Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124634 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Cahyono
Jakarta: LIPI, 2006
320.9 Cah d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bisyri
"Undang-Undang Nomor 4/1950 Jo. UU No. 14/1954 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang ber moral. Hal ini ditafsirkan bahwa manusia yang bermoral dapat diupayakan tidak hanya melalui agama karena dasar moral tidak selalu agama. Oleh Karena itu, pada 1950-an agama tidak wajib di ajarkan di sekolah. Pada tahap selanjutnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 2/1989 pendidikan adalah tujuan menciptakan manusia yang taat mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pelajran agama wajib diberikan di sekolah. Walaupun kesenjangan undang-undang tersebut adalah sekolah dengan agama tertentu seharusnya tidak diajarkan Agama yang bebrbeda dengan Agama yang ada di sekolah tersebut. Ketentuan ini kemudian menjadi bermasalah. Pada 2003, UU No 20 tentang sistem pendidikan nasional diberlakukan menekankan adanya pendidikan agama. Undang-undang ini ini mengamanatkan bahwa agama adalah wajib di setiap intuisi pendidikan di mana materi yang akan diberikan kepada siswa yang akan diajarkan oleh guru yang bersangkutan. Sudah jelas bahwa pendidikan secara historis telah ditingkatkan dari waktu ke waktu."
Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah , 2014
370 TAR 1:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irtanto
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
320.8 Irt d;320.8 IRT d (2);320.8 IRT d (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Keruntuhan komunisme pada tahun 1989 menjadi momentum yang krusial bagi demokrasi sebagai sebuah sistem politik untuk menyebarkan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Sebagai sebuah konsep, demokrasi mempunyai makna yang luas dan juga kompleksitasnya sendiri. Artikel ini ingin menjelaskan varian dari demokrasi terutama debat antara demokrasi liberal dengan demokrasi sosial. Selain itu, penulis juga menjalskan praktek demokrasi di Indoensia setalah era reformasi 1998 dan meunjukkan masalah yang dihadapi oleh negara ini dalam menciptakan masyarakat yang demokratis. Sebagai kesimpulan, artikel ini ingin menjalskan bahwa demokratisasi di Indonesia masih dalam proses dan masih banyak hal yang perlu di benahi"
361 JPS 1:1(2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Apu yang dapat kita saksikan sekarang Orde
Baru relah memanfaatkan produk-produk hukum yang dihasilkan dari keadaan darurat.
Mereka telah menempuh jalur hukum berda-
sarkan prinsip-prinsip yang masih disesuaikan
dengan keadaan darurat atau zaman kolonial.
Dengan begitulah Orde Baru mempertahankan
delik-delik politik di Indonesia. Selama ini tak
tak ada upaya mereka untuk menyempurnakan
atau mengubahnya. KUHP sepenuhnya masih
sebagai warisan kolonial. Artikel ini membahas
dan menyoroti berbagai segi dari kejahatan po-
lilik di Indonesia, baik segi yuridis maupun se-
gi-segi non yuridis.
