Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94896 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1991
S35375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luigy Aditya Putra Permana
"Telah lama daur ulang digembar gemborkan sebagai cara efektif untuk melestarikan lingkungan, yaitu dengan mereproduksi material-material yang tidak bias diurai oleh alam dan mempergunakannya kembali. Dalam dunia arsitektur, penggunaan material daur ulang juga semakin diperkenalkan. Akan tetapi, banyak yang beranggapan kualitas material daur ulang kalah dengan material konvensional, selain itu daya tahannyapun jauh berkurang. Ada pula pendapat mengenai penampilan yang kurang indah.
Saya melihat sebuah kecenderungan yang ingin saya gali lebih dalam, yaitu mengenai eksplorasi material bekas untuk arsitektur. Cara ini menurut saya lebih realistis dari sudut pelestarian lingkungan, karena menggunakan barang bekas tidak memerlukan energi untuk mendaur ulangnya. Saya ingin mengeksplorasi penggunaan material bekas untuk arsitektur yang baik dalam arti bisa menghasilkan penampilan yang diinginkan dan sanggup berdiri. Saya berharap bisa mengurangi keengganan masyarakat untuk mengeksplorasi potensi material bekas dalam arsitektur. Efek jangka pendek dari penggunaan material bekas mungkin bisa menghemat biaya pembangunan. Untuk efek jangka panjang dan berkelanjutan, mungkin kecenderungan ini dapat membantu program pelestarian lingkungan yang hemat energi.

For a long time, recycling has been shouted out loudly as the effective way to preserve nature, by re-producing waste materials that cannot be demolished by nature and using them again for the second time. In architecture world, usage of recycled materials has also been brought in further. But, many people are still thinking that recycled materials lose in quality compared to the new and conventional ones. The durability is also far less. There are also opinions about lacks of beauty in appearance.
I saw a behavior which I want to explore deeper, I mention it as the exploration of dumped materials in architecture. This way, in my opinion, is more realistic when seen through the eye of nature, because using used things don?t require energy to recycle any of it. I want to explore the usage of dumped materials for architecture in good way which means able to carry out destined appearance and can withstand itself as a building. I?m hoping in a way to reduce people?s skepticism in exploring the potential of dumped materials in architecture. The short term effect of using dumped materials may lead to building cost efficiency, when in long and sustaining term may lead to an environment preserve program which requires less energy to perform."
2008
S48412
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dany Cahyadi
"Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 21/PRT/M/2021 tentang Bangunan Gedung Hijau, secara eksplisit mensyaratkan mengenai pengendalian penggunaan material berbahaya khususnya yang tertuang dalam Bagian E. sub bagian E.1.a. sampai dengan E.1.c dan sub bagian E.2.a sampai dengan E.2.i tentang penggunaan material bersertifikat ramah lingkungan yang dapat disebut juga dalam istilah rantai pasok hijau dalam penyediaan material konstruksi. Dalam menyikapi peraturan tersebut dan sebagai solusi atas permasalahan penyediaan material hijau, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahan bangunan yang ramah lingkungan dengan melakukan pengendalian terhadap material berbahaya dan menggunakan material bersertifikat ramah lingkungan atau bahan yang telah memenuhi syarat serta kaidah ramah lingkungan. Pengendalian penggunaan material ramah lingkungan dalam bangunan gedung hijau dimaksudkan untuk mengurangi jumlah zat pencemar berbahaya terhadap kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan serta menjaga kesinambungan rantai pasok material yang ramah lingkungan dalam skala nasional. Oleh karena itu dalam pengadaan material konstruksi harus dilakukan serangkaian proses dan praktik yang baik guna mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan penggunaan produk lokal dengan jarak yang sedekat mungkin. Selanjutnya ketentuan ini diharapkan dapat diterapkan dalam pengembangan penyediaan bahan bangunan ramah lingkungan guna mendukung pembangunan berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri PUPR tentang Bangunan Gedung Hijau."
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum , 2022
690 MBA 57:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Charles
"ABSTRAK
Material konstruksi merupakan salah satu sumber daya yang terbatas dalam suatu proyek konstruksi dan juga merupakan salah satu fungsi utama dari kegiatan konstruksi yang nilainya antara 25-40 % bahkan dapat mencapai 60 % dari anggaran proyek. Sehingga penambahan waktu dari pemesanan, pengiriman serta penanganan material sebagai kegiatan pengadaan material, seringkali berdampak dapat menimbulkan kegiatan kritis baru dari suatu kegiatan pelaksanaan proyek.
