Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123891 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alexander Hestu Sajoga Soetjipto
"Ryamuk Aedes aegypti (Linnaeus) merupakan vektor
utama penyakit demam berdarah di Indonesia. Di Indonesia,
pemakaian diflubenzuron terhadap larva aegypti guna
pengendalian populasi nyamuk tersebut, masih dalam taraf
percobaan.
Dalam penelitian ini dilakukan perlakuan larutan diflubenzuron
0,01, 0,04, dan 0,07 ppm terhadap instar IIIIV
aeg7;rpti. Hasil penelitian diperoleh dengan cara
mengamati persentase dan waktu kematian larva yang diberi
perlakuan, pertiimbuhan larva pada kontrol, serta morfologi
larva yang mati akibat perlakuan dan larva yang normal.
Hasil penelitian menunjukkan, babwra: kematian 100%
larva aegypti tercepat terjadi pada larutan diflubenzuron
0,07 ppm pada hari kelima; pemaparan dengan larutan
diflubenzuron menyebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan
dan kematian pada larva aegypti; terjadi kematian
sebanyak 27, 34, 40, dan 0 larva aeg?7'pti pada larutan
diflubenzuron 0,01, 0,04, 0,07, dan kontrol pada hari kelima.
Dari penelitan ini dapat dikemukakan, bahwa larva Ae.
aegypti peka terhadap larutan diflubenzuron 0,01, 0,04, dan
0,07 ppm di laboratorium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pesik Lucky R.D.
"ABSTRAK
Penanggulangan penyakit demam berdarah sampai saat inii masih ditujukan kepada pengendalian vektornya. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam berdarah di Indonesia. Pengendalian Ae. aegypti dengan menggunakan Toxorhynchites amboinensis sebagai jasad pengendali-hayati, belum pernah dilakukan di Indonesia.
Dalam penelitian ini, dilakukan pengujian efektivitas daya predasi 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 larva instar IV Tx. amboinensis sebagai perlakuan terhadap 100 larva instar III-IV Ae. aegypti selama 48 jam pengamatan. Hasil penelitian diperoleh dengan cara mengarnati persentase larva Ae. aegypti yang menjadi korban predasi, persentase larva Tx. amboinensis yang menjadi korban kanibalisme, dan perkembangan larva Ae. aegypti pada kontrol.
Efektifitas setiap perlakuan ditentukan oleh kemampuan kolektif terbesar membunuh mangsa dengan resiko kanibalisme terkecil. Korban predasi rata-rata 29,33; 50,16; 98; 88,66; 90,33; 90,83; 0 larva Ae. aegypti, dan korban kanibalisme rata-rata 0; 0; 0,16; 2,83; 5,50; 6,83 larva Tx. amboinensis pada perlakuan 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 larva Tx. amboinensis.
Dari penelitian ini dapat dikemukakan bahwa perbandingan yang paling tepat dan efisien dalam pengendalian pepulasi larva Ae. aegypti dengan menggunakan larva Tx. amboinensis sebagai jasad-pengendali- hayati adalah 1 larva Tx. arnboinensis untuk setiap 25 larva Ae. aegypti."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samidjo Onggowaluyo
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara penelitian : Penelitian kepekaan Anopheles sinensis terhadap larva filaria W. bancrofti telah dilakukan di Laboratorium Bagian Parasitologi FKUI, Naval Medical Research Unit (NAMRU) No.2 Jakarta dan Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga. Sumber infeksi W. bancrofti berasal dari wilayah kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mikrofilaria W, bancrofti tipe urban yang vektor aktualnya Culex quinquefasciatus dapat berkembang dalam An. sinensis yang umumnya banyak terdapat pada daerah persawahan di pedesaan. Strain An. sinensis berasal dari kepulauan Nias dan dikembang-biakan di Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga, sedangkan Cx.quinquefasciatus sebagai kontrol telah dikembangbiakkan di Laboratorium NAMRU No. 2 Jakarta. Penelitian ini dimulai dengan infeksi nyamuk An. sinensis dan Cx. quinquefasciatus dewasa muda dengan mikrofilaria secara per os. Pengamatan perkembangan larva filaria dilakukan melalui pembedahan nyamuk yang telah kenyang darah (full fed) masing-masing 20 ekor pada 1 jam, 3, 6, 9, 12, 15 hari pasca infeksi dan dilakukan 3 kali pengulangan untuk mengetahui : angka infeksi, densitas infeksi, waktu perkembangan larva serta tingkat efisiensi. Pengamatan umur An. sinensis dilakukan dengan mengamati jumlah kematian nyamuk setiap hari pasca infeksi pada kelompok nyamuk yang tidak di bedah.
