Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119895 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panggabean, Tardip
"Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tidak diatur masa jabatan Jaksa Agung. Jikapun ada, maka yang diatur adalah batas pensiun jaksa, yakni 62 (enam puluh dua) tahun sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Tetapi karena Jaksa Agung adalah pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, maka ketentuan usia pensiun Jaksa tidaklah berlaku bagi Jaksa Agung. Dengan kenyataan seperti ini, maka Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengandung multitafsir pada akhirnya tidak menentukan secara tegas batas waktu masa jabatan Jaksa Agung mengakibatkan ketidakpastian hukum. Kedudukan Jaksa Agung pada periode Kabinet Indonesia Bersatu II menjadi polemik dikarenakan Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 yang membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II tidak menyebutkan adanya pengangkatan Jaksa Agung. Jaksa Agung pada periode Kabinet Indonesia Bersatu II diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 dengan kedudukan setingkat Menteri Negara pada masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu I. Kabinet Indonesia Bersatu I (periode 2004-2009) sendiri telah dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2009 ersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2009 dalam diktumnya menyatakan membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu I dan memberhentikan dengan hormat dari jabatan menteri Negara tetapi dalam diktum Keputusan Presiden tersebut tidak dicantumkan pemberhentian Jaksa Agung.

The provisions of Article 22 paragraph (1) letter d of Law Number 16 Year 2004 on the Prosecutor of the Republic of Indonesia led to confusion and legal uncertainty for in Act No. 16 of 2004 is not set term of office of the Attorney General. Even if no, then the set is a retired prosecutor limit, namely 62 (sixty two) years as specified in Article 12 letter c Act No. 16 of 2004. But because the Attorney General is the state officials as provided for in Article 19 paragraph (1) of Act No. 16 of 2004, the terms of the retirement age does not apply to the Attorney General Prosecutor. With this reality, then Article 22 paragraph (1) letter d of Law Number 16 Year 2004 contains multiple interpretations in the end does not explicitly specify a time limit tenure of Attorney General resulted in legal uncertainty. The position of Attorney General during the period of United Indonesia Cabinet II being debated because of Presidential Decree No. 84 / P of 2009 which established the United Indonesia Cabinet II does not mention the appointment of the Attorney General. Attorney General during the period of United Indonesia Cabinet II appointed pursuant to Presidential Decree No. 31 / P of 2007 to the position of Minister of State level in term of United Indonesia Cabinet, I. United Indonesia Cabinet I (2004-2009) itself has been disbanded by Presidential Decree No. 83 / P Year 2009 ersamaan with the end of the reign of President and Vice President. Presidential Decree Number 83 / P Year 2009 in diktumnya states disperse the United Indonesia Cabinet I and dismiss with respect of ministerial posts but in dictum the State Presidential Decree was not included dismissal of the Attorney General."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S272
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jumianto Sri Widodo
"Untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, perlu adanya kerja keras dari seluruh bangsa Indonesia pada umumnya dan pegawai negeri sipil selaku pengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan pada khususnya. Untuk itu perlu peningkatan mutu profesionalisme kerja di kalangan pegawai negeri sipil.
Di bulan April tahun 1994, tepatnya tanggal 18, Presiden Soeharto menetapkan Peraturan Pemerintah Nornor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, yang ditujukan untuk menetapkan jenjang jabatan baru di kalangan pegawai negeri sipil yaitu jabatan fungsional yang kriteria pengangkatan dan kenaikan pangkatnya didasarkan pada angka kredit. Dengan adanya jenjang jabatan baru di kalangan pegawai negeri sipil tersebut diharapkan bahwa mutu profesionalisme kerja pegawai negeri sipil akan meningkat, sehingga pegawai negeri sipil akan lebih dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan nasional.
Metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui observasi langsung ke Badan DIKLAT Departemen Dalam Negeri untuk mendapatkan dokumen-dokumen tertulis serta gambaran umum tentang Badan DIKLAT itu sendiri dan Widyaiswara, wawancara terhadap baik aparat pelaksana maupun Widyaiswara, dan pembuatan kuesioner untuk diisi oleh aparat pelaksana maupun Widyaiswara.