"
Hukum dan Pembangunan Vol. 27 No. 1 Februari 1997 : 15-23, 1997
HUPE-27-1-Feb1997-15
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin
"Puri merupakan sebuah identitas kelompok elite yang berasal dari keluarga kerajaan dalam masyarakat Bali. Puri terbentuk sejak masa penaklukan Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit pada abad ke-14. Peran sosial yang dilakukan oleh puri masih tetap bertahan hingga masa kini, meskipun puri tidak lagi memiliki kekuasaan formal dalam pemerintahan. Secara umum, puri memiliki tiga peran sosial yang menjadi bagian utama, yaitu (1) peran kultural dalam preservasi seni, khususnya di tengah derasnya perkembangan pariwisata di Pulau Bali, (2) peran ekonomi terkait kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah naungannya, dan (3) peran politik dalam mengarahkan figur tertentu dan/atau ikut serta dalam pemerintahan lokal melalui pemilihan umum. Meskipun demikian, perubahan pespektif dari masyarakat terhadap puri pada masa kini dan perbedaan kapabilitas puri yang besar menjadikan peran puri tidak lagi sama antara satu dengan lainnya.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai peran puri dalam masyarakat Bali pada masa pasca-Orde Baru, penelitian ini dititikberatkan pada dua studi kasus di dua wilayah berbeda, yaitu Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung merupakan lokasi Puri Agung Klungkung yang merupakan puri tertua di Pulau Bali. Kabupaten Gianyar merupakan lokasi tiga puri yang menjadi obyek penelitian, yaitu Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) di Kecamatan Gianyar, serta Puri Saren Ubud dan Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) di Kecamatan Ubud. Penelitian ini dirancang untuk menganalisis peran politik puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar serta faktor yang mempengaruhi peran politik tersebut. Teori oligarki, pseudohistori, dan penjelasan mengenai relasi antarkasta dalam masyarakat Bali menjadi penting dalam menganalisis temuan-temuan yang ada dalam penelitian ini. Melalui metode kualitatif, sumber primer penelitian yang didasarkan pada wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh puri dan nonpuri diletakkan sebagai kunci utama dalam penelitian ini, selain sumber-sumber sekunder yang juga menunjang kebutuhan informasi lanjutan dalam memahami peran puri secara lebih mendalam.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Puri Klungkung memiliki kapabilitas internal dan eksternal yang lebih lemah dalam memainkan tidak hanya peran politik, namun juga peran ekonomi dan kultural jika dibandingkan dengan peran sosial Puri Gianyar dan Puri Ubud. Kalangan elite Puri Gianyar dan Puri Ubud di Kabupaten Gianyar mampu menjalin relasi yang lebih intensif dengan masyarakat, sehingga partai politik tidak pernah merekomendasikan tokoh di luar puri untuk maju dalam pemilihan umum, setidaknya sampai tahun 2012. Penelitian ini juga tidak menemukan kepentingan bisnis yang bersifat oligarkis dalam jabatan politik tokoh puri di Kabupaten Gianyar, meskipun wilayah ini merupakan wilayah pariwisata terbesar ketiga di Bali, selain Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kecenderungan bias status dari kalangan puri dan nonpuri juga menjadi temuan penting dalam penelitian ini yang menunjukkan perbedaan perspektif terjadi secara nyata dalam memandang puri dari kalangan nonpuri dan sebaliknya. Kasus pseudohistori yang ditujukan untuk memperbaiki citra puri dalam kasus Puri Agung Klungkung juga menambahkan temuan penting dalam penelitian terkait peran politik puri dan strategi untuk mendapatkan jabatan politik praktis.
Skripsi ini diharapkan mampu mengisi celah penelitian terkait politik lokal di Bali, khususnya dalam memahami peran politik puri di masa pasca-Orde Baru secara lebih kontemporer hingga mencakup tahun 2012. Berdasarkan temuan penelitian yang ada, secara keseluruhan puri masih menjadi entitas sosial penting yang memiliki kapabilitas khusus dalam memperoleh dukungan dan legitimasi dari masyarakat di kedua wilayah tersebut, meskipun berbeda secara karakter.

Puri is an elite group identity which originated from Balinese royal family. Puri was formed since the Majapahit conquest of Bedahulu Kingdom in the 14th century. The Puri‟s social role still hitherto persists, albeit puri is no longer holds formal authority in local goverment. Generally, puri has three social roles which are substantial, there are (1) cultural role in arts preservation, mainly through vigorous development of tourism in Bali Island, (2) economic role which is related to community welfare under its influence, and (3) political role in directing certain figures and/or participating in local government through elections. Nevertheless, changing perspectives on puri in Balinese community in recent days and huge capability divergences among puri themselves render puri‟s roles being different from each other.
To deepen comprehension on puri‟s roles in Balinese society in post-New Order era, this research is scrutinized in two case studies in two different locations, namely Klungkung Regency and Gianyar Regency. Klungkung Regency is home to the Puri Agung Klungkung which is the oldest puri on the island of Bali. Gianyar Regency is home to three puris which are being research objects, namely Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) in Gianyar subdistrict, along with Puri Saren Ubud and Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) in Ubud subdistrict. This research is designed to analyze political role of puri in Klungkung Regency and Gianyar Regency along with some factors affecting the so-called political role. Oligarchic theory, pseudohistorical, and elucidation of caste social relations in Balinese society become necessary to analyze the findings on this research. Through qualitative method, primary sources of this research which are based on in-depth interview with several puri and nonpuri figures provide the setting on this research, aside from secondary sources which bolster additional informations to comprehensively deepen understanding of puri.