Hasil dan kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan perbandingan angka 'infeksi (68,3% : 56,7%), densitas infeksi (1,2 mikrofilaria/nyamuk : 1,3 mikrofilaria/nyamuk) serta tingkat efisiensi (0,58 : 0,59) pada An. sinensis tidak berbeda bermakna dengan Cx. quinquefasciatus. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan larva filaria seluruhnya(100%) menjadi stadium infektif pada An. sinensis (17 hari) lebih lama daripada Cx.quinquefasciatus (15 hari). Umur nyamuk maksimum yang mengisap darah mengandung mikrofilaria pada An. sinensis dan Cx.quinquefasciatus (26 hari) lebih kecil dari nyamuk yang mengisap darah normal. Keberhasilan An. sinensis mengembangkan larva stadium infektif (L3) serta umur nyamuk yang lebih panjang dari waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva infektif dalam penelitian ini, menyebabkan An.sinensis dapat dikategorikan sebagai vektor potensial bagi W.bancrofti.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendarmoko
"ABSTRAK
Telah dilakukan suatu penelitian terhadap Anisops sp. (Notonectidae) yang
diperoleh dari Situ FMIPA-UI, Depok untuk digunakan sebagai pengendali hayati
larva nyamuk Aedes aegypti pada kondisi laboratorium. Jenis kelamin jantan
mempunyai bentuk abdomen ramping dengan lebar abdomen 1,51 ± 0,08 mm dan
panjang tubuh sebesar 7,74 ± 0,14 mm dibanding dengan betina yang mempunyai
lebar abdomen 1,67 ± 0,05 mm dan panjang tubuh 7,44 ±0,12 mm. Siklus hidup
Anisops sp. membutuhkan waktu 28 hari, dengan masa inkubasi telur 5 hari, dan
masa perkembangan instar I sampai dengan instar V berturut-turut memerlukan
waktu 7 hari, 3 hari, 3 hari, 4 hari dan 6 hari. Bentuk telur Anisops oval dengan
kedua ujung tumpul serta terdapat semacam 'pintu' pada salah satu ujungnya.
Permukaan telur kasar, umumnya transparan, warna bervariasi dari kekuningan,
coklat muda sampai coklat tua dengan panjang telur 1,20 ± 0,02 mm dan lebar
0,44 ± 0,01 mm. Anisops paling banyak menghasilkan 10 telur/ekor/hari dan rata-rata
menghasilkan 2,85 ± 0,36 telur/ekor/hari. Daya tetas telur Anisops sebesar
0,70%. Anisops berpotensi sebagai pengendali hayati larva nyamuk dengan
pemangsaan terbesar sebanyak 22,56 ± 2,17 larva/hari dan nilai pemangsaan ratarata
sebesar 39,75% dari larva yang diberikan.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlila
"ABSTRAK
Demam berdarah adalah suatu penyakit menular yang ditandai dengan demam mendadak, perdarahan baik di kulit maupun bagian tubuh lainnya serta dapat menimbulkan shock dan kematian. Penyebab penyakit ini adalah virus Denggi (Dengue) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Penanggulangan nyamuk Aedes aegypti sebagi vektor utama demam berdarah dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu sanitasi lingkungan yang bertujuan untuk mengurangi habitat jentik, penanggulangan nyamuk dengan adultisida dan penanggulangan jentik dengan larvisida. Satu-satunya larvisida yang digunakan untuk pengendalian vektor demam berdarah di Indonesia adalah temephos. Larvisida tersebut mulai digunakan pada tahun 1976 dan sejak tahun 1980 dipakai secara masal untuk program penaggulangan vektor demam berdarah. Dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian untuk membandingkan status kerentanan populasi jentik Aedes aegypti terhadap temephos dari tiga kelurahan di Jakarta, yaitu kelurahan Johar Baru, kelurahan Cempaka Putih Timur, dan kelurahan Kampung Rawa. Penentuan status kerentanan dilakukan dengan cara menentukan LC-50 dan LC-90 temephos terhadap jentik Aedes aegypti dari tiga kelurahan tersebut. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kerentanan populasi jentik Aedes aegypti dari tiga kelurahan tersebut terhadap temephos dan populasi jentik Aedes aegypti dari tiga kelurahan tersebut masih rentan tehadap temephos."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdi Nur
