Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58493 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Ada beberapa faktor yang menyebabkan asas-asas bebas dan rahasia dalam pelaksanaan pemilihan umu, belum terlaksana sebagaimana mestinya, khususnya di DKI Jakarta pada tahun 1987. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap penerapan asas bebas dan rahasia tersebut, yaitu pertama, adalah kedudukan pemerintahan sebagai penyelenggara pemilihan umum; kedua, kedudukan Partai Polotik dan Golongan Karya di dalam pelaksanaan pemilihan umum; ketiga, penempatan TPS (Tempat Pemungutan Suara) di dekat kantor pemerintah/perusahaan BUMN, di perumahan/komplek ABRI/instansi pemerintah dan TPS di sekolah-sekolah."
Hukum dan Pembangunan, Vol. 31 No. 2 April-Juni 2001 : 157-169, 2001
HUPE-31-2-(Apr-Jun)2001-157
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Have you been boring with pattern of rhetorics political communications presidents candidate and vice presidents candidate in this election campaign? It is true that political communications rhetorics presidents and vice presidents candidate only majoring element of argumentatif not narrative."
384 WACA 8:27 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
"Penelitian ini menganalisis situasi sosial masyarakat Sibolga sejak awal berdirinya Kota Sibolga sampai pada pemilihan Walikota Sibolga periode 2015-2020. Dengan judul penelitian “ORANG BATAK DAN URANG PASISI DI SIBOLGA;
Suatu Kajian Tentang Politik Identitas Pada Pemilihan Walikota Sibolga Periode 2015-2020.” Penelitian ini mendapat realita perubahan situasi sosial masyarakat Kota Sibolga terkini berdialektika dengan kondisi politik dan religi yang aktif, secara internal, masyarakat Kota Sibolga terbagi atas tiga kelompok etnik, yakni: etnis Batak Toba,
Urang Pasisi dan etnis migratif lainnya. Ketiga kelompok etnik ini turut membawa pengaruh religi pada praktik kehidupan yang berimbas pada perilaku politik masyarakat Kota Sibolga. Sibolga secara geografis merupakan kota administratif yang berada dibawah naungan Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini menggunakan sudut pandang sejarah untuk dapat mengungkapkan latar belakang terjadinya fragmentasi etnik Batak di daerah Pesisir Sibolgga dan mengkombinasikannya dengan realita kultural masa kini; sosial media untuk mendapatkan data penelitian yang bersifat sinkronik dan diakronik. Pengungkapan kontestasi politik yang terjadi dengan pertautan sejarah dengan realita sosial media berupaya memberikan gambaran etnografi yang bersifat holistik dan menjelaskan perjumpaan dimensi sejarah migratif, politik, kultural dan religi dalam fenomena
etnisitas.
Pada mulanya masuknya religi dari luar ke tanah Batak menyebabkan terjadinya fragmentasi kultural, religi dan politik; masuknya agama Islam ke tanah Batak dan meninggalkan nilai budaya Batak dengan alasan utama praktik keagamaan yang menolak bentuk praktik budaya leluhur Batak, begitupun dengan masuknya agama Kristen ke tanah Batak yang turut menanggalkan nilai budaya Batak karena alasanalasan keagamaan, terdapat bagian ketiga kelompok masyarakat yang tetap mempertahankan nilai budaya Batak hingga ruang dan waktu masa kini. Pada perkembangannya, etnik Batak bermigrasi ke wilayah pesisir Sibolga dengan turut membawa fragmentasi perspektif terhadap nilai-nilai religi yang kemudian turut menjadi dimensi kontestasi pada ranah politik pemilihan walikota Sibolga tahun 2015-
2020. Kontestasi politik yang terjadi adalah bias dari larutnya nilai religi dalam kehidupan masyarakat Sibolga dan turut meminggirkan nilai-nilai kultural sebagai nilai yang awalnya diadopsi pada praktik kehidupan sehingga memunculkan ruang rekonstruksi etnik pada kehidupan masyarakat pesisir Sibolga yang adaptif terhadap kehidupan keseharian masa kini.

This study analyzes the social situation of the Sibolga since the inception of the Sibolga until the election of the Mayor of Sibolga for the 2015-2020 period. With the title of research ORANG BATAK AND URANG PASISI; A Study of Identity Politics in the Election of the Mayor of Sibolga 2015-2020.