Selama penelitian, penulis mendapatkan bahwa dokumen-dokumen tertulis berupa peraturan-peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 ini sudah menunjukkan kelengkapannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya juga menunjukkan pengaruh yang cukup positif, yang berarti bahwa sikap aparat pelaksana maupun Widyaiswara sudah cukup mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini.
Walaupun demikian, pemerintah harus lebih banyak lagi mengeluarkan kebijaksanaannya yang berorientasi terhadap peningkatan mutu pegawai negeri sipil yang diikuti dengan pelaksanaan yang berkesinambungan dan serius."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliansyah Putra Zulkarnain
"Interaction between the local government and the council serves as one of significant factors that endorse the effectiveness of decentralization pursuant to Law No. 22 of 1999 on Local Government in Indonesia. One of the arenas in which such interaction between the two district organizations takes place is the formulation of policies on Local Budget, as part of their regulatory function.
Such formulation of policies on Local Budget is provided in the Government Regulation No. 105 of 2000 and Decree of Minister of Domestic Affairs No. 29 of 2002. These two legal bases reflect the interaction between local government and the council in the formulation of General Course and Policies, Local Budget Strategies-Policies and deliberation of Local Budget Proposal. However, in reality the process is smeared by conflict of interests among the incumbents that disregard local stakeholders' interests. As a consequence, the stipulated Local Budget is considered irrelevant to the needs of the local people and is likely to favor the interests of the incumbents both in the local government and in the council.
A case study approach was employed to examine the above mentioned issues of Depok City. There are a number of reasons to study these issues in Depok City, i.e. (1) it already ratified Local Regulation No. 1 of 2003 on Management and Accountability of Local Finance as a follow-up of the Decree of Minister of Domestic Affairs No. 29 of 2002, (2) it has employed Communication Forum for Participative Development Planning as a major element in the formulation of General Course and Policies and (3) it fits the technical aspects of this study. This study focuses on the power and resources dependency approach and the state-centered approach. Based on these two approaches, emphasis is put on the interaction process, types of interaction, and dynamic elements that constitute such interaction.
Based on the results of the study, it may be concluded that, (1) the interaction between the local government and the council is dominated by the local government due to its greater access to power and resources, (2) the imbalanced interaction is resulted from lack of access to resources by the Budget Committee of the council (3) imbalanced interaction in the formulation of the general course and policies and budget strategies-priorities has formed an anticipated reaction type of interaction due to weak position of the council on situational basis, (4) the interaction in the formulation of the general course and policies and budget strategies and priorities tend to be contravening, leading to disassociating process, (5) during the deliberation of Local Budget Proposal, the interaction inclined to a no decision making situation influenced by the interaction between offices/agencies/institutions and the faction-commission to urge the Budget Committee of the council that eliminates the contravening situation, leading to associative interaction and (6) the mayor direct election will strengthen the incumbent in the local government due to increasing political legitimacy of the local government, and on the contrary weakening the position of local legislators or the council in such interaction.
Based on the above conclusion, the following recommendations might be taken into consideration: (1) to build a balanced interaction by improving both individual and institutional capacity of the local legislators or the council, (2) each faction requires its member to understand both the process and material of local budgeting, (3) to build balanced formality and informality by putting forward transparency and improving interaction frequency between the local government and the local legislators or the council on institutional basis, (4) the effort to improve institutional capacity of the council may be achieved by institutionalizing inter-faction interaction and to dissolve internal grouping, (5) institutionalizing the cross-faction lobbying mechanism in the council, regular reporting and joint discussion to moderate sheer interest of political parties and (6) the mayor direct election must be balanced by improving institutional capacity, guidelines for the council for formulating and monitoring the Local Budget and maintaining good interaction with the local government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rona Versonita
"Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang pembebasan kawasan hutan untuk pengembangan panas bumi dan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah memberikan dampak terhadap usaha pengembangan panas bumi di Indonesia yang memunculkan persepsi dari para pemangku kebijakan Stakeholders. Fokus penelitian ini memaparkan bagaimana persepsi stakeholders terhadap kedua Undang - Undang tersebut. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah dengan wawancara dan studi literatur. Kemudian berdasarkan teori stakeholders dan konsep suistainable development, masalah pengalihan fungsi lahan dan pengalihan kewenangan pemerintah pusat - daerah yang diatur dalam Undang - Undang tersebut dapat mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia.Kata kunci : Panas bumi, Persepsi, Stakeholders, Suistainable Development, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah.

