Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93992 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1995
S38482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mazarino Zhafir
"ABSTRAK

Proses deteksi tumor otak dengan komputer dilakukan melalui empat tahapan utama. Pada tahap awal dilakukan pra-proses dengan median filter untuk memperbaiki kualitas citra. Kemudian dilanjutkan dengan ekstraksi fitur menggunakan dekomposisi wavelet haar bertingkat tiga agar ukuran citra tidak terlalu besar, hanya 1/8 dari ukuran citra asalnya. Setelah itu dilakukan proses reduksi dimensi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). PCA menentukan komponen penting dari citra dengan melihat dari varians yang direpresentasikan oleh nilai eigen, sehingga jumlah komponen yang akan dimasukkan ke proses pembelajaran tidak terlalu banyak, untuk menghindari curse of dimentionality. Baru setelah itu dilakukan proses pembelajaran menggunakan metode Backpropagation Neural Network (BPNN) dengan 10 hidden neuron, dimana proses pelatihan dan pengujian dilakukan untuk mendapatkan bobot dan bias yang terbaik dan kemudian diuji. Hasil akurasi pengenalan pada kondisi awal ini mencapai 87%, sementara pada kondisi ideal yang menggunakan dekomposisi wavelet haar bertingkat empat dan 3 hidden neuron pada BPNN mencapai akurasi pengenalan 100%.


ABSTRACT

Brain tumor detection process by the computer is going through four main step. First is pre-processing that using median filter to enhance the image quality. The second is feature extraction using level-3 haar wavelet decomposition, so that the image is not too big, only 1/8 of the original size . The third is dimentionality reduction using Principal Component Analysis (PCA). PCA determine the principal component of the image from variances, which represented by eigen value. So the component that will be used in learning step is much fewer, to avoid the curse of dimentionality. And the last step is learning, using Backpropagation Neural Network (BPNN) with 10 hidden neuron. The BPNN going through training and testing phase. BPNN will find its optimal weight and bias, and those weight and bias are being tested. The result from BPNN could distinguish images into normal and tumor, with accuracy 87% in default condition. In ideal condition, which is using level-4 haar wavelet decomposition and 3 hidden neuron in BPNN, the accuracy is 100%.

"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S60000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rahma Fauzia
"Magnetic Resonance Imaging (MRI) saat ini sedang banyak digunakan sebagai image guiding dalam perencanaan radiosurgery dan radioterapi. Modalitas pencitraan ini dapat menampilkan karakteristik fisis jaringan dengan detail luar biasa, terutama pada otak. Namun seperti yang telah diketahui, distorsi geometri terjadi pada citra MRI. Distorsi ini menimbulkan masalah di beberapa aplikasi MRI, salah satunya lokalisasi pada Gamma Knife Stereotactic Radiosurgery (GKSRS). Oleh karena itu, pengukuran serta koreksi distorsi geometri pada citra MRI perlu dilaksanakan.
Dalam penelitian ini, sebuah fantom desain khusus dikembangkan untuk mengukur tidak hanya distorsi geometri citra MRI, namun juga uniformitas dan resolusi spasial kontras tinggi. Penelitian menggunakan tiga variasi, meliputi variasi protokol pemindaian, frame, dan larutan pengisi. Protokol pemindaian yang digunakan adalah T1-Bravo dan T2-Fiesta. Fantom dengan dan tanpa Leksell stereotactic frame dipindai menggunakan 1,5 T MRI GE Optima MR450w. Fantom diisi dengan tiga variasi larutan yaitu aquades (H2O) serta CuSO4.5H2O dengan konsentrasi 2 mM dan 5 mM.
