Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60787 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1994
S21708
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
347.015 98 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amelda Yunita
"Asas praduga tak bersalah merupakan norma atau aturan yang berisi ketentuan yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa seperti halnya orang yang tidak bersalah meskipun alat bukti telah mengarahkan adanya kesalahan seorang tersangka atau terdakwa. Penerapan asas tersebut dalam proses peradilan pidana sangat penting sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perkara terorisme merupakan salah satu perkara yang rentan terhadap pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam proses peradilannya. Tesis ini membahas mengenai pemahaman penegak hukum terhadap asas praduga tak bersalah, penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak pidana terorisme, kendala penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak pidana terorisme dan akibat hukum terhadap pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak pidana terorisme. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris yang didukung penelitian yuridis normatif. Sedangkan analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada pemahaman dari penegak hukum jika asas praduga tidak bersalah berarti tidak bersalah dalam arti yang sebenarnya sehingga mereka selalu berpandangan sebagai penegak hukum mereka pasti menggunakan praduga bersalah. Pada umumnya asas praduga tidak bersalah telah diterapkan oleh Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang menangani perkara terorisme dengan mengupayakan pemenuhan hak tersangka atau terdakwa selama proses peradilan berlangsung, namun tidak dapat dipungkiri masih terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap asas tersebut terutama pada tahap penangkapan. Beberapa kendala dalam penerapan asas praduga tak bersalah yaitu pada tahap penangkapan sering terjadi perlawanan dari tersangka yang dipandang dapat membahayakan keselamatan jiwa penegak hukum atau masyarakat disekitarnya, sehingga terpaksa dilakukan tindakan represif terhadap tersangka tersebut, masih adanya penegak hukum dan penasihat hukum yang kurang profesional, adanya pemahaman yang keliru mengenai asas praduga tidak bersalah sehingga penegak hukum mengedepankan praduga bersalah dan berpeluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dan belum adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran asas praduga tak bersalah. Akibat hukum bagi pelanggaran asas tersebut belum secara jelas diatur dalam ketentuan perundang-undangan, kecuali untuk upaya paksa yang tidak sah dapat diajukan gugatan Praperadilan, meskipun pemeriksaan yang dilakukan disini hanya sebatas masalah administatif.

The presumption of innocence is a norm or a regulation containing the provisions which must be executed by the law enforcement officers to treat the suspect or the accused just like an innocent person, although the evidence has pointed out the guilt of the suspect or the accused. The application of the presumption in the criminal justice process is very important as a form of respect towards human rights. Terrorism case is one of the cases which is sensitive towards the presumption of innocence violation in the justice process. The thesis discusses the understanding of the law enforcement officers towards the presumption of innocence, the application of presumption of innocence in the terrorism criminal act case justice process, the challenges of the application of presumption of innocence in the terrorism criminal act case justice process, and the legal consequences towards presumption of innocence violation in the terrorism criminal act case justice process. This research is judicial empirical research supported by judicial normative research, while the analysis in the research was conducted by using the primary data as the main data and the secondary data as the supporting data.
The research results show that the law enforcement officers still have an understanding that presumption of innocence means innocence in the real meaning so that they, thinking as law enforcers, will always and definitely apply presumption of guilt. Generally, presumption of innocence has been applied by the Investigator, the General Prosecutor, and the Judge handling the terrorism cases by attempting to fulfill the rights of the suspect or the accused during the justice process. However, it cannot be denied that there are still violations towards the presumption, especially on the arresting phase. Several problems in the application of presumption of innocence in the arresting phase happen very often since the resistance from the suspect is considered to be harmful for the safety of the law enforcers or the surrounding society so that repressive acts should be done towards the suspect. Other problems are there are still some unprofessional law enforcers and legal advisors, there is a wrong understanding towards presumption of innocence so that the law enforcers prefer to apply presumption of guilt first, and this leads to the misuse of the authority, and there is still no strict sanction for the presumption of innocence violations. The legal consequences for the violations of the presumption have not been clearly governed in the provisions of the laws and regulations, except for the illegal forcing efforts whose complaint may be filed in the pretrial hearing, although the examination done here is only limited to the administrative problems.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29316
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Surianti Sutomy
"Pengaturan cuti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang tidak secara jelas diatur menunjukan keberadaan undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai cuti, terlebih pengaturannya justru masih menginduk pada undang-undang sebelumnya. Hal tersebut pula menunjukan adanya kelemahan dalam UU ASN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN berkaitan dengan hak kepegawaian, serta menganalisis pelaksanaan ketentuan cuti dengan ketiadaan pengaturan dalam UU ASN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan fenomena yang melekat permasalahan. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum dengan pendekatan atas norma atau kaidah yang didalamnya juga termasuk juga peraturan perundang-undangan. Penelitian bersifat deskriptif analisis dengan analisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN yang secara formal tidak mendapat pengaturan mengenai cuti dan hanya mengaitkan keberadaan cuti dengan alasan yuridis keberadaan Pasal 75, yang menyatakan keberadaan aturan yang terdapat dalam UU ASN beserta aturan turunannya. Hasil lain dari penelitian ini adalah cuti adalah sebuh hak yang pelaksanaannya harus diatur dalam undang-undang ASN. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidaklah benar ketiadaan cuti dalam UU ASN, serta ketiadaan tersebut akan menghilangkan kepastian hukum.

