Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73908 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Savira Rahmayani Faturahman
"Penelitian ini berjudul Fethullah Gülen sebagai tokoh sentral dalam Gerakan Hizmet. Metode yang digunakan penulisan skripsi ini adalah metode sejarah untuk meruntutkan kronologis kehidupan Fethullah Gülen dan pembentuk Gerakan Hizmet. Fethullah Gülen sebagai seorang ulama menyebarkan pemikiran- pemikirannya kepada orang banyak melalui ceramah yang ia berikan di masjid- masjid dan tempat-tempat umum di seluruh Turki. Secara bertahap, masyarakat Turki dari semua lapisan masyarakat menanggapi ide-ide pendidikan, modernisasi, nilai universal dengan mendirikan asrama, kursus persiapan universitas dan sekolah dengan menekankan pada kualitas pendidikan, khususnya dalam ilmu dan teknologi, yang didasari dengan komitmen demi terwujudnya cita-cita Islam. Nilai utama dalam Gerakan Fethullah Gülen adalah nilai hizmet. Melalui hizmet mereka mengorganisir dan memobilisasi dirinya hingga membentuk "jaringan pelayanan". Jaringan pelayanan ini saling berhubungan, terasosiasi, dan menjadi sebuah asosiasi yang professional. Melalui hal ini, sebagai individu dan kelompok bersama-sama membangun sebuah makna dalam kebersamaan dan gerakan.

This research titled as Fethullah Gülen as central figure on the Gülen Movement. The method used on writing of this thesis is a historical method to construct a chronological history of the life of Fethullah Gülen and formed of Hizmet Movement. Fethullah Gülen as a preacher espousing his ideas by preached tolarge crowds in mosques and public places throughout Turkey. Gradually, many Turks from all walks of life responded to his ideas of education, modernization, universality by establishing dormitories, university preparatory courses and schools in which quality education, especially in the sciences and technology, were buttressed with commitment to Islamic ideals. The main value by the followers of Fethullah Gülen Movement is hizmet. With hizmet their organize and mobilize theirself through what is called ?service-networks?. The service networks are relational, associational and professionalized associations, through which individuals and groups come together to construct meaning, to make sense of their being in togetherness and in action."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S504
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cetin, Muhammed
Jakarta: UI-Press, 2013
303.484 561 MUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
Jakarta: UI-Press, 2014
297.96 ZUL f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Santika
"ABSTRAK
Fokus dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mendeskripsikan mobilisasi sumber daya manusia Gerakan Fethullah Gülen pada periode 1990-2000. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menemukan bahwa local circles memiliki peran dalam memobilisasi sumber daya manusia melalui edukasi publik dan pelayanan langsung. Local circles adalah kelompok mentoring yang sebagian besar terdiri dari pengusaha, profesional, dan pekerja di Turki Kegiatan tersebut memberikan pemahaman akan pentingnya pelayanan (hizmet) kepada masyarakat dan mendorong adanya aksi kolektif. Pelayanan mereka terfokus dalam bidang pendidikan, media massa, dan dialog antarumat beragama.

ABSTRACT
This paper examines the mobilization of human resources within Fethullah Gülen Movement especially in the period of 1990-2000. This study uses qualitative method and finds that local circles have roles in mobilizing human resources by giving public education and direct service. Local circles are mentoring groups in which the participants are businessmen, professionals, and workers in Turkey. Local circles enable them to understand the importance of service (hizmet) to society that also pushed them to make collective action exists. Their services mainly focus on education, mass media, and interfaith dialogue."
2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suradi
"Studi ini merupakan kajian sejarah pergerakan nasional dengan mengambil kasus H. Agus Salim dan sikapnya terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dalam kaitan perkembangan Sarekat Islam antara 1915 - 1940. Jadi dalam pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada tokoh H. Agus Salim. Pengumpulan data atau sumber primer dilakukan melalui penelitian surat kabar semasa, terutama surat kabar yang diterbitkan oleh Sarekat Islam, mengumpulkan kembali tulisan-tulisan H. Agus Salim yang tersebar dalam pelbagai penerbitan seperti surat kabar, majalah dan buku-buku.
