Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Poppy Intan Tjahaja
"ABSTRAK
Penelitian tentang cicak rumah dari genus Hemidactylus dan Cosymbotus sangat jarang dilakukan. Pada tahun 1915 pernah dilakukan inventarisasi genus Hemidactylus beserta distribusinya di Indonesia. Karena berubahnya kondisi lingkungan maka perlu dilakukan kembali inventarisasi Hemidactylus dan Cosymbotus beserta distribusinya di Indonesia.
Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan jumlah lamellae pada jari kaki, jumlah lubang femoral pada hewan jantan, serta pengukuran beberapa bagian tubuh Hemidactylus dan Cosymbotus.
Dari hasil inventarisasi terhadap sampel yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dijumpai 3 spesies Hemidactylus, yaitu: H. frenatus, H. brooki, dan H. garnoti, serta 1 spesies Cosymbotus, yaitu C. platyurus. H. frenatus dan C. platyurus terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia. H. brooki hanya terdapat di pulau Alor, Flores, Roti, Sumba, dan Sulawesi. Sedangkan H. garnoti terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Lombok, Sumba, Kalimantan, dan Sulawesi.
Jumlah lamellae pada jari kaki Hemidactylus dan Cosymbotus tidak dapat dipakai untuk membedakan spesies. Sedangkan jumlah lubang femoral, serta ukuran beberapa bagian tubuh dapat digunakan untuk membedakan spesies."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Darmadji Woko
Jakarta: Kosa Kata Kita, 2015
808.81 ADR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Wardani
"Athyrium adalah marga paku sejati dari suku Athyriaceae yang beranggotakan 160-220 jenis, yang sebagian besar anggotanya berada di Asia Timur. Delapan jenis Athyrium yang diketahui dari Jawa dan dua jenis dari Bali belum pernah dievaluasi kekerabatannya, baik secara morfologi maupun molekuler. Kajian filogenetika molekuler dilakukan dengan menggunakan lima marka kloroplas DNA dari total 78 sampel yang 22 sampel diantaranya baru diperoleh dalam penelitian ini. Kajian fenetik difokuskan pada penguraian kekerabatan berdasarkan kesamaan morfologi pada kelompok Athyrium nigripes yang mengalami permasalahan penyematan nama secara tidak konsisten. Hasil analisis menunjukkan bahwa A. nigripes Jawa dan Bali berbeda dari sampel yang berasal dari Cina, yang menguatkan pendapat bahwa penggunaan nama tersebut dalam flora daratan Cina adalah tidak tepat. Karakter yang bermanfaat dalam memisahkan jenis-jenis dalam kumpulan yang serupa ini adalah rambut-rambut pada rakis dan pina rakis, serta adanya tonjolan semacam duri pada sisi adaksial tulang-tulang daun Dengan demikian, Jawa terkonfirmasi memiliki delapan jenis sedangkan Bali dua jenis, seluruhnya merupakan jenis yang juga terdistribusi di luar Jawa dan Bali sehingga tidak ada jenis yang endemik.