Geothermal Development Efforts and central and local government relations Study Stakeholders perception on Acts Number 21 year 2014 and Acts Number 23 year 2014 .Acts Number 21 year 2014 on the acquisition of forest areas for geothermal development and Acts Number 23 of 2014 on local government has an impact on the business development of geothermal energy in Indonesia gave rise to the perception of the stakeholders. The focus of this study describes how the perception of stakeholders about the Acts. Therefore, the research method is used by interview and literature study. Then, based on stakeholder theory and suistainable developmentconcepts, problems of land conversion and the transfer of power central ndash local government. Therefore, that Acts can accelerate the development of geothermal energy in Indonesia.Keyword Geothermal, Perception, Stakeholders,Suistainable Development Central Goverment, Local Government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S65761
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Priyowahono
"Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan daerah perlu direncanakan dan dikendalikan secara matang dan komprehensif sehingga dalam pengelolaannya tidak memberatkan keuangan daerah. Namun yang lebih penting dan mesti dijadikan pegangan adalah harus dihindari jumlah pinjaman di luar kemampuan kapasitas keuangan daerah. Oleh karenanya, Pemerintah perlu mengatur secara hati-hati kebijakan pinjaman daerah agar tidak terjadi distorsi dalam implementasinya serta tidak akan bertentangan dengan spirit otonomi daerah itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah evaluasi terhadap formulasi kebijakan pemerintah, khususnya formulasi DSCR pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, untuk dikaji apakah sebagai instrument kebijakan cukup efektif dalam pengukuran kapasitas fiskal daerah.
Desain penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan mengintegrasikan metode evaluasi, metode studi literatur, dan metode wawancara, dengan model penguraian dalam bentuk analisis deskriptif berdasarkan teori analisis kebijakan mempergunakan model retrospektif (model evaluatif). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi literatur (data skunder) sebagai sumber data utama dan teknik wawancara (data primer) sebagai data pelengkap. Sehubungan obyek penelitian adalah formulasi kebijakan pemerintah, maka locus penelitian diarahkan pada institusi tingkat penyusun kebijakan, yaitu Departemen Keuangan cq. Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Perimbangan Keuangan di Jakarta. Sedang teknik analisis data dilakukan melalui klasifikasi, kompilasi dan komparasi data APBD tahun 2005 dan 2006, kemudian dilakukan kajian berdasarkan analisis kebijakan retrospektif menyangkut : (a) analisa DSCR dengan komponen PAD, DAU, DBH, Belanja Wajib; dan (b) kapasitas fiskal daerah beserta faktor-faktor pendukungnya.
Temuan dalam penelitian ini adalah : (1) adanya ketidaksesuaian (mismacht) komponen pembagi dalam formulasi DSCR serta terlalu kecilnya angka rasio DSCR yang ditetapkan yaitu sebesar > 2,5 menyebabkan kurang efektifnya analisa DSCR dalam pengukuran kapasitas fiskal daerah; dan (2) dilematis permasalahan investasi daerah terkait dengan kebijakan Peningkatan Iklim Investasi dan kebijakan Percepatan Pembangunan Kawasan dan Daerah Tertinggal.
Sehubungan hal tersebut, peneliti menyarankan dalam penetapan pinjaman daerah, disamping menggunakan parameter analisa DSCR, perlu mempertimbangkan manfaat langsung proyek dan dampak sosial kepada masyarakat. Disamping itu, dalam upaya penyempurnaan formulasi DSCR, untuk memperoleh refleksi kapasitas daerah yang lebih realistis, khusus menyangkut komponen DAU selain dikurangi biaya wajib (belanja pegawai dan belanja legislatif) juga perlu diperhitungkan dengan belanja rutin (belanja barang, pemeliharaan serta belanja operasional pemerintahan umum lainnya) yang sifatnya termasuk dalam belanja mengikat (committed expenditure). Hal ini mempertimbangkan realita porsi terbesar dana DAU (hampir 70 persen) dialokasikan untuk belanja pegawai/rutin operasional, sehingga sisanya sebesar 30 persen merupakan dana bebas yang dapat dipergunakan untuk pembayaran pinjaman. Diharapkan dengan format baru tersebut hasil perhitungan DSCR akan menjadi lebih akurat dan obyektif. Sedangkan penetapan ambang minimum sebesar 2,5 dipandang cukup moderat sebagai batas ukuran untuk sekaligus mengakomodir dua kepentingan, yaitu : kesempatan yang adil bagi daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah, dan mengamankan prudent borrowing policy yang telah digariskan pemerintah.

