Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Kristi Endah Murni
"Wilayah udara merupakan asset yang tidak hanya penting untuk pertahanan keamanan namun juga untuk berbagai kepentingan sosial dan ekonomi. Di bidang ekonomi, pengelolaan wilayah udara antara lain melalui perjanjian hubungan udara bilateral yang merupakan perjanjian diantara dua negara untuk mengatur bagaimana penerbangan berjadwal suatu perusahaan penerbangan dapat dilaksanakan pada kedua negara tersebut. Adanya perjanjian hubungan udara bilateral dimulai ketika pertemuan para wakil bangsa-bangsa gagal menyepakati secara multilateral pertukaran hak-hak angkut pada Konperensi Chicago tahun 1944. Indonesia hingga saat ini mempunyai 71 perjanjian hubungan udara bilateral. Masing-masing perjanjian mempunyai karasteristik yang berbeda yang disesuaikan dengan kepentingan Indonesia dan masing-masing Negara mitra. Dengan adanya kecenderungan liberalisasi angkutan udara yang telah menjadi kecenderungan global, kiranya diperlukan suatu perumusan perjanjian hubungan udara bilateral yang dapat mengakomodasi kebutuhan mobilitas orang maupun barang yang aman, selamat, cepat, teratur dan ekonomis tanpa mengabaikan keselamatan sehingga dapat meningkatkan peran strategis pertumbuhan ekonomi namun tetap menyesuaikan dengan kemampuan dan daya saing perusahaan nasional. Untuk mengantisipasi perubahan global tersebut, International Civil Aviation Organization (ICAO) telah menyampaikan beberapa perumusan perjanjian hubungan udara bilateral yang disarikan dare. 3600 perjanjian hubungan udara yang ada. Penerapan model perumusan sebagaimana direkomendasikan oleh ICAO tersebut tentu harus diimbangi dengan kebijakan yang tepat dan terarah agar hasilnya dapat benar-benar dinikmati oleh pengguna angkutan udara pada khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya.

The air space is an important asset that can be used not only for security defense aspects, but also having the important roles on social and economic issues. The arrangements of traffic rights for the implementation of international air transport services for each country had been formulated through the Bilateral Air Services Agreement mechanism between two countries. The bilateral air services agreement started when the representative of nation failure to approved to exchange the traffic rights through multilateral agreement approach in Chicago Convention 1944. To date, Indonesia has 71 (seventy one) Bilateral Air Services Agreement with the partner countries. Each agreement have different characteristic according to the benefit for the national interest. To anticipate the globalization era, which will influence the air transport industry, it is necessary to define some models of bilateral air services agreement which could accommodate the needs for the movement of passenger and goods rapidly, smoothly, securely and safely, by considering :
- To increase the strategic of economic growth;
- To increase nation air carrier competitiveness. International Civil Aviation.
Organization (ICAO) had proposed some models of Bilateral Air Services Agreement which is summarized from 3600 Bilateral Air Services Agreement registered. The implementation models of the Bilateral Air Services Agreement as recommended by ICAO must be followed with the precise and reasonable policies for the benefit to all of the customer of air transport fields.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Kusmana
"Angkutan udara merupakan salah satu sumber yang bisa digali sebagai sumber pendapatan. Oleh karena itu pemanfaatannya harus selalu diperhatikan sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara luas. Sebagai sumber pendapatan, angkutan udara harus pula diatur dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku baik secara nasional maupun internasional. Ketentuan ini nantinya akan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam membuat suatu perjanjian.
Perjanjian angkutan udara internasional kebanyakan mengacu kepada ketentuan teknis dan operasional saja sehingga lebih bersifat bilateral. Indonesia dalam hal ini selalu mengacu pada perjanjian bilateral sehingga terdapat beberapa pasal yang isinya berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perjanjian tersebut mengakibatkan terjadinya arus barang, orang dan pos sehingga memberikan peluang terhadap timbulnya komersialisasi bidang baru yang sebelumnya tidak terfikirkan.
Pertukaran tersebut mengakibatkan terjadinya suatu perdagangan dan lintas batas orang sehingga harus pula diatur ketentuannya sehingga tidak merugikan.
Salah satu ketentuan tersebut tercantum dalam GATS yang merupakan implementasi secara terurai dari GATT (yang sekarang bernama WTO). Dimana dalam lampiran tambahannya memuat ketentuan bidang jasa angkutan udara.
