Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154435 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fithri Mayasari
"Perencanaan kota tidak pernah terlepas dari proses pembentukan image yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan lingkungan fisiknya. Image kota menjadi salah satu unsur penting untuk memberikan kenyamanan psikologis dan sosial bagi masyarakat kota. Dalam proses perancangan kota tersebut terdapat dua elemen yang dapat dibentuk untuk membentuk image yang sesuai. Elemen tersebut menurut Roger Trancik adalah hard space dan soft space. Hard space adalah ruang yang tercipta akibat adanya batasanbatasan dinding arsitektural yang dapat menciptakan keterlingkupan ruang bagi masyarakat yang beraktivitas di ruang tersebut. Sedangkan soft space adalah ruang yang sebagian besar terdiri dari lingkungan alami, baik di dalam maupun luar kota, berupa taman atau jalur hijau untuk rekreasi sehingga menciptakan lingkungan yang asri dan tenang.
Sasarannya dalam pusat kota adalah memberikan warna ruang yang dapat diterima masyarakat. Hard Space dan soft space saling berkontribusi untuk menciptakan ruang bagi aktivitas manusia dalam skala urban. Perpaduan yang baik antar hard space dan soft space akan menghasilkan image yang mencerminkan identitas kawasan. Kota terencana bermula dari karya budaya bangsa Summeria dan Assyria yang menjadi embrio peradaban manusia. Buah karya mereka terus berkembang menjadi kota modern dengan melewati jatuh bangunnya teoriteori perencanaan kota.
Ideologi kota mereka sangat memperhatikan pengaturan estetika kota dan lingkungan sosial di sekitarnya. Rencanarencana kota yang dibuat merupakan ilustrasi bentuk fisik dari konsep tentang kota yang didasarkan pada interprestasi atas masalahmasalah sosial. Ideologi kota ini mempengaruhi pembentukan image dan karakter sebuah kota sehingga perpaduan yang harmonis antara komponenkomponen utama perancangan kota yaitu hardspace dan softspace merupakan hal yang sangat esensial untuk pembentukan image sebuah ruang kota.
Salah satu kota di Indonesia yang berkembang cukup pesat adalah kota Depok dengan kawasan Margonda Raya sebagai kawasan inti kota yang strategis dan potensial bagi pengembangan kawasan melalui fungsifungsi yang sesuai. Idealnya kawasan Margonda sebagai kawasan pusat kota Depok ini memiliki penataan kota yang mencerminkan image kawasan utama kota Depok. Namun hal ini belum sepenuhnya bisa tercapai karena pembangunan yang berkembang pesat di kawasan ini cenderung tidak terarah dan tidak ada keselarasan antara hard space dan soft space.
Perkembangan kota yang sedemikian pesat kurang ditunjang oleh peningkatan kualitas hard space dan soft space sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan kota. Penataan elemen citra kota dan ruang terbuka di kawasan Margonda belum cukup mengakomodasi kualitas ruang kota yang mencerminkan image kawasan pusat kota. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan secara psikologis dan sosial bagi pengguna kawasan. Penulisan karya ilmiah ini membahas mengenai pengaruh elemen citra kota dan ruang terbuka sebagai elemen perancangan kota terhadap image ruang kota dengan tinjauan khusus pada ruang kota kawasan Margonda Raya Depok."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48543
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Salim Yunior
"Aspek suhu kenyamanan sesunggunnya telah semakin menjadi perhatian dalam kehidupan manusia, oieh karena suhu kenyamanan tersebut punya pengaruh yang besar pada kesehatan manusia sehari-hari. Suhu kenyamanan manusia di daerah tropis tidaklah sama dengan suhu kenyamanan pada daerah beriklim kering dan intermediate. Yang berbeda adalah faktor iklim pada beberapa daerah tidaklah sama.
Pencahayaan matahari menjadi faktor penentu suhu kenyamanan pada daerah iklim tropis. Intensitas pencahayaan matahari tidaklah sama untuk tiap iklim, begitu pula halnya dengan iklim tropis. Untuk mendapatkan acuan bagi perencanaan Iingkungan tempat tinggal manusia di iklim tropis teori mengenai arsitektur tropis dapat dijadikan sumber.