Athyrium is a large genus in the Athyriaceae with 160-220 species that most of it are concentrated in the eastern Asia. Java is known to have eight species and two species from Bali, which relationship between them has not being evaluated. A molecular phylogenetic study was conducted using five chloroplast markers with 78 samples, 22 of it were newly generated. A phenetic study was carried, focused to elucidate the relationship within Athyrium nigripes based on morphological similarity. The name has been inconsistently applied to various form of bi- and tripinnate Athyrium. The analyzes show that A.nigripes of Java and Bali nested in different clade with sample from China, which prove the misapplication of the name to Chinese plants. A. pulcherrimum is closely related to A. nigripes, but here is treated as one as the differences between the two is scanty. A. erythropodum and A. nitidulum nest in different clades and are confirmed as separate species. Characters useful to differentiate species in a looked-a-likes gathering are hairs on rachis and pinna rachis, and the spine-like protuberance on the adaxial side of leaf axis. Both A. atratum and A. puncticaule are also segregated as separate species. It is now confirmed that Java has eight species and Bali has two, and none of the are endemic."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rohmatin Isnaningsih
"ABSTRAK
Morfologi cangkang spesies-spesies anggota Famili Thiaridae memiliki variasi intra spesies yang sangat tinggi sehingga dapat menyulitkan penentuan identitas tiap-tiap spesiesnya. Studi ontogeni, mekanisme, dan strategi reproduksi merupakan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menyempurnakan identitas dan sistematika suatu spesies. Pengamatan terhadap morfologi cangkang pada spesies Tarebia granifera Lamarck, 1822 , Melanoides tuberculata M ller, 1774 , dan Stenomelania punctata Lamarck, 1822 menunjukkan variasi terutama pada karakter dimensi cangkang, warna cangkang, ornamen cangkang, serta kuat lemahnya garis tumbuh spiral dan aksial. Hasil studi ontogeni dan reproduksi pada ketiga spesies tersebut menunjukkan bahwa T. granifera dan M. tuberculata bereproduksi secara euvivipar, sementara S. punctata bersifat ovovivipar. Data ontogeni memperlihatkan adanya perbedaan dalam kisaran jumlah, ukuran, dan morfologi embryonic shell antara spesies T. granifera dan M. tuberculata. Jumlah embryonic shell yang tersimpan dalam subhaemocoelic brood pouch T. granifera lebih banyak 9-203 dibandingkan dengan jumlah embryonic shell yang mampu dihasilkan oleh satu individu M. tuberculata 1- 66 . Adapun kisaran ukuran embryonic shell pada T. granifera adalah 0,22-5 mm dan M. tuberculata sebesar 0,12-5,95 mm. Informasi mengenai ontogeni dan mekanisme serta strategi reproduksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai bukti terjadinya fenomena-fenomena biologi di alam seperti kolonisasi, radiasi atau evolusi.Kata kunci : Morfologi, ontogeni, reproduksi, variasi intraspesies, Thiaridae.

ABSTRACT
The shell morphology of some Thiarid rsquo s species are known to have highly inter species variation. Hence, species identification based on morphological characters only is quite difficult. The morphological observation of species Tarebia granifera Lamarck, 1822 , Melanoides tuberculata M ller, 1774 , and Stenomelania punctata Lamarck, 1822 from Indonesia indicates that interspecies variation occur especially on the characters of shell dimensions, colour, ornaments, as well as the strength of spiral and axial growth lines. Studies on ontogeny, mechanisms and strategies of reproduction is another approach that can be used to enhance the valid identity and determination of Thiarid rsquo s species. The studies on ontogeny and reproductive of that three species reveal that T. granifera and M. tuberculata reproduces by eu viviparity while S. punctata are ovo viviparous. Ontogeny data exhibit the differences in the range