Local borrowing as alternative for local financing must be planned and controlled thoughtfully and comprehensively in order for its management not putting any burden on local finance. Yet more importantly and the thing to be held on is the avoidance on the amount of borrowing beyond the ability of the local finance capacity. For that reason, the government must regulate carefully policies on local borrowing so there wouldn’t be any distortion in its implementations as well as not contrary to the spirit of the local autonomy itself. The aim of this research is evaluation on government policy formulation, especially DSCR formulation in Government Regulation Number 54 Year 2005 concerning Local Borrowing, in order to be analyzed whether as policy instrument it is effective enough in measuring local fiscal capacity.
The research design is qualitative kind which its integrated evaluation method, literature study method, and interview method, with explanation model using descriptive analysis based on policy analysis theory using retrospective model (evaluative model). Data collecting technique is performed by literature book study technique (secondary data) as the primary data source and interview technique (primary data) as supplementary data source. Since the research object is government policy formulation, therefore the research locus is directed toward policy making institution level that is Ministry of Finance in this case Directorate General of Trasury and Directorate General of Finance Balance in Jakarta. The data analysis technique is performed through classification, compilation, and comparison on local budget data in 2005 and 2006, afterward analysis is performed based on retrospective policy analysis related to : (a) DSCR analysis with the components of PAD, DAU, DBH, Obligatory Expenditures; and (b) local fiskal capacity along with its supplementary factors.
The findings of this research are : (1) the existence of mismatch on the dividing component in DSCR formulation as well as the too small figure of DSCR ratio determined that is > 2,5 resulting in lack of effectiveness on DSCR analysis in measuring local fiskal capacity; and (2) dilemmatic local investment problems related to the policy of Investment Climate Improvement and policy of Acceleration on Left Behind Region and Local Development.
Related to the above thing, the researcher suggest that in determining local borrowing, besides using DSCR analysis parameter, it is also necessary to consider the immediate benefits of the project and its social effects on community. Besides that, in the efforts to perfect DSCR formulation, to obtain more realistic local capacity reflection, especially related to DAU component other than reducing obligatory costs (employee expenditures and legislative expenditures), it is also necessary to calculate the routine expenditures (expenditures on goods, maintenance, and other general government operational expenditures) with its characteristic included in committed expenditures. These by considering the reality that the largest portion of DAU funds (almost 70 percent) is allocated for employee expenditure/operational routines, therefore the remaining of 30 percent is free funds that can be used for borrowing payment. It is expected that with that new format the calculation results of DSCR will be more accurate and objective. As for the determination of minimum threshold of 2,5 it is considered moderate enough as measuring limit in order simultaneously accommodate two interests those are : fair opportunities for local areas with low fiscal capacities, and securing prudent borrowing policy already determined by the government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Hariadi
"Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan suatu studi kelayakan dari aspek lingkungan, dalam prakteknya disusun setelah suatu kegiatan berjalan, sehingga tidak sesuai dengan maksud dari penetapan kebijakan tentang AMDAL tersebut. George C. Edward III mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan prosedur operasi standar.
Penelitian terhadap pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, yang memberikan gambaran pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL (PP No. 51 Tahun 1993) di Komisi AMDAL Daerah DKI Jakarta dan pembahasan atas pelaksanaan kebijakan tersebut secara kualitatif dengan mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan di atas.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi tentang isi kebijakan telah dilaksanakan dengan baik melalui kegiatan periodik berupa penyegaran kepada para instansi terkait dan konsultasi regional pelaksanaan AMDAL se-Jawa yang dikoorfinir oleh Pemerintah Pusat. Dari faktor sumber daya diperoleh bahwa sumber daya manusia pelaksana kebijakan ini tidak mencukupi baik dari mutu maupun jumlahnya. Sebagian besar anggota Komisi yang aktif secara formal belum memiliki dasar-dasar tentang AMDAL, dan minimnya jumlah tenaga pelaksana di lapangan dalam melakukan pengawasan. Sedangkan dari sumber daya kewenangan diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi maupun oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah tidak memadai untuk dapat melaksanakan kebijakan ini dengan baik. Kewenangan tersebut berada pada instansi pembina dan pemberi izin.