Skripsi ini akan membahas mengenai pencahayaan matahari pada iklim tropis lembab (Warm Humid Climate), di mana suhu kenyamanan yang akan dibahas juga mengenai suhu kenyamanan daerah tropis. Begitu pula dengan wujud kota tropis dapat dijadikan patokan untuk menciptakan suatu Kota yang warganya dapat menjalankan kehidupan sehari-hari secara nyaman."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
S48241
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Leo Amstrong
"Dapat dimengerti bahwa terdapat keinginan untuk mengatur kinerja jalan pada suatu nilai tertentu, agar tercipta pola lalu lintas yang baik dengan melakukan pembatasan trip pada ruas jalan, sebagai pemecahan problema kemacetan yang umum berlangsung di kota besar. Pemikiran tersebut memerlukan telaahan mendalam karena terdapat trade off antara pembatasan kinerja jalan pada satu sisi dengan pengaruhnya terhadap kinerja ruas jalan yang lain maupun trip yang melalui ruas jalan tersebut.
Melalui studi kasus koridor Blok M - Kota, yang merupakan kawasan macet di DKI Jakarta, dilakukan simulasi dengan model penjadualan yang dikembangkan dalam penelitian ini, guna memecahkan masalah hubungan antara pengaturan kinerja suatu ruas jalan terhadap trip dan kinerja ruas jalan yang lain.
Dari simulasi, dengan ditingkatkannya batasan VC ratio pada koridor Blok M-Kota, akan menyebabkan turunnya trip, peningkatan travel time serta perbaikan VC ratio pada ruas-ruas jalan di koridor tersebut. Hal tersebut juga terjadi pada ruas-ruas yang memotong koridor yang bersangkutan. Dari hubungan ini dapat dinyatakan bahwa ruas eksternal yang memotong koridor merupakan feeder bagi ruas koridor dengan tujuan utama adalah aktifitas pada kawasan Blok M - Kota.
Hal yang berbeda terjadi pada ruas jalan yang paralel dengan koridor, dimana dengan pembatasan yang dilakukan pada koridor Blok M - Kota, akan meningkatkan trip, pengurangan tavel time dan meningkatkan VC ratio pada ruas-ruas jalan tersebut. Hal ini menyatakan bahwa dengan pembatasan koridor utama membuat jalan tersebut menjadi kurang menarik dan menyebabkan perpindahan sebagian rute pelaku perjalanan walupun dalam tingkat yang lebih kecil dari koridor Blok M - Kota.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa hasil simulasi menunjukkan terdapatnya kecenderungan yang sama antara ruas jalan pada koridor dengan ruas yang memotongnya, serta cenderung terbalik terhadap ruas jalan yang paralel dengan koridor yang diatur. Tampak pula semakin besar batasan yang diberikan akan semakin besar pula nilai perbedaan yang timbul. Secara implisit hal ini menyatakan bahwa pengaturan pada suatu koridor jalan tertentu harus dilakukan terpadu dengan ruas jalan yang paralel dengan ruas tersebut."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
T14682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Hayu Shintani
"Kota-k.ota besar cenderung berorientasi pada pertumbuhan industri,jasa dan informasi yang mengesankan teknologis yaitu kola yang keras dengan teknologi tinggi, memerangi alam dan mengkerdilkan manusia. Menyadari hal itu, beberapa kota mulai merencanakan kota yang lebih humanis dengan memperbaiki lingkungan akibat perilaku manusia yang semena-mena terhadap alam. Untuk menclptakan kota yang humanis, lingkungan yang terbentuk disesuaikan dengan kenyamanan dan kesesuaian dengan tubuh manusla (human) sehlngga perencanaan kota lebih berorientasi kepada penggunanya karena manusia akan berkegiatan di dalamnya.
Humanopolis (kota yang humanis) akan tercipta jika masyarakat berperan serta dan berpartisipasi dalam menentukan wajah kota. Keterlibatan warga kota dalam pembangunan kota yang humanis tidak sekadar terbatas pada pemberian informasi, penyelenggaraan diskusi dan konsultasi tetapipada tahap citizen power. Rakyatlah yang berperan dalam menentukan wajah kota masa depan.
