Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48223 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titiek Ernawati
"ABSTRAK
Lembaga perkawinan tidak dapat dipisahkan dengan perilakuan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ia selalu hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pada akhir-akhir ini perkawinan campuran, dalam hal ini perkawinan antar umat berbeda agama, menjadi topik pembicaraan. Adanya pro dan kontra mengenai mssalah ini disebabkan Undang-undang nomor l Tahun 1974 mengenai perkawinan tidak mengatur masalah perkawinan antar agama. Sebenarnya perkawinan yang terjadi di antara seoa~ng laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing berbeda agamanya di Indonesia sudah sering terjadi, terutama sekali masyarakat di perkotaan yang heterogen. Dan ternyata masalah tersebut dapat menimbulkan perso-alan di bidang hukum maupun sosial.
Dalam penulisan ini, metode yang digunakan adalah metode perpustakaan dengan mempelajari buku-buku, majalah-majalah, literatur-literatur serta perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah perkawinan antar agama. Disamping itu juga menggunakan metode lapangan melalui wawancara dengan pejabat-pejabat pada Kantor Urusan Agama, Kantor Catatan Sipil, dan Pengadilan Agama serta pasangan-pasangan. yang melangsungkan perkawinan antar agama itu sendiri.
Dari bahan-bahan yang didapat, ditemukan hal-hal yang penting diantaranya: bahwa perkawinan antar agama sudah lama ada pada masyarakat Indonesia; Undang-undang no. l Ta-hun 1974 tidak mengatur perkawinan antar agama sehingga me-nimbulkan berbagai masalah.
Pada akhir pemilisan dapat disimpulkan bahwa perkawiinan antar umat berbeda agama tidak dapat dilarang meskipun dari segi yuridis hal tersebut tidak dibenarkan. Oleh sebab itu disarankan untuk secepatnya membentuk undang-undang yang mengatur mengenai Perkawinan Antar Umat Berbeda Agama. "
1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi, translator
Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981
346.02 HAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Rahmani
"ABSTRAK
Semakin majunya perkembangan teknologi terutama
dalam bidang komunikasi dan pergaulan sosial
masyarakat menyebabkan tingginya kemungkinan
anggotanya untuk melakukan perkawinan beda agama.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
sekaligus memahami pelaksanaannya dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari sebagai suatu kenyataan yang
sulit untuk dihindari. Dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, timbul beberapa
masalah dalam melaksanakan perkawinan beda agama,
yaitu mengapa hakim memberikan penetapan yang
mengizinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan
perkawinan beda agama? Apa dasar pertimbangannya?
Apakah suami atau istri dan anak-anak dapat menjadi
ahli waris dalam perkawinan tersebut? Permasalahan
tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode
penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif.
Tipe penelitian yang digunakan bersifat evaluatif,
merupakan suatu problem-identification, dan hasil yang
diperoleh akan dianalisa ~ secara kualitatif. Mengenai
sahnya suatu perkawinan, Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 menyerahkannya kepada hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing mempelai. Menurut para
ahli fiqh hukum Islam sendiri, terdapat perbedaan
pendapat mengenai perkawinan antara seorang laki-laki
muslim dengan perempuan yang termasuk dalam golongan
ahlu kitab apakah sah dan halal. Sedangkan menurut
agama Katolik, perkawinan tersebut dapat dilaksanakan
dengan cara meminta dispensasi (disporitas cultus)
dari Uskup. Agama Protestan membolehkan perkawinan
beda agama tersebut asalkan pihak yang non-Protestan
setuju untuk membuat surat pernyataan bahwa ia tidak
berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di hadapan
pemuka agama Protestan dengan tata cara Protestan.
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas
dan jelas mengenai perkawinan beda agama ini dan
mengembalikan sahnya perkawinan kepada hukum agamanya
dan kepercayaannya masing-masing sesuai dengan bunyi
pasal 2 ayat (1) . Sebagai akibat dari perkawinan yang
telah dicatatkan dan sah menurut hukum negara, maka
suami atau istri dan anak-anak merupakan ahli waris."
2006
T36815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Taufick
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarasti Pradina Paramita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S25654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agit Desy Noor
"Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 menyebabkan semakin banyaknya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh masyarakat di Indonesia, khususnya dalam perkawinan campuran. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan), ruang lingkup dalam perjanjian perkawinan merupakan harta benda perkawinan serta perjanjian lainnya asalkan tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran yang ada di Indonesia membuat adanya unsur asing dalam perjanjian tersebut sehingga merupakan persoalan Hukum Perdata Internasional. Diskursus mengenai perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran belum terdapat pembahasan dan analisis yang lebih lanjut setelah pembahasan dari Sudargo Gautama dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Jilid Ketujuh. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas serta menganalisis perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional dengan menganalisis Akta Perjanjian Kawin Nomor X, Y dan Z.

