Ditemukan 82493 dokumen yang sesuai dengan query
Tampubolon, Yosua Mahendra
"Penyelesaian sengketa melalui mekanisme Kepailitan di Pengadilan Niaga adalah merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa melalui Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa utang piutang yang efektif mengingat jangka waktu penyelesaian melalui Pengadilan Niaga yang relatif cepat dimana putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pernyataan pailit didaftarkan. Untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yaitu Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam hal terjadi suatu sengketa dalam bidang jasa konstruksi yang mana pihak Bouwheer selaku Pemberi Kerja tidak melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran kepada Kontraktor yang membentuk Joint Operation selaku Penerima Kerja, maka pihak Kontraktor tersebut dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. Namun demikian agar pihak Bouwheer dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka dalam hal Bouwheer tidak memiliki kreditor lain, maka Kontraktor yang membentuk Joint Operation tersebut harus membuktikan di depan Persidangan, bahwa Kontraktor yang membentuk Joint Operation tersebut dapat memenuhi unsur yang ditetapkan dalam Pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU. Selain daripada itu, di dalam hal Bouwheer telah dinyatakan pailit oleh Putusan Pernyataan Pailit, UU Kepailitan dan PKPU tetap memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan perdamaian yang waktunya ditentukan oleh UU Kepailitan dan PKPU. Oleh karena itu dalam penelitian ini Penulis berupaya untuk mengkaji apakah Kontraktor yang membentuk Joint Operation termasuk dalam kreditor yang dapat memenuhi syarat-syarat dalam kepailitan dan apakah upaya perdamaian tetap dapat dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa meskipun jangka waktu yang ditetapkan dalam UU Kepailitan dan PKPU telah terlampaui.
Dispute settlement through bankruptcy mechanism in Commercial Court is one of the most effective alternative dispute resolution through the courts to resolve disputes of debts considering the period of completion through commercial court which relatively fast where the verdict of bankruptcy declaration petition shall be made at the latest 60 (sixty) days since the date of bankruptcy declaration petition has been registered. To be declared bankrupt must fulfill the elements which mentioned in Article 2 of Law No. 37 of 2004 about Bankruptcy (Bankruptcy Law) that is Debtor who has two or more one debt which maturity and billable. In the case of disputes in the field of construction services which Bouwheer (Owner) as employer did not fulfill their obligation to make payment to Contractors which make Joint Operation as employer, then the Contractors may submit a bankruptcy declaration petition to Commercial Court. However, in order to the owner can declared bankrupt by Commercial Court, then in terms of the owner did not has another creditors, the creditors which make Joint Operation should prove in front of the court that the contractors which make Joint Operation can comply the elements which mentioned in Article 2 of Bankruptcy Law. Moreover, in term of the owner has been declared bankrupt by the verdict of bankruptcy, the bankruptcy of Law in Indonesia still provide the opportunities to the disputing parties to make settlement or conciliation which the time prescribed by law. Therefore, in this study the author seek to assess whether the contractors which make Joint Operation included in creditors which can fulfill the elements in bankruptcy of law and whether the settlement effort still can be implemented by the disputing parties even though the period which mentioned in bankruptcy of law have been exceeded."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T28855
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Roka Hanan Firmansyah
"Skripsi ini dirancang guna menganalisis penerapan actio pauliana berkaitan dengan perkara pada Putusan No. 01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Putusan No. 118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 jo. Putusan No. 74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry yang telah dinyatakan pailit, dianggap telah mengalihkan aset sebanyak 16 tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik. Permasalahan yang akan diteliti adalah penerapan hukum formil dan materiil terhadap gugatan actio pauliana utamanya menekankan pada kapasitas mengajukan suatu gugatan oleh Kurator dan juga akibat hukumnya. Kurator dalam perkara a quo mengajukan gugatan dengan berdasarkan Surat Permohonan Kurator kepada Hakim Pengawas No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 tertanggal 03 September 2013. Dengan menganalisis pertimbangan hakim dan juga bukti dan keberatan yang diajukan dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator dalam perkara ini sepatutnya mendapatkan izin dari Hakim Pengawas terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan yang pada umumnya berbentuk surat penetapan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dalam putusan a quo ditemukan fakta bahwa Majelis Hakim luput terhadap jangka waktu pengalihan aset dimana terdapat pengalihan aset yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, yakni antara Herry dengan Tergugat III melalui AJB No. 192/2011 dan No.193/2011, dimana hal ini tidak sejalan dengan Pasal 42 UUK PKPU. Majelis Hakim juga akan lebih tepat apabila dapat menguraikan mengenai kapasitas Kurator dalam mengajukan gugatan sebagaimana Pasal 69 ayat (5) UUK PKPU.