Dalam menciptakan kota yang humanis, diperlukan penyeimbangan kondisi ekosistem pada wilayah perkotaan seperti mempertahankan keberadaan ruang terbuka dan ruang terbuka hljau kota yang bersifat sosial. Ruang sosial itulah yang akan menjadi perekat bagi tumbuhnya rasa kebersamaan dan keakraban komunitas perkotaan. Pengolahan ruang terbuka kota ini, apabila berdasarkan faktor kebutuhan dan kenyamanan manusia (human), tentunya akan memberikan manfaat yang positif bagi warga kotanya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S48646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernadewita
"Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat,khususnya di Kota Cilegon disebabkan oleh pertumbuhan alamiah dan migrasi. Pertumbuhan ini mengakibatkan tekanan yang berat terhadap kota, apalagi mengingat fungsi kota Cilegon yang dijadikan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa.
Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan bertumpu pada lahan sebagai ruang yang dapat menyediakan (mengalokasikan) ruang bagi kegiatan-kegiatan tersebut beserta fasilitas dan utilitas penunjang yang dibutuhkan. Keterbatasan luas lahan yang tersedia, sementara tuntutan terhadap peningkatan berbagai fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan terus meningkat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan diberbagai bidang seiring dengan fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, baik langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang.
Perubahan struktur dan fungsi ruang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola adaptasi masyarakat. Proses adaptasi akan dialami baik oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat asli. Adaptasi yang dituntut terjadi tidak hanya dari segi budaya tetapi juga dalam keikutsertaan berperan pada kegiatan pembangunan.
Berdasarkan karakteristik tersebut, penelitian dilakukan di wilayah Cilegon, yang saat ini terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yaitu: Cilegon, Ciwandan, Cibeber, dan Pulomerak. Cilegon berada 90 km dari Barat Jakarta. Sebagai pusat penataan ruang, Cilegon merupakan pusat perdagangan, perkantoran, dan wilayah permukiman; Ciwandan memiliki pelabuhan Banten dan kawasan industri; Pulomerak sebagai kawasan industri, pelabuhan Merak dan wilayah pemukiman; Cibeber adalah wilayah permukiman dan juga terdapat waduk yang digunakan untuk menyuplai air ke sebagian komunitas masyarakat di Cilegon dan juga untuk PT. Krakatau Steel.
Luas Cilegon (17.550 Ha), dan jumlah penduduk sebesar 294,936 jiwa (talrun 1999), tersebar pada 4 (empat) Kecamatan di Kota Cilegon, dengan rincian:
  1. Kecamatan Ciwandan dengan luas wilayah (7.483 Ha), kepadatan penduduk sebesar 83.861 jiwa, yang terdiri dari 42.897 jiwa laki-laki dan 40.964 jiwa perempuan.
  2. Kecamatan Cilegon dengan luas wilayah (1.753 Ha), kepadatan penduduk sebesar 69.488 jiwa, yang terdiri dari 35.352 jiwa laki-laki dan 34.136 jiwa perempuan.
  3. Kecamatan Cibeber dengan luas wilayah (2.466 Ha), kepadatan penduduk sebesar 41.362 jiwa, yang terdiri dari 20.911 jiwa laki-laki dan 20.451 jiwa perempuan.
  4. Kecamatan Pulomerak dengan luas wilayah (5.848 Ha), kepadatan penduduk sebesar 100.225 jiwa, yang terdiri dari 51.527 jiwa laki-laki dan 48.698 jiwa perempuan.
Pada tahun 1990 penduduk Cilegon terdaftar sebesar 226.461 jiwa. Pada 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 257.864 jiwa dan pada tahun 1999 menjadi 278.462 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tersebut terus berlangsung pada tahun 2000, mencapai 294.936 jiwa, hal itu berarti bahwa pada tahun 1999 terjadi pertambahan penduduk sebesar 8,06%, dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi peningkatan sebesar 6,13% (terjadi penurunan peningkatannya sebesar 1,93% dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1998-1999). Sementara luas Cilegon tetap pada 17.550 Ha, yang berarti tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1998 adalah sebesar 1.469 jiwa per Ha, sedangkan tahun 2000 menjadi 1.681 jiwa per Ha.
Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di daerah ini erat kaitannya dengan perkembangan industri yang dimulai semenjak tahun 1965 dengan berdirinya industri baja pertama yang sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Steel, dan pembangunan berianjut sampai tahun 1990 (di mana industri lain juga dibangun di Cilegon, yang sebagian besar industri kimia, seperti: PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (DOW Chemical), PT Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri. dan lain-lain). Nampaknya pertumbuhan penduduk yang tidak merata persebarannya di Cilegon itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan industri tersebut. Hal ini menimbulkan penyebaran penduduk yang terkonsentari di pusat kegiatan bisnis (Cilegon).
Perkembangan industri dan konsentrasi serta distribusi penduduk tersebut, tidak terlepas dari penataan wilayah yang direncanakan sedemikian rupa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Cilegon ditetapkan sebagai pusat utama untuk kawasan andalan Bojonegara-Merak-Cilegon dan sekitarnya. Sektor unggulan untuk kawasan ini adalah: industri, pertanian tanaman pangan, pariwisata, perikanan, dan pertambangan. Khusus untuk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), Cilegon berfungsi sebagai pusat (simpul). Dengan adanya RTRW yang menetapkan fungsi sebagai pusat, maka fungsi-fungsi yang diemban oleh Cilegon adalah sebagai pusat industri, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat kegiatan komersial, pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan pelabuhan dan sebagai pintu gerbang Barat PuIau Jawa, serta sebagai kota lintasan pergerakan kegiatan wisata Anyer-Carita dan lalu lintas Jawa-Sumatera.
Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayahnya.
Dari kenyataan tersebut di atas penataan ruang Cilegon menunjukkan penataan ruang dalam arti sempit. Budihardjo (1997: 1) mengungkapkan bahwa tata ruang sebagai suatu kegiatan penataan yang tidak hanya berarti sempit atau terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata, tetapi juga melakukan penataan manusia dengan segenap keunikan perilakunya. Bahkan Rapoport menggunakan istilah "cultural landscape" karena kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya dengan beraneka ragam karakter, sifat, keunikan, dan kepribadian. Mengingat hal tersebut (Budihardjo, 1997: 2) mengungkapkan bahwa yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah.
Berkaitan dengan penataan ruang dan adaptasi manusia, Weber (dalam Budihardjo, 1997. 2) mengungkapkan bahwa jurang kaya miskin makin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan yang dilandasi penalaran kalkulatif. Durkheim (dalam Budihardjo, 1997:2) menambahkan bahwa keadaan demikian menyebabkan kesepakatan moral yang disepakati bersama makin meluntur. Gejala demikian terlihat pada masyarakat yang terdapat di Kota Cilegon.
Permasalahan umum yang terdapat di Kota Cilegon, seperti juga yang dihadapi oleh kota-kota lain di Indonesia, sesuai dengan perkembangannya adalah sebagai berikut :
  1. Penyebaran (distribusi) penduduk di wilayah kota yang tidak merata.
  2. Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, pertumbuhan ini terjadi terutama diakibatkan oleh migrasi penduduk dari tempat lain ke Cilegon untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.
  3. Ketersediaan fasilitas dan utilitas kota yang tidak atau belum mencapai tingkat yang optimal.
  4. Perkembangan yang sangat pesat terkonsentrasi di sepanjang jalur arteri regional (sepanjang Jalan Raya Cilegon).
  5. Kualitas jaringan jalan yang sebagian besar belum mencapai tingkat kondisi yang baik, terutama jalan-jalan lingkungan atau jalan-jalan desa.
Sementara itu permasalahan khusus yang dihadapi oleh Cilegon adalah adaptasi masyarakat terhadap perubahan fisik dan sosial yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan wilayah. Perubahan yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan seyogyanya dapat meningkatkan mutu hidup masyarakat. Kenyataannya, perubahan kegiatan pembangunan khususnya di bidang industri, ternyata juga membuka lapangan kerja dan menimbulkan dampak lingkungan yang harus dihadapi oleh penduduk setempat dan juga tergusurnya penduduk dari lingkungan hidupnya yang asli. Di mana hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar atau akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada penduduk setempat dan kemampuan mereka dalam menghadapi proses penyesuaian terhadap perubahan fungsi lingkungan.
