Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202251 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriady M
"Dari hasil pembahasan didapatkan hal-hal sebagal ben kut : Pola pergiliran tanaman didaerah penelitian pada tanahsawah satu kali setahun terdapat diseluruh kecamatan,untuk pola 1 seluas 13.541 hektar(38,95 %), pola 2 seluas 9.243 - hektar (26,59 %) dan pola 3 seluas 1982 hektar (34,46). Adanya pola pergiliran tanaman tersebut,menyebabkan tingkat pendapatan petani menjadi meningkat begitu pula dengan kebutuhan tenaga kerjanya turut meningkat pula. Besar kecilnya tingkat pendapatan disebabkan oleh besar kecilnya produktivitas dan masing- masing jenis tanaman. Sedangkan besar kecilnya kebutuhan tenaga kerja,sangat bergantung pada penggunaan tenaga kerja untuk masing-masing jenis tanaman yang didasarkan oleh perhitungan hari kerja mulal dan tanam hingga panen."
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Taufik Mubarak
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Nurpinudji
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Judhi Setianegara
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Mulyawan
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Imran Khairul Imam
"Desa Cisitu di Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan sumber mata pencaharian sebagai petani teh. Keberlanjutan mata pencaharian sebagai petani teh menghadapi masalah musim kemarau yang panjang dan naik turunnya harga daun teh. Hal ini menyebabkan kebun teh di Desa Cisitu dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman lain selain teh. Pengukuran keberlanjutan mata pencaharian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Keberlanjutan penghidupan diukur melalui 5 aset utama, yaitu aset alam, aset finansial, aset fisik, aset manusia, dan aset sosial. Aset alam diukur dengan lokasi perkebunan, jasa lingkungan dan bencana alam. Aset keuangan diukur melalui modal, aset hidup lainnya dan luas lahan pertanian. Aset fisik diukur melalui mekanisme pertanian, alat pendukung pertanian, teknologi pertanian dan aksesibilitas. Aset manusia diukur dari kemampuan dan pengetahuan serta ketersediaan tenaga kerja. Aset sosial diukur dengan partisipasi dalam kelompok tani dan keterlibatan dengan lembaga lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi petani yang mampu bertahan hanya sebagai petani teh. Semua petani memiliki sumber pendapatan lain, baik dengan mengkonversi kebun teh mereka atau dari sumber non-pertanian. Petani yang masih mengelola kebun tehnya dengan baik adalah mereka yang memiliki aset keuangan yang memadai dan mendapat bantuan dari pemerintah. Profil petani menjadi kunci peluang mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan petani teh dapat berlanjut sebagai sumber penghidupan jika ada pendampingan dan pembinaan dari pemerintah yang dilakukan sesuai dengan profil petani tersebut.

Cisitu Village in Sukabumi Regency is one of the villages that still maintains a source of livelihood as tea farmers. Sustainability of livelihoods as tea farmers face the problem of a long dry season and the ups and downs of tea leaf prices. This causes the tea garden in Cisitu Village to be used to grow other types of plants besides tea. Measurement of livelihood sustainability is carried out using qualitative methods. Livelihood sustainability is measured through 5 main assets, namely natural assets, financial assets, physical assets, human assets, and social assets. Natural assets are measured by plantation location, environmental services and natural disasters. Financial assets are measured through capital, other living assets and the area of ​​agricultural land. Physical assets are measured through agricultural mechanisms, agricultural support tools, agricultural technology and accessibility. Human assets are measured by the ability and knowledge as well as the availability of labor. Social assets are measured by participation in farmer groups and involvement with other institutions. The results of this study indicate that there are no longer farmers who are able to survive only as tea farmers. All farmers have other sources of income, either by converting their tea gardens or from non-agricultural sources. Farmers who still manage their tea gardens well are those who have adequate financial assets and receive assistance from the government. Farmer profiles are the key to opportunities to get assistance from the government. The conclusion of this study shows that the life of tea farmers can continue as a source of livelihood if there is assistance and guidance from the government carried out according to the profile of the farmer."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Marhaeni Pudji Astuti
"Subsektor agroindustri merupakan salah satu sektor penting untuk pertumbuhan ekonomi di luar sektor lain. Setidaknya dipandang dari sumbangannya terhadap ekonomi secara makro inaupun kesempatan kerja yang diciptakannya. Agroindustri minyak kayu putih di Gundih Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. merupakan salah satu contoh yang menarik dalam melihat salah satu fenomena, yaitu pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Agroindustri minyak kayu putih milik Kesatauan Pemangkuan Hutan (KPH) Gundih ini merupakan satusatunya di Jawa Tengah dan pemasok kebutuhan minyak kayu putih pada 19 perusahaan di samping perorangan yang membutuhkan.