Indonesia dalam hal ini telah meratifikasi pembentukan WTO tersebut dalam bentuk Perundang-undangan sehingga ketentuan yang ada sudah merupakan produk hukum yang harus dilaksanakan.
Oleh karena itu Indonesia harus pula tunduk dan wajib mengikuti ketentuan yang ada dalam GATS tersebut meskipun saat masih merupakan wacana yang harus dipersiapkan. Antisipasi mengenai masalah ini sebenarnya sudah tertuang dalam produk Undang-Undang serta Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri terkait.
Akan tetapi hal tersebut masih terasa kurang dalam prakteknya karena seringkali terbentur dengan ketentuan perundang-undang lainnya sehingga harus merupakan kebijakan lintas sektoral yang tidak saling bertabrakan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marojahan, Tumpal
"ABSTRAK
Studi ini membahas Strategi Harga Dalam Transportasí Udara dengan mengam
bil studi kasus pada perusahaan PT. Garuda Indonesia pada rute Jakarta - Tokyo.
PT. Garuda Indonesia adalah salah satu perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia
yang melayani rute domestik maupun internasional.
Tujuan studi ini adalah untuk menghasilkan model standar praktis bagi Manajer
Penentu Harga (Pricing Manager) dalam menentukan strategi harga khususnya rute
Jakarta-Tolcyo dan umumnya untuk rute yang lain.
Untuk merumuskan dan memecahkan masalah yang timbul dalam strategi penetapan
harga, dilakukan pendekatan-pendekatan baik secara ekonomi maupun statistik. Kondisi
permintaan pada sisi konsumen dan suplai pada sisi produsen akan membentuk suatu
posisi harga yang sebenarnya pada pasar. Demikian juga adanya efek perlakuan terha
dap harga seperti pemotongan harga, kenaikan harga maupun perubahan kwalitas
produk dapat mempengaruhi harga. Faktor tersebut di atas adalah merupakan faktor
internal. Artinya dengan sumber daya yang ada pada perusahaan, faktor tersebut dapat
dikontrol oleh perusahaan sendiri.
Tetapi ada faktor luar yang mempengaruhi harga tersebut seperti harga pada
pesaing, peraturan pemerintah setempat (dimana harga ditetapkan), perubahan pada
selera konsumen maupun faktor ekonomi makro seperti kurs mata uang, inflasi dan
sebagainya yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan.
Untuk menganalisis korelasi faktor-faktor tersebut terhadap harga, maka dilaku
kan pendekatan statistik yakni analisis korelasi dan kausal (regressi) maupun analisis
trend terhadap data sejarah.
Dari hasil analisis korelasi dan regressi terhadap data sejarah operasionil Garuda
dan JAL pada tahun 1992 dan 1993 untuk rute Jakarta-Tokyo pp, faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan Garuda adalah penetapan strategi harga, pangsa pasar
Garuda, nilai kurs Yen dan pangsa pasar JAL.
Strategi harga reduksi untuk rute Jakarta-Tokyo dapat meningkatkan pendapatan
Garuda (22,5%) dan pangsa pasar (36,5%). Juga dengan strategi ini, Garuda dapat
mencuri (stealing strategy) pangsa pasar JAL (-28,4%). Jika Garuda melakukan
strategi kenaikan harga dengan alasan permintaan pada rute ¡ni bertambah, maka
Ganida dapat meningkatkan pendapatan (36,5%). Demikian juga pangsa pasar Garuda
akan bertambah (21,2%). Tetapi dengan strategi kenaikan harga ini, JAL mendapat
kesempatan untuk meraih pangsa pasar (65,6%). Jadi kedua perusahaan mengalami
kenaikan pangsa pasar karena permintaan path pasar ini meningkat setiap tahunnya.
Untuk rute Tokyo-Jakarta, strategi harga reduksi justru akan menurunkan penda
patan Garuda (-4,6%), tetapi secara efektif dapat meningkatkan pangsa pasarnya
(24,4%) dan mencuri pangsa pasar JAL (-69,3%). Strategi ini harus dihindarkan karena
akan merugikan Garuda sendiri.
Jika Garuda metakukan strategi kenaikan barga pada rute ini, maka Garuda dapat
menaikkan pendapatannya (42,7%) demikian juga pangsa pasar akan meningkat
(11,9%). Tetapi dengan strategi kenaikan barga, JAL akan memperoleh pangsa pasar
yang Iebih besar (81,6%). Kondisi di atas berlaku jika harga dan produk JAL dianggap
konstan.