Dari faktor disposisi/sikap aparat diketahui bahwa sikap aparat yang bertugas pada instansi pembina dan pemberi izin kurang mendukung dengan tidak mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai salah satu syarat perizinan. Dari faktor prosedur operasi standar, telah dikeluarkan lnstruksi Gubernur Nomor 84 Tahun 1997 yang mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai persyaratan perizinan daerah. Instruksi ini juga kurang membantu pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL selain karena dikeluarkan setelah kebijakan tentang AMDAL berjalan selama empat tahun, juga karena sikap kurang mendukung dari aparat pelaksana pada mstansi-instansi terkait."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefri Bastanta
"Program Bantuan Tunai Bersyarat BTB merupakan salah satu kebijakan yang paling populer dalam mengurangi kemiskinan. Selain tujuan utamanya untuk mengurangi kemiskinan, program ini juga sering diklaim memiliki dampak pada fertilitas seperti jarak kelahiran. Pada satu sisi program ini dapat meningkatkan jarak kelahiran karena peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi ibu. Di sisi lain, program ini mungkin memberi insentif bagi rumah tangga yang menerima kurang dari jumlah maksimal untuk mengurangi jarak kelahiran karena jumlah bantuan tunai didasarkan pada prasyarat mencakup kehamilan dan jumlah anak balita.
Dengan menggunakan data dari program BTB Indonesia atau Program Keluarga Harapan PKH , kami ingin mengukur dampak program jangka pendek dan jangka panjang terhadap jarak kelahiran. Kami membangun sejarah kelahiran kepala keluarga perempuan dan pasangan dari informasi anggota keluarga kemudian mengelompokkannya menurut paritas jumlah kelahiran hidup untuk menangani autokorelasi.
Hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa dalam jangka pendek dan panjang program PKH menurunkan jarak kelahiran khususnya untuk keluarga yang belum menerima bantuan yang maksimum. Ini berarti ada dampak negatif yang tidak diinginkan dari program terhadap fertilitas.

Conditional Cash Transfer CCT program is one most popular policy approaches in the fight against poverty. In addition to its main goal of reducing poverty, this program is also often claimed to have impacts on fertility outcomes such as birth spacing. On one side, this program might increase the birth spacing due to improvement of mother rsquo s reproductive health knowledge. On the other side, this program might provide incentive for households who receive less than maximum amount of benefit to reduce birth spacing, since the amount of transfer is based on numbers of household preconditions that include pregnancy and number of small children.
Using the data from Indonesia CCT program or Program Keluarga Harapan PKH , we want to measure both short term and long term program impacts on the birth spacing. We constructed the birth histories of female household heads and spouses from households members information then stratified it by parity the number of live births to deal with autocorrelation.
Our results indicate that both in short term and long term the PKH program decreased the birth spacing especially for family who receive less than maximum benefit. This implies that there is a negative unintended impact of the program on fertility.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T48833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Purwitasari
"Tesis ini membahas Pluralisme Kebijakan Pemerintah Dalam Penetapan Hak Guna Usaha Perkebunan di Indonesia Studi Kasus Tumpang Tindih Dengan Pertambangan, Kehutanan dan Tanah Ulayat. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Kebijakan pengaturan sektor pertanahan khususnya dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha dalam implementasi banyak aturan yang mendasarinya.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha perkebunan di Indonesia dan permasalahan yang diakibatkan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha dan untuk mengetahui sejauh mana pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha di Indonesia mengakibatkan tumpang tindih Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lain khususnya perizinan pertambangan, perizinan kehutanan dan tanah ulayat beserta dampaknya.
Hasil dari penelitian ini adalah pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dalam sektor lainnya yaitu sektor pertambangan dan kehutanan, serta tanah ulayat dan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tersebut menyebabkan tumpang tindihnya Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lainnya terutama dengan sektor pertambangan dan kehutanan, serta tumpang tindih dengan tanah ulayat penyelesaiannya tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada Undang-Undang sektoralnya dan Undang-Undang sektoral itu sama derajatnya.

