Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54334 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2003
S28726
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1995
S38431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyan Ekawati
"Latar belakang dan tujuan: Sekuele TB dapat berupa keluhan respirasi yang menetap, risiko infeksi saluran napas berulang dan gangguan fungsional. Berkurangnya kualitas hidup, disabilitas dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh sistem penjamin kesehatan merupakan hal lain yang terkait dengan kondisi ini. Peneliti berupaya untuk mengetahui kualitas hidup pasien bekas TB dihubungkan dengan pemeriksaan high resolutioncomputerized tomography scanning (HRCT) toraks danuji faal paru.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap pasien yang telah menyelesaikan pengobatan TB kategori 1 diinstalasi rawat jalan poliklinik paru RSUP Persahabatan/Departemen Pulmonologi dan Kedokteran RespirasiFKUI Jakartapada tanggal 1 Desember 2016 - 30 Juni 2017.
Hasil: Terdapat 32 subjek yang mengikuti penelitian ini, 56,3% diantaranya laki-laki. Sebanyak 57,8% subjek mengalami gangguan kualitas hidup dengan gangguan kualitas hidup terbanyak (24,4%) pada kedua ranah (fisis dan mental). Gangguan ranah fisis yang paling banyak dirasakan adalah rasa nyeri (30,3%), fungsi sosial merupakan ranah mentah yang paling banyak mengalami gangguan (36,4%). Sekuele sedang pada HRCT toraks ditemukan pada 43,8% subjek. Rata-rata KVP 2265 ml (95% CI 2043.73-2495.26) dan rata-rata VEP1 1898 ml (95% CI 1667-2129) dengan kelainan terbanyak restriksi (68,8%). Uji Chi square mendapatkan hubungan tidak bermakna antara hasil HRCT toraks dan kualitas hidup pasien bekas TB (p=0,455). Tidak terdapat hubungan bermakna antara hasil pemeriksaan spirometri dan kualitas hidup (p=0,470). Uji Mann Whitney menunjukkan hubungan bermakna antara VEP1/KVP dan hasil HRCTtoraks (p=0,00).
Kesimpulan: Sebagian besar pasien bekas TB mengalami gangguan kualitas hidup yang secara statistik tidak berhubungan dengan luas lesi pada HRCT toraks dan pemeriksaan spirometri. Luas lesi pada HRCT toraks berhubungan dengan nilai VEP1/KVP.

Introduction: Sequelae of tuberculosis (TB) could arise as a persistent respiratory complaint, risk of recurrent respiratory infections and functional impairment. Reduced quality of life, disability and the cost to be paid by the health insurer system are other things related to this condition. This study aims to determine the quality of life of former TB patients associated with high resolution tomography scanning (HRCT) examination with pulmonary function tests.
Method: This study was a cross-sectional study with the subjects were the patients who have completed TB treatment of category 1 in the outpatient Pulmonary Clinic of Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Persahabatan Hospital Jakarta on December 1, 2016 to June 30, 2017.
Result: There were 32 subjects in this study. As much as 56.3% of the subjects were men and 57.8% of subjects experienced quality of life disorder. The most quality of life disorder found in the subjects was occured in both sphere, physical and mental quality of life disorder (24.4%). The most perceived physical disturbance was pain (30.3%) and impaired social function was the most problematic crude (36.4%). A sequelae on HRCT of the thorax was found in 43.8% of subjects. Average FVC was 2265 ml (95% CI 2043.73-2495.26) and average FEV1 was 1898 ml (95% CI 1667-2129). Most of the lung function disorder was restriction disorder (68.8%). The chi square test found no significant correlation between HRCT and quality of life of TB patients (p = 0.455). There was no significant correlation between spirometry and quality of life (p=0.470). Mann Whitney test on FEV1/FVC and thorax HRCT found significant correlation (p=0.00).