Dari hasil analisis data penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa fantom desain khusus yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengukur distorsi geometri, uniformitas, serta resolusi spasial kontras tinggi citra MRI. Citra MRI yang dihasilkan oleh protokol pemindaian T1-Bravo memiliki distorsi geometri dan resolusi spasial lebih rendah namun uniformitas lebih tinggi dibandingkan citra yang dihasilkan oleh protokol T2-Fiesta. Keberadaan Leksell stereotactic frame ketika proses pemindaian meningkatkan distorsi geometri dan mengurangi uniformitas citra. Selain itu, larutan yang paling sesuai digunakan sebagai pengisi fantom desain khusus adalah larutan CuSO4.5H2O dengan konsentrasi 5 mM.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) is increasingly being used for purposes of radiosurgery and radiotherapy planning. This imaging modality can explore the physical properties of tissue with great details, especially for imaging of the brain. However, the geometric distortion is reasonably occurred and can make significant differences in certain MR application such as, for example, stereotactic localization in Gamma Knife. Therefore, the geometric distortion measurement and correction should be applied.
In this study, an MRI in-house phantom was developed to measure not only geometric distortion, but also uniformity and high contrast spatial resolution of MR image. This study used three variations, including scanning protocol, frame, and phantom filler. There were two scanning protocols applied in this study, they were T1-Bravo and T2-Fiesta. The phantom attached with Leksell stereotactic frame was scanned using 1.5 T MRI GE Healthcare. Phantom was filled with three kinds of solution, they were pure water (H2O), CuSO4.5H2O 2 mM and 5 mM solution.
The study results showed that the in-house or special design phantom can be used to measure geometric distortion, uniformity, and high contrast spatial resolution of MR image. T1-Bravo image had lower geometric distortion and spatial resolution but higher uniformity than T2-Fiesta. Leksell stereotactic frame can increase the magnitude of geometric distortion and decrease the uniformity of MR image. Moreover, the most suitable solution for phantom filler is CuSO4.5H2O 5 mM.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T55402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhia Kusuma Putri
"Latar Belakang: Telah diketahui infeksi COVID-19 dapat menetap menjadi sindroma pasca COVID-19. Magnetic Resonance Imaging (MRI) kardiak memiliki nilai diagnostik tinggi untuk menilai karakteristik jaringan miokard. Belum diketahui secara pasti efek jangka panjang COVID-19 terhadap jaringan miokardium serta faktor-faktor admisi yang memiliki pengaruh terhadap prevalensi sindroma pasca-COVID-19 pada populasi dengan penyakit kardiovaskular. 
Tujuan: Mengevaluasi prevalensi fibrosis miokardium dengan MRI kardiak pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan riwayat COVID-19 1 tahun pascaperawatan, serta mengidentifikasi faktor admisi yang berpengaruh terhadap fibrosis miokardium. 
Metode: Kohort prospektif dengan menilai parameter MRI kardiak pada pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan penyakit kardiovaskular 1 tahun pascaperawatan. Selanjutnya, dilakukan analisa temuan MRI kardiak terhadap kelompok kontrol tanpa riwayat COVID-19 yang telah di-matching berdasarkan umur, jenis kelamin, dan faktor resiko. Analisa multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor admisi yang memiliki hubungan dengan kejadian fibrosis miokardium. 
Hasil: Total 32 subjek dengan penyakit KV dan riwayat COVID-19 1 tahun pascaperawatan dengan 49 subjek kontrol disertakan dalam studi ini. Terdapat peningkatan yang signifikan pada parameter MRI kardiak yaitu proporsi abnormal T1 relaxation time (65,5% vs 36,7%; p-value=0,011) serta late gadolinum enhancement (LGE) skar noniskemik 62,5% vs 29,8%;p-value=<0,001) pada kelompok dengan riwayat COVID-19 dibanding kontrol. Tidak ditemukan faktor admisi yang berpengaruh terhadap peningkatan LGE noniskemik/T1 abnormal.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan prevalensi fibrosis miokardium pada pasien dengan penyakit KV dan riwayat COVID-19 1 tahun pascaperawatan dibanding kontrol dinilai melalui MRI kardiak. Tidak terdapat hubungan antara faktor admisi dengan fibrosis miokardium 1 tahun pascaperawatan COVID-19.

