, dan mengakui peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada kenyataannya, agama dapat memberi sumbangan yang cukup besar dalam menuju puncak kejayaan, dan kerajaan Majapahit telah membuktikannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T11028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
TIJUDIP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fuad Latif
"Perkembangan geopolitik terutama dalam sistem pemerintahan merupakan dialektika yang tidak ada habis-habisnya. Masing-masing sistem pemerintahan berusaha mengklaim sebagai sistem pemerintahan yang tepat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi sebagai salah satu sistem pemerintahan menunjukkan dominasi di sebagian negara sebagai sistem pemerintahan yang mampu menyuarakan aspirasi warga negara. Dominasi demokrasi disebabkan oleh adanya prinsip kebenaran manusia di dalamnya. Hal ini menyebabkan ketertarikan banyak negara untuk mengadopsinya sebagai sistem pemerintahan. Dominasi demokrasi pun pada akhimya harus mendapat tantangan dari beberapa sistem pemerintahan, salah satunya adalah dari pemerintahan agama (terutama dari Islam). Tantangan ini menyebabkan adu klaim antara keduanya sebagai sistem pemerintahan yang paling tepat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Perdebatan antara Barat dan Islam seolah-olah tidak pernah ada habisnya. Masing-masing mempunyai klaim kebenaran yang ingin dipertahankan dan disebarluaskan. Untuk dapat memperoleh pengaruh yang luas, baik pemerintahan agama maupun demokrasi sekular, keduanya berusaha melakukan apa yang menurut mereka benar. Namun hal ini justru membuat keduanya mengabaikan prinsip dasar masing-masing, sehingga menimbulkan kecacatan dalam pelaksanaannya sebagai sistem pemerintahan. Kecacatan inilah yang dinilai sebagai biang kegagalan keduanya dalam memberikan sebuah perlindungan kepada warga negara. Berdasarkan kondisi di atas, Abdul Karim Soroush melihat perlu adanya rekonsiliasi antara demokrasi sekuler dengan pemerintahan agama sebagai usaha untuk mereduksi konflik antara keduanya. Demokrasi agama dinilai mampu meredam gejolak konflik antara pemerintahan agama dengan demokrasi sekuler, karena demokrasi agarna dianggap mempunyai kemampuan untuk mengakomodasi keduanya sebagai sebuah sistem pemerintahan. Pertemuan antara Barat dengan Islam dalam demokrasi agama tidak seperti pada perdebatan-perdebatan sebelurnnya yang hanya menyentuh kulitnya saja, akan tetapi mengkaji lebih dalam tentang sebuah sistem pemerintahan dengan perangkat-perangkat substansinya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16107
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frenki
"Persoalan mengenai hubungan Islam dengan negara merupakan isu yang mendominasi perbincangan sejarah umat Islam semenjak abad 9 M sampai abad ke-21 M. Meskipun hampir 11 abad masalah ini dikaji, akan tetapi tidak pernah memberi satu kajian yang dapat diterima dan disepakati secara bersama. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penjelasan secara tegas baik al-Quran maupun al-hadits sebagai sumber utama hukum Islam, sehingga terkesan bahwa Islam memberi kebebasan bagi munculnya ragam interprestasi dalam memahaminya.
Tesis ini akan meneliti sejauhmana hubungan Islam dengan negara menurut perspektif Yusuf al-Qardhawi yang merupakan salah satu ulama al-Azhar kontemporer, dan Moh. Natsir seorang tokoh politik Islam di negara Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat diketahui letak persamaan dan perbedaan pemikiran keduanya dalam memahami persoalan hubungan Islam dengan negara. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, pendekatan fenomenologis dan metode deskriptif serta komperatif.
Hasil dari penelitian di atas, penulis menemukan ada beberapa persoalan yang memiliki persamaan dan perbedaan pemikiran antara al-Qardhawi dan Natsir dalam memahami hubungan Islam dengan negara. Persoalan itu antara lain mengenai kedudukan negara dalam Islam, bentuk negara dan sistem pemerintahan, karakter pemimpin negara dan kewa;ganegaraan.
Pemikiran politik al-Qardhawi sedikit banyak di pengaruhi oleh Hasan al-Banna, dan ia pernah menjadi aktivis gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Al-Qardhawi berpendapat bahwa Islam dan negara tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, bahwa dalam al-Quran dan Sunnah ditemukan aturan-aturan yang langsung walaupun tidak rinci mengenai masalah-masalah kenegaraan. Al-Qardhawi berargumen berdasarkan ayat-ayat al-Quran, hadits dan karakter Islam itu sendiri mengenai keberadaan negara dalam Islam.
