Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116325 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suharnoko
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Manuswa
"Lembaga jual-beli dengan Hak membeli kembali diatur dalam Kitab Undang-undang Perdata Buku 3, Titel 5 Bab IV. Hak untuk membeli kembali ini timbul karena adanya perjanjian, bahwa si penjual dapat mernbeli kembali barangnya dari si pembeli dengan harga semula dan dengan membayar sejumlah uang ganti rugi sebagaimana diatur dalam pasal 1532 Kitab Undang- undang Hukum Perdata. Lembaga tersebut diciptakan, agar supaya seseorang karena membutuhkan uang, terpaksa harus menjual harta/barangnya; dengan kemungkinan bila kelak keadaan mengizinkan, ia dapat membeli kembali barangnya itu. Jangka waktu untuk membeli kembali itu tidak boleh melampaui 5 tahun. Jika suatu jangka waktu telah diperjanjikan, maka berarti si pembeli dalam jangka waktu tersebut, tidak dapat menjual lagi barang tersebut pada orang lain. Setelah melewati jangka waktu, dan si penjual tidak menggunakan haknya untuk membeli kembali, barang itu sepenuhnya menjadi milik si pembeli. Tetapi tidak dapat diharapkan bahwa si pembeli akan memegang teguh janji ini. Kalau harga barang tersebut naik ada kemungkinan si pembeli akan menjualnya lagi kepada pembeli lain. Maksud pembuat undang-undang adalah baik, akan tetapi dalam praktek sering timbul kebalikannya dan timbul permasalahan. Sering terjadi, si penjual menemui kesulitan untuk menggunakan hak membeli kembali itu, karena si pembeli menghindar dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan. Dan si pembeli baru muncul setelah lewat jangka waktu yang diperjanjikan. Perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali didalam praktek sering dipakai untuk menutupi perjanjian pinjam-meminjam uang dengan jaminan kebendaan, yang seharusnya dibuat dalam bentuk hipotik. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahari Agustini
"Masalah mengenai jual beli dengan hak membeli kembali - sedang dipersoalkan pada akhir-akhir ini. Ada yang berpendapat bahwa lembaga ini tidak dikenal dalam sistem hukum Nasional, dan oleh karena itu harus dihapuskan. Dalam penulisan ini, penulis menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) Selain itu juga penulis bahas yurisprudensi-yurisprudensi terbaru. Lembaga jual beli dengan hak membeli kembali ini merupakan variasi dari bentuk jual beli pada umumnya, dimana pihak - penjua1 diberi kesempatan untuk membeli kembali barang yang te lah dijualnya dalam uaktu tertentu. Dalam praktek sehari- hari fungsi lembaga ini sering diselewengkan untuk kepentingan pihak Kreditur yang biasanya ekonomis kuat. Ternyata bahwa pada azasnya hukum Adat tidak mengenai - lembaga ini, karena sifat jual beli menurut hukum Adat adalah terang dan tunai dimana jual beli itu dimaksudkan untuk mengalihkan hak secara mutlak, sedangkan pada jual beli dengan hak membeli kembali peralihan haknya bersifat sementara. Namun demikian, ada wilayah-wilayah tertentu, mengenai barang- barang tertentu dan untuk tujuan-tujuan tertentu yang mengena 1 lembaga ini. Contohnya Minangkabau, untuk harta pusaka dan untuk tujuan tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lembaga ini dikenal dalam hukum Adat sebagai pengecualian. Dalam UUPA jelas tercantum bahwa segala perjanjian yang mengenai tanah, harus menggunakan hukum Adat, sedang hukum Adat pada azasnya tidak mengenai lembaga ini. Oleh karena itu sebaiknya diinstruksikan pada para Notaris agar tidak membuat perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang obyeknya mengenai tanah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabet Barasanti
"Skripsi ini membahas bentuk mekanisme pertahanan perdagangan (trade defence) menurut perjanjian WTO dan membandingkan bentuk mekanisme pertahanan perdagangan pada sektor baja di Amerika Serikat (AS) dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan Indonesia. Hal ini karena baja merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh tindakan pertahanan perdagangan (khususnya anti- dumping dan safeguard). Hasil penelitian yang menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan komparatif, menyimpulkan bahwa terdapat setidaknya tiga bentuk mekanisme pertahanan perdagangan menurut perjanjian WTO yaitu, anti-dumping, countervailing, dan safeguard. Adapun berdasarkan hasil perbandingan, pengaturan trade defence pada sektor baja di AS dan MEE memiliki ketentuan tentang anti-circumvention, sedangkan di Indonesia tidak. Adanya pengaturan anti-circumvention ini menguatkan tindakan anti-dumping AS dan MEE, sehingga negara-negara tersebut mampu melindungi industri baja dalam negerinya dari kerugian akibat perdagangan yang tidak seimbang. Indonesia belum memiliki pengaturan anti-circumvention, sehingga Bea Masuk Anti-Dumping yang diterapkan menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, untuk melindungi industri baja domestik, perlu pengaturan anti- circumvention dalam tata hukum Indonesia yang setidaknya mencakup bentuk- bentuk circumvention dan prosedur tindakan, sebagaimana yang telah dilakukan Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi Eropa.