Background: Presently, it has been acknowledged that COVID-19 infection may persist longer as Post-acute COVID-19 Syndrome. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (cMRI) possesses a high diagnostic value to evaluate myocardial tissue characteristics. Data are still limited regarding longer implications of COVID-19 infection towards myocardial tissues and predictive admission factors in patients with Cardiovascular Diseases (CVD).
Aim(s): To evaluate the prevalences of myocardial fibrosis using cMRI in patients with CVD and one year post-COVID-19 hospitalization and identifying admission factors in correlation with myocardial fibrosis. 
Method(s): Prospective cohort to assess cMRI parameters in patients with CVD and history of COVID-19 one year post-hospitalization. The results were then compared with the age-, sex-, risk factors-matched control group without prior of COVID-19 infection. Lastly, multivariat analysis was done to identify relations between admission factors and myocardial fibrosis. 
Result(s): A total of 32 subjects with CVD one year post-COVID-19 hospitalization and 49 controls were included in this study. Significant increases of cMRI parameters, namely abnormal T1 relaxation time (65.5% vs 36.7%; p-value=0.011) and non-ischemic late gadolinum enhancement (LGE) (62.5% vs 29.8%;p-value=<0.001) were observed in the population with prior COVID-19 infection compared to control. No admission factors were found to be related with the increases in nonischemic LGE/abnormal T1.
Conclusion: There is a significant increase of myocardial fibrosis prevalence in patients with CVD one year post-COVID-19 hospitalization compared to control assessed through cMRI parameters. No relationships were found between admission factors and myocardial fibrosis. 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Wicaksono
"Pada saat ini, teknologi elektromagnetik terapan telah digunakan di berbagai bidang, termasuk di bidang kesehatan. Teknologi ini banyak diaplikasikan untuk melakukan proses analisa suatu penyakit atau bahkan melakukan penyembuhan. Dari banyak kegunaan itu, salah satu aplikasi teknologi elektromagnetik terapan di bidang medis adalah sistem pencitraan penampang tubuh. Dari beberapa instrumen kesehatan yang berfungsi untuk menampilkan pencitraan penampang tubuh, Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki keunggulan untuk melakukan pencitraan organ-organ lunak. Pengaplikasian teknologi MRI terus berkembang hingga sekarang termasuk teknik penggunaan RF Coil Resonator yang terdapat di sistem MRI.
Pada skripsi ini akan dirancang bangun sebuah RF Coil Resonator untuk sistem MRI 3 Tesla agar dapat menghasilkan citra atau penggambaran dari objek yang lebih jelas dan dapat digunakan oleh tenaga medis seperti dokter sebagai acuan untuk menganalisa suatu jaringan lunak yang bermasalah.
Penelitian ini merancang sebuah resonator phased array yang terdiri dari 8 elemen yang bekerja pada frekuensi 127,7 MHz. Berdasarkan hasil simulasi, resonator tersebut memiliki keseragaman medan magnet dan nilai Specific Absorption Rate (SAR) dibawah ambang batas aman yaitu 0,195 W/kg.
Diharapkan hasil rancangan ini dapat bekerja secara paralel untuk meningkatkan fungsionalitas dan kemampuan sistem MRI yang menghasilkan suatu citra yang lebih baik dan waktu scanning yang lebih cepat dibandingkan dengan resonator konvensional. Resonator phased array coil ini telah difabrikasi dan diukur parameter S-parameter dengan hasil yang sesuai dengan hasil simulasi pada frekuensi kerja 127,67 MHz.

Currently, applied electromagnetic technology has been used in various fields, including for health sector. This technology is widely adopted for disease diagnosis as well as for treatment. One of several applications in applied electromagnetic technology is imaging system for medical field application. One of medical instruments which are used for body imaging system, that is Magnetic Resonance Imaging (MRI), has the advantage to create an image of soft organ. Application of MRI technology continues to evolve up until now, including the development of RF Coil Resonator techniques for MRI systems.