Conclusion: Most of the former TB patients have a quality of life disorder that is statistically unrelated to the extent of the lesions on thoracic CT-Scan and spirometry examination. The area of ​​the lesion on the HRCT of the thorax corresponds to the FEV1/FVC value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Taopik
"Penelitian ini mengevaluasi pengaruh Teknik Automatic Tube Current Modulation dengan variasi pitch dan diameter efektif terhadap estimasi nilai dosis dan tingkat noise untuk pemeriksaan Abdomen pada pesawat CT Scan menggunakan in-house phantom yang merepresentasikan organ Abdomen. Pemindaian dilakukan pada objek in-house phantom menggunakan CT Scan Ingenuity 128 Philips dengan parameter eksposi tegangan tabung 120 kVp, variasi Dose Right Index (DRI) 10-14, serta variasi pitch 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; dan 1,49. Hasil penelitian menunjukkan DDRI terverifikasi sekitar 10% sampai 13%, kecuali DRI 10 sampai 11 yang relatif tinggi yaitu rata- rata 15% sampai 17%. Nilai CTDIvol bergantung pada DRI atau arus tabung. Peningkatan DRI meningkatkan CTDIvol. Modulasi mAs pada akuisisi gabungan phantom terjadi pada ukuran phantom yang lebih kecil dengan tetap menjaga kestabilan noise. Noise terendah pada penerapan ATCM dihasilkan pada DRI 14. Penerapan ATCM pada objek in-house phantom pada pemeriksaan CT Scan protokol Abdomen berpengaruh terhadap perubahan nilai mAs, CTDIvol, dan noise. Spesifikasi ATCM pesawat CT Ingenuity 128 sesuai dengan ketentuan Philips.

This study evaluates the effect of the Automatic Tube Current Modulation technique on pitch and effective diameter variation on the estimated dose value and noise level for abdominal examination on CT Scan machine using an in-house Phantom to represent abdominal region. Scanning use an Ingenuity 128 Philips CT Scan with parameters namely tube voltage 120 kVp, varied Dose Right Index (DRI) of 10-14, as well as under pitch variations of 0.6; 0.8; 1.0; 1.2; and 1.49. The changes in mAs, CTDIvol, and noise to the Philips reference value were then verified. ΔDRI is verified to be approximately 10% to 13%, except for DRI 10 to 11 which is relatifly high on average 15% to 17%. The CTDIvol value does depend on the DRI or tube current. An increase in DRI increases the CTDIvol. mAs modulation in combined phantom acquisition occurs at smaller phantom sizes while maintaining noise stability. The lowest noise in the application of ATCM is produced in the DRI 14. The application of ATCM to in-house phantom objects in the abdominal protocol CT Scan examination affects the change in mAs, CTDIvol, and noise values. The ATCM specifications of the Ingenuity 128 CT machine according to Philips regulations."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Muhammad Nobel
"Plain film merupakan modalitas standar radiologi semua rumah sakit di Indonesia dan biaya relatif rendah. Dalam diagnosis kanal spinal stenosis , CT scan lebih baik tetapi plain film lebih tersedia .Rerata sagital diameter terbesar pada C6 (18mm) dan yang terkecil C4 (17,0mm). Terdapat perbedaan bermakna berdasarkan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan sedangkan usia tidak. Korelasi kuat didapatkan pada pengukuran sagital diameter dari C3-C7 sedangkan interpedikel korelasinya lemah. Didapatkan sagital c3 (r=0,85), c4 (r=0,84), c5(0,84), c6(r=0,81) dan c7(r=0,86) sedangkan interpedikel c3(r=0,23), c4 (r=0,51), c5(r=0,47), c6 (r=0,84) dan c7(r=0,56).