number of embryonic shell as well as size between embryonic shell of T. granifera and M. tuberculata. Tarebia granifera have more embryonic shell stored in a subhaemocoelic brood pouch 9 203 individu compared with the number of embryonic shell that can be produced by one individual of M. tuberculata 1 66 individu . Tarebia granifera embryonic shell sizes ranging from 0.22 to 5 mm in height. While the size of M. tuberculata embryonic shell are between 0.12 to 5.95 mm. Information about ontogeny and mechanisms as well as reproductive strategies then can be used as an evidence of the occurrence of biological phenomenon in nature such as colonization, radiation as well as evolution.Key words Morphology, ontogeny, reproductive, inter species variation, Thiaridae "
2017
T46889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryandi Dwi Prakoso
"Empat spesies ikan yang berasal dari wilayah tenggara Kalimantan, yaitu Rasbora cf. volzi, R. cf. elegans, R. cf. trifasciata, dan R. cf. bankanensis telah diideskripsikan. Deskripsi dilakukan dengan mengukur morfometrik, menghitung meristik, mendeskripsikan pola pigmentasi, dan diuji dengan PCA. Rasbora cf. volzi dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: pola pigmentasi pada garis mediolateral berbentuk pita, retikulasi basal dapat terlihat di 5 baris sisik longitudinal dari bagian atas gurat sisi, dan retikulasi periferal terlihat 4 baris sisik longitudinal dari bagian dorsal. Rasbora cf. elegans dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: pola pigmentasi garis mediolateral yang berbentuk persegi panjang pada pertengahan samping tubuhnya, retikulasi basal terlihat 4 baris sisik longitudinal dari bagian atas gurat sisi, dan retikulasi periferal terlihat 3 baris sisik longitudinal dari bagian dorsal. Rasbora cf. trifasciata dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: terdapat pola pigmentasi basicaudal spot, jarak antara gurat sisi dengan sirip ventral hanya 1 sisik, dan memilki sisik circumferential ½ 4, 1, 1 ½. Rasbora cf. bankanensis dapat dibedakan dari spesies lainnya dengan melihat ciri-ciri sebagai berikut: tidak memiliki basicaudal spot, jarak antara gurat sisi dengan sirip ventral 2 sisik, terdapat noktah hitam di jari-jari sirip anal, dan memiliki jumlah sisik circumferential ½ 4, 1, 2 ½. Keempat spesies tersebut termasuk ke dalam kelompok spesies Rasbora sumatrana (Rasbora cf. volzi dan R. elegans), dan kelompok spesies Rasbora trifasciata (R. cf. trifasciata dan R. cf. bankanensis).

Four species of fishes, Rasbora cf. volzi, R. cf. elegans, R. cf. trifasciata, and R. cf. bankanensis, are described from southeastern Kalimantan. Description is done by measuring morfometrics, counting meristics, seeing the color pattern, and tested by PCA. Rasbora cf. volzi is distinguished from the other species by having the black medial lateral stripe forming a thick line, basal reticulation covering five longitudinal scale rows from dorsal lateral line, and peripheral reticulation covering four longitudinal scale rows along dorsolateral portion of body. Rasbora cf. elegans is distinguished from the other species by having the black medial lateral stripe forming a square profile in the middle of their body, basal reticulation covering four longitudinal scale rows from dorsal lateral line, and peripheral reticulation covering three longitudinal scale rows along dorsolateral portion of body. Rasbora cf. trifasciata is distinguished from the other species by having basicaudal spot, having one scale between lateral line and ventral fin, and having circumferential formula ½ 4, 1, 1 ½. Rasbora cf. bankanensis is distinguished from the other species by not having basicaudal spot, having two scale between lateral line and ventral fin, having a black spot in anal fin rays, and having circumferential formula ½ 4, 1, 2 ½. These species are from the Rasbora sumatrana-Group (Rasbora cf. volzi and R. elegans), and the Rasbora trifasciata-Group (R. cf. trifasciata and R. cf. bankanensis).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amarasinghe Achchige Thasun