This study found the reality of changes in the social situation of the Sibolga in a current dialectic with political and religious conditions, internally, the Sibolga people was divided into three ethnic groups, namely: Toba Batak, Pesisir and other migrative ethnicities. These three ethnic groups also have a religious influence on the practices of life which have an impact on the political behavior of the people of Sibolga. Sibolga is
geographically an administrative city under the auspices of the Province of North Sumatra.
At first the entry of religions from outside into the Batak land caused cultural, religious and political fragmentation; the entry of Islam into the Batak land and leaving the cultural values of the Batak with the main reasons of religious practices that reject the forms of cultural practices of the Batak ancestors, as well as the entry of Christianity into the Batak land which helped strip the Batak cultural values for religious reasons,
there is a third part of the community while maintaining the value of the Batak culture up to the present time and space. In its development, the Batak ethnic group migrated to the Sibolga coast by contributing to the fragmentation of perspectives on religious values which later became a dimension of contestation in the political realm of the election of the mayor of Sibolga in 2015-2020. The political contestation that occurred was a bias from the dissolution of religious values in the lives of Sibolga people and helped marginalize cultural values as values originally adopted in life practices so as to bring up ethnic reconstruction space in the lives of Pesisir Sibolga peoples which are adaptive to today's daily life. This study uses a historical perspective to reveal the
background of ethnic fragmentation in the Sibolga coastal area and combine it with current cultural realities; social media to get research data that is synchronous and diachronic. Disclosure of political contestation that occurs with the linking of history with the reality of social media seeks to provide a holistic ethnographic picture and explains the encounter of migratory, political, cultural and religious historical dimensions in the phenomenon of ethnicity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozali Abdullah
"Juridical approach of new policy on system of elections for legislative body in Indonesia."
Jakarta: Rajawali, 2009
324.6 ROZ m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: KIPP Indonesia, 2000
324.7 Kek
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hamdan Basyar
"Kekerasan politik pada pemilu 1997 di Pekalongan disebabkan oleh adanya disempowerment dari penguasa kepada masyarakat yang berbeda aliran politik. Hal itu dilakukan baik di bidang sosial, ekonomi, dan maupun bidang politik. Sedangkan penyebab kekerasan politik tahun 1999 adalah adanya perbedaan penafsiran antara masyarakat NU terhadap khittah NU yang dimulai tahun 1984. Pada pemilu 1997, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung Golkar. Pada pemilu 1999, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung PKB.
Ulama sebagai tokoh penutan tidak cukup efektif dalam penyelesaian kekerasan politik tersebut. Dalam kajian dengan masalah politik tersebut, Ulama di Pekalongan, dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, menurut mereka keterlibatan ulama dalam masalah politik sehari-hari adalah suatu keharusan. Kelompok ulama inilah yang kemudian secara langsung ikut terlibat dalam partai politik. Kedua, mereka juga berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk politik, tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, mereka merasa tidak perlu melibatkan diri dalam politik praktis. Kelompok ulama ini, peduli pada masalah politik dan kenegaraan, tetapi tidak mau menjadi pendukung salah satu partai politik, secara terbuka. Ketiga, mereka yang tidak mau, dan tabu dengan urusan kehidupan politik. Mereka merasa kehidupan berpolitik bukan merupakan bidang urusan ulama. Kelompok ini membatasi kiprahnya hanya dalam masalah moral keagamaan. Mereka sengaja menghindari kehidupan politik, karena hal itu dianggap "terlalu dunia".
Dimana kelompok pertama tidak dapat berperan secara efektif, karena seringkali dicurigai oleh pihak lain yang berbeda aliran politiknya. Ulama kelompok kedua kurang efektif dan efisien dalam berperan menyelesaikan kekerasan politik, karena cara yang dilakukannya tidak secara langsung dan memakan waktu yang agak panjang. Sedangkan ulama kelompok ketiga tidak berperan, karena mereka dengan sengaja menghindari masalah politik dalam kehidupannya.
