Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146130 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mugia Suwantari
"Suatu perkawinan akan membawa akibat bagi hubungan suami isteri dengan anak yang dilahirkan dimana suami isteri harus memelihara anaknya serta membiayai kehidupannya hingga dewasa dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua terputus. Hal ini ditegaskan dalam Hukum Islam, UU Perkawinan No. 1/1974 Pasal 41, juga dalam Pasal 105 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Walaupun telah diatur dengan jelas masalah akibat perceraian terhadap pemeliharaan dan pendidikan serta biaya hidup anak, akan tetapi dalam prakteknya kewajiban tersebut sering tidak dilaksanakan. Akibatnya anak hidup terlantar dan berada dibawah pemeliharaan dan penguasaan orang yang tidak seharusnya. Dalam hal terjadi perceraian timbul masalah mengenai hak pemeliharaan anak dan nafkah (biaya pemeliharaan anak). Pada umumnya hak pemeliharaan anak jatuh pada pihak isteri dengan kewajiban memberi nafkah atau biaya pemeliharaan anak pada suami. Dalam praktek sering terjadi walaupun Pengadilan sudah memutuskan hak asuh anak pada isteri dan memerintahkan suami untuk memberi biaya pemeliharaan anak, suami tidak melaksanakan kewajibannya tersebut sehingga isteri hanya menang diatas kertas. Untuk mengatasi masalah tersebut UU No. 1 /1974 maupun KHI telah mengatur mengenai permohonan untuk meminta pada Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan proses perceraian untuk mengeluarkan surat perintah sita esekusi. Upaya ini hanya bisa dilakukan jika suami adalah orang yang punya penghasilan lain halnya jika suami adalah orang yang tidak punya penghasi1an maka tuntutan isteri atas nafkah anak akan sia-sia UU No. 1 /1974 dan KHI juga memberikan perlindungan bagi hak anak atas nafkah, baik pada masa perkawinan maupun pasca perceraian. Tetapi dalam pelaksanaanya kadang terjadi penyimpangan yang disebabkan beberapa faktor, diantaranya kurangnya kesadaran hukum suami mengenai tanggung jawabnya terhadap anak, faktor budaya, kurang sempurnanya Undang-undang, dan lain-lain ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21074
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lilis Nury Soeharso
"Lembaga perkawinan adalah suatu lembaga yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari perilaku kehidupan manusia sehari-hari. Pada prinsipnya suatu perkawinan baru berakhir apabila salah satu dari pasangan suami isteri meninggal dunia. Agama Islam tidak mengikat mati suatu perkawinan tetapi tidak pula mempermudah perceraian. Salah satu yang dapat menyebabkan perceraian adalah riddah. Apabila kedua suami isteri itu atau salah satunya saja keluar dari agama Islam (riddah), sementara dalam pernikahannya itu belum melakukan hubungan badan, maka ikatan perkawinannya menjadi fasakh dan keduanya harus berpisah. Akan tetapi apabila murtad itu terjadi setelah dilakukannya hubungan badan, maka tasakh itu ditangguhkan selama masa iddah. Riddah pengertian 2 ; dua) agama dan riddah dalam pengertian mengandung makna pengertian yaitu riddah dalam filosofis. Di dalam pembahasan skripsi ini dipakai dua buah kasus perceraian dengan alasan riddah, dengan maksud untuk mengetahui apakah di dalam memeriksa dan memutuskan perkara tesebut, Pengadilan Agama tetap berpegang kepada ketentuan Hukum Islam. Dari hasil analisa dapat diambil kesimpulan bahwa Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta selatan dan Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut tetap berpegang pada ketentuan Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Amalia
"Perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah yang sakral pada Allah swt. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan pada dasarnya harus dibatalkan melalui permohonan pembatalan perkawinan, agar terhindar dari kebathilan. Pembatalan perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia didasarkan pada ketentuan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nornor 9 tahun 1975, serta Kompilasi Hukurn Islam (KHI). Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pembatalan perkawinan yang diatur dalam hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, serta melakukan analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 790/Pdt .G/2003/PA.Cbn. Putusan tersebut membatalkan perkawinan poligami yang dilaksanakan tanpa adanya izin dari istri sebelumnya, dan pengadilan agama. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dan lapangan, dengan data yang berasal dari sumber kepustakaan dan hasil wawancara. Kesimpulannya, hukum Islam, terutama Al-Qur'an mengatur pembatalan pembatalan perkawinan dalam bentuk ketentuan umum, sedangkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengatur secara lebih khusus dan rinci tentang pembatalan perkawinan. Selain itu, putusan Pengadilan Agama Cibinong tentang pembatalan perkawinan Nomor 790/Pdt . G/2003/PA. Cbn telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pembatalan perkawinan. Saran yang dapat diberikan adalah dengan melakukan perneriksaan serta pengawasan yang lebih baik dalam pelaksanaan perkawinan, penegakkan sanksi yang tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan perkawinan, meningkatkan mutu pelayanan perkawinan, dan pihak yang akan melaksanakan perkawinan harus lebih mengenal pasangannya, agar terhindar dari cacat pada rukun dan syarat perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21371
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhafirah Zhafarina
"Di Indonesia terdapat perkawinan di mana antara suami dan istri tidak saling memenuhi kewajiban pemberian nafkah batin. Hal tersebut terjadi dengan berbagai alasan antara lain seperti ketidakcocokan dan dapat berujung pada perceraian qobla al dukhul (perceraian tanpa didahului hubungan badan antara suami istri). Permasalahan yang timbul dalam kasus ini adalah bagaimana hak-hak istri qobla al dukhul setelah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI serta analisis putusan nomor: 0212/Pdt.G/2011/PA.Sbg. dan putusan nomor: 164/Pdt.G/2010/PA.JP.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui hak-hak istri qobla al dukhul setelah perceraian dan apakah putusan pengadilan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan sumber data sekunder dan dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak yang diperoleh istri qobla al dukhul setelah perceraian yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam adalah hak atas sebagian mahar dan ketiadaan masa ?iddah, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur hal tersebut. Hasil dari analisis putusan nomor: 0212/Pdt.G/2011/PA.Sbg. dan putusan nomor: 164/Pdt.G/2010/PA.JP. menunjukkan bahwa terdapat beberapa pertimbangan dan diktum putusan yang kurang tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan KHI.