"Pengendalian terhadap vektor penyakit demam berdarah sampai saat ini masih menggunakan insektisida dan larvasida sintetis. Penggunaan secara berulang-ulang mengakibatkan timbulnya resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran, dan pencemaran terhadap lingkungan. Untuk mengurangi berbagai dilema tersebut perlu dicarikan alternatif dengan menggunakan pestisida nabati.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui toksisitas ekstrak daun selasih (Ocimuni sanctum) pada berbagai konsentrasi sehingga dapat diketahui konsentrasi yang efektif untuk membunuh larva Aedes aegypti.
Rancangan penelitian adalah post-test only control design dimana subyek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan 5 (lima) perlakuan dan 5 (lima) replikasi. Bahan yang digunakan adalah daun selasih (Ocimum sanctum) yang diekstrak dalam etanol 10%, kemudian dilarutkan dalam aquadest dengan konsentrasi 1200 ppm, 1300 ppm, 1 400 ppm, 1500 ppm, dan 1600 ppm. Selanjutnya dimasukkan larva Aedes aegypti sebanyak 40 ekor pada masingmasing kontainer yang berisi larutan ekstrak.
Untuk menentukan LC50 (LC= lethal concentration) digunakan analisis prabit. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pemberian ekstrak daun selasih (Ocimum sanctum) terhadap kematian larva digunakan uji Anova satu faktor. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna setiap perlakuan dilakukan dengan uji Bonferroni.
Dan hasil penelitian diperoleh LC50 sebesar 1293.8 ppm. Hasil uji anova diperoleh p < 0.05, yang berarti ada perbedaan yang bermakna secara signifikan pada taraf 95% antara pemberian berbagai konsentrasi ekstrak daun selasih terhadap kematian larva Aedes aegypti. 5edangkan konsentrasi yang effektif untuk membunuh larva Aedes aegypti sebesar 1523,4 ppm. Penelitian ini merekomendasikan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang zat aktif dalam daun selasih yang berperan sebagai larvasida, menentukan batas keamanan konsentrasi, dan uji lapangan sebelum diterapkan untuk pengendalian larva, serta penelitian kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai repelent dan insektisida.
Daftar bacaan : 38 (1983 - 2000)

Toxicity of Extract from Ocimum Sanctum Leaves Toward Death of Aedes Aegypti LarvaThe controlling for vector of dengue hemorrhagic fever has been using insecticide and synthetic larvicide?s. The use of insecticide repeatedly produces vector resistance, death of another animal that are not target, and environmental pollution. To reduce those dilemmas we have to choice alternatives for instance by using phyto pesticide. This research aimed to know toxicities of extract from Ocirnrnn sanctum leaves in various its concentration, so that we will know what concentration is effective to kill Aedes aegypti larva.
The research design is post-test only design, the subject is divided to two groups-groups for treatment and controlling with five treatments and five replications by using extract from Ocimum sanctum leaves. It is extracted in ethanol solution 10%, and then is dissolved in aquadest with 1200 ppm, 1300 ppm, 1400 ppm, and 1600 ppm. concentration. Finally 40 Aedes aegypti larva are filled in container that has been contained extract ofOc/mum sanctum leaves.