The regulation of leave in Law Number 20 of 2023 concerning the State Civil Apparatus (UU ASN) which is not clearly regulated shows that the existence of the Law does not regulate leave, moreover the regulation is still subordinate to the previous law. This also shows weaknesses in the ASN Law. This study aims to analyze the absence of leave regulations in the ASN Law relating to employee rights, as well as to analyze the implementation of leave provisions with the absence of regulations in the ASN Law. This research is a descriptive study, namely describing the phenomenon that is inherent in the problem. A normative legal approach is carried out to answer legal problems with an approach to norms or rules which also include laws and regulations. The research is descriptive analysis with analysis using qualitative methods. The results of the study show that the absence of leave regulations in the ASN Law which formally does not receive regulations regarding leave and only links the existence of leave with the legal reasons for the existence of Article 75, which states the existence of regulations contained in the ASN Law and its derivative regulations. Another result of this study is that leave is a right whose implementation must be regulated in the ASN law. The conclusion in this study is that it is not true that there is no leave in the ASN Law, and its absence will eliminate legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Sri Suhartati Astoto
"Di dalam perkembangan dan pertumbuhan yang masih sangat muda dan singkat maka kelahiran/munculnya viktimologi dari bagian kriminologi masih merupakan dan menimbulkan pelbagai tanggapan dari para ilmuwan/para ahli. Di antaranya muncul ungkapan dari Separonic yang menulis bahwa "if victims are only those suffering from criminal act or offences, victimology will a part of the crime problem and consequently, a discipline, within criminology or as B. Mendelsohn suggested, a science parallel to it or the reverse of criminology". Sedangkan kepustakaan kriminologi telah diperkaya dengan pemikiran-pemikiran mengenai masalah korban mulai tahun 1940 dari Von Hentig sampai dengan tahun 1960 dengan pemikiran-pemikiran dari Mendelsohn dan Schaffer. Ditambah dengan hasil seminar Internasional tentang korban kejahatan yang telah beberapa kali diselenggarakan. Dengan kenyataan-kenyataan ini, maka timbul suatu pertanyaan apa yang menyebabkan perhatian kita dan para ilmuwan beralih ke pihak korban. Jawabannya memang tergantung dari aspek mana kita ingin melihatnya. Bilamana beberapa saat yang lampau kita telah terlalu banyak menyoroti peranan pelaku kejahatan baik dilihat dari segi kesalahan maupun dalam usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun meringankan penderitaannya. Maka sebagai hal-hal yang menyebabkan beralihnya pandangan kita terhadap peranan si korban adalah sebagai yang pertama diungkapkan bahwa si korban acapkali mempunyai peranan yang penting dalam terjadinya kejahatan misalnya dalam pembunuhan, pemerkosaan, penipuan dan lain sebagainya.