Dari permasalahan yang diuraikan di atas maka formulasi pertanyaan penelitian adalah:
  1. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kualitas hidup masyarakat?
  2. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dirumuskan: tata ruang mikro (yang dilihat dari: ventilasi, pencahayaan, saluran air (drainage)) dan persepsi terhadap pelaksanaan rencana tata ruang (yang dilihat dari struktur dan wujud tata ruang) di jadikan variabel bebas (independent variable) dan kualitas hidup (berisikan kondisi sosial ekonomi, yang dilihat dari: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, daerah asal, pendapatan, pengeluaran, kesehatan, kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban) dijadikan variabel tidak bebas (dependent variable).
Selanjutnya, berdasarkan fokus penelitian, asumsi-asumsi yang dikemukakan, diformulasikan kedalam 2 (dua) hipotesis berikut:
  1. Terdapat hubungan antara kualitas hidup masyarakat dengan penataan ruang.
  2. Terdapat hubungan antara kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban dengan penataan ruang.
Lokasi penelitian adalah Kota Cilegon seperti telah disebutkan di atas, yang meliputi 4 (empat) kecamatan, yaitu: Ciwandan, Cilegon, Cibeber, dan Pulomerak. Sampel yang digunakan dipilih secara acak, yaitu sebesar 130 kepala keluarga (KK/responden), yang terdiri dari: 25 responden di Ciwandan, 55 responden di Cilegon, 15 responden di Cibeber, dan 35 responden di Pulomerak.
Analisis data dilakukan secara deskriptif (dengan menggunakan perhitungan persentase dan populasi) dan analisis kuantitatif (untuk melihat hubungan dari masing-masing variabel, menggunakan uji statistik Chi-Square (x2) dan uji korelasi dengan tingkat signifikansi 95% (a=0,05)).
Dari hasil pengolahan data terhadap penataan ruang (independent variable) dan kualitas hidup (dependent variable) diperoleh:
1. Tata Ruang Mikro. Variabel uji yang digunakan adalah ventilasi, pencahayaan, dan saluran air. Dari hasil uji statistik diperoleh, penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup (dari variabel kontrol pendapatan). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan (x2 hitung = 33,815 (ventilasi) dan 25,631 (pencahayaan) lebih besar dari x2 tabel= 24,996; dan 33,015 (saluran air) lebih besar x2 tabel= 18,307),
2. Persepsi terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Variabel yang diuji dibagi atas dua yaitu struktur tata ruang (meliputi: alih fungsi ruang, dan pembebasan tanah) dan wujud tata ruang (meliputi: persepsi terhadap UUPR, UU, dan pelaksanaan UUPR). Dari hasil uji statistik diperoleh hasil uji terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), untuk struktur tata ruang (x2 hitung = 59,138 (alih fungsi); 32,415 (pembebasan tanah), yang keduanya lebih besar dari x2 tabel = 18,307); perhitungan statistik untuk wujud tata ruang (x2 hitung = 29,569 (pengetahuan), lebih besar dari x2 tabel =11,070) dan (f hitung = 32,415 (pelaksanaan RUTR) dan 92,785 (sikap pemerintah terhadap RUTR), keduanya lebih besar dari (x2 tabel = 18,307). Dapat dikatakan pengetahuan mengenai tata ruang yang tertuang dalam RUTR wilayah berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup yang diwakili oleh pendapatan yang diperoleh sebagai penghasilan perbulan.
3. Daerah Asal. 79 responden (60,80%) menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli daerah Cilegon, karena mereka sudah bermukim dan memperoleh penghidupan di wilayah ini sudah lebih dari 20 tahun. Sementara sisanya, 51 responden (39,20%) adalah penduduk yang datang dan bermukim di Cilegon untuk memperoleh penghidupan kurang dari 20 tahun. Dari hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya pengaruh daerah asal terhadap pendapatan, dimana (x2 hitung=6,031 lebih kecil dari x2 tabel= 11,070),
4. Sosial Ekonomi
a.Tingkat Pendidikan
Dari tingkat pendidikan sebagian besar responden berada pada tingkat pendidikan menengah (Pendidikan SLTA), 84 responden (64,6%) berada pada tingkat pendidikan menengah (SLTA); 29 responden (22,3%) berada pada tingkat pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi); 17 responden (13,1%) berada pada tingkat pendidikan rendah (SD-SLTP).
b.Jenis Pekerjaan.