To determine LC50 (lethal concentration) has been used probit analysis and to know differences from providing Ocimum sanctum leaves extract toward larva death has been used one-way ANOVA test. While to know differences of significant test in each of treatment have been used Bonferonni test.
The results of this research described LC5o is I293.7 ppm. The result of ANOVA test is p,al,, < 0.05, it means there are significant differences in 95% confidence level between in providing various extract concentration from Ocimum sanctum leaves toward Aedes aegypti larva death.
The effective concentration to kill Aedes aegypti larva is 1523.4 ppm. Recommendations on this study are important to see about active subtance in Ocimum sanctum leaves that act as larvicide?s on further study, finally it can be use as repellent and insecticide.
References: 38 (1983 - 2000)"
Universitas Indonesia, 2000
T5206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Kresnadi
"ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah yang besar dengan peningkatan jumlah kasus sebesar 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Pemberantasan vektor penyebab DBD sudah dilakukan, termasuk di Indonesia dengan menggunakan Temefos sejak 40 tahun yang lalu. Berbagai faktor terkait penggunaan larvisida Temefos mengakibatkan timbulnya resistensi di beberapa daerah di Indonesia. Desa Pangkah di Kabupaten Tegal merupakan daerah dengan kasus DBD tinggi. Untuk mendukung upaya pemberantasan nyamuk di sana, perlu diadakan evaluasi status resistensi di Desa Pangkah. Penelitian ini menilai status resistensi larva Aedes aegypti Desa Pangkah melalui penentuan lethal concentration (LC) dan rasio resistensi (RR) larva yang dipajankan terhadap Temefos. Pajanan dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan dan dibagi ke dalam 4 konsentrasi tiap pengulangannya yaitu 0,05 ppm, 0,025 ppm, 0,0125 ppm, 0,00625 ppm, dan ditambah dengan satu kontrol. Data yang ada lalu dianalisis menggunakan regresi probit. Kematian pada kelompok uji 0,05 ppm, 0,025 ppm, 0,0125 ppm, dan 0,00625 ppm berturut-turut adalah 91%, 90%, 81%, dan 78%. Hasil regresi probit menunjukkan LC50 berada pada konsentrasi 0,0005 ppm, LC90 pada 0,0349 ppm dan LC99 pada 1,1037 ppm (P<0,05). Nilai ini melebihi ambang WHO untuk LC99 yaitu 0,02 ppm. Dengan demikian, larva Aedes aegypti di Desa Pangkah sudah resisten terhadap Temefos. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan di Indonesia yang sudah lama dan tidak teratur di Desa Pangkah. Untuk itu, perlu dipersiapkan pengganti Temefos yang dianjurkan WHO yaitu Permetrin dan tetap melanjutkan pemberantasan larva dengan 3M. Namun, diperlukan penelitian lebih vii Universitas Indonesia lanjut untuk menentukan status resistensi larva Aedes aegypti di Desa Pangkah terhadap Permetrin dan larvisida lain untuk menentukan strategi pemberantasan nyamuk yang tepat.

ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a big problem with a 30-fold increase in the number of cases in the last 50 years. The eradication of the vector causing DHF has been done, including in Indonesia by using Temefos since 40 years ago. Various factors related to Temefos larvicide use resulted in resistance in several regions in Indonesia. Pangkah Village in Tegal Regency is an area with high DHF cases. To support efforts to eradicate mosquitoes there, an evaluation of resistance status in Pangkah Village needs to be carried out. This study assessed the resistance status of Aedes aegypti larvae in Pangkah Village by determining the lethal concentration (LC) and larval resistance ratio (RR) exposed to Temefos. The exposure was carried out 4 times and repeated into 4 concentrations per repetition, namely 0.05 ppm, 0.025 ppm, 0.0125 ppm, 0.00625 ppm, and added with one control. Existing data were then analyzed using probit regression. Deaths in the test groups were 0.05 ppm, 0.025 ppm, 0.0125 ppm, and 0.00625 ppm respectively 91%, 90%, 81%, and 78%. Probit regression results showed LC50 at a concentration of 0.0005 ppm, LC90 at 0.0349 ppm and LC99 at 1.1037 ppm (P <0.05). This value exceeds the WHO threshold for LC99 which is 0.02 ppm. Thus, the Aedes aegypti larvae in Pangkah Village are already resistant to Temefos. This is likely due to the longstanding and irregular use in Indonesia in Pangkah Village. For this reason, it is necessary to prepare a Temefos replacement recommended by WHO, Permethrin and to continue the eradication of larvae with 3M. However, more research is needed vii Universitas Indonesia continued to determine the status of resistance of Aedes aegypti larvae in the Pangkah Village against Permethrin and other larvicides to determine the right mosquito eradication strategy.