Dari temuan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa permintaan pada kedua
pasar sangat sensitiv terhadap reduksi dan kenaikan harga. Hal ini cukup logis karena
sebahagian besar penumpang melakukan perjalanan pada rute tersebut untuk tujuan
parawisata.
Strategi harga diteiapkan berdasarkan objektif strategi bisniss (Business Strategy)
Garuda dalam melakukan aktivitas usahanya. Jika objektif strategi harga adalah untuk
rneningkatkan pendapatan maka untuk pasar Jakarta-Tokyo sebaiknya dilakukan strategi
harga reduksi. Tetapi untuk pasar Tokyo-Jakarta, Garuda sebaiknya menaikkan harga.
Jika objektif strategi harga adalah untuk memperbesar pangsa pasar maka sebaik
nya Garuda melakukan strategi reduksi harga untuk kedua pasar tersebut. Dengan
memiliki pangsa pasar yang besar Garuda memiliki citra yang baik pada penumpang.
Tingkat loyalitas pelanggan semakin tinggi dan usaha berkelanjutan untuk jangka pan
jang akan tercapai. Jadi keuntungan yang akan diperoleh Garuda adalah keuntungan
untuk jangka panjang bukan pada saat sekarang.
Untuk mengetahui batasan reduksi dan kenaikan harga. yang akan ditetapkan,
perlu diketahui karakteristik sensitivitas permintaan harga pada pasar. Batasan tersebut
merupakan daerah surplus pada konsumen (consumer surplus area) yang akan diraih
semaksimal mungkin. Konsumen surplus adalah surplus yang diperoleh oleh konsumen
sehubungan dengan harga yang dibebankan pada konsumen. Konsumen surplus ini
dapat diraih perusahaan dengan cara diferensiasi produk dan harga.
Sebahagian besar Konsumen Jakarta-Tokyo pp bertujuan untuk wisata (leisure).
Untuk itu Garuda dapat melakukan strategi harga Bundel, yaitu harga gabungan tiket
pesawat, jasa hotel dan jasa sehubungan dengan parawisata lainnya untuk memberi
kemudahan bagi kebutuhan konsumen.
Pertumbuhan pasar Jakarta-Tokyo pp merupakan suatu kesempatan (opportunity)
bagi Guruda untuk meraih pendapatan maupun memperbesar pangsa pasarnya. Tetapi
strategi harga reduksi oieh pesaing dan mudahnya strategi harga ini ditiru adalah
merupakan ancaman bagi Garuda.
Oleh karena itu maka sebaiknya Garuda Indonesia dalam strategi bisnisnya,
melakukan strategi harga yang terkait erat dengan diferensiasi produknya. Dengan
differensiasi produk dan tingkatan harga yang ditawarkan kepada konsumen maka dapat
diharapkan Garuda dapat meraih surplus pada konsumen sekaligus Garuda mendapatkan
pendapatan yang lebih tinggi.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelia Eirene Adryana
"Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk membangun dan menyediakan layanan lalu lintas udara sebagaimana tertera dalam Pasal 28 Konvensi Chicago. Namun, Annex 11 Konvensi Chicago menyebutkan bahwa negara dapat mendelegasikan tanggung jawab tersebut kepada negara atau lembaga lain tanpa membahayakan kedaulatannya. Pendelegasian tanggung jawab tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Tetapi, pendelegasian tanggung jawab seringkali masih menyentuh kedaulatan sebuah negara. Maka dari itu, perlu dibedakan antara urusan operasional dan kedaulatan dalam pendelegasian layanan lalu lintas udara. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menganalisis hukum udara internasional dan perjanjian bilateral mengenai pendelegasian layanan lalu lintas udara. Dalam praktiknya, sifat dari pasal-pasal yang tertera pada perjanjian tersebut menentukan seberapa jauh tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Berdasarkan kesimpulan di atas, sebaiknya ketentuan dalam perjanjian bilateral mengenai tanggung jawab kedua belah pihak harus dibuat secara lengkap dan jelas untuk menghindari benturan antara urusan operasional dan kedaulatan.

Each state is responsible for establishing and providing air traffic services as stated in Article 28 of the Chicago Convention. However, Annex 11 to the Chicago Convention stated that states could delegate these responsibilities to other states or institutions without jeopardizing their sovereignty. The delegation of responsibility is carried out based on a mutual agreement agreed by both parties. The delegation of responsibility often still touches the sovereignty of a state. Therefore, it is necessary to distinguish between operational matters and sovereignty in the delegation of air traffic services. The author uses a normative legal research method by analyzing international air law and bilateral agreements regarding the delegation of air traffic services. In practice, the nature of the articles contained in the agreement determines the extent of the responsibilities that both parties must fulfill. Based on the conclusions above, it is better if the provisions in bilateral agreements regarding the responsibilities of both parties must be made completely and clearly to avoid conflicts between operational matters and sovereignty.