This thesis focuses on the Pluralism of Government Policy in the Stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) for Plantation in Indonesia (Study Case on Overlapping of Mining, Forestry and Communal Rights). The research is legal norm in nature and the data collection to be used shall be conducted through library research with a statue approach. Regulation policy in the land sector, in particular the stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) in practice is based on many regulations.
The objective of this research is to reveal the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation in Indonesia and the problems attributable to pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) and to reveal the extent of pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) in Indonesia causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation with other sectors, especially with the mining permit, forestry permit and communal rights along with its effects.
The result of this research reveals that the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) is closely related to the government’s policies in other sectors, namely the mining, forestry and communal rights sectors and therefore causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) with other sectors, mainly with mining, forestry and communal rights sectors in which the settlement is not easy as each of those sectors has their own law having equal legal force.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subur Wahono
"Penelitian ini berfokus pada kebijakan Pemerintah dalam rangka implementasi nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan disain deskriptif analitis. Metode deskriptif akan menjabarkan kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam melaksanakan nota kesepahaman Helsinki. Sedangkan metode analitik digunakan dalam membahas aktifitas peacebuilding dalam rangka menciptakan situasi aman serta pengaruhnya kepada ketahanan nasional Indonesia. Dari analisis terhadap data hasil penelitian, nota kesepahaman Helsinki secara literal telah mampu mengembalikan rasa ke-Indonesiaan (nasionalisme) rakyat Aceh kepada Republik dan menanggalkan keinginan merdeka. Post-conflict peacebuilding selama hampir 3 tahun mampu mendamaikan kedua belah pihak pelaku konflik dan mereduksi potensi konflik serta menghasilkan pemerintahan yang dilegitimasi rakyat melalui proses demokrasi (Pilkada Aceh) damai dengan terpilihnya drh. Irwandi Yusuf, M.Sc., sebagai Gubernur baru provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan 20 Bupati/Walikota untuk periode tahun 2007 sampai 2012. Penyelesaian konflik mampu menyentuh akar masalah identitas Aceh dan ketidakadilan dibidang sosial dan ekonomi. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dinilai mampu mewujudkan otonomi daerah dengan sharing of power di bidang pemerintahan, perimbangan keuangan dan penegakan hak asasi manusia dengan baik. Kedepan implementasi nota kesepahaman Helsinki harus mampu menegosiasikan kepentingan elite politik dengan rakyat Aceh dengan agenda utama pembangunan dalam mencapai kesejahteraan. Harapan untuk mewujudkan Aceh baru, adalah harapan untuk mewujudkan Indonesia baru.

This research focus at policy of Government in order to implementation of Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki betwen Republic Government of Indonesia with Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka/GAM) in Nangroe Aceh Darussalam Provense. This is qualitatif research with deskriptif analitic desain. Descriptive method will formulate policy run by Republic Government of Indonesia in executing MoU Helsinki. While analytic method used in studying peacebuilding actifity in order to creating peaceful situation and its influence to Indonesian national resilience. From analysis to data result of research, MoU Helsinki by literal have been able to return to feel Indonesiaan (Acheh people nasionalisme) to Republic and take off desire independence. Peacebuilding post-conflict during almost 3 year can pacify both parties perpetrator of conflict and reduce conflict potency and also yield governance which is people legitimate through peaceful democracy process (Pilkada Acheh), chosenly drh. Irwandi Yusuf, M.Sc., as new Governor of Nangroe Acheh Darussalam province and 20 Regent/Mayor for the period of year 2007 until 2012. Solving of conflict can touch root of problem of Acheh identity and justice in economic and social area. Government of Susilo Bambang Yudhoyono assessed can realize autonomy with sharing of power in governance, monetary counter balance and straightening of human right. In the future implementation of MoU Helsinki have to negotiation between political elite and Acheh people with especial agenda of development in reaching prosperity. Expectation to realize new Acheh, is expectation to realize new Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24968
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Sonti
"Pemerintah senantiasa berupaya mengentaskan kemiskinan masyarakat melalui berbagai program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan menggulirkan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Sebagai sebuah program pemberdayaan masyarakat P2KP berangkat dari pegangan mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam seluruh rangkaian pembangunan. Masayarakat harus menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Dengan partisipasi yang luas dari masyarakat, diharapkan program ini dapat berhasil. Keberhasilan program kegiatan pengembangan masyarakan dapat diukur dengan adanya konsistensi antara kebijakan dan perencanaan dengan pelaksanaan, adanya proses penyebarluasan informasi, peranan tenaga pendamping dan keberlanjutan program itu sendiri.