Masalah yang dihadapi oleh departemen perencanaan material saat ini adalah sulitnya menyusun perencanaan dan pengendalian pengadaan material yang efektif, yang sesuai dengan kondisi yang ada diproyek. Hal ini dikarenakan banyaknya material yang diperlukan pada waktu yang bervariasi dan banyaknya perusahaan pemasok serta banyaknya pekerjaan yang ditangani sekaligus pada waktu yang bersamaan. Disamping itu penanganan sistem informasi manajemen pengadaan material, yang masih dilakukan secara manual, makin menambah permasalahan baru, yakni sulitnya mengetahui dan mengontrol status persediaan dari material, selama proses pelaksanaan proyek.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut diatas maka dalam skripsi ini, akan dirancang suatu sistem informasi manajemen pengadaan material, sebagai upaya memperbaiki sistem yang ada. Sistem tersebut dirancang berdasarkan data dan informasi yang ada pada proyek dan dengan memanfaatkan paket software manajemen material yang handal, sehingga dengan demikian diharapkan pengadaan material bisa lebih efektif karena didukung oleh adanya sistem informasi yang terkomputerisasi. Sistem informasi manajemen pengadaan material yang dirancang ini diharapkan dapat menolong para pengambil keputusan untuk mengatasi masalah yang ada pada proses pengadaan material. Akhimya dengan semakin efektif dan efisiennya pengadaan material maka tujuan dan sasaran akhir proyek yang telah ditetapkan sebelumya, akan dapat tercapai sesuai dengan rencana.

"
2000
S34963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Tangoro
Jakarta: UI-Press, 1999
644 Tan u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H. Widomoko
Malang: Institut Teknologi Nasional, 1995
690 Wid k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H. Widomoko
Malang: Institut Teknologi Nasional, 1995
690 WID k III
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Kusuma
"Squat wall adalah dinding geser dengan rasio tinggi terhadap panjang (hw/lw) ≤ 2, berfungsi untuk menahan gaya lateral. Dalam menganalisa squat wall secara linear, digunakanlah faktor modifikasi/reduksi kekakuan yang dikalikan pada beberapa parameter kekakuan untuk memodelkan retak pada kondisi ambang keruntuhan. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa faktor modifikasi kekakuan pada peraturan SNI 03-2847-2002/ACI 318-05 dapat digunakan untuk memperhitungkan perubahan kekakuan akibat retak. Apabila gaya yang ditahan searah dengan squat wall, maka parameter kekakuan yang paling berpengaruh adalah f22, disusul dengan f12, dan f11. Pengaruh parameter kekakuan f12 sendiri berbanding terbalik dengan rasio hw/lw. Tahap terakhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan squat wall sebagai sistem dinding penumpu memungkinkan penggunaan flat slab pada wilayah gempa kuat.

Squat wall is shear wall with height-to-length-ratio (hw/lw) ≤ 2, used to resist lateral forces. In analyzing squat wall with a linear fashion, stifness modifier are applied to several stiffness parameters to model cracks on ultimate limit state. Through this research, it is known that stiffness modifier in SNI 03-2847-2002/ACI 318-05 building codes can be used to account for changes in stiffness due to cracking. If the force applied is in line with squat wall, the most influential stiffness parameter is f22, followed by f12 and f11. Influence of f12 is inversely proportionate with the hw/lw ratio. The last phase of this study indicates that the use of squat wall as bearing wall system allows the use of flat slab in strong earthquake region."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42892
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maisarah
"Pembangunan basement pada lahan dengan kondisi elevasi tanah tidak rata dan keterbatasan biaya konstruksi untuk meratakan elevasi tanah mengakibatkan pembangunan basement hanya dilakukan pada tanah dengan permukaan rata saja sehingga tidak semua bagian dari bangunan memiliki basement (basement sebagian). Basement sebagian ini menyebabkan perbedaan taraf penjepitan lateral pada bangunan sehingga perlu dianalisa efek torsi yang akan ditimbulkan dan dianalisa sejauh mana perbedaan taraf penjepitan lateral bangunan mempengaruhi respon dari struktur. Akibat keberadaan basement sebagian pada bangunan ini, maka pemodelan bangunan yang terjepit atau berpeletakan sendi pada penjepitan lateralnya kurang mewakili perilaku bangunan sebenarnya akibat pembebanan gempa. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemodelan bangunan dengan menggunakan elemen pegas pada penjepitan lateralnya sehingga basement juga memiliki peran dalam menerima beban gempa yang ada.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa perbedaan taraf penjepitan lateral memperbesar torsi pada bangunan dan menyebabkan penurunan gaya geser tingkat pada lantai basement terbawah. Selain itu, pemodelan bangunan dengan peletakan pegas akan memperbesar periode getar dan menghasilkan rasio tulangan terkecil.