Nuptial Agreements After Constitutional Court Decree Number 69/PUU-XIII/2015 led to the increasing number of nuptial agreements made by the people in Indonesia, especially in mixed marriages. In Law No. 1 of 1974 (Marriage Act), the scope of the marriage agreement is the property of marriage and other agreements. However, it must not violate public order or morality. Nuptial agreements on mixed marriages at Indonesia create foreign element in the agreement so that it is a matter of Private International Law. Discourse about nuptial agreements on mixed marriages has not been discussed and further analysis after the discussion of Sudargo Gautama in his book, Indonesian Private International Law Chapter 7th. Therefore, this thesis will discuss and analyze nuptial agreements in mixed marriages in terms of Private International Law with examples of Notarial Deed of Nuptial Agreements X, Y and Z."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhifa Marsaa
"Wasiat wajibah pada pernikahan antar-umat berbeda agama menjadi persoalan yang cukup pelik dan secara nyata terjadi di Indonesia. Padahal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut agama masing-masing mempelai. Adapun nyatanya, pernikahan beda agama tetap terjadi dengan dilandaskan oleh Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan bahwa pernikahan beda agama dapat dicatatkan melalui penetapan pengadilan. Pencatatan ini kemudian menjadi pertanyaan apakah dicatatkan berarti mengesahkan pernikahan beda agama. Sebab, wasiat wajibah yang merupakan salah satu sarana pemberian harta peninggalan apabila seseorang terhalang waris, melalui yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 16K/Ag/2010 memberikan wasiat wajibah pada pasangan beda agama. Hal ini seolah menjadi kontradiktif dengan aturan pernikahan yang sah menurut UU Perkawinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama atas perintah putusan pengadilan. Serta untuk mengetahui pelaksanaan wasiat wajibah pada pasangan beda agama di Indonesia. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif, dengan metode penilitian kualitatif dengan dukungan data primer berupa putusan-putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa pencatatan pernikahan beda agama yang didasarkan atas penetapan pengadilan tidak menjadikan pernikahan tersebut sah. Oleh karena itu, berkaitan dengan ini wasiat wajibah tidak seharusnya diberikan kepada pasangan beda agama dengan status pemberiannya sebagai istri. Sebab dari awal tidak terjadi pernikahan yang sah, sehingga tidak terpenuhi sebab-sebab mewarisi pula yang seharusnya menjadi syarat pemberian wasiat wajibah.

Obligatory wills on interfaith marriages are quite complicated and have been happening in Indonesia.  Even though Law Number 1 of 1974 on Marriage has regulated that marriage is legal if it is carried out according to the religion of each bride and groom. In fact, interfaith marriages still occur based on Article 35 of the Population Administration Law that interfaith marriages can be registered through a court order.  This registration then becomes a question whether being registered means legalizing interfaith marriages.  This is because the obligatory wills, which is a means of giving inheritance if someone is prevented from inheriting, through the jurisprudence of the Supreme Court Decision No. 16K/Ag/2010 provides an obligatory wills for interfaith couples.  This seems to be contradictory to legal marriage rules according to the Marriage Law.  The purpose of this study was to determine the validity of the implementation of the registration of interfaith marriages by order of a court decision.  As well as to find out the implementation of the obligatory wills on interfaith couples in Indonesia. This research is in the form of normative juridical, with qualitative research methods supported by primary data in the form of court decisions. From the results of the study, it was found that the registration of interfaith marriages based on court decisions does not make the marriage valid.  Therefore, in this regard, the obligatory wills should not be given to interfaith couples with the status of giving it as wife.  Because from the start there was no legal marriage, so the reasons for inheriting were not fulfilled which should have been a condition for granting an obligatory wills."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Yoseph
"Perkawinan antar mereka yang berbeda agama, tidak diatur dalam UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 57 UU No. 1/1974 itu hanya mengatur mengenai perkawinan campur yang didasarkan pada perbedaan kewarganegaraan, di mana salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Di masyarakat Indonesia yang majemuk perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama sering tak terhindarkan, meskipun dalam praktik sering ada banyak kesulitan dan hambatan. Kesulitan yang sama dialami oleh mereka yang menganut agama atau kepercayaan yang tidak diakui resmi oleh pemerintah sampai sekarang tidak ada peraturan perundang-undangan yang menghormati dan melindungi kepetingan dan hak-hak mereka karena Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/ 1974 menetapkan bahwa perkawinan hanyalah sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu. Maka praktis, segolongan warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak diakui secara resmi oleh pemerintah, menjadi