Luas lahan kayu putih di KPH Gundih 3.167.30 ha menghasilkan minyak kayu putih tiap tahun rata-rata 57.209,17 liter, dan menyerap lebih dari 900 tenaga kerja. Namun kesemuanya itu tergantung dari fluktuasi musim. Termasuk dari tenaga kerja itu adalah perempuan penduduk sekitar sebagai buruh borongan.
Proses kerja dalam agroindustri minyak kayu putih ini meliputi perawatan persemaian, pengurutan, dan pembuatan briket. Aktivitas kerja tersebut dilakukan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di hutan dan di sekitar pabrik. Satu ciri khas yang menonjol dalam proses kerja di kedua tempat tersebut (hutan dan pabrik) adalah sifat labour .intensive, yang dii.si oleh angkatan kerja utama peremperempuan, adanya pembagian kerja antara buruh laki-laki dan perempuan. Berta hubungan kerja mereka.
Lokasi produksi berada di wilayah pedesaan. memberikan penjelasan bahwa keberadaan agroindustri ini memanfaatkan keuntungan komperatif dari pasar tenaga kerja yang murah. Masuknya angkatan kerja perempuan desa sebagai mayoritas buruh dalam agroindustri minyak kayu putih inidapat dijelaskan melalui mekanisme penawaran dan perm.intaan tenaga kerja. Secara umum terjadi kondisi surplus tenaga kerja perempuan di pedesaan, akibat pertambahan penduduk dan keterbatasn kesempatan kerja di sektor pertanian, karena sempitnya lahan dan ketidaksuburan tanah. Dari sisi penawaran, penawaran yang ada secara historis telah didefinisikan menjadi pekerjaan bersifat feminin. Mengenai pembagian kerja antara buruh laki-laki dan buruh perempuan di agroindustri minyak kayu putih -- yaitu perempuan sebagai perawat persemaian, pengurut daun dan pembuat briket, sedangkan buruh laki-laki mengoperasikan mesin dan tukang pangkas -- bisa dilihat dengan teori pembagian kerja secara seksual yang melestarikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut biologis ke dunia kerja.
Kombinasi dari kondisi, tersebut menyebabkan buruh perempuan dalam agroindustri ini menjadi marginal dan berupah rendah. Dalam kurun waktu 25 tahun (1970 - 1995) tingkat upah buruh perempuan di unit usaha ini secara nominal meningkat, tetapi daya belinya merosot. Kondisi upah yang rendah tersebut disertai Pula dengan kondisi kerja tidak memenuhi syarat-syarat kerja. Gambaran seperti ini umumnya terjadi pada unit-unit perusahaan. Dari segi upah meski tergolong besar untuk ukuran sumbangan mereka pada ekonomi rumah tangga. namun masih di bawah upah minimum regional (untuk Jawa Tengah). Kecuali bagi pengurut daun yang mau bekerja seharian akan memperoieh hasil banyak, karena dibayar berdasarkan hasil timbangan. Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Tengah pada tahun 1995 adalah sebesar Rp 2.700, sedangkan penerimaan perempuan buruh perawat persemaian Rp 2.500 per hari dan buruh laki-laki Rp 3.000 per hari. Perempuan pembuat briket juga dibayar sesuai dengan yang dihasilkan.
Kekhususan yang agak menonjol dari dinamika tenaga kerja di dalam agroindustri minyak kayu putih ini adalah adanya pembagian kerja yang sudah mapan, yaitu semua buruh perempuan menjadi perawat persemaian, pengurut daun dan pembuat brirket, sedangkan buruh laki-laki sebagai mandor, tukang pangkas dan megoperasikan mesin. Selain itu dinamika hubungan kerja mereka mempunyai kekhususan, di mana tukang pangkas tergantung tukang urut. demikian pula sebaliknya, karena gaji tukang pangkas di samping gaji bulanan juga diambilkan dari setiap kilogram daun yang ditimbang.
Namun dalam penelitian nampaknya ketergantungan itu tidak berlaku. Tukang urut lebih suka memangkas pohon kayu putih sendiri daripada menunggu dipangkaskan tukang pangkas. Hal lain yang menonjol adalah berkaitan dengan kecilnya kesempatan kerja yang ada, terutama di luar sektor pertanian dan berkait pula dengan kebanyakan status inferior yang disandang buruh perempuan di sana. Ini menyebabkan hampir semua perempuan di desa sekitar hutan ramairamai memasuki peluang kerja di agroindustri minyak kayu putih. Didukung dengan status perkawinan mereka yang menikah pada usia muda. tingkat pendidikan rendah dan latar belakang dari keluarga miskin, makin memperlemah pasisi mereka dalam pasar tenaga kerja.