In Indonesia there are some marriages between a husband and wife that does not mutually fulfill the obligation to provide spiritual sustenance. That happens for various reasons such as incompatibility and can lead to qobla al dukhul divorce (divorce without any prior sexual relations between husband and wife). The problems that arise in this case is how the rights of the qobla al dukhul wife after divorce according to Act Number 1 of 1974 about Marriage and KHI and analysis of decision number: 0212/Pdt.G/2011/PA.Sbg. and decision number: 164/Pdt.G/2010/PA.JP.
The purpose of this paper is to determine the rights of qobla al dukhul wife after divorce and whether the court's decision was in accordance with Indonesian laws and regulations. This study uses a normative analytical descriptive with secondary data, and analyzed qualitatively.
The result showed that the rights obtained by the qobla al dukhul wife after divorce based on Compilation of Islamic Law are a share of the dowry and the absence of the waiting period, whereas Act Number 1 of 1974 about Marriage does not regulate it. The results of the analysis of decision number: 0212/Pdt.G/2011/PA.Sbg. and decision number: 164/Pdt.G/2010/PA.JP. shows that there are some considerations and dictum of decision which less accurate because it does not suitable with KHI."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54137
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karna A. Kusnadi
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S20364
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hastuti
"Menurut UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Bagi pemeluk Islam perkawinannya baru dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan menurut hukum perkawinan Islam. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah mencatatkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang telah diatur dalam Peraturan perundang undangan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan adalah sah menurut hukum agama dan hukum negara serta untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum karena hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap lembaga perkawinan yang akan berpengaruh terhadap kedudukan suami istri, anak yang dilahirkan, dan harta benda dalam perkawinan. Di samping itu pencatatan perkawinan dalam hukum Islam sejala dengan perintah Allah di dalam Al-Qur'an. Terhadap pelanggaran ini ada sanksi yang diterapkan oleh pemerintah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah membelikan jalan keluar (solusi) terhadap para pihak yang telah terlanjur melakukan perkawinan yang belum tercatat dan menginginkan perkawinannya dinyatakan sah yaitu dengan cara mengajukan permohonan pengesahan (isbat) nikah ke Pengadilan Agama, tetapi permohonan isbat nikah yang dapat diajukan terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ketentuan dalam Pasal 7. ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian pencatatan perkawinan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam di Indonesia dalam melakukan perkawinan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang undangan dan norma-norma yang berlaku dan mengikat kehidupan masyarakat. Efektifitas kerjasama dan koordinasi antar berbagai pihak sangat diperlukan dalam mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum di bidang hukum perkawinan, khususnya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21293
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Hiramayani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endriati
"Sebelurn lahir dan berlakunya Undang Undang Perkawinan, poligami banyak terjadi pada masyarakat bangsa kita yang mayoritas jumlah penduduknya beragama Islam, dimnana perkawinannya dilakukan menurut Hukum Islam yang telah diresepiir kedalam Hukurn Adat. Foligami yang dilakukan pada masa lalu sering diterapkan dengan tidak menuruti ketentuan dalam Hukurn Islam dan dilakukan dengan sekehendak hati saja serta hanya memperturutkan kepuasan hawa nafsu. Sehingga tidak mengherankan jika poligami ini menimbulkan bencana dan malapetaka yang sangat tragis yang tidak saja melanda dirinya, istri-istrinya, dan anak-anaknya, tetapi juga melanda masyarakatnya. Dengan lahirnya Undang undang No.1 tahun 1974 yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 masalah poligami ini kita tentukan pengaturannya pada pasal 3 ayat (2) sampai_dengan pasal 5. Sesuai dengan Hukum Islam yang murni (khusus untuk poligami, Undang Undang Perkawinan menjunjung tinggi ketentuan agama dan kepercayaan orang seorang dalam masyarakat kendatipun membuka kemungkinan untuk melakukan poligami bagi seorang suami, tetepi tidaklah berarti poligami tersebut bisa dilakukan dengan seenaknya, maka Undang Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya menentukan secara kongkrit dan tegas mengenai batasan keadaan yang bagaimana seorang suami boleh melakukan poligami. Undang Undang Perkawinan menentukan dengan tegas, bahwa kini poligami tidak dapat dilakukan oleh setiap orang dengan sekehendak hati saja atau asal dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan saja, tetapi poligami hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari pengadilan, yang untuk ini wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya pemohon. Pengadilan hanyalah memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (melakukan poligami) apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wowor, Antonius Hendrikus
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20667
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>