"Isolasi merupakan faktor utama dalam biogeografi pulau, disini kami mencoba memahami fenomena filogeografi kelompok londok pohon Asia Tenggara yaitu genus Bronchocela di Kepulauan Indonesia dengan dukungan data morfologi (ukuran tengkorak), molekuler (DNA mitokondria dan inti) dan data evolusi. Genus Bronchocela kosmopolit, morfologi sangat bervariasi tersebar dan terisolasi di hutan yang terfragmentasi di kepulauan Indonesia. Variasi yang kompleks pada genus ini menyebabkan kesulitan dalam penentuan batas spesies dengan jelas. Sebanyak 520 individu spesimen koleksi museum telah diperiksa untuk diuji mengenai dampak isolasi pulau secara geografis terhadap struktur morfologi populasi. Uji statistic dilakukan dengan menggunkan analisis univariat dan multivariat. Sejauh ini baru diketahui hanya hanya empat spesies yang teridentifikasi di wilayah Indonesia, setelah dilakukannya penelitian ini setidaknya teridentifikasi menjadi enam spesies. Rekonstruksi pohon filogenetik dilakukan berdasarkan marka DNA mitokondria yaitu 16s rRNA (~500 bp) dan ND2 (~1300 bp) serta gen inti yaitu oocyte maturation factor mos (CMOS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. cristatella yang tersebar luas, dalam penelitian ini terbukti sebagai spesies kompleks yang setidaknya terdiri atas tiga spesies berbeda. Rekonstruksi pohon filogenetik DNA mitokondria dan inti menggunakan Maximum Likelihood (ML) dan Bayesian Inference (BI) menunjukkan adanya enam garis keturunan evolusi Bronchocela di Indonesia. Tingkat variasi selama ini mungkin diremehkan karena tingginya tingkat kesamaan morfologi yang disebabkan oleh sifat arboreal. Haplotipe network berdasarkan gen mitokondria ND2 dengan jelas menunjukkan adanya delapan garis keturunan. Indeks isolasi diestimasi melalui uji interaksi dua arah (ANOVA) antara luas daratan dan ukuran tubuh dari setiap populasi. Hasil penelitian ini menunjukkan pulau-pulau yang lebih besar mendukung kehidupan londok yang berukuran besar dibandingkan dengan pulau-pulau yang lebih kecil (fenomena dwarfisme pulau) dan sejalan dengan teori isolasi pulau. Hasil analisis waktu BEAST berbasis penggabungan menghasilkan pohon filogenetik dengan dua klade utama dan mengungkapkan nenek moyang terbaru atau most recent common ancestor (MRCA) untuk Bronchocela berasal sekitar 42 juta tahun yang lalu di daratan Asia. Pohon filogenetik menununjukkan bahwa klade basal Bronchocela terdiri dari B. burmana dan taksa nenek moyangnya yang sebagian besar terbatas di Semenanjung Malaysia. Pohon kredibilitas clade maksimum atau Maximum Credibility Clade (MCC) skala waktu geologi menunjukkan bahwa genus Bronchocela berevolusi pada zaman Miosen awal (~18,7 juta tahun yang lalu) dan memulai spesiasi cepat pada Miosen akhir. Pohon filogenetik menununjukkan bahwa klade basal Bronchocela terdiri dari B. burmana dan taksa nenek moyangnya yang sebagian besar terbatas di Semenanjung Malaysia. Dalam penelitian ini, distribusi klade berdasarkan keberadaan spesies londok dalam pohon filogenetik. Model State-dependent Speciation and Extinction (SSE) digunakan untuk merekonstruksi Ancestral Range Estimation (ARE). Hasil simulasi silsilah Bronchocela dengan ARE sesuai hipotesis kami bahwa daratan Sunda merupakan asal muasal genus ini dan menjalan kepulauan Sunda Besar, kepulauan Sulu, Sulawesi, dan Maluku utara pada zaman Miosen. Penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai isolasi pulau di wilayah yang belum pernah diteliti sebelumnya dan hal ini menyiratkan bahwa pola distribusi Bronchocela sebagian besar dibentuk oleh peristiwa dispersal pada pra-Pliosen yang diikuti oleh peristiwa vicarian yang mendalam. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim Pliosen dapat berdampak besar pada diversifikasi spesies dan demografi spesies-spesies hutan ini.