The results of this research show that Puri Klungkung has weaker internal and external capacities in playing not solely political role, but also economic and cultural roles if collated with social roles of Puri Gianyar and Puri Ubud. Elite cohort of Puri Gianyar and Puri Ubud in Gianyar Regency is still able to maintain intensive relations with its people, hence political parties never recommend figures outside puri to join local elections, leastwise up to 2012. This research also finds no business interests in Gianyar Regency through political offices held by puri elites which seems like oligarchic, whereas this regency is the third most favorite tourist destinantion in Bali, after Badung Regency dan Denpasar City. The propensity of status bias from both puri and nonpuri elites also becomes an important finding on this research which shows different perspectives that occur apparently regarding puri through nonpuri and vice versa. Pseudohistorical cases which addressed for beautification attempts of puri‟s image in case of Puri Agung Klungkung also add important findings on political role and strategies of puri to achieve political offices.
At last, this thesis is expected to fill the gap on study of local politics in Bali, particularly in comprehension of puri‟s political role in post-New Order era contemporarily up to 2012. Based on existing research findings, overally puri is still an important social entity which has special capabilities to obtain support and legimation from its people in both locations, despite different characteristically.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46919
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"International law in its basic concept is intended to serve as
legal framework jar society of States. International law
prescribe what is right and what if wrong; it also prescribes
how State behaves toward one another and it provide
sanctions. However, the above description is international is
as understood in class room. In reality, international law is
frequently used as a political instrument by States. It can be an
instrument to exert pressure, instrument for intervening on
other States domestic affairs without considered as violation
and it can also be used to justify States actions. The present
article will describe how States how used international imv on
indonesia as political instrument and how indonesia has used
international law to further its national policy
"
Jurnal Hukum Internasional: Indonesian Journal of International Law, Vol. 1 No. 1 Oktober 2003 : 78-100, 2003
JHII-1-1-Okt2003-78
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Harjudin
"Disertasi ini mengkaji perubahan desain institusional melalui amandemen konstitusi dengan fokus pada pertarungan kepentingan dan kekuasaan atas perubahan kekuasaan presiden dalam konteks demokrasi presidensial. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan berikut: 1) Bagaimana interaksi kepentingan dalam proses pembahasan dan perdebatan tentang perubahan kekuasaan Presiden dalam amandemen UUD 1945? 2) Bagaimana sistem presidensial Indonesia yang terbentuk berdasarkan hasil perubahan kekuasaan presiden dalam amandemen UUD 1945?, 3) Faktor-faktor apa saja yang membuat sistem presidensial Indonesia dapat berjalan dan berbeda dibandingkan dengan sistem presidensial di negara-negara lain?
Studi ini menguji tiga teori utama: 1) teori kepentingan dari John Elster, 2) teori konsensus demokrasi dari Arent Lijphart dan Maswadi Rauf, dan 3) teori Scott Mainwaring tentang problematik sistem presidensial digabungkan dengan sistem multipartai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara dan penelusuran dokumen atau kepustakaan (library research) untuk memperoleh data.
Hasil Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses pembahasan amandemen konstitusi terutama berkaitan dengan kekuasaan presiden diwarnai pertarungan kepentingan yang menghasilkan system presidensial yang tidak menegaskan fungsi masing-masing cabang pemerintahan. Temuan penelitian ini menunjukkan proses pembahasan amandemen konstitusi terkait kekuasaan presiden diwarnai oleh tarik-menarik dua kepentingan yaitu kepentingan kelompok (partai) dan kepentingan institusional (eksekutif dan legislatif). Pertarungan kepentingan tersebut mencapai konsensus dengan melahirkan sistem presidensial model Indonesia yang berbeda dengan negara-negara lain dengan ciri utama ketelibatan presiden dalam proses pembahsan rancangan undang-undang bersama DPR. Temuan penting penelitian adalah faktor konstruksi konstitusi yang dapat mengatasi deadlock antara eksekutif dan legislatif dengan mekanisme saling bypassing antara presiden dan DPR dalam proses pengambilan keputusan.