Basement construction on slope ground surface and the limitation of construction cost for flattening the ground surface causes the basement construction is only done on flat ground surface so that the building has partial basement. Partial basement causes the different restraint level of building so that the additional torsional effect of building and the influence to structural response must be analyzed. Because of the partial basement of building, the building model with fixed and pinned support does not represent the real behavior of building because of seismic load. Consequently, the spring support is used for the restraint of the building model in order to get involved basement in boring the seismic load as the real condition of basement.
From this study, the different Restraint Level increases building's torsion and decreases story shear of the lower basement story. Besides, the spring support of building increases the fundamental periode and has the smallest reinforcement ratio."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43002
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Aurora
"ABSTRAK
Kota merupakan suatu kesatuan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya dan lingkungan buatan sebagai lingkungan kehidupan manusia. Salah satu cirinya adalah keberadaan ekosistem alami yang biasanya relatif sangat kecil. padahal kualitasnya mempengaruhi kualitas ekosistem kota secara keseluruhan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai suatu bentuk keberadaan ekosistem alami pada suatu lingkungan buatan menjadi amat penting mengingat fungsinya secara ekologis, sosial dan estetis. Ruang Tebuka Hijau dapat mengatur temperatur kota, mengatur kandungan oksigen. mengurangi karbondioksida, menjadi perangkap bahan pencemar baik debu maupun gas, meningkatkan peresapan air, memberi bentuk visual yang menarik dan sehat untuk rekreasi, menjadi habitat bagi semua makhluk hidup dan meningkatkan keanekaragaman kehidupan di lingkungan kota.
DKI Jakarta memiliki dinamika pembangunan yang diwarnai dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang pada tahun 1961 baru berjumlah 2,9 juta jiwa, pada tahun 1995 telah berjumlah 9 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2005 akan berjumlah 12 juta jiwa. Perkembangan penduduk dan berbagai aktivitasnya yang demikian pesat pada luas tanah terbatas (650 km2) pada akhirnya terekspresikan pada masalah penggunaan tanah dan secara Iuas pada sumberdaya alam dan lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai aktivitasnya tersebut menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan tanah antara berbagai kegiatan. Persaingan penggunaan tanah yang terjadi selama ini telah menyebabkan ruang yang seharusnya dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau dibangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kegiatan lain. karena Ruang Terbuka Hijau dipandang tidak menguntungkan secara ekonomis.
Perbandingan yang seimbang antara manusia dan lahan (man-land ratio), khususnya perbandingan antara luas bangunan dan luas tanah (building area ratio) danfatau perbandingan antara luas lantai dan luas tanah (floor area ratio) akan dapat membantu keberadaan RTH.
Untuk kepentingan penelitian ini, maka dibedakan dua jenis Ruang Terbuka Hijau. Pertama adalah Ruang Terbuka Hijau Umum (Publik), yaitu Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki oleh umum, seperti taman kota yang dibangun oleh Pemerintah. Ruang Terbuka Hijau Umum ini merupakan daerah yang di dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) mempunyai peruntukan penyempurnaan hijau. Kedua adalah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan (Pribadi), yaitu daerah dalam persil bangunan pada kepemilikan pribadi yang dialokasikan untuk tanaman hijau,
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta mengenai komposisi daerah yang tidak terbangun dalam suatu persil bangunan, khususnya yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan tersebut. Juga untuk mengetahui apakah pengaturan Intensitas Bangunan khususnya Koefisien Dasar Bangunan mampu mengendalikan pemanfaatan tanah di dalam suatu persil dalam kaitannya dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam pengambilan kebijakan perencanaan tata ruang kota yang berwawasan lingkungan.
Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian pustaka dan penelitian lapangan di daerah studi sepanjang koridor JI. Thamrin - JI. Sudirman, batas utara dimulai dari Air Mancur sampai batas selatan Jembatan Semanggi dan di JI. Rasuna Said, batas utara dimulai dari Jembatan Latuharhary sampai batas selatan Simpang-4 J1. Gatot Subroto.
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini ada 2 macam. Pertama adalah yang berkaitan dengan pengukuran secara langsung di lapangan dengan mempergunakan alat ukur tanah, yaitu untuk mendapatkan luas kawasan non-bangunan dan luas kawasan non-perkerasan dalam kawasan non-bangunan, yang selanjutnya disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan. Data tiap persil tersebut, selanjutnya digitasi dan dianalisis melalui sistem Arc-Info untuk mendapatkan informasi mengenai berapa luas sesungguhnya daerah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dibandingkan dengan luas daerah non-perkerasan. Kedua, adalah melalui wawancara langsung dengan responder penelitian di lapangan dalam hal ini adalah perencanalarsitek bangunan pada persil-persil di sepanjang kawasan studi. Data Primer yang diperoleh melalui wawancara adalah : wawasan lingkungan hidup perencanalarsitek, persepsi perencanalarsitek terhadap perhitungan ekonomis lahan serta persepsi perencana/arsitek terhadap peraturan yang berkaitan dengan intensitas bangunan.
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan penelitian, maka dapat diarnbil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kota mempunyai multi fungsi, yaitu : fungsi ekologi, estetis dan sosial budaya yang dapat dijabarkan sebagai daerah resapan, sebagai peredam cemaran udara sebagai pengendali iklim mikro dan sebagai unsur keindahan dan kenyamanan hidup kota.
Diharapkan Iuas Ruang Terbuka Hijau untuk DKI Jakarta dengan luas wilayah 65.000 Ha. adalah 30% dari luas kota, yaitu ± 19.500 ha. Luas Ruang Terbuka Hijau Umum pada tahun 1996 adalah seluas 12.900 ha, atau kurang lebih 20% dari luas kota. Dengan kemampuan pendanaan Pemerintah yang terbatas, maka penyediaan Ruang Terbuka Hijau kota tidak dapat digantungkan dari kemampuan pendanaan Pemerintah semata, namun perlu diupayakan peluang-peluang penciptaan Ruang Terbuka Hijau yang dapat memanfaatkan kemampuan dan peranserta masyarakat dan pihak swasta, antara lain Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan
Penelitian sepanjang koridor Thamrin-Sudirman dan Rasuna Said membuktikan bahwa komposisi Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dalam daerah non-bangunan tidak mencapai 50% dari Ruang Terbuka yang tercipta. Peraturan Intensitas Bangunan, khususnya Koefisien Dasar Bangunan yang berlaku saat ini, hanyalah mengatur mengenai komposisi daerah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun, sehingga yang di atuar hanyalah komposisi ruang terbuka dan bukannya ruang terbuka hijau.
Faktor-faktor utama yang menentukan keberadaan Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan, adalah : Wawasan Lingkungan Hidup pemilik persil dan perencana, perhitungan ekonomis lahan serta adanya peraturan spesifik yang mengatur komposisi Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan.
Tanpa adanya pengaturan komposisi Ruang Terbuka Hijau secara eksplisit, maka pemilik persil dan atau perencana/arsitek tidak akan memberi "porsi" yang memadai bagi penyediaan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Untuk itu harus dicapai kesepakatan antara Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, para pakar serta masyarakat untuk menentukan komposisi yang wajar, sehingga semua pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan. Selanjutnya kesepakatan tersebut dapat dipergunakan untuk menyempurnakan peraturanperaturan yang ada.
Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan peluang-peluang baru untuk meningkatkan keberadaan RTH di kawasan perkotaan.