Plain film is modality standar of radiology for all hospital in Indonesia and cost cheaper. In diagnosis stenosis of spinal canal, Ct scan better than Plain film but plain film more avalaible. The mean sagital diameter of the cervical canal at the biggest 18 mm (C6) and smallest 16 mm (C4). There was significantly correlation of sex,body weight, and height but no with age. Result of corelation between plain film and ct scan there was strong corelation at sagital diameter but weak at interpedikel diameter. We can see at C3 sagital (r = 0,85), C4 sagital (r= 0,84), C5 (r=0,84), C6 (r=0,81) and C7 (r=0,86). Otherwise interpedikel diameter C3 (r=0,23, p=0,11), C4 (r=0,51), C5 (r=0,47), C6 (r=0,48), and C7 (r=0,56).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Dwi Prastanti
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan variasi nilai kuat arus tabung terhadap kejelasan anatomi tulang wajah dan dosis radiasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Data diambil dari empat variasi penggunaan nilai arus tabung (mA) 200 mA, 150 mA, 100 mA dan 50 mA dengan parameter yang lain konstan. Dosis radiasi diukur dengan CTDI. Gambar dinilai oleh responden yang terdiri dari 20 (duapuluh) Dokter Spesialis Radiologi yang tidak menyadari tentang pengaturan kuat arus tabung pada gambar yang dihasilkan. Kualitas gambar dianalisis dengan metode skoring pada 8 (delapan) kriteria anatomi. Palatum, struktur trabekula tulang dan kortex, sinus paranasal, dinding orbita lateral dan medial, orbital roof dan orbital floor, zygomatic, nasal cavity dan ethmoid dinilai dengan skor 1 jika tidak jelas, skor 2 jika jelas dan skor 3 jika sangat jelas. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada keempat kelompok dalam menentukan kejelasan anatomi tulang wajah berdasarkan sistem skoring yang digunakan dalam penelitian ini. Dosis radiasi dari penilaian CTDI menunjukkan bahwa dosis dapat dikurangi sebesar 75% pada penggunaan kuat arus tabung 50 mA atau 11,40 mGy dari arus protokol standar 200 mA atau 45,61 mGy. Hal ini sangat penting untuk mengurangi resiko kebutaan pada lensa mata.

The purpose of this study was to analyze the differences in the variation of tube current of the clarity of the facial bones anatomy and radiation dose. This research is an experimental study. Data were taken from four variations use the value of tube current (mA) 200 mA, 150 mA, 100 mA and 50 mA with the other parameters constant. CTDI measured radiation dose. Images assessed by respondents consisted of 20 (twenty) Radiology Specialists who are unaware of the settings on the tube current of the resulting image. The image quality was analyzed by the method of scoring in 8 (eight) anatomical criteria. Palate, structure of trabecular bone and cortex, paranasal sinuses, lateral and medial orbital wall, orbital roof and orbital floor, zygomatic, nasal cavity and ethmoid assessed with a score of 1 if it is not obvious, a score of 2 if it is clear and score 3 if very clear. There is no significant difference in the four groups in determining the clarity of the facial bones anatomy based on the scoring system used in this study. Radiation dose from CTDI assessment showed that the dose can be reduced by 75% in the use of tube current of 50 mA or 11.40 mGy of 200 mA current standard protocol or 45.61 mGy. It is very important to reduce the risk of blindness in the eye lens.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Biddulth
"Pendahuluan : Insidensi pembesaran kelenjar prostat mencapai 50% pada pria berusia 50 tahun keatas. Berbagai modalitas pemeriksaan radiologi memiliki sensitifitas yang berbedabeda dalam estimasi volume kelenjar prostat. Modalitas yang paling tersedia di Indonesia pada layanan kesehatan adalah USG transabdominal dan Computed tomography scan (CT scan).
Tujuan : Menilai korelasi modalitas USG transabdominal dan CT scan dalam estimasi ukuran volume kelenjar prostat.
Metode : Studi korelasi dilakukan pada pasien pria berusia diatas 50 tahun keatas yang menjalani pemeriksaan CT scan whole abdomen dan dilakukan pengukuran volume kelenjar prostat dengan USG transabdominal. Setiap dimensi ukuran kelenjar prostat dan volume merupakan data numerik terdistribusi tidak normal, sehingga digunakan uji Spearman.