Penelitian sekunder penulis lakukan pula atas sebagian besar buku-buku yang membahas periode pergerakan nasional, yang termasuk di dalamnya pergerakan Islam (1908-1942). Untuk melengkapi data-data ini dilakukan pula wawancara kepada dua orang murid H. Agus Salim, bekas pengurus Pergerakan Penyadar. Persoalan Kooperasi dan Non-Kooperasi muncul dalam masa pergerakan, karena dibentuknya Dewan Rakyat atau Volksraad pada tahun 1918. Pada mulanya Sarekat Islam menganut politik Kooperasi dengan mendukung dan ikut berpartisipasi dalam Volksraad (1918 - 1923). Dukungan dan kemungkinan-kemungkinan manfaat dari Volksraad dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin SI, terutama H. Agus Salim dan Abdoel Moeis.
Sejak tahun 1924 mengubah politik Kooperasinya dengan Non-Kooperasi (Hijrah). Alasan utamanya bukan pada masalah prinsipiel, tetapi karena SI kecewa atas sikap Pemerintah yang tidak dengan segera mengembalikan nama baik Tjokroaminoto dan tidak pula mengangkatnya kembali sebagai anggota Volksraad untuk periode 1923 -1926. Seandainya Pemerintah mengangkat Tjokroaminoto sebagi anggota Volksraad tahun 1923, mungkin sejarah Sarekat Islam akan berjalan lain.
Ketika SI mulai menganut politik Non-Kooperasi, H. Agus Salim pula yang sangat vokal menyuarakan gagasan dan prinsip-prinsip Non-Kooperasi. Namun setelah Pemerintah menentukan garis keras terhadap partai-partai Non-Kooperasi, Salim kembali yang tampil ke muka menyarankan agar Sarekat Islam segera meninggalkan politik Non-Kooperasi, karena tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman. Saran ini ditolak, dan Salim kemudian membentuk Penyadar."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S12547
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Joni Putra
"Penelitian ini membahas mengenai produksi narasi Tan Malaka sebagai Datuk dan Raja Adat ketika pemindahan makam Tan Malaka dari Selopanggung (Jawa Timur) ke Pandan Gadang (Sumatra Barat) tahun 2017. Narasi tersebut diproduksi keluarga Tan Malaka untuk menandingi narasi Tan Malaka sebagai pengkhianat. Penelitian ini menjabarkan bagaimana narasi itu berasal dari praktik penulisan sejarah resmi di era Orde Baru. Rezim anti-komunis Orde Baru menghapus peran penting Tan Malaka di dalam sejarah resmi Indonesia dan menempatkan nama Tan Malaka dalam asosiasi sebagai pengkhianat negara. Dengan demikian, produksi narasi yang dilakukan keluarga Tan Malaka merupakan kontestasi terhadap narasi resmi negara.
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode riset pustaka dan etnografis. Studi pustaka berfokus pada mengumpulkan data tentang sejarah resmi terkait Tan Malaka yang dipublikasikan oleh pemerintah Orde Baru. Hasilnya, penelitian ini menggunakan empat referensi utama untuk melihat narasi Orde baru terhadap Tan Malaka, yaitu Sejarah Nasional (1975),30 Tahun Indonesia Merdeka (1975), Lima Tahun Perang Kemerdekaan(1975), dan 50 Tahun Indonesia Merdeka (1995), dan Album Pahlawan Bangsa (1984). Sedangkan dengan menggunakan etnografis, penulis melakukan wawancara mendalam dengan juru bicara keluarga Tan Malaka terkait pemindahan makam tersebut. Selain itu, penulis melakukan pengamatan dan pendokumentasian selama pemindahan makam Tan Malaka dilakukan dan selama peringatan satu tahun pemindahan makam itu. Berdasarkan data etnografis tersebut, penelitian ini menemukan bahwa produksi narasi Tan Malaka sebagai Datuk dan Raja Adat dilakukan dengan penekanan status Datuk melalui tulisan di makam Tan Malaka, Ritual Basalin Baju yang dilakukan ketika pemindahan makam, peringatan satu tahun pemindahan makam tersebut, serta berbagai ritual adat Minangkabau lainnya.