42 responden (32,3%) berprofesi sebagai Pegawai Negeri; 30 responden (23,1%) berprofesi sebagai karyawan swasta; 30 reponden (23,1%) mempunyai usaha sendiri sebagai wiraswasta; dan sisanya 28 responden (21,6%) bekerja sebagai buruh dan lain-lain (tukang ojek dan ibu rumah tangga).
c.Pendapatan dan pengeluaran.
Berada pada kisaran (Rp. 500.000 sampai lebih besar dari Rp. 3.000.000 per bulan). Sebahagian besar tingkat pendapatan penduduk Cilegon tersebut dipergunakan untuk pengeluaran kebutuhan pokok (37,75%) dan sekunder (62,25%). Dari hasil ini dapat dikategorikan bahwa masyarakat Cilegon sebagai masyarakat tidak miskin, dikarenakan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok berada dibawah 40% dari seluruh total pengeluaran.
5. Kelembagaan Sosial, Keamanan dan Ketertiban - Kelembagaan Sosial.
Terdapat 11 (sebelas) lembaga sosial masyarakat yang terbentuk di Cilegon, yaitu: PPM (Pemuda Panca Marga); FKKT (Forum Komunikasi Karang Taruna); AMS (Angkatan Muda Siliwangi); KNPI; Pemuda Pancasila; IPSI; FBMC (Forum Bersama Masyarakat Cilegon); MUI (Majelis Ularna Indonesia); LPMC (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cilegon); AMPI; KMC (Korp Mubalig Cilegon).
- Keamanan dan Ketertiban.
92 responden (70,77%) menyatakan kondisi keamanan lingkungannya aman; 38 responden (29,23%) tidak aman. Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa keamanan lingkungan berpengaruh terhadap terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), yang ditunjukkan oleh (x2 hitung = 84,938 lebih besar dari x2 tabel = 18,307).
6. Kesehatan. Kesehatan masyarakat dilihat dari tingkat kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, dan sanitasi/MCK. Dari perhitungan statistik diperoleh, terdapat pengaruh kesehatan masyarakat terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), dengan variabel uji: Kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, MCK. Dari hasil perhitungan diperoleh untuk kesehatan balita (x2 hitung = 51,154 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). Tetapi untuk Kondisi MCK (x2 hitung = 6,108 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307) dan sumber air bersih [x2 hitung = 2,406 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307), yang berarti sanitasi dan air bersih yang digunakan dan dikonsumsi masyarakat sehari-hari tidak berpengaruh terhadap pendapatan (variabel kontrol kualitas hidup).
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian dan hubungannya dengan perspektif penelitian lingkungan (sebagai acuan dalam penggelolaan lingkungan), penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup, dan tidak terdapat korelasi (hubungan) antara penataan ruang dan keberadaan kelembagaan sosial. Sementara itu, keamanan dan ketertiban lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan). Sesuai dengan keinginan masyarakat, Pemerintah Kota Cilegon harus terbuka dalam penataan kotanya, terutama dalam penataan ruang.

The fast growing of population, especially in Cilegon was caused by natural growth and migration. This growth brought heavy pressure to the city, especially its function in the future as the industrial city, trading, and services.
By the number of its functions, its makes all of activities concentrated to the land as the space with allocated for all of those activities and also provided facilities and utilities as needed. Its need to increase the land functions for all aspect in development activities, meanwhile, its limited on availability of land area. Those activities, direct or indirect, will caused the changed on space utilisations for the number of development sectors.
Eventually, the changed in function of structure and space will be affected to the adaptation pattern in the society. Adaptation process should be concerned by the society, even the foreigner or origin society. It's not just adaptation of cultural needs, but also the participation on the development activity.
Based on those characteristics, this research focuses on the Cilegon area, which is divided by 4 (four) sub-districts area, ie: Cilegon, Ciwandan, Cibeber and Pulomerak. Cilegon is 90 kilometers from west Jakarta. As focused to the spatial planning, Cilegon as the center of trading, offices, and settlement region; Ciwandan has a Banten Port and industrial estate; Pulomerak as industrial estate, Merak Port and settlement region; Cibeber as settlement region and has a reservoir which is supply the water to some area in Cilegon community and PT. Krakatau Steel.
