Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sebastian, Leonard C.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), 2006
355.359 8 SEB r (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Beck, Robert J.
New York: Routledge, 1993
341 ARE i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gardam, Judith Gail
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2004
341.6 GAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Brownlie, Ian
Oxford : Clarendon Press, 1963
341.62 BRO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Az Zahra
"Penggunaan kekuatan di dalam hukum internasional dibagi menjadi penggunaan kekuatan tanpa senjata dan penggunaan kekuatan bersenjata. Penggunaan kekuatan bersenjata kerap digunakan oleh otoritas suatu negara terhadap negara lain, yang salah satunya terlihat dari adanya intervensi, sebagaimana yang dilakukan oleh pasukan militer Rusia terhadap Georgia di wilayah Ossetia Selatan pada Agustus 2008 lalu. Pelaksanaan penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap negara lain sesungguhnya merupakan tindakan yang dilarang di dalam hukum internasional. Larangan tersebut salah satunya dapat dilihat di dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Namun demikian, hukum internasional juga memberikan dua kondisi utama yang mengizinkan pelaksanaan penggunaan kekuatan bersenjata sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 Piagam PBB dan Bab VII Piagam PBB. Di dalam prakteknya, negara-negara kerap menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan alasan lain di luar pengaturan Pasal 51 Piagam PBB dan Bab VII Piagam PBB. Rusia di dalam intervensinya terhadap Georgia bersandar di balik alasan intervensi kemanusiaan, perlindungan terhadap warga negara di luar negeri, dan bela diri. Sementara Georgia berlindung di balik alasan bela diri.

Use of force in international law is divided into use of unarmed force and use of armed force. Use of armed force is frequently employed by an authority of a certain state towards other state, which can be seen in an intervention, for instance military intervention of Russia?s army towards Georgia in South Ossetia during August 2008. International law prohibits the use of armed force, the prohibition itself can be found in Article 2 par.4 UN Charter. However, international law grants two circumstances which authorize use of armed force. The provision itself can be found in Article 51 UN Charter and Chapter VII UN Charter. Practically, States frequently use armed force due to other reason beyond the one that stipulated in Article 51 UN Charter and Chapter VII UN Charter. The intervention or Russia towards Georgia lied within the reason of humanitarian intervention, protection of civilians abroad, and self defense. Meanwhile, Georgia solely use of its armed force in reason of self-defense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42768
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandrov, Stanimir A.
London: Kluwer, 1996
341 ALE s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jaisingh, Hari
New Delhi: Siddharth Publications, 2005
320.954 JAI n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Binanda Afia Millenia
"Perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara pantai sama rumitnya dalam hukum internasional dan juga mendasar dalam praktiknya. Putusan arbitrase kasus Guyana/Suriname serta putusan pengadilan kasus M/V Saiga (No. 2) dan M/V Virginia G menjadi sangat signifikan dalam hal ini karena pengadilan-pengadilan tersebut harus mempertimbangkan beberapa pertanyaan penting yang melibatkan kategorisasi tindakan paksa di laut. Penelitian skripsi ini akan menawarkan beberapa refleksi awal tentang apa yang dianggap sebagai aspek kunci dari perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara serta bagaimana seharusnya implementasi penegakan hukum yang diatur di dalam 1982. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, tindakan use of force pada penegakan hukum di wilyayah yurisdiksi negara merupakan suatu hal yang tidak dilarang, namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip necessity, unavoidability, dan reasonableness. Use of force dalam konteks ini juga harus dianggap sebagai kasus lex specialis dan tidak termasuk dalam lingkup larangan umum use of force di bawah pasal 2 (4) Piagam PBB.

The distinction between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state is as complex in international law as it is fundamental in practice. The Guyana/Suriname arbitration award and the judgments of the M/V Saiga (No. 2) and the M/V Virginia G cases have been significant in this regard since the tribunal had to consider several important questions involving the categorization of forcible action at sea. This thesis research will offer some initial reflections on what are considered the key aspects of the difference between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state and how law enforcement should be implemented as regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Based on normative legal research conducted, use of force in law enforcement in the jurisdiction of a coastal state is something that is not prohibited, but must comply with the principles of necessity, unavoidability, and reasonableness. The use of force in this context must be considered as a lex specialis case and does not fall within the scope of the general prohibition of use of force under article 2 (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Saiful Rahim
"ABSTRAK
Kepangkatan dalam bidang militer merupakan salah satu bentuk penerapan
prinsip hirarki. Ketertiban dan kepatuhan pada atasan menjadi ciri khas tiap
anggota militer yang lahir dari sistem kepangkatan tersebut. Prinsip hirarki yang
kental di dalam militer pastinya sedikit banyak mempengaruhi pola tata ruang
kawasan perumahannya. Namun belum diketahui bagaimana bentuk-bentuk
pengaruhnya didalam kawasan perumahan. Oleh karena itu dilakukanlah
pengamatan terhadap perumahan militer TNI AU Halim Perdana Kusuma untuk
bisa menjelaskan bentuk organisasi ruangnya, penerjemahan hirarkinya dilihat
dari sisi arsitektur dan hubungan antar ruangnya. Penulisan ini menggunakan
metode pengamatan langsung dan wawancara juga metode penulisan berupa
penjelasan yang kualitatif. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa teradapa
beberapa kawasan yang memiliki bentuk perumahan dan penerapan hirarki yang
sama yaitu bentuk grid dan hirarki dengan ukuran keprivasian. Pada satu kawasan
yang dikenal dengan Perumahan Dwikora memiliki paling dominan berupa
bentuk garis (linear) yang menggunakan prinsip axial. Perumahan ini terbagi
menjadi tiga daerah, yaitu: daerah umum, semi pribadi dan pribadi dan
keterhubungan kawasan yang menggunakan bentuk pendekatan megaform juga
pengaruh prinsip hirarki militer pada fungsi fasilitas khusus terhadap
peletakannya.