Menggunakan konsep Memori Nasional dan Memori Kultural yang dikembangkan oleh Aleida Asmann, penelitian ini mengonseptualisasi bahwa produksi berbagai narasi identitas Minangkabau dalam pemindahan makam Tan Malaka tersebut sebagai kontestasi antara memori kultural dan memori nasional. Memori nasional diproduksi dari atas oleh negara sedangkan memori kultural diproduksi dari bawah oleh masyarakat. Negara melanggengkan memori nasional lewat berbagai instrumen negara sedangkan keluarga Tan Malaka membangun memori kultural lewat berbagai objek material dan praktik kultural.
Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Tan Malaka dalam menggunakan makna yang ambigu dalam melakukan ritual dan menggunakan objek material tersebut, yang kemudian berdampak pada ambiguitas posisi Tan Malaka antara pahlawan nasional dan pahlawan lokal. Namun, pemaknaan yang ambigu tersebut merupakan strategi yang digunakan oleh pihak keluarga untuk tetap bisa merehabilitasi nama Tan Malaka sekaligus mengontestasi memori nasional Orde Baru.

This study discusses the production of Tan Malaka's narrative as Datuk and Raja Adat when the relocation of Tan Malaka's tomb from Selopanggung (East Java) to Pandan Gadang (West Sumatra) in 2017. The narrative was produced by Tan Malaka's family to match the narrative of Tan Malaka as a traitor. This study describes how the narrative originated from the practice of writing official history in the New Order era. The anti-communist New Order regime erased Tan Malaka's important role in Indonesia's official history and placed Tan Malaka's name in the association as a traitor to the state. Thus, the narrative production by Tan Malaka's family is a contestation against the official state narrative.
The data collection of this research was carried out using library research and ethnographic methods. The literature study focused on collecting data on the official history of Tan Malaka published by the New Order government. As a result, this study uses four main references to see the narrative of the New Order against Tan Malaka, namely the National History (1975), 30 Years of Independent Indonesia (1975), Five Years of the Independence War (1975), and 50 Years of Independent Indonesia (1995), and Hero of the Nation Album (1984). Meanwhile, using ethnography, the author conducted in-depth interviews with the spokesman for the Tan Malaka family regarding the relocation of the tomb. In addition, the authors conducted observations and documentation during the transfer of Tan Malaka's tomb and during the one-year anniversary of the transfer of the tomb. Based on the ethnographic data, this study found that the production of Tan Malaka's narrative as Datuk and Raja Adat was carried out by emphasizing the status of Datuk through writings on Tan Malaka's tomb, the Basalin Baju Ritual which was carried out when moving the tomb, the one-year anniversary of the transfer of the tomb, and various traditional rituals other Minangkabau.
Using the concepts of National Memory and Cultural Memory developed by Aleida Asmann, this study conceptualizes that the production of various Minangkabau identity narratives in the transfer of the Tan Malaka tomb is a contestation between cultural memory and national memory. National memory is produced from above by the state while cultural memory is produced from below by society. The state perpetuates national memory through various state instruments, while the Tan Malaka family builds cultural memory through various material objects and cultural practices.
