Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82146 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Elsam, 2003
323.095 98 KEB
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"
KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada
berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan
HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan
tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut
ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran
atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana
terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya
melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua
kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak
dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa
mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan
kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha
menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa
mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan
dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika
masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari
kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak
mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

ABSTRACT
Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those
improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The
contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and
recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving
recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of
power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to
resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s
mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in
a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A
commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred
between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the
conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even
historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would
come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never
been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again
in the future."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Satya Arinanto
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2008
323.4 SAT r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Indonesia mengalami pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 meninggalkan permasalahan krusial terkait pelanggaran HAM berat. Tuntutan masyarakat terutama pihak korban dan keluarganya terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat masih terus disuarakan sampai saat ini. Guna menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemerintah bersama DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya antara tahun 2002-2004 Pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc yang tujuannya untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat kasus Timor Timur pasca jajak pendapat dan kasus Tanjung Priok. Masyarakat terutama korban dan keluarganya belum merasakan jawaban atas hasil Pengadilan HAM ad-hoc dimaksud berkenaan dengan tuntutan yang selama ini dilakukan. Hal ini karena proses yudisial tersebut tidak memberikan nilai-nilai keadilan, dan tidak berpihak kepada korban. Pendekatan yudisial hanya menyelesaikan aspek hukumnya saja, dan hanya berorientasi kepada pelaku. Sementara pelanggaran HAM berat mengandung dimensi politik, psikologis, dan sosial yang sangat kompleks, yang dialami oleh korban beserta keluarganya.
Sistem hukum Indonesia disamping mengenal penyelesaian sengketa secara yudisial, juga mengenal alternatif penyelesaian sengketa secara non-yudisial. Salah satu pendekatan ekstrayudisial untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat yang dikenal oleh masyarakat internasional adalah rekonsiliasi. Pendekatan rekonsiliasi meskipun tidak menjamin terwujudnya rasa keadilan bagi semua pihak, akan tetapi lebih dari 20 negara yang sukses menerapkan rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Afrika Selatan (1995), Chili (1990-1992), Guatemala (1995), Meksiko (1992), dan El Savador (1992-1994). Pemerintah bersama DPR melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membentuk lembaga rekonsiliasi yang diberi nama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Belum lagi Komisi ini memilih dan menatapkan anggotanya, UU KKR yang menjadi payung hukum pelaksanaan rekonsiliasi di Indonesia diuji materil terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menyatakan bahwa UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian kelembagaan yang sudah terbentuk dengan sendirinya dibubarkan, dan rekonsiliasi sebagai pendekatan ekstrayudisial belum pernah dilakukan di Indonesia.
Rekonsiliasi merupakan bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum yang bersifat ekstrayudisial. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum, yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu: substance, structure, dan legal culture. Penulis memanfaatkan ketiga komponen tersebut sebagai kerangka kerja analisis untuk membahas urgensi rekonsiliasi di Indonesia. Implementasinya dilakukan dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Chili. Komponen substance, dipergunakan untuk mengetahui apa urgensi pengaturan rekonsiliasi terkait dengan transitional justice, tanggung jawab dan kewajiban negara, serta politik hukum. Komponen structure, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme rekonsiliasi terkait dengan bentuk, struktur, dan mandat kelembagaan yang diperlukan guna mendukung rekonsiliasi. Komponen legal culture, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana praktik pengaturan dan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Indonesia experienced authoritarian rule for 32 years. Orde Baru regime ended in 1988 left the crucial issues related to serious human rights violations. Public, especially the victims and their families demanded the Government to resolve the serious human rights violations in a fair and dignified. Finally, the Government and the Parliament has established the Law No. 26 Year 2000 on Human Rights Court. The Government has established a Human Rights Court ad-hoc which aim to examine and rule on cases of serious human rights violations cases in East Timor after the referendum and the Tanjung Priok case conducted between the years 2002-2004. Public, especially victims and their families, did not receive a fair response to the human rights court ad-hoc. The judicial process did not give the value of justice, and not to side with the victim. The judicial approach simply completing the legal aspects, and oriented to the perpetrator. On the other hand, human rights violations contains aspects of political, psychological, and social problems are complex. Indonesia imposed a judicial and extrajudicial approach in resolving a dispute. The international community recognize reconciliation as alternative dispute resolution. Reconciliation in principle does not guarantee justice, but nearly 20 countries in the world to apply this method to solve the problem of serious human rights violations of the past, such as: South Africa (1995), Chile (1990-1992), Guatemala (1995), Mexico (1992), and El Salvador (1992-1994).
Government and Parliament enacting Law No. 27 Year 2004 on the Truth and Reconciliation Commission. This law established the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia. Constitutional Court conduct a judicial review Law No. 27 Year 2004 on the 1945 National Constitution. Decision of the Court stated that the Law No. 27 Year 2004 does not have binding legal force. Thus, the institution that has been formed by itself had been disbanded. Moreover, the reconciliation as extrajudicial approach has never been done in Indonesia. Reconciliation is an integral part of law enforcement that is extrajudicial. Lawrence M. Friedman's said that the success of law enforcement always requires three components functioning legal system, namely substance, structure, and legal culture.
I use these three components as an analytical framework to discuss the urgency of reconciliation in Indonesia. Its implementation is done by comparing the arrangements, mechanisms, and practices of reconciliation in South Africa and Chile. Substance, is used to identify whether an urgency of reconciliation arrangements associated with transitional justice, responsibility and state obligation, and legal politic. Structure is utilized to identify the reconciliation mechanism related to the shape, structure, and institutional mandate to reconciliation. Legal culture is employed to identify a practice of arrangements and mechanism that inline to the demands of reconciliation in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amidhan
"Salam naskah UUD 1945 para pendiri bangsa telah meletakkan dasar-dasar yang kuat tentang hak asasi manusia (HAM) apalagi dalam perubahan UUD 1945 tahap kedua tahun 2000 ditambah lagi dasar hukum tentang HAM tersebut dalam satu lab lengkap dengan sepuluh pasal, akan tetapi sejak pemerintahan orde lama, orde baru hingga orde reformasi ordec informasi sekarang ini tetap saja yang terjadi pelanggaran HAM di Indonesia. Dan pelanggaran HAM terbanyak terjadi pada era orde baru. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa orde baru tersebut hingga dapat diselesaikan secara tuntas dan adil. Terdapat kendala dan problem hukum sehingga kasus-kasus tersebut tidak dapat dituntaskan. Kendala dan problema apa dibahas dalam artiikel ini."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2019
342 JKTN 12 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syafri Hadi
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T37759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titon Slamet Kurnia
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
323.4 TIT r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>