Dalam pelaksanannya P2KP dinilai sering tidak konsisten sebagai sebuah program pemberdayaan masyarakat, sehingga hasil yang diharapkan tidak tercapai. Karena itu, evaluasi terhadap program ini dirasakan perlu untuk dilaksanakan. Evaluasi yang dilakukan dalam studi ini adalah analisis terhadap dokumen P2KP dan analisis terhadap implementasi program di lapangan, yaitu di Badan Keswadayaan Masyarakat BKM Bina Budi Mulia di Kelurahan Pancoran Mas.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Perlu dirumuskan dengan tegas, bentuk wadah lembaga pemberdayaan dan pengelola keuangan P2KP, Berta lembaga pengelola keuangan lain di tingkat kelurahan dalam rangka masih pada koridor pemberdayaan warga melalui kepemilikan dan swakelola wadah kelembagaan yang tepat secara aspek legalitas hukum pada skala kelurahan yang selaras dengan Undang-undang / Peraturan pemerintah berkaitan dalam mengelola Dana Masyarakat.
Demikian halnya dengan ditetapkannya dalam manual P2KP bahwa warga yang memanfaatkan Dana P2KP dalam bentuk pinjaman (bergulir) dikenai persyaratan menyerahkan Jaminan senilai dengan Dana P2KP yang dipinjamnya. Permasalahannya adalah BKM (dengan perangkat UPK-nya) bukanlah lembaga keuangan seperti halnya Lembaga Perbankan, Koperasi Simpan Pinjam, atau Pegadaian yang memiliki hak sita jaminan apabila pihak yang meminjam bermasalah dikemudian hari dengan angsuran pinjamannya.
Disain proyek P2KP belum mencerminkan aspek-aspek community based development. Strategi yang dikembangkan juga belum sepenuhnya berorientasi pada pemberdayaan institusi lokal. Bahkan ditilik dari indikator-indikator yang digunakan dalam perangkat evaluasi kinerja program semakin menegaskan kesimpulan tersebut.
Dari beberapa aspek perencanaan program P2KP tidak mencerminkan aspekaspek CD. Hal ini dapat dilihat dari segi: pertama, Penentuan kelurahan yang menjadi sasaran program ini menjadi bersifat top-down (perbandingan data BPS dengan data anggota KSM). Kedua, Terkait dengan segi pertama, definisi tentang kemiskinan masih dimonopoli oleh pemerintah pusat untuk kepentingan proyek, tanpa mempertimbangkan perspektif masyarakat. Akibatnya, program ini tidak mencapai kelompok sasaran yang dituju. Ketiga, Manual project secara operasional kurang menyentuh (detail) aspek CD di tingkat mikro (terutama BKM dan KSM), akibatnya baik BKM maupun KSM menterjemahkannya dengan konsepnya sendiri-sendiri sehingga hasil studi lapangan menunjukkan variasi tingkat keberhasilan dan kegagalan BKM/KSM. Keempat, BKM sebagai institusi lokal ditingkat komunitas tidak didisain sebagai kelembagaan masyarakat yang betul-betul independen dari birokrasi pemerintahan (terutama kelurahan). Kelima, indikator-indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja program cenderung bias proyek. Indikator yang ada banyak mengukur aspek-aspek kuantitatif dari proyek, misalnya jumlah kelurahan, jumlah fasilitator, jumlah dana yang diserap dan sebagainya, namun belum mengukur aspek-aspek kualitatif, misalnya, seberapa besar tingkat patisipasi masyarakat terhadap keberadaan BKM, seberapa besar legitimasi BKM yang ada dimata masyarakat, persentase orang miskin yang berbasil dijangkau oleh program, bagaimana kualifikasi fasilitator yang dilibatkan dan sebagainya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>