Implikasi teoritis penelitian ini, menunjukkan bahwa teori kepentingan dari John Eslter tentang tiga tipe kepentingan ( kepentingan personal, kepentingan kelompok /partai politik, dan kepentingan institusional) tidak sepenuhnya berlaku. Dalam proses pembahasaan amandemen konstitusi lebih banyak terjadi pertarungan kepentingan kelompok (partai politik) dan kepentingan institusional. Sementara kepentingan personal kurang memainkan perannya. Studi ini mengkofirmasi teori konsensus demokrasi yang dikemukakan oleh Arend Lijphart dan Maswadi Rauf dimana pertarungan kepentingan para aktor bermuara pada konsensus sebagai bagian kesepakatan untuk lebih mengedepankan musyawarah ketimbang voting dalam pengambilan keputusan dan kekuatan fraksi-fraksi di MPR dalam proses pembahasana mandemen konstitusi relatif setara. Studi ini menunjukkan bahwa asumsi yang dibangun oleh Scott Mainwaring bahwa kombinasi presidensialisme dan multipartai dapat memungkinkan terjadinya deadlock yang berpotensi mengakibatkan kelumpuhan yang mengganggu kestabilan demokrasi tidak terbukti. Studi ini membuktikan sistem presidensial multipartai dapat berjalan di Indonesia dengan mengatasi masalah dalam hubungan eksekutif dan legislatif dengan konstruksi konstitusi yang, terutama, menciptakan mekanisme saling bypassing antara presiden dan DPR dalam pembahasan dan persetujuan undang-undang.

This study discusses the shift in institutional design resulting from a constitutional amandment that is centered on a conflict of interest and power over the change in presidential power in a presidential democracy. It aims to elaborate these three questions: first, the interaction of interests during the discussion and debate process concerning the change in the presidential power in the 1945 constitutional amendment; second, the presidential system that formed through the change in presidential power in the 1945 constitutional amendment; and third, the factors that allows Indonesia's presidential system to run and what distinguishes it with presidential systems in other countries.
This study aims to corroborate three main theories: first, John Elster's theory of interest; second, Arent Lijphart's and Maswadi Rauf's theory of democratic consensus; and third, Scott Mainwaring's theory concerning problems that arise when a presidential system merges with a multiparty system. This research uses a qualitative approach, an in-depth interview with the elites of the House of Representatives regarding the issue, and library research to acquire data.
This research concludes that the process of amending the constitution, specifically with regards to the presidential power, is highlighted with a conflict of interest, resulting in a presidential system that does not accentuate each of the governmental branches' function. The principal finding of this research reveals that in the process of amending the constitution, specifically the presidential power, there is a conflict of interest between the parties' interest and the institutional (executive and legislative) interest. One paramount finding of this research is the factors of constitutional construction that can overcome a deadlock between the executive and legislative using a bypassing mechanism between the president and the House of Representatives when making decisions.
The theoretical implication of this research shows that John Elster's theory of interest on the three types of interest (personal, political party, and institutional) does not fully apply. The reason is that the conflict of interest between the political party and the institutional interest is dominant, while there is only a fraction of personal interest. This study confirms Arend Lijphart's and Maswadi Rauf's democratic consensus theory, where the conflict of interest of the actors amounts to the consensus of all the parties, instead of using a voting system when making decisions. This study reveals that Mainwaring's assumption that combining a presidential and multiparty system could result in a deadlock that may disrupt the democratic stability is not applicable. The reason is that Indonesia adopts such system, but has never faced a deadlock.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2687
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Studi kejahatan politik pada dasarnya merupakan bagian dari studi perubahan politik, khususnya yang melihat realitas perilaku di seputar upaya tarik menarik kekuasaan, dan yang berkaitan dengan penggunaan hukum pidana sebagai standar formal perilaku. Kejahatan politik sulit didefinisikan mengingat setiap upaya pendefinisiannya selalu menuntut keluasan sekaligus asumsi-asumsi teoritik tertentu. Keluasan dalam arti multi interpretatifnya kejahatan poltik menjadikannya lebih tepat disebut kajian daripada kecabangan ilmu, baik itu ilmu, baik itu ilmu kejahatan maupun ilmu politik."
Hukum dan Pembangunan Vol. 25 No. 6 Desember 1995 : 484-491, 1995
HUPE-25-6-Des1995-484
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deliar Noer
Bandung: Mizan, 1997
320.01 Noe p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>