Hasil : Dari 23 subjek penelitian, didapatkan korelasi dimensi panjang (r=0,53, p=0,01), dimensi lebar (r=0,81, p=0,00), dan dimensi tinggi (r=0,64, p=0,001) yang signifikan. Untuk korelasi volume kelenjar prostat (r=0,80, p=0,000) didapatkan signifikan.
Kesimpulan : Terdapat korelasi yang signifikan pada setiap ukuran dimensi kelenjar prostat dan volume yang didapatkan.

Introduction : Prostate gland enlargement incidence about 50% in male population age 50 years and above. There are so many radiology modalities with difference sensitifity in estimating prostate volume. The most available modalities in Indonesian health care services are transabdominal sonography and computed tomography scan (CT scan).
Objective : Assessing correlation in both modalities in evaluating prostate volume measurement.
Methods : Correlation study was done in male ages 50 years and above underwent whole abdominal CT scan and prostate gland were measured by transabdominal sonography. Both numeric data were abnormal distribution, so Spearman test was done.
Results : There are significant correlation either between length (r=0,53, p=0,01), wide (r=0,81, p=0,00), and height dimensions (r=0,64, p=0,001) or volume measurement (r=0,80, p=0,000) in 23 subjects.
Conclusions : Significant correlation either in each prostate dimension or prostate volume measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firhat Idrus
"Latar Belakang: Kanker pankreas merupakan penyakit dengan kesintasan rendah dan kesulitan untuk melakukan diagnosis. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)-Scan abdomen dan Ca 19-9 merupakan modalitas yang murah, mudah, dan terjangkau dalam diagnosis kanker pankreas. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis kanker pankreas tetapi belum banyak tersedia di fasilitas kesehatan di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan diagnostik CT-Scan abdomen dan Ca 19-9 dibandingkan dengan EUS-FNA dalam diagnosis kanker pankreas.
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan melihat rekam medis 62 pasien dengan kecurigaan kanker pankreas di RSCM pada tahun 2015-2019. Diambil pasien-pasien yang memiliki data Ca 19-9 dan CT-Scan abdomen yang kemudian dilakukan EUS-FNA untuk penegakan diagnosis kanker pankreas.
Hasil: Sensitivitas dan spesifisitas CT-Scan abdomen masing-masing 76,27% dan 100%, sedangkan Ca 19-9 masing-masing 67,8% dan 33,33%. Nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), rasio kemungkinan negatif (RKN), dan akurasi CT-Scan abdomen masing-masing adalah 100%, 17.65%, tidak dapat dinilai, 0,24 , dan 77,42%. Nilai duga positif, NDN, RKP, RKN, dan akurasi untuk Ca 19-9 masing-masing adalah 95.24%, 5%, 1,02, 0,97, dan 66,13%.
Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan CT-Scan Abdomen dan Ca 19-9 memiliki sensitivitas yang tinggi untuk kanker pankreas. Computed Tomography abdomen dapat digunakan untuk diagnosis kanker pankreas dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.

Introduction: Pancreatic cancer is a disease with low survival rate and difficult to diagnose. Abdominal computed tomography (CT) and Ca 19-9 are diagnostic modalities which are easy, simple, and non-invasive in diagnosis of pancreatic cancer. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) is the gold standard for diagnosis of pancreatic cancer but it is not available in many health care facilities in Indonesia.
Purpose: This study aims to know the diagnostic accuracy of abdominal CT and Ca 19-9 compared to EUS-FNA for diagnosis of pancreatic cancer.
Methods: The design of this study is cross-sectional by searching medical record of 62 patients with clinical suspicion of pancreatic cancer in Cipto Mangunkusumo hospital from year 2015-2019. Patients who undergo EUS-FNA with clinical suspicion of pancreatic cancer and have abdominal CT and Ca 19-9 data is included.