In this thesis, a RF Resonator Coil for 3 MRI 3 Tesla system is designed in order to produce high-resolution images, so it can be used by medical personnel such as doctors to analyze the soft tissue problems.
In this study, a RF phased array resonator that consists of 8 elements is designed for working at the frequency of 127.7 MHz. According to the simulation results, the resonator has uniform magnetic field and low value of Specific Absorption Rate (SAR) below the safety threshold by 0.195 W / kg.
It is expected that this design is able to operate for parallel operation in order to increase the functionality and capability of the MRI system can produces a better image and a faster scanning time in comparison with the conventional resonator one. The phased array coil resonator has been fabricated and measured, where the Sparameter results agree with the simulation results at the operation frequency 127.67 MHz.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S45728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arwan Priatna
"Pada skripsi ini dirancang sebuah resonator RF Birdcage Coil tanpa lumped circuit untuk aplikasi sistem Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI merupakan teknologi pencitraan tubuh manusia untuk aplikasi diagnosis medis yang bersifat non-invasive dan tidak memiliki pengaruh radiasi foton seperti halnya yang terdapat pada sistem Computed Tomography (CT). MRI memanfaatkan efek kuat medan magnet untuk mensejajarkan susunan inti atom hidrogen (proton) dengan arah medan magnet eksternal. Pada saat yang bersamaan sistem memancarkan RF Pulse ke tubuh pasien kemudian menerima sinyal Magnetic Resonance (MR) untuk rekonstruksi citra penampang tubuh.
Pada penilitian ini dirancang suatu resonator RF Birdcage Coil tanpa lumped circuit yang beresonansi di spektrum frekuensi 128 MHz. Secara desain, resonator ini dirancang terdiri atas Leg dan End Rings (ERs) terbuat dari selembar konduktor tembaga tipis yang ditempelkan di kedua sisi akrilik sebagai material substrat untuk memberikan nilai kapasitansi resonator dan sekaligus sebagai pembentuk konfigurasi resonator RF Birdcage Coil. End Rings disusun superposisi untuk membentuk kapasitor secara bergantian. Untuk mendapatkan frekuensi resonansi yang diinginkan, dilakukan tuning dengan cara memperbesar atau memperkecil dimensi plat tembaga End Rings untuk mengubah nilai kapasitansi resonator.
Desain resonator dirancang dengan menggunakan perangkat lunak Birdcage Builder untuk menghitung nilai kapasitansi awal dan disimulasikan dengan perangkat lunak berbasis Finite Integration Technique (FIT). Setelah dilakukan validasi dengan cara pengukuran tanpa ada tubuh manusia, resonator dapat beresonansi di frekuensi 128,5 MHz. Pengujian resonator dengan memasukkan bagian tubuh manusia seperti kepala dan tangan, resonator memberikan response perubahan yang sangat kecil pada pergeseran frekuensi berturut-turut 128,8 MHz dan 127,7 MHz untuk kepala dan tangan manusia.

In this final project the RF Birdcage Coil resonator is designed without using lumped circuit for application of Magnetic Resonance Imaging (MRI) system. MRI is a scanning technology of human body tissues to medical diagnosis application which generally is non-invasive and doesn’t has the impact of photon like another system such as Computed Tomography (CT). It utilizes the effect of magnetic field strength to aligns proton with external magnetic field and transmits the RF Pulse to the human body then recieves the Magnetic Resonance (MR) signal for image reconstruction simultaneously.
In this research the RF Birdcage Coil resonator is designed without using lumped circuit and it can resonance in 128 MHz. This resonator has the Leg and End Rings which is made from copper foil and attached to the inner and outer of acrylic as a substrat material to produce the capacitance of the resonator and also as a shaper of the RF Birdcage Coil’s configuration. The End Rings arrange superposition to create the capacitance respectively. To get desired resonance frequency it should be tuned by make dimension foil of End Rings bigger or smaller to change the capacitance.
