Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1582 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kuala Lumpur: Tan Sri Dato' Seri Mohamed Rahmat, 2001
324.259 5 BAR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Ikhsan
"This article aims to unravel a shift of control / ownership of communal land of the Malays of Deli
in North Sumatra. The commonly well-known communal lands, before the arrival of the Dutch
colonial, was still inherent with the authorities of villages and was evolutionarily taken over by
the foreign planters through concessionary contracts, which were dully signed by the Sultanate
of Deli and the said foreign planters. The Indonesian independence in 1945 and the period that
went beyond had in fact not contributed any improvement of the situation and instead it had
exacerbated social and legal relations between the Malays of Deli and their ancestral lands. The
said successful state laws had been so successful to keep these local natives away from their most
important resource of life, namely their very lands. “Deulayatisasi” through state laws that was
heavily oriented to the interests of capitalization to have seemingly been so successful to curtail
the long journey of communal land rights in this country that seemed to have been pioneered by
Van Vollenhoven during the early period of 20th century. The customary land law, in Indonesia, will
someday become a kind of a beautiful story in the course of historiographical laws of Indonesia.
Artikel ini bertujuan untuk mengungkap tentang peralihan kepemilikan tanah adat Melayu Deli
di Sumatera Barat. Sebelum kedatangan colonial Belanda, tanah adat melekat dengan aparat
desa dan secara perlahan diambil alih oleh pekebun asing melalui perjanjian konsesi yang
ditandatangani antara Kesultanan Deli dengan pekebun asing. Kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1945 dan masa setelahnya tidak berdampak pada perbaikan keadaan, dan sebaliknya
memperburuk hubungan social dan hukum antara Melayu Deli dan tanah leluhur mereka.
Undang-undang nasional berhasil menjaga masyarakat adat jauh dari sumber daya hidup yang
paling penting, yaitu tanah.“Deulayatisasi” melalui Undang-undang nasional berorientasi berat
pada kepentingan kapitalisasi tampaknya begitu berhasil untuk membatasi perjalanan panjang
dari hak ulayat di Negara ini yang dipelopori oleh Van Vollenhoven pada awal abad ke-20. Hukum
tanah adat di Indonesia pada suatu hari akan menjadi semacam cerita indah dalam perjalanan
hukum historiografis Indonesia."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gandhi, M.K., 1869-1948
Ahmedabad Navajivan Publishing House [t.th.]
891.48 G 17
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Warsito
"Penulisan tesis ini berangkat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 terkait uji meteri beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena dianggap bertentangan dengan ketentuanketentuan yang ada dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu putusan penting Mahkamah Konstitusi adalah mengubah Pasal 1 angka 6 dengan menghapus kata "negara" sehingga menjadi ?hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat?. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, status hutan adat dipulihkan kembali menjadi salah satu obyek hak ulayat dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dengan banyaknya pengakuan atau klaim dari masyarakat hukum adat atas hutan adat, maka diperlukan analisis mengenai pemulihan hutan adat sebagai hak ulayat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, khususnya terkait kriteria kepemilikan hutan adat sebagai hak ulayat dalam konsep negara kesatuan, status kepemilikan atas tanah dan izin pada hutan adat serta mekanisme dan peran pemerintah dalam rangka pemulihan hutan adat sebagai hak ulayat. Metodologi yang digunakan yaitu studi normatif dan empiris dengan model deskriptif kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa untuk membuktikan kepemilikan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat diperlukan penelitian terhadap keberlangsungan penguasaan dan penggunaan hutan adat baik sebagai tempat tinggal maupun tempat memenuhi kebutuhan hidup seharihari dan tidak hanya sekedar pengakuan atau klaim semata. Hasil penelitian tersebut merupakan salah satu dasar pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah, dan selanjutnya menjadi rujukan bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan penetapan hutan adat sebagai hak ulayat tidak ternyata menghapus hak-hak pihak lain atas tanah maupun izin yang diperoleh sebelum penetapan hutan adat. Kesimpulan penting dari hasil analisis yaitu penetapan hutan adat sebagai hak ulayat harus sesuai prinsip-prinsip negara kesatuan dengan batasanbatasan yang telah ditentukan baik dalam UU Kehutanan maupun UU tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