ABSTRACT
Ranking in military is one of hierarchy principle application. Discipline
and loyalty to the higher rank member be special characteristic every military
member that made by hierarchy system. Principle of Hierarchy that buried in the
military?s body must be affect spatial organization?s pattern of military housing
district, although the affects haven?t discovered yet. Therefore the observation
about Halim Perdana Kusuma military housing of Indonesia Air Force Army have
done to explain the form of spatial organization, interpretation of hierarchy from
architecture?s aspect and the spatial relationship. This script uses direct
observation and interview method, also qualitative explanation writing method.
The analysis results show that there are some area have grid form and hierarchy
with private scale. In a dristrict called Dwikora housing has a dominant area that
apply linear form and axial principle. This housing is divided into three area, that
is public, semi-private, and private area and having megaform as linkage element
also there is hierarchy?s affects on housing, public facilities, and special facilities
regarding the placing of them."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42738
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fariq Makarim
"Penggunaan domain luar angkasa sebagai domain atau medan perang dicoba seiring dengan adanya teknologi yang mampu menempatkan manusia di luar atmosfer bumi. Sistem teknologi ini juga memungkinkan kemajuan peradaban manusia dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan, keuangan, komunikasi, transportasi, dan pertahanan. Adanya teknologi ini mendorong penyesuaian sistem
pertahanan untuk mengembangkan konsep, strategi, dan organisasi untuk membentuk kemampuan tempur luar angkasa sesuai dengan kepentingan nasional. Amerika Serikat sedang merencanakan penyesuaian kelembagaan dengan mengambil kekuatan tempur combat luar angkasa independen, yaitu Angkatan Luar Angkasa, untuk memanfaatkan peluang dan menghadapi kerentanan yang berasal dari domain luar angkasa. Rencana ini dimanifestasikan dalam laporan Komisi untuk Menilai Keamanan Nasional Amerika Serikat Penataan Ruang dan Organisasi pada tahun 2001. Namun, tindak lanjut berupa
Kebijakan Space Force tidak dapat ditemukan hingga 2018 setelah terjadi dua kali pergantian presiden. Penelitian ini akan mencoba menjelaskan keterlambatan tersebut Kebijakan Space Force dalam sistem pertahanan AS. Penjelasan keterlambatan ini this akan dijelaskan dengan menggunakan konsep Revolution in Military Affairs (RMA). Ruang angkasa Gaya dianggap sebagai salah satu unsur penyusun RMA yang kehadirannya dipengaruhi oleh unsur penyusun lainnya, yaitu strategi perang luar angkasa dan teknologi senjata. Tidak adanya unsur penyusun lain dan hambatan dalam struktur Pertahanan AS menyebabkan kebijakan Space Force tidak terwujud di Amerika Persatuan.

The use of the outer space domain as a domain or battlefield was tried along with the technology that was able to place humans outside the earth's atmosphere. This technological system also enables the advancement of human civilization in various fields, including trade, finance, communication, transportation, and defense. The existence of this technology encourages system adjustments defense to develop concepts, strategies and organizations to form space combat capabilities in accordance with national interests. The United States is planning institutional adjustments by taking on a combat force independent outer space, i.e. the Space Force, to take advantage of opportunities and deal with vulnerabilities emanating from the outer space domain. This plan was manifested in the report of the Commission to Assess the National Security of the United States Spatial Planning and Organization in 2001. However, follow-up took the form of Space Force policy could not be discovered until 2018 after two presidential changes. This study will try to explain the delay in the Space Force Policy in the US defense system. The explanation for this delay will be explained using the Revolution in Military Affairs (RMA) concept. Space Gaya is considered as one of the constituent elements of RMA whose presence is influenced by other constituent elements, namely space war strategy and weapons technology. The absence of other constituent elements and obstacles in the structure of US Defense caused the Space Force policy to not materialize in the United States."
Depok: 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>