Birdcage Builder as a software which used to design the beginning form of the resonator and count the first value of capacitance then simulated in software based on Finite Integration Technique. After validation with measurement without human body the resonator can resonance in 128,5 MHz. Measurement with import body parts such as head and hand into resonator give the smallest change in 128,8 MHz and 127,7 MHz for human head and hand respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47679
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Abraham Ambril
"Nyeri punggung bawah memiliki prevalensi yang tinggi dan sangat berkaitan dengan proses degenerasi diskus intervertebralis. Magnetic Resonance Imaging MRI lumbal merupakan pemeriksaan yang terpenting dalam penilaian kelainan pada degenerasi diskus intervertebralis yang dapat dapat memperlihatkan herniasi diskus, stenosis kanalis spinalis, dan stenosis foraminal. Terdapat dua protokol potongan aksial, yaitu contiguous axial CA dan disc space-targeted angled axial DSTAA , yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Belum ada penelitian yang terpublikasi yang mendukung penggunaan teknik CA maupun DSTAA pada kasus degenerasi vertebra lumbal, oleh sebab itu penelitian ini akan meneliti tentang kesesuaian teknik CA dengan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis lumbal.Penelitian ini menggunakan desain potong lintang cross-sectional study untuk mengetahui kesesuaian teknik CA dan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis pada vertebra lumbal, yang dilakukan di Departemen Radiologi RSCM Jakarta selama bulan Agustus sampai September 2016, dengan jumlah sampel 22 subjek.Dari hasil penelitian ini didapatkan kesesuaian diagnosis herniasi diskus intervertebralis lumbal dan diagnosis stenosis kanalis spinalis lumbal antara teknik CA dengan teknik DSTAA. Penelitian ini menunjukkan penggunaan teknik DSTAA dapat dilakukan sebagai protokol pemeriksaan MRI lumbal di pusat layanan kesehatan yang memiliki jumlah pasien yang banyak.

Lower back pain has a high prevalence and is associated with the degeneration of intervertebral discs. Magnetic Resonance Imaging MRI examination of the lumbar is important in the assessment of abnormalities in the intervertebral disc degeneration and can be demonstrating disc herniation, spinal canal stenosis and foraminal stenosis. There are two axial protocols, contiguous axial CA and disc space targeted angled axial DSTAA , each of which has advantages and disadvantages. There are no published studies that support the use of DSTAA technique and CA technique at the lumbar spine degeneration cases, therefore, this study will examine the technical suitability CA with DSTAA techniques in diagnosis for disc herniation and lumbar spinal canal stenosis.This study used cross sectional design to determine the suitability of the CA technique and DSTAA technique at diagnosis for disc herniation and stenosis of the spinal canal in the lumbar spine, which is carried out in the Department of Radiology RSCM Jakarta during August to September 2016, with a sample of 22 subject.From the results of this study, there is suitability of the diagnosis of lumbar intervertebral disc herniation and lumbar spinal canal stenosis diagnosis between CA technique and DSTAA technique. This study shows that DSTAA technique can be used as a lumbar MRI examination protocol at health center that has a huge patient loads."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Rachman
"Pada kasus lumbal spinal stenosis, penentuan terapi dibedakan menjadi konservatif termasuk medikamentosa dan rehabilitasi medik dan pembedahan. Secara general, pembedahan dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah menjalani terapi konservatif. Tesis ini membahas perbedaan gambarandegenerative lumbar spinal stenosis berupa pengukuran faktor determinan menggunakan MRI lumbosakral pada pasien yang menjalani pembedahan kelompok uji dan konservatif kontrol. Pengamatan perubahan radiologis yang akurat akan membantu klinisi memperkirakan terapi yang sesuai untuk pasien secara lebih dini dan efektif. Sebagai hasil, secara bivariat, faktor determinan yang bermakna adalah stenosis kanalis lumbal L3-4; stenosis recessus lateral L4-5 dan L5-S1; stenosis foraminal L3-4 bilateral dan L5-S1 kiri; hernia nukelus pulposus L3-4 dan L5-S1, hipertrofi ligamentum flavum L3-4 dan degenerasi sendi facet L4- 5 kanan. Dengan analisa multivariat, didapatkan hanya hernia nukelus pulposus L3- 4 dan L5-S1 saja yang menentukan keputusan operasi.