Hal kedua yang perlu diketahui jugs bahwa bukan hanya pelaku saja yang diperhatikan hak-haknya tetapi diperhatikan Pula hak--hak si korban. Sehubungan dengan hal ini maka ada suatu pendekatan yang dilakukan dengan mengetengahkan bahwa bukan saja banyak korban yang tidak mengetahui hak-haknya tetapi ternyata mereka takut atau mungkin tidak dapat melaporkan kejadian yang menimpanya. Dalam hal ini korban kejahatan tidak hanya korban dari kejahatan konvensional, misalnya : pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan pencurian tetapi juga mencakup kejahatan non-konvensional antara lain : terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika, kejahatan melalui komputer dan lain-lainnya. Adapun pembicaraan yang kini menghangat adalah korban yang meliputi pelanggaran hak asasi manusia, penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan umum. Mari uraian-tersebut di atas terlihat bahwa pembahasan tentang masalah korban akan sedemikian luas lingkupnya sehingga perlu dipelajari secara mandiri melalui ilmu pengetahuan yang disebut viktimologi. Dan perlu dipahami pula bahwa korban-korban itu ada kemuagkinan bisa terjadi karena negara ikut berperan/bersalah; dalam hal ini maka negara perlu memberikan kompensasi ( compensation ) kepada si korban di samping kemungkinan adanya restitusi ( restitution ) kepada si korban dari si pelaku. Kemungkinan pembayaran dalam bentuk kompensasi dapat terwujud dalam 2 bentuk :
1). di mana negara merasa turut bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa karena tidak mampu melindungi korban dari ancaman si pelaku.
- Wujud kompensasi itu dapat berupa fasilitas pengobatan secara cuma-cuma
- mengganti penghasilan yang hilang
- mengganti biaya pemakaman
- penggantian karena cacat badan
- biaya penasehat hukum untuk membela kepentingan korban.
2). negara ( instansi resmi ) memang bertanggung jawab atas terjadinya korban, misalnya dalam hal bentuk korban karena penyalahgunaan kekuasaan umum; penyalahgunaan kekuasaan ekonomi, kerugian dalam hal pencemaran lingkungan.
Untuk hal restitusi maka untuk memperolehnya dikaitkan dengan putusan pengadilan, Bentuk-bentuk kerugian pada dasarnya sama dengan diuraikan dalam hal kompensasi. Masalahnya adalah bageimana bila pelaku tidak mau/ tidak mampu membayar restitusi tersebut. Dalam hal ini..."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rose Yulianingrum
"Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan salah satu jaminan hukum bagi setiap orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana. Tiap orang termasuk pers, dituntut untuk menghormati asas tersebut. Akan tetapi dalam kenyataannya, dalam pemberitaan pers kadangkala masih melakukan tindakan yang melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yaitu pemberitaan yang bersifat subjektif dan destruktif. Sifat pemberitaan seperti itu mengakibatkan seorang tersangka atau terdakwa dirugikan, apalagi ketika dirinya dalam keadaan sedang menjalani proses acara di pengadilan. Tidak adanya keraguan pers di dalam melakukan pemberitaan yang melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) disebabkan sangat sedikit pengaduan bahkan proses penuntutan terhadap cara kerja pers dari pihak korban pemberitaan. Hal ini menyebabkan tindakan-tindakan pers makin leluasa untuk melakukan pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Pers seolah-olah tidak mengetahui (pura-pura tidak mengetahui) batasan-batasan sebuah berita yang akan dipublikasikan. Pernyataan yang diberikan oleh pers yang telah menuduh terdakwa bersalah dapat dikategorikan merupakan tindakan trial by the press, artinya pers seolah-olah menjadi pengganti diri dipengadilan dalam mengklasifikasikan seseorang telah dinyatakan bersalah atau tidak. Sehingga pengadilan dalam menjatuhkan putusan sering didahului oleh pers."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pratama Saputra
"Unsur kesalahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak secara tegas mencantumkan unsur kesalahan, namun kesalahan tersebut tersirat dalam unsur memperkaya diri. Melalui metodologi penelitian yuridis normatif dan kajian terhadap beberapa putusan tingkat kasasi dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya kebanyakan hakim hanya membuktikan dan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, meskipun demikian ada juga hakim yang mempertimbangkan unsur kesalahan secara khusus. Dengan demikian terlepas dari bagaimana cara hakim mempertimbangkannya, berarti unsur kesalahan dalam pasal ini telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim ketika akan menyatakan Terdakwa secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act has indirectly contained element of guilt, however element of guilt implicitly contained in self enriching element. Through juridical normative methodology research and study of some cassation rsquo s verdict can be deduced that practically, most of judges just proving and considering self enriching element, eventhough there are judges who considering element of guilt specifically. Therefore, regardless of how judges considering element of guilt, it means in this article element of guilt already proven and considered by judges when stating that defendant is guilty based on this Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>