This study shows that Tan Malaka's family uses ambiguous meanings in performing rituals and using these material objects, which then has an impact on the ambiguity of Tan Malaka's position between national heroes and local heroes. However, this ambiguous meaning is a strategy used by the family to continue to rehabilitate Tan Malaka's name as well as to contest the New Order's national memory
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Bob Lestari
"Fokus penelitian ini adalah pemikiran Partai Kristen Indonesia dalam Dewan Konstituante khususnya tentang Dasar Negara dan Hak Asasi Manusia. Dimulai dari kelahirannya serta keikutsertaannya dalam Pemilu 1955, menjadi fraksi dalam Dewan Konstituante serta sikapnya dalam menanggapi anjuran pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah. Periode penelitian dimulai dari tahun 1955 hingga 1959.

The focus of this study is to know how Partai Kristen Indonesia think about ideology and human right in constituante council of Indonesia. The purpose of this study is to understand about which ideology and human right that the party wanted. But it will begin with dynamic process of the party and ended by the stand of the party to face “kembali kepada UUD 1945”. This research is based on history metod. The periode of this research will begin from year 955 to 1959."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46927
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Aulia Ikhsani
"ABSTRAK
Pada tahun 1978 Cina memasuki era baru dengan melakukan reformasi dan keterbukaan di bawah komando Deng Xiaoping. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan dukungan dari semua pihak. Berbagai kebijakan dijalankan demi terwujudnya hal tersebut, salah satunya kebebasan untuk memberikan kritik terhadap pemerintahan. Masyarakat menggunakan kesempatan tersebut untuk menyuarakan tuntutannya mengenai kondisi yang mereka alami melalui dazibao dan petisi. Situasi yang cair tersebut juga digunakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Melalui dazibao dan kegiatan diskusi serta publikasi organisasi jurnal bawah tanah dixiakanwu, mereka mendiskusikan permasalahan politik di Cina yang menandakan lahirnya gerakan dinding demokrasi minzhu qiang yundong pada tahun 1978. Mereka menuntut reformasi politik melalui pelaksanaan minzhu atau yang sering kali diartikan sebagai demokrasi. Namun bagi masyarakat Cina dan aktifis yang terlibat dalam Gerakan Dinding Demokrasi minzhu merupakan suatu konsep yang mempunyai arti lebih dari sekedar demokrasi. Hal ini jugalah yang membuat slogan minzhu menjadi slogan utama dalam gerakan sosial lainnya dalam tuntutan pelaksanaan reformasi politik Cina yang terjadi pada tahun 1978 hingga 1989

ABSTRACT
In 1978 China entered a new era of reform and modernization under Deng Xiaopings command. In order to achieve it, support from all parties is unevitably necessary. Various policies are implemented to achieve such condition, one of which is the freedom for critism to the government. The society used the opportunity to voice out their demands regarding the conditions they faced through dazibao and petitions. Relax political atmosphere was also used by the society to convey their political aspiration. Through publication such as dazibao dan underground journals and public discussions and debates, they discuss political issues in China which marked the birth of Democratic Wall Movement in 1978. They demanded political reform through the implementation of minzhu) which often interpreted as democracy. However, for Chinese people and activists involved in Democratic Wall Movement, minzhu is a concept of democracy which has more meaning than democracy itself. This is also the reason minzhu became themain slogan during democratic wall movement in 1978-1979 and even other social movements in the demand of the implementation of Chinese political reform that took place in 1978-1989."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carmelia Sukmawati
"ABSTRAK
Pada tanggal 2 September 1945, dilaksanakan upacara penyerahan Jepang kepada Sekutu. Penyerahan itu sendiri dilakukan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945. Pada waktu itu Kaisar Hirohito sendiri yang mengumumkan pernyataan menyerah kepada Sekutu, yakni dengan menerima deklarasi bersama negara-negara Sekutu yang termuat dalam Deklarasi Potsdam.