In degenerative lumbal spinal stenosis, choice of treatment divide into conservative with medication and rehabilitation included and surgical. Generally, surgery to patient perform when there is no improvement in clinical examination after adequate conservative treatment. In this thesis, we describe difference in determinant factors seen with MR study to patients with lumbar spinal stenosis who had surgical treatment case group and conservative treatment control group. Carefull observation in radiologic changes will help clinician to predict patient outcome and decide adequate treatment. As results, using bivariate analysis, we conclude that there are significantly differences in lumbal canal stenosis at L3 4 level lateral recessus stenosis at L4 5 and L5 S1 level, foraminal stenosis at L3 4 bilaterally and at left side of L5 S1 level hernia nucleus pulposus at L3 4 and L5 S1 level flavum ligament hypertrophy at L3 4 level and facet joint degeneration at right side of L4 5 level. Meanwhile, using multivariate analysis, only hernia nucleus pulposus of L3 4 and L5 S1 level bring decision to surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ho Natalia
"Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi perubahan nilai ADC pada DWMRI dengan perubahan ukuran tumor pasca kemoterapi neoajuvan kanker payudara dalam menilai respons kemoterapi neoajuvan.
Metode: Penelitian studi deskriptif analitik dari data sekunder MRI pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi neoajuvan serta menjalankan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan MRI dilakukan sebelum pasien mendapat kemoterapi neoajuvan, setelah pasien mendapat kemoterapi neoajuvan siklus pertama dan siklus ketiga. Pengukuran ukuran tumor dilakukan sesuai standar RECIST, sedangkan nilai ADC diperoleh pada nilai b800s/mm2.
Hasil dan diskusi: Dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan korelasi Pearson untuk melihat korelasi perubahan nilai ADC kedua terhadap nilai ADC pertama dengan perubahan ukuran tumor pada pemeriksaan MRI ketiga terhadap pemeriksaan MRI pertama. Sebanyak 17 pasien penelitian dengan usia antara 40 tahun sampai 65 tahun dan ukuran tumor antara 5,41 cm sampai 13,41 cm. Terdapat 16 pasien yang mengalami peningkatan nilai ADC dan 1 pasien yang mengalami penurunan nilai ADC setelah pemberian kemoterapi neoajuvan siklus pertama. Sebanyak 17 pasien mengalami pengurangan ukuran tumor setelah kemoterapi neoajuvan siklus ketiga. Berdasarkan standar RECIST diperoleh sebanyak 7 pasien dengan pengurangan ukuran tumor lebih dari 30% (antara 31,55% sampai 56,25%) dan sebanyak 10 pasien dengan pengurangan ukuran tumor kurang dari 30% (antara 7,47% sampai 29,22%). Nilai korelasi yang diperoleh sebesar -0,499.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara perubahan nilai ADC pada DWMRI dengan perubahan ukuran tumor sebagai respons kemoterapi neoajuvan kanker payudara dengan kekuatan korelasi yang sedang dan arah negatif.

Objectives: To determine the correlation of changes in ADC values in DWMRI with changes in tumor size after neoadjuvant chemotherapy in breast cancer to assess neoadjuvant chemotherapy response.
Methods: Analytical descriptive study using secondary data from MRI of breast cancer patients receiving neoadjuvant chemotherapy as well as running an MRI. MRI examination performed before neoadjuvant chemotherapy, after received first cycle neoadjuvant chemotherapy and third cycle. Tumor size measurements carried out according to standard RECIST, whereas the ADC values obtained in the b800s/mm2. Bivariate analysis using Pearson correlation was conducted to determine the correlation of changes in the value of the second ADC to first ADC and changes of the tumor size on the third MRI to the first MRI examination.