ABSTRACT
Evaluation Of The Ratio Of Green Open Space At Building Lots (Case Study of Thamrin - Sudirman and Rasuna Said Corridor Jakarta)A city constitutes of a unity of natural environment, socio - cultural environment and man - made environment where people live. One of its characteristics is the existence of a relatively small natural ecosystem, despite the fact that its quality affects its overall quality of the urban ecosystem. The existence of green open space as a natural ecosystem becomes highly important in terms of its ecological, social and aesthetical aspects. Green open space reduces carbonmonoxide, captures pollutants such as dust and gas, improves water absorption, provides an attractive and healthy visual shape for recreation purposes, becomes a habitat for all creatures and adds to living variety within an urban environment.
The Special Capital Territory of Jakarta (DKI Jakarta) owns a development dynamism characterized by speedy population increase. The number of population in DKI Jakarta in 1961 was 2.9 million only, but in 1995 it increased to 9 million and in 2005 it is estimated to reach 12 million. Such fast population increase along with its activities on a limited space (650 km2) will eventually put a pressure on the land use and deplete the natural resources and seriously burden its environment seriously. The rising number of population and activities has led to the increasing competition of land use for many different activities. The land use competition that has been prevailing so far has caused the space designated for Open Green Space to be used to meet the needs of development for other infrastructure, as Natural Environment is considered being economically un-beneficial.
There is a need to balance the ratio between man and land especially the building-area ratio and/or the floor-area ratio as a way to increase the green open space in urban area.
For the purpose of this survey, an open space is categorized into two types namely Public Green Open Space which is green open space owned by the public like city gardens constructed by the Government. Such green open space are pieces of land in which within the Zoning General Plan areas have the function as greenery. Second is green open space on private building lots, namely areas within building lots owned by an private allocated for greenery.
This survey is aimed at finding facts about composition of areas unbuilt within building lots, and more particular, those related to green open space within those building lots. It is also to know if the building intensity regulation is able to control its land utilization within a lot in its relation to the allocation of green open space. It is expected that this survey is able to provide some thoughts for the DKI Government in making decisions pertaining to environmentally-oriented urban zoning.
For such purpose, a library research and field survey have been conducted in the study area along JI. Thamrin - JI. Sudirman corridor (Its north border began from Air Mancur up to the south border of Semanggi Clover Leave Bridge) and Jl. Rasuna Said, (its north border began from the Latuharhary bridge up to the south border of Jl. Gatot Subroto intersection).
The primary data required in this survey comprise two types. First, those related to direct surveying in the field using surveying equipment to obtain the extent of the un-built area, and the un-compacted area within an un-built area which shall be further referred to as green open space on the building lots. The data of each lot was further digitized and analyzed using Arc - Info as to obtain information about the actual extent of such green open space on the building lots compared to the un-compacted area. Second, the data was also obtained through direct interviews with the survey respondents in the field, in this case planners/building architects of the lots along the study area. The primary data were obtained from the perception of the planners/ architects towards regulation linked to the building intensity.
Based on the results of the discussion on the survey issues, it could be concluded as follows:
Green Open Space within a city has a multi functions, namely: as water catchment area, as air pollutant absorption, as microclimate controller and as aesthetical element of the environment.
The ideal extent of Green Open Space for DKI Jakarta with total size of 65,000 ha is 30% of the city size namely around 19,500 ha. The green open space size in 1996 was 12,000 ha or equivalent to 20% of the city size. Under the government's restricted budget allocation, the allocated green open space cannot depend on the government fund availability solely, but there should be alternative ways for the creation of green open space through participation of the community and private sector, among others green open space existing on building lots.
The survey along the Thamrin-Sudirman corridor and Rasuna Said corridor has proved that the green open space composition at building lots within un-built areas does not even reach 50% of the open space. Regulations concerning Building Intensity, only regulates the composition between what may be built and may not be built. Thus, the regulations concern only with' the open space composition and not the green open space.
Main factors that determine Green Open Space on building lots are: Environmental Awareness of the lot owners and planners, land economic calculation and specific regulations regulating composition of Natural Environment on building lots.
In the absence of such explicit regulations concerning composition of Green Open Space, the lot owners/planners/architects will not give away their adequate share of the cake to be allocated for green open space on their building lots. Accordingly, an agreement must be reached as to determine the appropriate composition so that all related parties will not be harmed. Such agreement further can be used as to review the existing regulations.
The need for a further study to explore new ideas and new possibilities to increase the green open space in urban area.
Total of References : 43 (1970 - 1986)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>