Dengan tidak berperannya ulama di Pekalongan dalam penyelesaian kekerasan politik, maka keadaan masyarakat menjadi mengambang. Mereka seakan kehilangan tokoh panutan yang mengarahkan kehidupan politiknya. Sebagian masyarakat menjadi apatis terhadap kehidupan politik. Sebagian yang lain terlalu bersemangat dalam kehidupan politik, tanpa memperhatikan hak politik warga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi rawan dan rentan terhadap adanya perbedaan aliran politik.
Kondisi itu tentunya bisa menggangu ketahanan wilayah Pekalongan yang pada gilirannya akan mengganggu pula ketahanan nasional. Hal itu dikarenakan berbagai pihak, baik tokoh formal maupun informal, tidak menggunakan pendekatan "ketahanan nasional" secara jelas.
Kalangan ulama, misalnya, tidak begitu memperhatikan asas tannas yang melihat sesuatu secara komprehensif integral atau menyeluruh terpadu. Padahal asas ini bisa disamakan dengan apa yang dalam Islam disebut sebagai "kaffah". Masyarakat Pekalongan yang "agamis" tidak menyeluruh dalam mengamalkan ajaran agama yang mereka anut. Yang mereka lakukan adalah sesuatu yang lebih menguntungkan diri atau kelompoknya, sehingga masalah kekerasan politik di sana tidak dapat diselesaikan dengan tuntas."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nieke Monika Kulsum
"Penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi kampanye politik PAN dalam Pemilu 1999 dan hal-hal yang menyebabkan ketidakberhasilannya dalam meraih suara yang signifikan. Pertimbangan memilih PAN karena terdapat fenomena yang menarik, dengan diawali pada masa kejatuhan Soeharto dimana pada tahun 1998, Soeharto yang telah berkuasa di Indonesia selama 32 tahun berhasil ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa yang dikenal dengan nama reformasi. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Amien Rais, dan dikenal dengan sebutan "lokomotif reformasi".
Pada tanggal 23 Agustus 1998, is mendirikan Partai Amanat Nasional, suatu partai yang banyak dianggap oleh para pengamat sebagai partai yang mempunyai prospek politik kedepan yang cukup menjanjikan. Alasannya antara lain karena PAN mempunyai hubungan historis dan emosional dengan salah satu ormas islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dengan pengikut sekitar 28 juta umat. Organisasi ini didirikan oleh Amien Rais, tokoh oposan papan atas dan tokoh reformasi yang paling terkenal. Tokoh-tokoh yang berada di jejeran pengurus PAN adalah para intelektual kampus, tokoh-tokoh LSM dan tokoh-tokoh agama yang dengan popularitas agama yang cukup baik. Basis utama konstituennya adalah kelas menengah perkotaan, sebuah kelas yang berpotensial dalam memicu dan memacu terjadinya perubahan sosial dalam sebuah negara.
Tetapi dari hasil akhir perolehan suara dalam Pemilu 1999, PAN memperoleh hasil yang tidak signifikan dengan perolehan suara sebanyak 7,2%. Tidak sesuai dengan prediksi para pengamat dan para pengurus sendiri yang memprediksikan PAN akan memperoleh suara sebanyak 20%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan ketidakberhasilan PAN dalam memperoleh suara yang signifikan.
Salah satu jalan untuk menguji komunikasi politik adalah dengan menganalisa fungsi komunikasi, yaitu dengan menyelidiki berbagai format variasi atau aksi komunikasi kampanye dalam pemilihan umum. Kampanye politik modern dilakukan dengan beberapa tahapan yang dapat dikategorikan sebagai pra primer, primer, konvensi dan pemilihan umum (Trent dan Friedenberg, 2000:19)
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pengambilan datanya melalui wawancara tidak berstruktur tetapi terfokus kepada permasalahan, serta studi kepustakaan yang dapat memberikan kelengkapan data penelitian.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan strategi kampanye politik PAN masih belum maksimal dan efektif. Hal ini disebabkan oleh, kurangnya pengalaman yang dimiliki para anggota pengurus PAN dalam membuat strategi kampanye. Ketidaksiapan ini juga didukung oleh waktu yang dimiliki oleh mereka sangat sempit, selain itu juga dana yang tidak mendukung. Para pengurus PAN juga terlalu percaya diri akan kelebihan yang mereka miliki, sehingga mereka tidak memperkirakan faktor-faktor penting dari manajemen komunikasi kampanye yang ada."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S5895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"Selama kampanye Pemilu 1999 umumnya media massa Indonesia mengkonstruksikan partai politik ibarat grup musik; dan menjadikan para tokohnya sebagai selebritis. Pada masa itu, koran-koran nasional menggambarkan partai politik sebagai alat pengumpul massa. Sementara fungsi parpol sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas) dalam kehidupan berdemokrasi tidak terlihat dalam pengkonstruksian tersebut. Menariknya, hal itu terjadi dalam kondisi dimana setiap media memiliki motivasi yang berbeda-beda, entah itu ideologis, idealis, politis, ataupun ekonomis, dalam membuat berita politik.