Results: The sensitivity and specificity of abdominal CT are 76.27% and 100%, respectively, and Ca 19-9 are 67.8% and 33.33%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of abdominal CT are 100%, 17.65%, unmeasurable, 0.24 , and 77.42%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of Ca 19-9 are 95.24%, 5%, 1.02, 0.97, and 66.13%, respectively.
Conclusion: The combined sensitivity of abdominal CT and Ca 19-9 has high sensitivity to diagnose pancreatic cancer. Abdominal CT can be used to diagnose pancreatic cancer with good sensitivity and specificity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Eddy Yunus
"Stroke merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di Indonesia. Mengingat sempitnya jendela waktu pengobatan stroke iskemik hiperakut dan potensi komplikasi yang terkait dengan intervensi trombolisis, prognostikasi yang akurat esensial dalam memastikan terapi yang cepat dan tepat. Penelitian ini memanfaatkan pembelajaran mesin, khususnya Random Forest (RF), bertujuan untuk mengembangkan model yang mampu memprediksi hasil klinis (Δ NIHSS) pasien stroke iskemik hiperakut setelah trombolisis, berdasarkan CT scan otak, data klinis, dan nilai laboratorium. Klasifikasi Δ NIHSS menggunakan tiga skenario berbeda —CT, CT + Data klinis, dan CT + Data klinis + Data lab— dan dikategorikan menjadi 2 dan 3 kelas yang akan digunakan dalam pemantauan model prediksi mana yang memberikan performa paling optimal. Pengumpulan data studi kohort ini diperoleh saat kedatangan awal pasien, terdiri dari data klinis, laboratorium, dan data CT otak non-kontras dari rekam medis dan Picture Archiving Communication System (PACS) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan periode 10 tahun sejak November 2014 hingga Februari 2023 dan total 145 pasien. Arsitektur dari Bacchi et al.1 yakni convolutional neural network (CNN) dan model pembelajaran mesin konvensional lainnya juga dianalisis sebagai pendekatan alternatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa algoritma RF (2 kelas) menggunakan data validasi dan skenario CT + Data klinis + Data lab menampilkan akurasi tertinggi (75%) dan unggul dalam sensitivitas dan spesifisitas (0,61 dan 0,59). Performa metrik juga menunjukkan tren peningkatan dari setiap skenario. Model ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penatalaksanaan stroke iskemik hiperakut dengan memberikan informasi tambahan kepada klinisi dalam pengambilan keputusan terkait intervensi trombolisis.

Stroke is the leading cause of both mortality and disability in Indonesia. Given the narrow time frame for treating acute ischemic stroke and the potential complications associated with thrombolysis intervention, accurate prognostication is essential to ensure a prompt and appropriate treatment. The National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) can be utilized to identify individuals who may benefit from reperfusion therapy. The data for this cohort study acquired during the initial presentation, comprising clinical, laboratory, and non-contrast brain CT data from the medical records and Picture Archiving Communication System (PACS) of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The study included 145 patients who experienced acute ischemic stroke and received thrombolysis treatment from November 2014 to February 2023. Currently, there is no clinical outcome prediction model for hyperacute ischemic stroke using data from Indonesia. By utilizing machine learning, specifically Random Forest, the author aims to develop a model capable of predicting the clinical outcome (Δ NIHSS) of hyperacute ischemic stroke patients following thrombolysis, based on brain CT scans, clinical data, and laboratory values. The classification of Δ NIHSS used three distinctive scenarios —CT, CT + Clinic, and CT + Clinic + Lab— and is categorized by 2 and 3 classes will be used in monitoring which prediction model gives optimal performance. Architecture derived from the research conducted by Bacchi et al.1 employed a convolutional neural network (CNN) and other conventional machine learning models were also analyzed as alternative approach. Result revealed that RF algorithm (2 classes) using data validation and CT + Clinic + Lab scenario displays the highest accuracy (75%) and excels in sensitivity and specificity (0,61 and 0,59). The performance metrics show continuous improvement, indicating that this model can enhance hyperacute ischemic stroke management by providing clinicians with additional decision-making support for thrombolysis intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>