When the monetary crisis came to Indonesia in the middle of 1997, its affected to all of economic sectors in this country, and also to the investment on industrial sector in Cilegon. By 1997, population growth following the crisis not so many people come to work in industrial basis. Industrial sector could not employ `more employee' to work with them. This is another problem that affected to Cilegon government in manage their community.
Cilegon area (17.550 Ha), 294.936 persons in number of populations (year 1999); which are 150.687 (male) and 144.249 (female) and they spread on 4 (four) sub-districts in Cilegon, as follows:
1. Ciwandan area (7.483 Ha), by population density of 83.861 persons; 42.897 (male) and 40.964 (female).
2. Cilegon area (1.753 Ha), by population density of 69.488 persons: 35.352 (male) and 34.136 (female).
3. Cibeber area (2.466 Ha), by population density of 41.362 persons; 20.911 (male) and 20.451 (female).
4. Pulomerak area (5.848 Ha), by population density of 100.225 persons; 51,527 (male) and 48.698 (female).
By the 1990, number of populations in Cilegon are 226.461 persons, and in 1998 increased to 257.864 persons, and its increased in 1999 278.462 persons. Its increased continued to year 2000, up to 294.936 persons. Its mean, in 1999 (8,06%) increased than 1998 (6,13%) and the populations decreased (1,93%) than growth in population (1998-1999). Meanwhile, Cilegon areas stay at 17.550 Ha (1998), population density of 1.469 persons per Ha, and 1.681 persons per Ha (2000).
Higher in population growth of Cilegon are related to the development of industrial growth which has started since 1965 by development of PT. Krakatau Steel, and the developing continued to 1990 (when some other industries build in Cilegon area, mostly chemical industries, ie., PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (Dow Chemical), PT. Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri, etc). Population distribution related to the distribution of industries space. Its make the population concentrated into the center of business districts (Cilegon).
Industrial development and population density concentrated in Cilegon area based on Spatial Planning Area, under Regulation No. 47, year 1999 about National of Regional Spatial Planning (RTRWN), and considered to Cilegon, as the center of the pledge area: Bojonegara-Merak-Cilegon. The first development sectors are: industries, agricultural, tourism, fishery, and mining area. Especially, RTRW (Regional Spatial PIanning), Cilegon functions are as the districts of industries, trading and services, center of commercial places, government activities, and as the West Gate' of Java Island, and the center of maritime-tourism (Anyer-Carita-Labuan) and as the matters pertaining traffic of Java-Sumatra.
By the number of that functions, its makes all of activities were concentrated to the land, and for the number of development sectors will caused the changed on space utilisations and capability (carrying capacity).
Based on those characteristics, spatial planning in Cilegon has shown a `constrictive meaning'. Budihardjo (1997: 7) said that spatial planning is a structuring activity that not just limited on planning and physical design, but also how to manage human aspect in all of unique behavior. Even, Rapoport used the `cultural landscape', because the city and region are based on the implementation of the culture in various characteristics, attitude, unique, and personality. Considering to those matters (Budihardjo, 1997: 2) shown that the first things to understand of the culture from various community and the impact of value system, norm, life style, activities and the conviction symbol to the structure and format of the city and region. Understand to the impact in all aspect of human life, its need a human adaptation to their community.
Related to the spatial planning and human adaptation, Weber (in Budihardjo, 1997: 2) shown, that we have to face `the gap' between the richer and the poorer, and the solid community became an individualistic and based on the calculative thinking. Durkheim (in Budihardjo, 1997: 2) also said that situation will affected to the changeable of integrative agreement (integrative needs). Those symptoms have shown by Cilegon community, lately.
General issues in Cilegon area, as also found in the other cities (or entire cities) in Indonesia, following their development are:
1. Inequitability in distribution population, especially in the city region.
2. Higher in population growth, specially in the city region, its caused (especially) by migration from the other city to Cilegon for having `a better income (revenue).