This thesis is created to analyze the implementation of actio pauliana related to case in Decision No.01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Decision No.118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 o.DecisionNo.74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry, who has been declared bankrupt, is deemed to have transferred assets, namely 16 lands and buildings with Freehold Titles. The issue to be examined is the application of formal and material law to actio pauliana lawsuit, mainly focusing on the capacity to file a lawsuit by the Bankruptcy Receiver and the legal consequence. The Bankrupty Receiver in this case filed a lawsuit based on the Bankruptcy Receiver’s Request Letter to the Supervisory Judge No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 dated September 3, 2013. By analyzing the judge's considerations and also the evidence and objections submitted by referring to the provisions of the legislation through Law Number 40 of 2007 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations, the Bankrupty Receiver in this case should obtain permission from the Supervisory Judge before filing a lawsuit, which generally takes the form of a determination letter. The research method used in this study is normative juridical with a descriptive research typology. The author concludes that in this decision, it was found that the Panel of Judges overlooked the timeframe for asset transfer, where there was a transfer of assets made within a period of more than 1 (one) year, between Herry and Defendant III through AJB No. 192/2011 and No.193/2011, which is not in line with Article 42 of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The Panel of Judges would also be more appropriate if they could elaborate on the capacity of the Bankrupty Receiver in filing a lawsuit as stipulated in Article 69 paragraph (5) of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mufida Putri
"Sejak putusan pailit dibacakan, debitur pailit kehilangan kewenangan atas harta kekayaan. Selanjutnya diangkat kurator yang bertugas untuk mengamankan harta pailit. Dalam hal debitur melakukan perbuatan yang dapat merugikan harta pailit, UUK-PKPU telah memfasilitasi mekanisme hukum salah satunya berupa gugatan lain-lain. Sebagaimana putusan Nomor 8/Pdt.sus-Gugatan lain-lain/2023/PN-Niaga Sby Jo. Nomor 17/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN-NiagaSby, kurator mengajukan gugatan terhadap tindakan seorang debitur yang menyetujui peningkatan modal pada suatu perusahaan dikarenakan tidak dilakukan bersama persetujuan pengurus sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) UUK-PKPU. Adapun tindakan debitor pailit dianggap merugikan kreditur dalam pailit karena tindakannya mengakibatkan adanya dilusi saham. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai: 1.) Apakah dilusi saham terhadap kepemilikan saham debitur pailit termasuk sebagai kerugian harta pailit sehingga menjadi objek gugatan lain-lain dalam kepailitan? 2.) Apakah tindakan persetujuan peningkatan modal perusahaan yang dilakukan pada saat debitur pailit berada pada masa PKPU sementara dibenarkan menurut UUK-PKPU?. Dalam tulisan ini akan dilakukan studi kasus terhadap Putusan Nomor 8/Pdt.sus-Gugatan lain-lain/2022/PN-Niaga Sby Jo. Nomor 17/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN-NiagaSby. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative dengan tipe penelitian non-doktrinal. Kesimpulan dari penelitian penulis adalah: Dilusi saham yang terjadi pada suatu perusahaan dimana debitor pailit adalah pemegang sahamnya, tidak memiliki implikasi terhadap saham sebagai bagian dari harta debitor pailit. Oleh karena itu, objek gugatan lain-lain yang mendalilkan dilusi saham sebagian peristiwa yang merugikan harta pailit seharusnya ditolak oleh pengadilan. Tindakan peningkatan modal dimana debitor PKPU adalah pemegang saham dalam suatu perusahaan tidak mengakibatkan kerugian bagi harta pailit, sehingga tindakan peningkatan modal yang dilakukan pada saat debitor pailit berada pada masa PKPU sementara dapat dibenarkan.