This thesis discusses the forms of trade defence mechanisms regulated by WTO agreement and compares the form of trade defence mechanisms in steel sector that applied by the United States (US) and the European Union (EU) with Indonesia. This is because steel is the most affected sector by trade defence, especially anti- dumping and safeguard measures. Result of this normative legal research through a statutory and comparative approach conclude that there are at least three forms of trade defence mechanisms according to WTO agreement, i.e. anti-dumping, countervailing, and safeguard. As based on the result of comparison, the trade defence regulation in the steel sector at US and EU has provision regarding anti- circumvention, whereas in Indonesia does not. With the existence of anti- circumvention provisions, it reinforces US and EU anti-dumping actions, so that these countries are able to protect the domestic steel industry from injury due to unfair trade. Indonesia does not have anti-circumvention provision yet, so that the anti-dumping duty applied becomes ineffective. Therefore, in order to protect the domestic steel industry, anti-circumvention provision is needed in the Indonesia legal system to regulate forms of circumvention and procedures of imposing anti- circumvention duty, as has been done by the United States and the European Union."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yana Puspita Rimawanti
"ABSTRAK
Franchise lokal dalam bidang pendidikan di Indonesia masih terbilang langka dibandingkan dengan franchise di bidang makanan. Penulis ingin membahas mengenai hal-hal yang diatur dalam perjanjian franchise, hubungan hukum antara Franchisor dan Franchisee, permasalahan yang mungkin timbul dalam perjanjian franchise serta ada atau tidaknya pengaruh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan perjanjian franchise. Dengan menggunakan metode penelitian normatif dan penelitian lapangan, Penulis meninjau aspek-aspek hukum yang ada dalam perjanjian franchise PT Global Mitrama Perkasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu perjanjian franchise harus diatur tidak hanya kondisi ketika perjanjian dibuat tetapi juga selama perjanjian berlangsung dan pada masa yang akan datang. Hubungan hukum antara PT Global Mitrama Perkasa dan X adalah sebagai pemberi waralaba dan penerima waralaba yang apabila terjadi sengketa di antara para pihak maka akan diselesaikan secara musyawarah terlebih dahulu. Adanya peraturan baru mengenai waralaba yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba tidak terlalu berdampak kepada pelaksanaan perjanjian franchise PT Global Mitrama Perkasa dan X. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebaiknya Franchisee meminta bantuan ahli hukum yang berpengalaman sebelum menandatangani perjanjian franchise agar tidak terjadi permasalahan yang dapat merugikan dirinya di kemudian hari. Apabila terjadi sengketa, maka Franchisor dan Franchisee diharapkan untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan terlebih dahulu. Kepada Pemerintah diharapkan agar dapat segera membuat peraturan perundang- undangan yang jelas mengenai waralaba agar para pihak mempunyai perlindungan hukum yang jelas.

ABSTRACT
Compared to franchise in food industry, that of education is still not common here in Indonesia. In this study, the author wants to elaborate details according to the franchise agreement, the relationship between franchisor and franchisee, problems that may arise in franchise agreement, as well as the effect of Governmental Regulation No. 42 year 2007 on Business under Franchise agreement. Using the methods of literature study and field researh, the author underway legal aspects covered in franchise agreement on PT. Global Mitrama Perkasa. Research undertaken shows that Franchise agreement does not apply when the agreement is made, but it also applies in the future, that a legal relationship between PT Global Mitrama Perkasa and X hold true, being the Franchisor and the Franchisee, and that in times of conflict shall be solved in a way that even Governmental Regulation No. 42 year 2007 about Franchising will not fully affect on the Franchise agreement of PT Global Mitrama Perkasa. Based on evidence and supporting documents covered in this writing, the author made a few recommendations as to ask for advise from a legal counselor prior to sign a franchise agreement to avoid any future problems, that if conflict may occur, hopefully this can be solved with a mutual consent between the two parties. It is also hoped from the Government to immediately create a specific regulation about Franchising, thus to guarantee public rights and to give a legal protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21421
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
S.P.V. Indriani Ameln
Depok: Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1999
S23101
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Mustaqiem M.