"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frieda Bolang
"Ruang Lingkup dan Metodologi: Permetrin (Piretroid sintetik) merupakan insektisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dan toksisitas yang sangat rendah terhadap mamalia dan organisme nontarget. Permetrin pernah digunakan dalam pengendalian vektor malaria. Pada penelitian ini ingin diketahui berapa konsentrasi permetrin untuk membunuh larva Aedesaegypti di laboratorium dan di lapangan, yang nantinya dapat digunakan sebagai insektisida altematif untuk pengendalian vektor DBD bila resistensi temefos terjadi. Uji ekektivitas permetrin terhadap larva Aedes Aegypti di laboratorium ditentukan dengan uji Bioassay berdasarkan standar WHO, Konsentrasi permetrin yang diuji 0,01% dengan pengenceran 0,02; 0,03; 0,04; 0,05; 0,06; 0,07 mgil.yang didapat dari penelitian pendahuluan. Uji bioassay dilakukan 3 kali ulangan dengan kontrol. Larva Aedesaegypti yang diuji adalah larva instar III akhir dan instar IV awal.dari hasil kolonisasi di laboratorium. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam perlakuan dan dicatat jumlah larva yang mati.
Uji di lapangan dilakukan dalam skala kecil dengan cara meletakkan tempat perindukkan nyamuk (kendi) secara menyebar indoor dan out-door, dibiarkan nyamuk bertelur sampai menjadi larva secara alamiah. Konsentrasi permetrin pada uji di lapangan ditentukan berdasarkan hasil uji bioassay di laboratorium yang menyebabkan kematian larva 99% (LC99) yang dikalikan 10, kemudian diamati setelah 24 jam perlakuan, dan dicatat jumlah larva yang mati. Pengamatan terus dilakukan selama 48 jam sampai kendi-kendi tersebut ditemukan larva.
Hasil dan Kesimpulan: Hasil uji bioassay di laboratorium menunjukkan konsentrasi yang dapat mematikan larva sebesar 50% (LC50) adalah 0,000257 mg/i dan konsentrasi yang mematikan larva sebesar 99% (LC99) adalah 0,000667 mg/i. Konsentrasi yang digunakan untuk uji di lapangan adalah 0,00667 mg/I. Hasil uji efektivitas di lapangan menunjukkan permetrin masih efektif sampai minggu ke-4 setelah perlakuan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T1118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Euodia hortensis Forster (zodia) diberitakan dapat berfungsi sebagi
tanaman hidup penghalau nyamuk. Akan tetapi, belum ada informasi ilmiah
yang dapat mendukung kebenaran berita tersebut. Penelitian dilakukan
untuk menguji keefektifan remasan daun E. hortensis sebagai repelen
nyamuk tipe ruang dan mengetahui interaksi antara tanaman dan nyamuk
Aedes aegypti L. Metode yang dipilih untuk menguji repelensi remasan daun
E. hortensis adalah dengan olfaktometer. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa remasan daun E. hortensis tidak efektif digunakan sebagai repelen
ruang. Tanaman tersebut tidak berdampak pada penurunan kecepatan
nyamuk dalam mencari mangsa. Walaupun demikian, perbandingan
pengamatan perilaku nyamuk antara perlakuan menggunakan remasan daun
E. hortensis dan DEET menunjukkan bahwa tanaman berpotensi digunakan
sebagai repelen oles. Penelitian yang telah dilakukan belum dapat
memastikan tipe interaksi antara zodia dan nyamuk."