 

Keywords: Delegate, responsibilities, operational, sovereignty, bilateral agreement, air traffic services."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusuf Sjioen
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Gadih Dasilta
"Pada skripsi ini dibahas mengenai konsep perlindungan investor di dalam Perjanjian Bilateral Investasi (Bilateral Investment Treaty/BIT) dan definisi seputar investasi dan penanaman modal asing merujuk kepada pengertian secara global dan definisinya sesuai dengan perundang-undangan Indonesia. Selain itu, di dalam skripsi ini akan diberikan pula definisi seputar BIT dengan menyertakan contoh BIT Inggris-Indonesia sebagai kajian utama dan dua buah kasus arbitrase internasional terkait penanaman modal asal Inggris di Indonesia, yaitu kasus Churchill Mining Plc melawan Pemerintah Indonesia dan kasus Rafat Ali Rizvi melawan Pemerintah Indonesia. Dua buah kasus ini kemudian dibandingkan dan dijadikan patokan bagi Penulis untuk menentukan sejauh mana BIT Inggris- Indonesia dalam melindungi penanaman modal yang dilakukan oleh penanam modal asal Inggris.

The main discussion of this thesis is the concept of investor protection in the Bilateral Investment Treaty (BIT) and the global definition of foreign investment and its definition referring to Indonesian Law. This definition of BIT will be provided in this thesis with also a study of BIT between UK and Indonesia, and two cases related to British investment in Indonesia as examples. These cases are the dispute between Churchill Mining Plc and The Government of Indonesia and Rafat Ali Rizvi and The Government of Indonesia. These two cases will be compared and used as a benchmark for the Author to determine the extent to which the UK-Indonesia BIT protection protects the investment made by UK investors."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S61193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jeffri
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S9991
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Himawan Satyaputra
"Industri jasa angkutan udara makin menunjukkan tingkat pertumbuhan yang demikian pesat. Peningkatan jumlah arus manusia dan barang seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi makro, merupakan lahan pasar potensial bagi industri jasa angkutan udara. Meskipun di sisi lain, pertumbuhan pesat tadi mengakibatkan kompetisi diantara perusahaan jasa angkutan udara. Makin ketatnya kompetisi, memaksa sebuah perusahaan jasa angkutan udara harus merorientasi strategi yang tepat untuk memenangkan "perang" persaingan pasar jasa angkutan udara. Kondisi ini dihadapi juga oleh PT Garuda Indonesia, sebuah BUMN jasa angkutan udara. Dengan menggunakan studi kepustakaan terhadap berbagai referensi yang ada, riset lapangan ada salah satu teori tentang karakteristik jasa angkutan udara yang menarik yaitu model berbentuk molekuler. Dari teori model molekuler, kita akan memahami makna hakiki dan implikasi dari karakteristik khas jasa angkutan udara. Salah satu hipotesis adalah "faktor kepercayaan konsumen" adalah kunci yang mempengaruhi perilaku konsumen. Artinya, citra terhadap sebuah perusahaan jasa angkutan udara. Untuk memperoleh gambaran penelitian yang proporsional, maka penelitian membandingkan berbagai persepsi konsumen terhadap PT Garuda Indonesia dan pesaing utamnya yaitu PT Sempati Air dan Singapore Airlines. Hasil pengolahan persepsi tadi menggambarkan citra terhadap jasa, usaha/perusahaan, dan manajemen/pimpinan dari ketiga perusahaan jasa angkutan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra Garuda Indonesia dimata konsumen agak tertinggal dibanding pesaingnya. Dalam rangka meningkatkan citra Garuda Indonesia tersebut, maka perlu dilakukan berbagai pembenahan baik ke dalam maupun keluar. Sebagai BUMN, Garuda Indonesia menghadapi masalah klasik yaitu masih banyaknya campur tangan pemerintah ke dalam manajemen. Oleh karena itu manajemen Garuda Indonesia harus memperoleh keleluasaan, reenqineering organisasi, membenahi manajemen sumber daya manusia, menangani pembentukan citra pada tingkat direksi, dan upaya perbai.kan pemasaran lain."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1993
S18715
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>