"Pada 14 Juli 2006 telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia No.9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang (UUSRG), disusul kemudian dengan peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007. Sistem Resi Gudang adalah suatu sistem yang meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (Pasal 1 Angka (1) UUSRG), dengan demikian Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan karena dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan berupa barang yang disimpan dalam gudang, juga bermanfaat untuk menstabilkan harga pasar. Resi Gudang sendiri dalam Pasal 1 Angka (2) UUSRG didefinisikan sebagai dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Secara internasional Resi Gudang dikenal dengan istilah Warehouse Receipt, dan pembiayaan perdagangan dengan dasar Warehouse Receipt (WR)disebut Warehouse Receipt Financing (WRF). Sebelum lahirnya UUSRG pelaku usaha di Indonesia terutama importir komoditas bekerjasama dengan eksportir di luar negeri dan lembaga keuangan baik perbankan maupun non-perbankan telah rutin melakukan transaksi bisnis dengan skema WRF dan sampai saat ini setelah beberapa tahun lahirnya UUSRG masih tetap dilakukan diluar kelembagaan sebagaimana UUSRG. Pada WRF diluar UUSRG, para pihak meliputi Kreditur, Debitur dan Pengelola Agunan (Collateral Manager) terikat kepada suatu Perjanjian Manajemen Agunan (Collateral Management Agreement)/ CMA. Berbeda dengan dengan Resi Gudang yang diterbitkan dalam kelembagaan dibawah UUSRG, WR yang lahir dari suatu CMA (CMA-WR) bukan merupakan suatu dokumen kepemilikan (document of title), tidak dapat diperjualbelikan (Non-Negotiable) dan tidak dapat dipindahtangankan (Non-Transferable). CMA-WR hanyalah suatu laporan ataupun bukti penerimaan dan keberadaan barang (komoditas) di suatu gudang. Pada WRF dengan CMA, bukan WR yang menjadi objek jaminan sebagaimana UUSRG tetapi adalah stok barang terkait. Dikarenakan objek jaminan dimaksud (stok barang) dianggap sama dengan objek Jaminan Fidusia, tidak jarang WRF tersebut selain diatur dengan CMA juga diletakan Jaminan Fidusia atas stok barangnya. Namun demikian, pada pada WRF dengan CMA, stok barang yang merupakan objek jaminan berada pada penguasaan Collateral Manager, untuk kepentingan dan bertindak atas nama Kreditur, bukan pada penguasaan Debitur sebagaimana karakteristik Jaminan Fidusia. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa dalam hal pengusaan objek jaminan, pada WRF dengan CMA lebih mirip dengan Gadai.

In July 2006, Law No.9 of 2006 on Warehouse Receipt System (UUSRG) was passed by the Indonesian Parliament which then followed almost a year after by it's implementation regulation, Goverment Regulation No. 36 of 2007. Article 1 (1) SRG describes that Warehouse Receipt System is a system involcing activities those related to issuance, transfer, collateral and transaction settlement of the Warehouse Receipt (WR). It is believed that Warehouse Receipt System (WRS) is one of the important and efective instrument in the trade finance. It may facilitate credit facilities for the corporation based on collaterlized stock of commodity in the storage, as well as giving benefit for the market price stability. WR according to Article 1 (2) SRG is defined as a document of title on commodity stock which is stored in the storage, issed by a Warehouse Manager. Worldwide it's known as Warehouse Receipt Financing (WRF). Prior to UUSRG, business practitions in Indonesia in collaboration with international commodities suppliers, bank and non-bank financial institution have started this kind of transaction and still continued after UUSRG but arranged by contracts outside UUSRG institution. In this WRF based on contracts, the parties including Creditor, Debtor and Warehouse Manager enter into a Collateral Management Agreement (CMA). WR issued by CMA (CMA-WR) is not a document of title, non negotiable and non transferable. CMA-WR is only a report or confirmation of receipt of goods (commodities) stored in the storage. CMA-WR is not the collateral in this agreement but the goods (stock) it self. There is an opinion that categorizes this kind of collateral as Jaminan Fidusia collateral (object). Goods belonging to the Debtor fiduciary transferred to the Creditor according to the mechanism under Law of Jaminan Fidusia. From the perspective of collateral custody where the goods is actually under custodial of Warehouse Manager, WRF based on CMA is more similar to a lien."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S24730
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yani Yassin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S25908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deltavina Wulansari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S25893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>