Isolation is the main factor in insular biogeography, here we try to understand the insular biogeographical phenomenon of the southeast Asian arboreal lizard genus Bronchocela across the Indonesian Archipelago with the support of morphological (including skull morphology), molecular (mitochondrial and nuclear DNA) and evolutionary data. The morphologically highly variable, cosmopolitan arboreal forest lizards of the genus, Bronchocela are dispersed and isolated in fragmented island forests across the Indonesian Archipelago. These species exhibit complex morphological variations, which weaken clear species delimitation. To determine the effects of geographical island isolation on the morphological structure of the populations, 520 individuals of museum specimens (including name-bearing types) were examined across Peninsular Malaysia and the Indonesian Archipelago. Both univariate and multivariate analyses were conducted on morphometric characters. So far only four species have been identified within Indonesian territory and after evaluating morphological and morphometric evidence at least six distinct species have been recognised. We screened two mitochondrial markers comprising 16s rRNA (~500 bp) and ND2 (~1300 bp), with intervening nuclear loci (CMOS) to obtain a robust phylogenetic hypothesis. Based on both morphology and genetics, we delimit potential biogeographic boundaries of the species composition. The previously widely distributed Bronchocela cristatella is here considered as a species complex with at least three distinct species. The phylogeny of mitochondrial and nuclear DNA using Maximum likelihood (ML) and Bayesian Inference (BI) revealed at least six evolutionary lineages within the Indonesian Bronchocela. This level of variation has probably been underestimated because of the high levels of morphological similarity brought about by the arboreal lifestyle. The haplotype networks based on the ND2 mitochondrial gene differentiated the eight lineages. An isolation index was estimated and defined for each island landmass based on its area and tested for two‐way interactions (ANOVA) between landmass and the mean body sizes of each population. Our results show the significant influence of the larger islands supporting larger-bodied lizards compared to the smaller islands, agreeing with the island theory. The coalescent-based BEAST time-analysis yielded a phylogenetic tree with two major clades. It revealed that the most recent common ancestor (MRCA) for the Bronchocela genus originated approximately 42 MYA in mainland Asia. The basal clade of Bronchocela consists of B. burmana and its ancestral taxa which are mostly confined to the Malay Peninsula. The geological time-scaled maximum clade credibility (MCC) tree indicated that the genus Bronchocela evolved in the early Miocene epoch (~18.7 MYA) and started rapid speciation in the late Miocene. We divided the distribution of the clade into regions based on the species in the phylogenetic tree by its presence in those regions, and we used the State-dependent Speciation and Extinction (SSE) models to reconstruct Ancestral Range Estimation (ARE). As we hypothesised, ancestral Range Estimation (ARE) analyses supported that mainland Sundaland served as the origin for Bronchocela, which colonized the Great Sundaic Islands, the Sulu Archipelago, Sulawesi, and Northern Moluccas during the Miocene epoch. Our results provide new insights into insular isolation in a previously unstudied region, and it implies that the distribution pattern of Bronchocela has been largely shaped by pre-Pliocene dispersal followed by deep vicariance events. We further demonstrate that Pliocene climatic changes can have profound effects on species diversification and demography in these forest species."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Identifikasi 100 spesimen sidat tropis genus Anguilla yang dikoleksi
dari tujuh lokasi perairan Indonesia yaitu muara Sungai Batang Antokan
(Sumatera Barat), muara Sungai Cibaliung (Banten), Sungai Mahakam
(Kalimantan Timur), muara Sungai Dumoga (Sulawesi Utara), muara Sungai
Palu (Sulawesi Tengah), muara Sungai Akelamo (Halmahera), dan muara
Sungai Pami (Irian Barat), telah dilakukan selama 6 bulan dari bulan
September 2005--Februari 2006, dengan menggunakan metode PCR-RFLP
(polimerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism) pada
gen 16S ribosomal RNA DNA mitokondria. Fragmen DNA hasil amplifikasi
didigesti menggunakan 6 enzim restriksi yaitu AluI, HhaI, MvaI, Bsp1286I,
EcoT14I, dan BbrPI. Identifikasi spesies dilakukan dengan membandingkan
pola haplotipe RFLP yang dihasilkan dengan pola haplotipe hasil penelitian
Aoyama (2000a), Sugeha (2003), Watanabe (2001) dan menggunakan ciri
kunci genetis yang dilaporkan Watanabe (2001). Hasil identifikasi
berdasarkan analisis PCR-RFLP menunjukkan bahwa sedikitnya ada 7
spesies sidat yang menghuni perairan Indonesia, yaitu A. bicolor;
A. marmorata; A. nebulosa; A. borneensis; A. celebesensis; A. interioris; dan
A. obscura, dengan 1 pola haplotipe yang spesifik untuk masing-masing
spesies kecuali untuk A. bicolor yang memiliki 2 pola haplotipe sebagai
penanda subspesies (Aoyama 2001 & Sugeha 2003) serta 2 pola haplotipe
untuk A. celebesensis sebagai penanda adanya variasi intraspesifik (Aoyama
2001 & Sugeha 2003). Selain itu, juga ditemukan 2 pola haplotipe baru yang
belum pernah dilaporkan sebelumnya dan berpeluang sebagai temuan
spesies baru atau fenomena variasi intraspesies pada sidat tropis."