Marginalisasi dan feminisasi pekerjaan juga berlaku di agroindustri minyak kayu putih ini. Yakni semua pekerjaan yang memerlukan ketekunan, kesabaran, ketelitian dan berupah rendah dengan status harian lepas. semua dijabat oleh perempuan. Buruh perempuan ini juga babas direkrut dan diberhentikan kapan saja oleh mandor tergantung fluktuasi musim. Hal ini diperkuat oleh pandangan mandor (buruh laki-laki) bahwa yang cocok untuk men.jadi tukang urut, perawat persemaian dan pembuat biket adalah perempuan.
Mobilitas vertikal buruh dalam lingkungan kerja sangat terbatas. Buruh perempuan berapa pun lamanya is bekerja tetap sebagai buruh harian lepas, sementara untuk staf selalu dijabat oleh laki-laki. Dalam sistem ketenagakerjaan agroindustri ini terjadi segmentasi pasar tenaga kerja. antara buruh perempuan dan buruh laki-laki. Buruh perempuan yang merupakan buruh harian dapat diberhentikan saat volume kerja menururn dan direkrut kembali jika lahan kayu putih yang akan digarap meningkat. Sementara buruh laki-laki bekerja sepanjang perusahaan tersebut masih beroperasi.
Perekrutan tenaga kerja dilakukan oleh mandor sebagai perpanjangan tangan Perhutani. Pola hubungan social mandor-buruh di dalam lingkungan kerja berjalan paralel sebagai relasi patron-client di dalam komunitas mereka. Mandor secara tidak langsung berfungsi pula sebagai "polisi" yang mengawasi tingkah laku dan Cara kerja buruh. Dengan demikian perusahaan akan mendapat jaminan terrapai target perolehan daun kayu putih. Mandor pula yang menentukan jadwal buruh di hutan karena dia yang tabu kebutuhan di lapangan.
Agroindustri minyak kayu putih di KPH Gundih Kabupaten Grobogan Jawa Tengah memang mempunyai dampak menyediakan lapangan kerja yang cukup luas. Akan tetapi belum diikuti dengan perbaikan nasib buruh melalui peningkatan upah yang layak sekaligus dapat mendorong daya beli."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadilah Salma
"Desa kini bukan lagi sekadar objek pembangunan melainkan subjek pembangunan dengan otonominya yang kembali seperti sedia kala dan diakui kerangka regulasi yang formal (UU Desa). Desa juga mendapat tambahan sumber pendapatan berupa dana desa yang memiliki potensi membiayai aktivitas pembangunan kesehatan di desa. Penelitian ini memaparkan gambaran pemanfaatan dana desa untuk bidang kesehatan serta hubungannya dengan peningkatan pembangunan kesehatan di wilayah perdesaan Kabupaten Kebumen selama empat tahun. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survei dan menggunakan data realisasi pemanfaatan dana desa dan data capaian pembangunan kesehatan Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, alokasi pemanfaatan dana desa bidang kesehatan proporsinya berkisar 3,44-5,92% dengan besaran per kapita relatif kecil yakni Rp. 3.655-16.879. Besaran alokasi belanja paling banyak cenderung untuk pembangunan fisik sarana prasarana pelayanan kesehatan desa dan penyehatan lingkungan berupa jamban/MCK dan sarana air bersih. Selain itu tidak didapati korelasi antara pemanfaatan dana desa untuk kesehatan dengan peningkatan akses terhadap jamban sehat, akses terhadap air minum, peningkatan Posyandu aktif, dan peningkatan status desa siaga.

Nowadays, a village is not just become an object of development but the subject behind it with its real autonomy avowed by formal regulatory framework (Village Law). A village also receives additional income in the form of village funds which potentially becomes new source to rural health development financing. This research shows the use of village funds and its correlation with rural health development at villages in Kebumen Regency for 4 years. This is a quantitative research with survey method and use data of realization of village funds and health development achivements in Kebumen Regency. The result shows that utilization of village funds for health sector took about 3.44-5.92% proportion with a relatively small per capita amount around 3.655-16.879 rupiahs. The largest expenditure allocation tends to be infrastructure facilities for village health services and environmental health in the form of latrines/ toilets and clean water facilities. In addition, there is no correlation between the use of village funds for health and access to clean water, access to proper latrines/toilets, an increase in Posyandu aktif, and Desa Siaga status."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harnendra Dwi Abikusumo
"Pelindungan hak-hak petani atas tanah secara normatif sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Namun secara empiris, petani masih belum mendapatkan kesejahteraan dari tanahnya. Sedangkan, kehidupan dan penghidupan mereka sangat tergantung dari sumber daya tersebut. Bahkan, beberapa petani memiliki luasan tanah yang sangat kecil sehingga mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Petani gurem semacam itu sangat membutuhkan Pelindungan terhadap hak-hak atas tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur tentang Pelindungan dan pemberdayaan petani. Selain itu juga mengamati implementasi kebijakan untuk melindungi dan memberdayakan petani gurem dalam kerangka reforma agraria. Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah non-doktrinal dengan menggunakan pendekatan sosio-legal. Hal ini guna mengumpulkan data primer yakni melalui studi lapangan dan data sekunder melalui studi kepustakaan. Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa Pelindungan dan pemberdayaan petani dalam ketentuan hukum di Indonesia cenderung meluas dan seringkali terjadi tumpang tindih kewenangan. Selain itu pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja banyak mengancam hak-hak petani atas tanah. Selanjutnya pelaksanaan Pelindungan dan pemberdayaan petani melalui reforma agraria belum optimal dikarenakan penggunaan Hak Milik Bersama sebagai alas hak. Juga pemberdayaan petani yang melalui program pemerintah seringkali masih terpecah-pecah dan cenderung sektoral.