seperti dianak-tirikan dalam pelayanan publik pemerintah sehingga mereka sulit memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Untunglah, ketentuan peralihan, Pasal 66 UU No. 1/1974, masih memberi celah untuk masih dapat menggunakan 'Peraturan Perkawinan Campur' S 1898 No/158 dan 'Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia Jawa, Minahasa dan Ambon' S 1933 No.74, serta Pasal 83 dan Pasal 84 B.W. (KUH Perdata). Ketiga peraturan perundang-undangan itu meskipun tidak tuntas menyelesaikan persoalan perkawinan antar mereka yang berbeda agama setidak-tidaknya memberi jalan keluar minus malum (maksudnya kalau tidak ada rotan, akarpun jadilah). Hukum agama-agama yang ada di Indonesia sangat berbeda satu dari yang lain, masing-masing mandiri dan tidak saling berkaitan karenanya juga tidak dapat saling di damaikan. Bagi agama-agama, kawin campur agama selamanya dilarang dan menjadi halangan perkawinan; itu artinya tidak dapat diharapkan suatu pemecahan masalah perkawinan campur agama dari hukum agama-agama itu sendiri. Satu-satunya cara bagi bangsa Indonesia untuk dapat memecahkan soal Perkawinan Antar Mereka Yang Berbeda Agama adalah mengamandemen UU No.l/1974, alternatif lain satu-satunya adalah membuat undang-undang baru mengenai perkawinan yang memungkinkan orang-orang berbeda agama atau orang-orang yang agama dan atau kepercayaannya tidak diakui resmi oleh pemerintah bisa memperoleh hak-hak mereka. Undang-undang baru mengenai perkawinan itu harus mencerminkan semangat dan jiwa ayat (1) Pasal 27 UUD Negara Republik Indonesia 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S21174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika
"Maraknya perkawinan beda agama selalu menjadi kontroversi serta polemik di masyarakat, baik masyarakat organisasi keagamaan maupun agamawan hampir sepakat melarang dilakukannya perkawinan beda agama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan, terlihat bahwa pandangan masyarakat serta para agamawan tersebut semakin kuat sejak diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan khususnya pada pasal 2 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 huruf (f), Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dan diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 1 Juni 1980 yang mengharamkan pernikahan beda agama baik antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim ataupun sebaliknya. Terlepas dari ketentuan di atas, nyatanya perkawinan beda agama kian hari kian meningkat jumlahnya, bahkan belakangan ini telah terjadi perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, yang membolehkan perkawinan beda agama dengan berdasar pada Al Quran surat Al Maidah ayat 5 serta menegaskan bahwa tidak ada tafsir tunggal atas teks-teks Kitab suci. Yayasan tersebut juga mengeluarkan surat keterangan sahnya perkawinan yang hanya sah menurut Yayasan Wakaf Paramadina, tetapi tidak sah menurut hukum Negara karena Yayasan Wakaf Paramadina bukanlah instansi yang berwenang untuk melangsungkan maupun mencatat perkawinan. Perkawinan beda agama tersebut juga tidak luput dari permasalahan yang dapat timbul dikemudian hari antara lain terhadap status perkawinan itu sendiri yang dapat mengakibatkan batalnya perkawinan, Adanya kekhawatiran terjadi konversi agama atau “pemurtadan”, serta permasalahan mengenai pembagian warisan dari perkawinan tersebut yang hanya dapat diwariskan melalui wasiat karena adanya perbedaan agama."
[Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2005
S20472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sondang Regina I.
"Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menciptakan unifikasi dibidang hukum perkawinan di Indonesia, yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, agama, dan ras. Akan tetapi, dalam hal perkawinan yang dilakukan antara mereka yang berbeda agama, Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan pengaturan yang berupa penyerahan sepenuhnya kepada hukum agama yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, dewasa ini sering terjadi pengakuan dan pencatatan atas perkawinan antara mereka yang berbeda agama, yang mana sesungguhnya perkawinan tersebut tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis membuat penulisan mengenai permasalahan hukum dalam pencatatan perkawinan antara mereka yang berbeda agama dengan meninjau Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400/K/Pdt/1986 mengenai perkawinan antara mereka yang berbeda agama.
Dalam penulisan ini dibahas permasalahan mengenai syarat syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, dan mengenai sah/tidaknya pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan putusan No. 1400/K/Pdt/1986 menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode pendekatan dengan menggunakan metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau yang disebut data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai permasalahan yang dibahas, maka penulis berpendapat dan menyimpulkan bahwa perkawinan sah secara hukum apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan Putusan MA-RI No.1400/K/Pdt/1986, adalah tidak dapat dibenarkan karena perkawinan tersebut bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar lebih ditingkatkan lagi kesadaran hukum terhadap agama, dan peranan Kantor Catatan Sipil dalam menjalankan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>