This thesis departs from the decision of the Constitutional Court number 35/PUU-X/2012 related judicial test several articles in Law No. 41 of 1999 on Forestry because it is contrary to the provisions contained in the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945. With the decision of the Constitutional Court, the status of indigenous forests restored into one of the objects within the jurisdiction of communal rights of indigenous peoples. With so many confessions or claims of indigenous people on indigenous forests, it would require an analysis of the recovery of the communal rights of indigenous forest after the Constitutional Court decision number 35/PUU-X/2012, particularly related to the ownership criteria as communal rights of indigenous forest in the concept of the unitary state, status of land ownership and permissions on indigenous forests and the mechanisms and the role of government in order to recovery the communal rights of indigenous forest. The methodology used is normative study with qualitative descriptive models. The results of the study showed that to prove ownership of indigenous forests as communal rights of indigenous people needed research on the sustainability of communal tenure and forest use either as a residence or a place to meet the needs of everyday life and not just a mere acknowledgment or claim. The results of these studies is one of the basic recognition of customary laws and communal rights by local governments through local legislation, and subsequently became a reference for the central government to establish communal rights of indigenous forest as indigenous peoples. The determination of customary rights of indigenous forest as it turns out doesn?t remove the rights of other to land and permission obtained before the establishment of indigenous forests. Important conclusion from the analysis is the determination of the communal rights of indigenous forest should be according to the principles of the unitary state with the limits specified either in the forestry laws and regulation laws on agrarian basis points.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Purwitasari
"Tesis ini membahas Pluralisme Kebijakan Pemerintah Dalam Penetapan Hak Guna Usaha Perkebunan di Indonesia Studi Kasus Tumpang Tindih Dengan Pertambangan, Kehutanan dan Tanah Ulayat. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Kebijakan pengaturan sektor pertanahan khususnya dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha dalam implementasi banyak aturan yang mendasarinya.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha perkebunan di Indonesia dan permasalahan yang diakibatkan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha dan untuk mengetahui sejauh mana pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha di Indonesia mengakibatkan tumpang tindih Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lain khususnya perizinan pertambangan, perizinan kehutanan dan tanah ulayat beserta dampaknya.
Hasil dari penelitian ini adalah pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dalam sektor lainnya yaitu sektor pertambangan dan kehutanan, serta tanah ulayat dan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tersebut menyebabkan tumpang tindihnya Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lainnya terutama dengan sektor pertambangan dan kehutanan, serta tumpang tindih dengan tanah ulayat penyelesaiannya tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada Undang-Undang sektoralnya dan Undang-Undang sektoral itu sama derajatnya.

This thesis focuses on the Pluralism of Government Policy in the Stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) for Plantation in Indonesia (Study Case on Overlapping of Mining, Forestry and Communal Rights). The research is legal norm in nature and the data collection to be used shall be conducted through library research with a statue approach. Regulation policy in the land sector, in particular the stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) in practice is based on many regulations.
The objective of this research is to reveal the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation in Indonesia and the problems attributable to pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) and to reveal the extent of pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) in Indonesia causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation with other sectors, especially with the mining permit, forestry permit and communal rights along with its effects.
The result of this research reveals that the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) is closely related to the government’s policies in other sectors, namely the mining, forestry and communal rights sectors and therefore causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) with other sectors, mainly with mining, forestry and communal rights sectors in which the settlement is not easy as each of those sectors has their own law having equal legal force.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henang Priyanto
"Untuk sebarang bilangan bulat positif 𝑎≥2 dan 𝑛≥1 yang diberikan, dapat di-lakukan konstruksi graf de Bruijn yang didefinisikan sebagai graf berarah dengan banyaknya simpul 𝑎𝑛−1, panjang label simpulnya 𝑛−1, banyaknya busur berarah 𝑎𝑛, dan panjang label busurnya 𝑛. Karena setiap graf de Bruijn merupakan graf Euler maka dapat ditentukan sirkuit Euler dengan label minimal. Barisan de Bruijn yang dibangun oleh 𝑛 dinyatakan oleh Sirkuit Euler dengan label minimal. Graf de Bruijn tidak mudah dikonstruksi untuk 𝑛 yang berukuran besar, kesulitan selanjutnya dijumpai pada penentuan sirkuit Euler dengan label minimal. Oleh karena itu, pada tesis ini akan diberikan metode alternatif sebagai solusi konstruk-si barisan de Bruijn dengan menggunakan teorema Fredicksen dan Maiorana. Teo-rema ini menjamin keberadaan barisan de Bruijn untuk setiap 𝑛 yang diberikan dengan merangkai Lyndon word yang terurut secara Lexicographic. Hasil kajian ini memberikan kontribusi terhadap langkah-langkah untuk merangkai sebarang Lyndon word dari suatu alfabet 𝐴 dengan panjang 𝑛, sehingga diperoleh barisan de Bruijn yang dibangun oleh 𝑛. Sebagai akhir pembahasan akan diberikan kaitan antara graf de Bruijn dan barisan de Bruijn.

Given any integer 𝑎≥2 and 𝑛≥1, de Bruijn graph can be constructed. De Bruijn graph is a digraph with 𝑎𝑛−1 vertices, each has 𝑛−1 length label, and 𝑎𝑛 arc, each has 𝑛 length label. Since each of de Bruijn graph is an Eulerian graph, then we can find an Eulerian circuit with minimal label. De Bruijn sequence which is spanned by 𝑛 can be representated by Eulerian circuit with minimal la-bel. It is not easy to construct de Bruijn graph for 𝑛 large, it is implied difficulties to find Eulerian circuit with minimal label. In this ?thesis? will be presented alter-native method on how to construct de Bruijn sequence using Fredicksen and Mai-orana Theorem. This theorem guarantees the existence of de Bruijn sequence for any given 𝑛 using concatenation Lexicographic ordered of Lyndon word. The re-search result has contributed on construct step by step to obtain concatenation any Lyndon word of length 𝑛 of alphabet 𝐴, so we obtain de Bruijn sequence span by 𝑛. For conclusi, will be given correlations between de Bruijn graph and de Bruijn sequences."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S 28832
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Ashgate/Dartmouth, 2000
323.01 RIG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London : Croom Helm, 1984
362.580 95 BAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Woolf, Leonard
[Place of publication not identified]: Penguin Books Limited , 1937
302 WOO a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Klinken, Gerry van
London: Routledge, 2007
959.804 KLI c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>