The normative protection of farmers' rights to land has already been affirmed within Law Number 5 of 1960 concerning the Basic Principles of Agrarian Affairs. However, empirically, farmers are still not reaping prosperity from their land. Their lives and livelihoods, however, heavily rely on these resources. In fact, some farmers possess very small land holdings that do not sufficiently meet their basic needs. Farmers in such marginalized situations critically require protection for their land rights. The objective of this research is to examine the legal provisions in Indonesia that regulate the protection and empowerment of farmers. It also scrutinizes the implementation of policies to protect and empower marginalized farmers within the framework of agrarian reform. The method employed in this legal research is non-doctrinal, using a socio-legal approach to gather primary data through field studies and secondary data through literature review. Subsequently, the data is qualitatively analyzed. From the analysis results, it can be stated that the protection and empowerment of farmers within legal provisions in Indonesia tend to expand and often lead to jurisdictional overlaps. Furthermore, the regulations within Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation significantly threaten farmers' land rights. Moreover, the implementation of protection and empowerment of farmers through agrarian reform has not been optimal due to the use of Collective Ownership Rights as a basis for rights. Also, government-led empowerment programs for farmers often remain fragmented and tend to be sectoral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Eka Dwivany
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik migrandengan pola ikatan buruh wanita migran ke daerah asal serta hubungan ikatan migranterhadap daerah asalnya dengan pengambilan keputusan domestik migran wanita dalamkeluarga. Hasil penelitian ini yaitu jika jenis ikatan buruh migran berdasarkan kehadiranfisikmya, maka karakteristik buruh migran wanita yang dominan yaitu buruh migranwanita dengan beban sosial rendah. Sedangkan jika jenis ikatan buruh migranberdasarkan kontribusi ekonominya, maka karakteristik buruh migran wanita digambarkan dengan buruh migran wanita dengan beban sosial yang cukup tinggi. Semakindewasa usia buruh migran wanita, semakin rendah frekuensi untuk pulang ke daerah asaldan tingginya kontribusi ekonomi buruh migran wanita ke daerah asal dipengaruhi olehstatus pernikahan buruh migran wanita. Hubungan antara ikatan buruh migran wanitaterhadap daerah asal berdasarkan kehadiran fisik dengan pengambilan keputusandomestik yaitu, semakin tinggi tingkat kehadiran di daerah asalnya maka pengambilankeputusan domestik dalam keluarga dilakukan secara bersama dengan anggota keluarga.Hubungan antara ikatan buruh migran wanita terhadap daerah asal berdasarkan kontribusiekonomi dengan pengambilan keputusan domestik yaitu, semakin tinggi pengiriman uangke daerah asal maka pengambilan keputusan domestik dalam keluarga dilakukan secarabersama dengan anggota keluarga. Semakin tinggi ikatan buruh migran wanita dengandaerah asal, maka pengambilan keputusan dilakukan secara bersama.

This study aims to analyze the relationship between the characteristics of migrants withthe pattern of female migrant worker bonds to the area of origin and the relationship ofmigrant ties to their home region with the decision of domestic migrant women in thefamily. The result of this research is that if the type of migrant worker bond is based ontheir physical presence, the dominant female migrant worker characteristic is femalemigrant worker with low social burden. Whereas, if the type of migrant worker bonds isbased on their economic contribution, the characteristics of female migrant workers areillustrated by female migrant workers with a high social burden. The more mature the ageof female migrant workers, the lower the frequency to return home and the high economiccontribution of female migrant workers to the area of origin is affected by the maritalstatus of female migrant workers. The relationship between female migrant workers 39 tiesto the origin region is based on physical presence with domestic decision making ie, thehigher the attendance level in the area of origin, the domestic decision making in thefamily is carried out jointly with the family members. The relationship between thefemale migrant worker 39 s bond to the origin region is based on the economic contributionto the domestic decision making ie, the higher the money transfer to the area of originthen the domestic decision making in the family is done together with the familymembers. The higher the ties of female migrant workers to the regions of origin, then thedecision making is done together."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>