Universitas Indonesia, 2006
S31409
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Erminda
"Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.
Metode: Penelitian eksperimental di laboratorium secara bioassay (berdasarkan Lee HL dan WHO) dan uji di lapangan dalam skala kecil. Uji efektivitas alfametrin dan sipermetrin terhadap larva Aedes aegypti dengan konsentrasi yaitu 0,01; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 untuk alfametrin sedangkan untuk sipermetrin dengan konsentrasi 0,01 sampai 0,08. Larva Ae. aegypti yang diuji adalah larva instar III akhir dan instar IV awal dari hasil kolonisasi di laboratorium. Pengamatan dilakukan setelah perlakuan 24 jam dan dicatat jumlah larva yang mati.
Hasil : LC50 dan LC90 dari sipermetrin adalah 0,045mg/l dan LC90 adalah 0.124mg/l sedangkan alfametrin adalah 0,001 mg/l dan 0.058mg/l. Pengamatan daya residu sipermetrin di lapangan diperoleh bahwa insektisida ini mampu membunuh larva lebih dari 80% hanya pada hari pertama. Alfametrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva diatas 80% hingga hari ke -15 dan menurun hingga 60% - 80% pada hari ke 16 ? 17. Hal ini membuktikan bahwa alfametrin memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam membunuh larva.
Kesimpulan :
1. Alfametrin dan sipermetrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva Ae. aegypti, dan daya bunuh alfametrin lebih tinggi daripada sipermetrin.
2. Letal konsentrasi (LC50) dan LC90 alfametrin adalah 0,001mg/l dan 0,058mg/l. Sedangkan LC50 dan LC90 sipermetrin adalah 0,045mg/l dan 0,124mg/l dapat dikatakan daya bunuh alfametrin 2x lebih kuat dibandingkan dengan sipermetrin.
3. Daya residu alfametrin di lapangan dapat bertahan sampai 3 minggu sedangkan daya residu sipermetrin hanya bertahan kurang dari 1 minggu.Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.

Vector control is a major effort that is to break the chain of transmission. This study used two classes of synthetic pyrethroid of insecticides, namely Alphamethrin and Cypermethrin. The purpose of this study were to determine the effectiveness of the two classes of these insecticides against Ae. aegypti through bioassay; to know the lethal dose; and to seek the residual power of these 2 classes of insecticides in the field.
Methods: The study used experimental research both in laboratory bioassays (based on Lee HL and WHO) and in the field on a small scale. Alphamethrin against larvae of Aedes aegypti was effective with a concentration of 0.01 to 0.05, while Cypermethrin was effective with a concentration of 0.01 to 0.08. Larva Ae. aegypti that was tested was in final third instars and in early fourth instars. The research used the results of reproduced larva in the laboratory.
Results: The research found that Cypermethrin with a concentration 0.08 mg/l was effective to kill 77% larva Ae. aegypti and Alphamethrin with a concentration 0.05 mg/l was effective to kill 92% larva Ae. aegypti. Based on regression probit, the research also found that LD50 of Cypermethrin was 0.045 mg/l dan LD90 of Cypermethrin was 0.124 mg/l. In addition, LD50 of Alphamethrin was 0.001 mg/l and LD90 of Alphamethrin was 0.045 mg/l. The research also found that Cypermethrin was able to kill over 80% larva only on the first day, but more larva were still alive on the following days. Alphamethrin was able to kill over 80% larvae until on the fifteenth days and the ability to kill the larva was decreasing 60% to 80 % on the sixteenth and seventeenth days.
Conclusion:
1. Alphamethrin and Cypermethrin has the ability to kill the larvae of Ae. aegypti , and the power to kill Alphamethrin higher than Cypermethrin
2. Lethal Dose (LD50) and LD90 Alphamethrin is 0.001 mg / l and 0.058 mg / l. While the LD50 and LD90 Sipermetrin is 0.045 mg / l and 0.124 mg / l can say killing power Alphamethrin 2x stronger than Cypermethrin.
3. Power Alphamethrin residue in the field can last up to 3 weeks while the residual power Cypermethrin lasted less than 1 week
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>