Universitas Indonesia, 2006
S31415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Ananto Renaldy
"ABSTRAK
Untuk mengetahui dan mempelajari komposisi genus dan distribusi horizontal Bacillariophyceae di Danau Lido, Cigombong, Sukabumi, Jawa Barat, telah dilakukan suatu penelitian deskriptif-analitik. Pengambilan sampel dilakukari pada bulan Desember 1994 sampai dengan Februari 1995 pada enam stasiun dengan dua puluh empat subsampel diulang sebanyak 3 kali untuk masing-masing stasiun. Data yang dianalisis meliputi kepadatan jumlah genus, frekuensi kehadiran (%), dan uji statistik pola sebaran. Dari hasil penelitian diperoleh 9 genus Bacillariophyceae yang didominasi oleh Melosira dengan jumlah 455.570 individu/liter, ditemui di enam stasiun pengambilan sampel. Komposisi genus Bacillariophyceae di enam stasiun bervariasi. Kondisi
lingkungan perairan di Danau Lido sangat memungkinkan untuk pertumbuhan Baci1lariophyceae. Pola sebaran horizontal Bacillariophyceae di Danau Lido merumpun."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titta Novianti
"Latar Belakang: Pada proses regenerasi jaringan terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dengan suplai oksigen yang menyebabkan jaringan mengalami hipoksia relatif. Keadaan hipoksia diduga memiliki peran penting dalam proses regenerasi jaringan. Pada penelitian ini, dianalisis ekspresi protein dan gen yang berperan mengatasi keadaan hipoksia (HIF-1α dan HIF-2α), protein yang berperan dalam suplai oksigen (Cygb), protein yang menstimulasi biogenesis mitokondria (PGC-1α) serta enzim yang mampu menangkal radikal bebas (MnSOD) pada regenerasi jaringan. Regenerasi jaringan ekor pada cecak rumah (Hemidactylus platyurus) digunakan sebagai model dalam penelitian ini, karena merupakan hewan yang paling dekat secara taksonomi dengan mamalia yang memiliki daya regenerasi tinggi, dibandingkan vertebrata lain dengan kemampuan sama. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi model dalam mempelajari proses regenerasi dalam upaya pengembangan terapi penyembuhan luka.
Metode: Penelitian bersifat eksperimental deskriptif menggunakan jaringan 30 ekor cecak hasil regenerasi pada hari ke 1; 3; 5; 8; 10; 13; 17; 21; 25; dan 30 setelah autotomi dengan 3 kali pengulangan pada setiap pengamatan. Cecak diperoleh dari lingkungan laboratorium Zoologi Puslit Biologi LIPI Cibinong. Analisis ekspresi gen dilakukan dengan metoda qRT-PCR; analisis ekspresi protein dinilai dengan metoda Western Blot dan imunohistokimia, serta dilakukan analisis struktur histologi jaringan dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Biokimia & Biologi Molekuler FKUI; laboratorium Histologi FKUI, laboratorium PRVKP FKUI, dan laboratorium Patologi Anatomi FKH IPB. Penelitian dalam kurun waktu tahun 2015-2018.