Pemikiran politik Natsir banyak dipengaruhi oleh gurunya Agus Salim dan sering sekali dalam perjuangan politiknya sebagai "Salimisten". Natsir berpendapat bahwa Islam dan negara tidak dapat dipisah. Islam menurutnya bukan sekedar bentuk format atau simbol, tetapi esensi dari ajaran Islam itu merupakan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

The problem about relation between Islam and state were predominating conference issue in the Islamic people history since 9 M till 21 M century. Although these problem was studied almost 11 century but not give and study that could accepted and agreed together. Those caused by there was not detail explanation, either of al-Quran also al-hadits as main source of Islam law, so Islam is impressed like gave freedom to many kind of interpretation comprehending of it.
This thesis will examine carefully as far as a concept of ideal Islamic state, especially about relation between Islam and state according to perspective of Yusuf al-Qardhawi, a contemporary uIama of al-Azhar and Moh. Natsir, an Islamic politician figure in Indonesia. Expected this research is known difference and similarity thinking both them in order to understand Islam and state relation problem. The research methods that used are qualitative research method, phenomenology approach and descriptive and comparative method.
The writer found that the result of the research above, there is some problem owning difference and similarity of thinking between al-Qardhawi and Natsir in order to understand Islam and state relation. That problem is about position of state in Islam, form of state and system of government, character of state leader and citizenship.
Al-Qardhawi though, at least, was influenced by Hasan al-Bana, and he has been ever become activist of al-Ikhwanul al.-Muslimin in Mesir. Al-Qardawi thought that Islam and state could not be separated. According to him, in al Qur'an and as Sunnali found regulations about state affair, even, it is not detail. AI Qardhawi argument based on al-Qur'an verses, aI-hadits and character of Islam it self, about the existence of state in Islam.
Most of Natsir though was influenced by his teacher; Agus salim and he often become "Salimisten" in his struggling politic. Natsir thought that Islam and state could not be separated. He said that Islam is not only format or symbol, but the essence of Islamic guidance is foundation on nation and state living.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T20325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Wibowo Suliantoro
"The article talks about the place of religion in the systems of national laws. Religion is one of systems of values upheld by the society, so that religious values have to be considered and counted in the formation of the laws. Religion may become an inspiration and enlightenment in good political and judicial institutions. In the formation of the laws, the government has to prioritize the principles of justice, so that the religious faith of the citizens is expressed in the laws in a positive way, and in the fundamental values in a rational and democratic discourse."
Depok: Departemen kewilayaan FIB Universitas Indonesia, 2009
360 JETK 1:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
TIJUDIP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zainuddin Maliki
Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000
291.177 ZAI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ihsan
"ABSTRAK
Belakangan ini fenomena intoleransi politik yang melibatkan identitas agama kembali menjadi marak di Indonesia. Beberapa penelitian sebelumnya mengonfirmasi kecenderungan hubungan fundamentalisme agama dan intoleransi, juga hubungannya dengan need for closure. Tujuan dari penelitian ini ialah membuktikan hubungan prediksi fundamentalisme terhadap intoleransi dengan menambahkan need for closure, spesifiknya fudamentalisme intratekstual, sebagai moderator. Penelitian dilakukan pada 723 mahasiswa Indonesia yang beragama Islam. Dengan menggunakan analisis linear regression, peneliti mendapatkan hasil signifikan fundamentalisme agama memprediksi intoleransi politik. Sedangkan analisis moderator menunjukkan fundamentalisme intratekstual tidak signifikan berpengaruh pada prediksi sebelumnya. Meski demikian, perlu penelitian lanjutan yang membahas hubungan ini lebih lanjut.

ABSTRACT
Recently, political intolerance phenomenon involving religious identity became popular in Indonesia. Many previous research confirmed that there is a relationship between religious fundamentalism and intolerance, also its relation with need for closure. The purpose of this research is to prove religious fundamentalism as predictor to intolerance with adding need for closure, specifically intratextual fundamentalism, as moderator. This research was conducted in 723 students in Indonesia that have Islam affiliation. With linear regression analysis, we saw significance of religious fundamentalism predicting intolerance. Whereas, moderator analysis showed no significant impact of intratextual fundamentalism toward previous prediction. Nevertheless, further research is needed to examine more about this relation."
2017
S68270
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>