Result and discussion: A total of 17 study patients, 40 years to 65 years old, tumor size between 5.41 cm to 13.41 cm. 16 patients experienced an increase in ADC values while 1 patient had decreased ADC values after the first cycle of neoadjuvant chemotherapy. Tumor size in all patients decreased after three cycles of neoadjuvant chemotherapy. Based on RECIST standards, 7 patients showed tumor size reduction of more than 30% (between 31.55% to 56.25%) and tumor size in 10 patients was reduced less than 30% (between 7.47% to 29.22% ). Correlation value of -0.499 obtained.
Conclusions: There is a significant moderate and negative correlation between in ADC value changes in DWMRI with tumor size changes in response to neoadjuvant chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T31952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Kalik
"Latar belakang. Obat sedasi yang digunakan pada anak yang menjalani magnetic resonance imaging (MRI) diharapkan memiliki efek samping minimal dengan waktu mula kerja dan waktu pulih yang cepat. Rute pemberian obat pada anak sebaiknya minimal invasif. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas sedasi deksmedetomidin intranasal dosis 2 mcg/kg dan 4 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien anak yang menjalani MRI di Ruang MRI RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari-April 2019. Sebanyak 94 pasien diambil dan dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok DIN2 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg, sedangkan kelompok DIN4 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg. Kedalaman sedasi diukur menggunakan skor sedasi Ramsay. Heart rate (HR), saturasi oksigen dan skor sedasi Ramsay dinilai sebelum induksi dan setiap 10 menit setelah pemberian obat sedasi. Analisis data menggunakan uji-t tidak berpasangan atau Mann-Whitney.
Hasil. Waktu mula kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (23,00 (18,00-27,00) menit) lebih cepat dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (26,00 (21,00-29,00) menit) (p <0,001). Waktu lama kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (47,00 (41,00-53,00) menit) lebih lama dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (34,00 (30,00-37,00) menit) (p <0,001). Waktu pulih sedasi antara deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) dan 4 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) tidak berbeda bermakna (p 0,774). Tidak ada perbedaan efek samping sedasi antara kedua kelompok penelitian. Tidak ada perbedaan kebutuhan rescue dose propofol antara kedua kelompok penelitian.
Simpulan. Sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg tidak lebih efektif dibandingkan deksmedetomidn intranasal 2 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.

Background. Anaesthetic agents used in pediatric patients undergoing magnetic resonance imaging (MRI) should have minimal adverse effects with rapid onset of induction and recovery time. The administration route in pediatric should be minimally invasive. This study aimed to compare the effectiveness of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 2 mcg/kg and 4 mcg/kg in pediatric undergoing MRI.
Methods. This study was a single blind randomized clinical trial in pediatric patients undergoing MRI at Cipto Mangunkusumo General Hospital in February-April 2019. Ninety-four patients were recruited and randomized into two groups. Group DIN2 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg, while Group DIN4 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 4 mcg/kg. Depth of sedation was measured using Ramsay Sedation Scale. Heart rate (HR), oxygen saturation and Ramsay Sedation Scale scores were assessed before the induction and every 10 minutes after administration of sedation agents. Data analysis using unpaired t-test or Mann-Whitney.
Results. Onset time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (23.00 (18.00-27.00) minutes) is faster than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (26.00 (21.00-29.00) minutes) (p <0.001). Duration time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (47.00 (41.00-53.00) minutes) is longer than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (34.00 (30.00-37.00) minutes) (p <0.001). Recovery time of sedation between intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) and 4 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) were not statistically different (p 0.774). There were no differences in adverse effects of sedation between the two study groups. There were no differences in the need of rescue dose requirements between the two study groups.
Conclusion. Intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg is not more effective than intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg in children undergoing MRI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>