Since the bankruptcy decision is read, the debtor loses authority over their assets. Furthermore, a receiver is appointed with the duty to secure the bankruptcy assets. If the debtor commits actions that could harm the bankruptcy assets, UUK-PKPU has facilitated legal mechanisms, one of which is in the form of other lawsuits. As in decision Number 8/Pdt.sus-Gugatan lain-lain /2023/PN-Niaga Sby Jo. Number 17/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN-NiagaSby, the receiver filed a lawsuit against the actions of a debtor who approved an increase in capital in a company because it was not carried out with the approval of the administrator as regulated in Article 240 paragraph (1) UUK-PKPU. The debtors’ actions are considered detrimental to the creditors because they result in share dilution. In this article, the author will discuss: 1.) Is share dilution of a bankrupt debtor's share ownership included as a loss to bankruptcy assets so that it becomes the object of other lawsuits in bankruptcy? 2.) Is the act of approving an increase in company capital carried out when the debtor is in bankruptcy during the temporary PKPU period justified according to UUK-PKPU? In this thesis, a case study will be carried out regarding Decision Number 8/Pdt.sus-Gugatan Lain-lain/2022/PN-Niaga Sby Jo. Number 17/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN-NiagaSby. This research uses a normative juridical approach with a non-doctrinal research type. The conclusion of the author's research is: Share dilution that occurs in a company where the bankrupt debtor is the shareholder, has no implications to the shares as a part of the debtor's assets. Therefore, the object of miscellaneous lawsuits which argue that share dilution is an event that is detrimental to the bankruptcy assets should be rejected by the court. Actions to increase capital where the PKPU debtor is a shareholder in a company do not result in losses to the bankruptcy assets, so a capital increase action carried out during the debtor in the temporary PKPU period can be justified."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rizki Utami Kurnia Pratiwi
"Perjanjian utang pada dasarnya dilakukan berdasarkan kepercayaan bahwa Debitor akan mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya kepada Kreditor. Namun, dewasa ini perjanjian utang membutuhkan jaminan untuk melindungi Kreditor, sehingga dapat memberikan kepastian pelunasan utang oleh Debitor. Salah satu jaminan yang sering digunakan dalam perjanjian kredit adalah perjanjian jaminan perorangan atau biasa dikenal dengan penanggungan (borgtocht), dimana terdapat pihak ketiga untuk kepentingan Kreditor, mengikatkan diri untuk membayar utang apabila Debitor tidak memenuhinya. Pada praktiknya, dalam kasus kepailitan sering ditemukan Penanggung yang langsung dimohonkan pailit tanpa terlebih dahulu memohon Debitor untuk pailit, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan hukum dan tanggung jawab Penanggung dalam kepailitan. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif, yang menghasilkan penelitian berbentuk deskriptif analitis. Kedudukan hukum Penanggung beralih menjadi Debitor setelah ia memiliki kewajiban untuk membayar utang Debitor kepada Kreditor dan tanggung jawabnya dalam kepailitan tidak boleh lebih dari kewajiban Debitor. Seorang Penanggung dapat langsung dimohonkan pailit tanpa terlebih dahulu memohon Debitor untuk pailit apabila Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya yang diberikan oleh undang-undang dan harus dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian penanggungan. Saat ini masih ada ketidaksesuaian pengaturan mengenai kepailitan Penanggung dalam KUH Perdata dengan syarat kepailitan dalam UUKPKPU, hal ini sangat merugikan Penanggung. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi terhadap undang-undang kepailitan Indonesia khususnya tentang syaratsyarat kepailitan, agar terdapat kepastian hukum yang mengatur terkait kedudukan hukum dan tanggung jawab Penanggung dalam kepailitan.