Hasil penelitian: Grafik pertumbuhan jaringan ekor cecak menghasilkan pola pertumbuhan yang lambat pada 13 hari pertama, pertumbuhan yang sangat cepat hari ke 13 sampai ke 21, dan kembali lambat sampai hari ke 30. Pada awal pertumbuhan, ekspresi HIF-1α dan HIF-2α tinggi menunjukkan jaringan dalam keadaan hipoksia. Tingginya ekspresi Cygb selama proses regenerasi jaringan dari awal hingga akhir pengamatan menunjukkan perannya untuk mengakomodasi oksigen selama proses regenerasi berlangsung. Ekspresi PGC-1α yang tinggi di awal proses dan tetap dipertahankan sampai akhir pengamatan berperan untuk mempertahankan agar energi untuk proses regenerasi dapat terpenuhi melalui biogenesis mitokondria. Tingginya ekspresi MnSOD dalam jaringan pada awal regenerasi diduga memiliki peranan yang berkaitan dengan netralisasi senyawa radikal dalam jaringan.
Kesimpulan: HIF 1α, HIF 2α, Cygb, PGC 1α dan MnSOD masing-masing memiliki peran penting tersendiri dalam proses regenerasi jaringan.

Background: In tissue regeneration there is an imbalance between oxygen demand and supply causes the tissue to experience relative hypoxia. Hypoxia is thought to have an important role in the tissue regeneration. This research analyzed the expression of proteins and genes that play role in overcoming hypoxia (HIF-1α dan HIF-2α); the protein involved in oxygen supply (Cygb); the protein that stimulates mitochondrial biogenesis (PGC-1α); and the enzyme counteract free radicals (MnSOD). The regeneration of house gecko's tail (Hemidactylus platyurus) was used as a model in this research, because it is the taxonomically closest animal to mammals that have a high capability in regeneration, compared to other vertebrates with the same ability. Hence, this study might become a model in studying tissue regeneration as an effort in developing a wound healing treatment.
Method: The research was performed in a descriptive experimental way, using 30 geckos, having undergone regeneration on day 1; 3; 5; 8; 10; 13; 17; 21; 25; and 30 after autotomy. The experiment used 3 repetitions for each observation. House geckos were obtained from the laboratory building of Zoology Research Center of Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Cibinong and its surrounding area. The analysis for gene expression was performed using qRT-PCR method; the analysis for protein expression was undertaken using Western Blot method and immunohistochemistry. In addition to these, the structure analysis for the tissue histology was performed using Haematoxilyn and Eosin (H&E) staining method. The study was conducted in the Laboratory of the Department of Molecular Biochemistry & Biology FKUI; Laboratory of the Department of Histology FKUI; laboratory of the Institute of Human Virology & Cancer Biology FKUI; and laboratoty of Phatology Anatomy of Animal Medicine, Institute of Agriculture Bogor, in the year 2015-2018.
Results: The graph for the growth of the gecko tail tissue exhibits a slow growth pattern for the first 13 days, followed by a very swift growth between day 13 to 21, returning to slow growth afterwards until day 30. In the early growth stage, the expression of HIF1α and HIF-2α were increased which showed the tissue was in hypoxia state. HIF protein regulates the contributing to the tissue regeneration process, leading to the increasing growth of tissue with the correlation values of r=-0,853 for HIF-1α; r=-0,75 The substantial expression of Cygb observed throughout the process of tissue regeneration indicates its role in accommodating oxygen in the regeneration process. The expression of PGC-1α was observed to be high in the early stages of the process and remain so until the process ends. This indicates its function in maintaining that sufficient energy provided by mitochondrial biogenesis is available for the regeneration process. The high level of MnSOD expression in the tissue in the early stage of regeneration is thought to relate to its role in neutralizing radicals inside the tissue.
Conclusion: HIF 1α, HIF 2α, Cygb, PGC 1α and MnSOD have their own important roles in the tissue regeneration process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The marine copepods of the genus centropages form a very important component of tropical marine ecosystem,but are poorly known.In a continuing study of the copepods of Indonesian coatal waters,eight species of Indonesian coastal waters,eight species of centropages were collected from 11 sites during 1996-2006..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>