Peperangan Jepang-Sekutu ditandai dengan penyerangan Pangkalan Militer Amerika: di Pearl Harbor 1941. Karena berlangsung di Pasifik, maka disebut Perang Pasifik. Pada mulanya memang Jepang banyak mendapat kemenangan; tetapi kemudian keadaannya berbalik. Amerika yang tidak senang dengan aksi Jepang di Pasifik akhirnya bersama dengan sekutu-sekutunya menggempur Jepang dan Jepang menderita kekalahan.
Pada tahun 1943 Sekutu menuntut Jepang untuk menyerah, tetapi tidak diabaikan. Pada tahun 1945, melalui Deklarasi Potsdam, kembali Sekutu menuntut Jepang menyerah, dan Jepang tetap mengabaikan tuntutan tersebut. Karena itu Amerika atas nama Sekutu memberi peringatan dengan menjatuhkan bom atom atas kota Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus,
Kaisar Hirohito yang telah menyaksikan banyak kehancuran dalam negerinya akibat peperangan, akhirnya menyatakan agar peperangan dihentikan. Padahal pada tahun 1941, Kaisar Hirohitolah yang memberi pernyataan perang kepada Arnerika.
Skripsi ini memperlihatkan bagaimana sebenarnya peranan Kaisar Hirohito dalam penyerahan Jepang kepada Sekutu dan sejauh mana tindakan yang diambil oleh kaisar Jepang saat itu, setelah negara Jepang menyerah kepada Sekutu.

"
1989
S13522
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira
"Konsepsi identitas di zaman kontemporer tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada diri individu dan bersifat natural, tetapi menjadi suatu konstruksi. Michel Foucault mencoba mengaitkan identitas dengan relasi kekuasaan, pengetahuan dan etika. Metode Genealogi menurutnya berusaha menelusuri perkernbangan historis masa kini yang berkonsentrasi pada teknologi kekuasaan dan relasinya dengan pengetahuan, termasuk di dalamnya konstruksi identitas. Teknologi kekuasaan (dominasi) menurut Foucault terfokus pada objektisasi individu ke dalam tubuh yang patuh (docile bodies). Kekuasaan bekerja terhadap tubuh subjek dengan sifatnya yang melatih, memaksa untuk melakukan disiplin, upacara-_upacara dan produksi tanda. Sedangkan teknologi diri merupakan kekuatan yang berasal dari individu berupa kehendak (will) dan hasrat (desire) dan berupa realisasi bagi terbentuknya identitas diri. Di sini subjek memiliki berbagai pilihan untuk bertindak dan bertahan. Identitas diri diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh diri sendiri maupun yang lain (the other). Di sini identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain. Identitas dibentuk secara dialogis (dialogically) atau berada dalam wacana (discourse) yang selalu berada dalam jalinan relasi dengan yang lain (the other). Diskursus multikulturalisme tidak hanya membicarakan realitas masyarakat dengan lebih dari satu kultur (terdapat pluralitas kultur), tetapi terdapat fakta bahwa ada kelompok yang termarginalkan oleh kelompok lainnya. Penekanannya pada politik perbedaan, yakni pengakuan serta tanggapan terhadap hak fundamental individu yang dilindungi oleh institusi publik serta adanya sarana untuk bertahan dan berkembang. Jika identitas terbentuk secara dialogis, maka pengakuan secara publik terhadap identitas meminta politik yang meninggalkan ruang agar aspek identitas tersebut dibagi dengan orang lain. Pelbagai identitas kolektif digambarkan dalam suatu politik identitas (politics of recognitions) yang dilihat sebagai suatu cara mengkonstruksi makna-makna sosial dan identitas, suatu pencitraan yang positif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai negatif. Ferninisme misalnya, merupakan salah satu bentuk perjuangan identitas perempuan dalam merekonseptualisasi peran sosialnya. Asumsi_-asumsi Foucauldian tentang teknologi kekuasaan diri mengimplikasikan tuntutan terhadap otonomi dan kesetaraan melalui strategi resistensi. Inilah kemudian yang menjadi dasar dari pergerakan identitas dalam menuntut pengakuan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16084
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>