Debt agreement basically done based on the belief that the Debtor will repay the loans on time to the Creditor. However, currently the debt agreement requires a guarantee to protect Creditors, so as can giving the certainty of repayment the debt by the Debtor. One of the guarantee that are often used in the debt agreement is personal guarantee agreement or commonly known as "penanggungan" (borgtocht), where there is a third party for the benefit of Creditors, undertaking to pay the debt if the Debtor does not comply. In practice, in bankruptcy case, Guarantor are often found immediately petitioned for bankruptcy without first appeal the Debtor for bankruptcy, it certainly raises questions about the legal position and responsibility of the Guarantor in bankruptcy. This is the problems of this research.This research was conducted with normative juridical research method, which produces a descriptive analytical research. Guarantor are turning to the legal position of the Debtor after he has an obligation to pay the Debtor's debt to Creditors and responsibilities in bankruptcy should not be more than the Debtor obligation. A Guarantor can be directly applied for bankruptcy without first appeal the Debtor for bankruptcy, if the Guarantor have waived its privileges granted by law and must be explicitly stated in the personal guarantee agreement. Currently there is mismatch arrangements regarding bankruptcy Guarantors in the Civil Code with the terms of bankruptcy in UUK-PKPU, it is extremely detrimental to the Guarantor. The government should revise the bankruptcy laws of Indonesia especially about the terms of bankruptcy, so that there is certainty of law that regulates the legal position and responsibility of the Guarantor in bankruptcy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65864
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Almer Theda Alana
"Pada prinsipnya, ICJ hanya memiliki yurisdiksi asli, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Namun, beberapa perjanjian internasional ICAO memberikan yurisdiksi banding kepada ICJ, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Adapun ICJ telah menjatuhkan tiga putusan sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Walaupun demikian, instrumen hukum ICJ dan ICAO serta praktik ICJ dalam putusan-putusannya tidak memberikan landasan yang komprehensif mengenai yurisdiksi banding ICJ. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis (1) dasar hukum dan ruang lingkup yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO berdasarkan instrumen hukum ICJ dan ICAO; (2) praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 1972; dan (3) konsistensi praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 2020. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Pasal 84 Konvensi Chicago, Pasal II(2) IASTA, serta Pasal 36(1) dan 37 Statuta ICJ menjadi dasar hukum yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO; tetapi instrumen hukum ICJ dan ICAO tidak mengatur secara spesifik mengenai ruang lingkup yurisdiksi tersebut. Kedua, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 1972 memperjelas ruang lingkup yurisdiksi bandingnya—terutama mengenai jenis putusan yang dapat diajukan banding, yakni meliputi bukan hanya putusan Dewan ICAO atas merits, tetapi juga atas yurisdiksi; serta ruang lingkup peninjauan yang diterapkan pada persidangan banding, yakni standar peninjauan de novo. Ketiga, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 2020 konsisten dengan praktiknya dalam Kasus ICAO 1972; dan semakin memperjelas ruang lingkup yurisdiksi banding ICJ—terutama memperjelas bahwa standar peninjauan de novo diterapkan bukan hanya terhadap pertanyaan hukum, tetapi juga terhadap pertanyaan fakta.
In principle, the ICJ only has an original jurisdiction, wherein it acts as a court of first and last instance. However, several ICAO treaties provide the ICJ with an appellate jurisdiction, wherein it acts as a court of appeal from the ICAO Council. The ICJ has rendered three judgments as a court of appeal from the ICAO Council. Nevertheless, the legal instruments of the ICJ and ICAO as well as the ICJ’s practice in its judgments do not provide a comprehensive basis regarding the ICJ’s appellate jurisdiction. Therefore, this study analyzes (1) the legal basis and scope of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council based on the legal instruments of the ICJ and ICAO; (2) the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 1972 ICAO Case; and (3) the consistency of the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 2020 ICAO Case. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. First, Article 84 of the Chicago Convention, Article II(2) of the IASTA, as well as Articles 36(1) and 37 of the ICJ Statute constitute the legal basis of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council; but the legal instruments of the ICJ and ICAO do not specifically regulate the scope of that jurisdiction. Second, the ICJ’s practice in the 1972 ICAO Case clarifies the scope of its appellate jurisdiction—particularly regarding the types of decisions that are subject to appeal, which include not only the ICAO Council’s decisions on the merits, but also on jurisdiction; and the scope of review that applies in appellate proceedings, namely a de novo standard of review. Third, the ICJ’s practice in the 2020 ICAO Case is consistent with its practice in the 1972 ICAO Case; and further clarifies the scope of the ICJ’s appellate jurisdiction—particularly by clarifying that a de novo standard of review is applied not only to questions of law, but also to questions of fact."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Pradnya Paramita, 2002
346.07 KIT
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Pradnya Paramita, 1993
346.07 KIT
Buku Teks Universitas Indonesia Library
R. Subekti, 1914-
Jakarta: Pradnya Paramita, 1983
346.070.26 SUB k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
R. Subekti, 1914-
Jakarta: Padnya Paramita, 1994
346.07 KIT
Buku Teks Universitas Indonesia Library
R. Subekti, 1914-
Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
346.070.26 SUB k
Buku Teks Universitas Indonesia Library