During the 1999-campaign period generally the mass media in Indonesia constructed political parties like a music group; and present the politicians acts as celebrities. At that time, national newspapers describe political parties as the instrument to harvested masses. Meanwhile the political party functions, as broker within the clearinghouse of ideas in the democratic lives didn?t appear within the political party?s discourse. In spite of the media have different interests one each other in news making the political parties, such as ideological, idealism, political, and economic or market factors."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kamarudin
"Liberalisasi politik yang melanda Indonesia di era reformasi ternyata berdampak pula terhadap eksistensi kekuatan politik Islam, yakni dengan hadirnya sejumlah besar partai politik Islam. Dari fenomena ini ada dua pertanyaan elementer yang mengemuka. Pertama, faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi kemunculan partai politik Islam di era reformasi ini? Kedua, bagaimana aksi partai politik Islam itu dalam menghadapi pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999?
Domestikasi Islam di dua rezim terdahulu melatarbelakangi lahirnya kehendak kolektif untuk memperkuat posisi politik Islam di era reformasi ini. Ketika kehidupan politik terbuka, kaum muslimin berkesempatan berpartisipasi di dalam sistem yang baru itu. Konteks semacam ini tidak bisa hadir jika eksistensi Soeharto sebagai lambang otoritarianisme Orde Baru masih bercokol. Di sisi lain, liberalisasi politik itu juga membuat kekuatan politik Islam melakukan perubahan strategi perjuangan, dari "Islam kultural" menjadi "Islam struktural."
Namun bukan berarti kehadiran partai politik Islam itu sepi polemik, terutama dilihat dari tiga hal berikut: kebangkitan kembali politik aliran, perlu tidaknya kehadiran partai politik Islam, serta jumlah partai politik Islam yang tepat bagi wadah aspirasi politik kalangan Islam. Di tengah-tengah polemik itulah, partai-partai politik Islam menghadapi pemilu 1999 yang secara kualitatif berbeda dengan pemilu-pemilu Orde Baru. Hasilnya, kekuatan politik non Islam berhasil memporakporandakan mitos mayoritas angka.
Kekalahan elektoral kekuatan politik Islam itu tentu menghentak kesadaran kolektif para aktivis partai politik Islam. Hanya saja mereka diuntungkan dengan sistem politik Indonesia yang tidak menempatkan pemilu sebagai penentu segala-galanya. Terlebih lagi jika perolehan suara PDI Perjuangan selaku pemenang pemilu 1999 tidak mencukupi untuk meraih posisi mayoritas mutlak di parlemen (single majority) atau sekalipun dengan simple majority. PDI Perjuangan yang memperoleh 153 kursi di DPR dan Partai Golkar 120 kursi, ternyata lebih kecil dari perolehan total kursi yang diraup partai-partai Islam, yakni 172 kursi.
Dalam menghadapi pertarungan politik di SU MPR, muncul inisiatif untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik Islam dalam sebuah barisan politik, yang dikenal dengan nama Poros Tengah. Sebelum ide di atas mengemuka, benih-benih penyatuan kekuatan politik Islam sebenarnya telah muncul. Pertama, pembentukan Forum Silaturahmi Partai-partai Politik Islam pada pra pemilu 1999. Kedua, Stembus Accord delapan partai politik Islam setelah pemilu 1999. Hasilnya, Poros Tengah yang bertumpu pada kekuatan lobi ternyata tampil mengesankan dengan merebut sejumlah posisi strategis. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>