3. The availability of facilities and utilities are not optimise.
4. The fast development concentrated along the arterial road (along Cilegon main road).
5. Most of road network are still in `minor' conditions, especially embraced road and rural.
Meanwhile, the specific issues that have to face by Cilegon are adaptation of community into physical and social change that introduced by the region development activities. The changed that introduced by the development activities should increase the quality of life. In fact, changed in development activities, especially in industries based, beside its open new space for `man power', also affected to `minor community who could not gain to it. Who become `a big problem' or affected to social and culture.
In accordance with these matters, this research focuses on the local society effort to face readjustment process on their environment, which shifted in function.
For this reason, the fundamental problem in this research is formulated in two research questions as follows:
1. Are there any correlations between spatial planning and the quality of life?
2.Are there any correlations between spatial planning and social institution and environmental safety?
To answer research questions as it has been mentioned, the spatial planning (contained society perception on implementation of spatial planning it self; Regulations and the implementation) indicated as independent variable and quality of life (contained in social-economic basis: education, income (revenue), expenditure, health, social institution perception on implementation of the spatial planning and environmental safety), as dependent variable.
Furthermore, to focus to the research problem, assumption has been made through two general hypothesis:
1. There is correlation between spatial planning and the quality of life.
2. There is correlation between spatial planning and social institution and environmental safety.
Research location is Cilegon (as mentioned above) in four sub-districts, ie: Ciwandan, Cilegon, Cibeber and Pulomerak. Sample being used is stratified random sampling for 130 head of family (KK) consist of 25 in Ciwandan, 55 in Cilegon, 15 in Cibeber and 35 in Pulomerak.
Data were analyses descriptively by percentage as well as statistical test of CM-Square (x2) and correlation (0, with significance level 95% (a= 0.05).
As a research results were the spatial planning (independent variable) and the quality of life (dependent variable) in social-economics, which is contained:
1. Micro Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was ventilations, illuminations (sunlight), and drainage. From statistical test, its shown (x2 test 33.815 (ventilations); 25.631 (illuminations); and 33.015 (drainage), which are higher than x2 table= 24.996 (ventilations and illuminations); 18,307 (drainage), its mean these variables significantly affected by spatial planning.
2. Perception on Implementation of Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was spatial planning structures (transferring the right of land and acquittal) and formatted (perception of knowledge and implementation of regulation of spatial planning). From statistical test, its shown that (x2 test = 59.138 and 32.415 for structures) higher than (x2 tables for both = 18.307) and (x2 test = 29.569; 31415; and 92.785 for formatted) higher than (x2 tables = 18.307 for implementations and 11.070 for knowledge). Significantly structure and formatted of spatial planning affected to the quality of life (in income as control variable).
3. Origin Region. 79 respondents (60.0%) from Cilegon (which stayed in Cilegon longer than 20 years) and 51 respondents (39.20%) from outside Cilegon. There is no impact of the origin to income, as shown statistically (x2 test=6,031 lower than x2 table= 11,070).
4. Social-Economics, contained:
Education.
84 respondents (64,6%) from senior high school (SLTA); 29 respondents (22,3%) from college, 17 respondents (13,1%) basic (SD-SLTP).
Job.
42 respondents (32,3%) Government Employee; 30 respondents (23,1%) private workers; 30 respondents (23,1%) running their own business; 28 respondents (others; house wife, laborer, etc).
Income and expenses.
Range between (Rp. 500,000 to higher than Rp. 3,000,000)1 Most of expenses for secondary section needs (62.25%) and the rest for nine staples (37.75%). That's mean Cilegon society are not poor society.
5. Social Institutions and Environmental Safety
Social Institutions. There are 11 (eleven) social institutions in Cilegon, ie., PPM, AMS KNPI, Youth Pancasila, IPSI, FBMC, MIA and KMC (Moslem organization), LPMC, and AMPI. According to the information, these institutions not affected to the lower level community. They trapped into the conflict of interest (certain community).
- Environmental Safety.
92 respondents (70.77%) said there were no crime (safe); 38 respondents (20.77%) unsafe. It was found from the statistical test that environmental endurance was affected to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 84.938 higher than x2 table = 18.307).
6. Health. The society health test by children under five years old category, clean water resources, and sanitations. From statistical test results: for health conditions affected to quality of life (income), which has shown by (x2 test = 51.154 higher than x2 table = 18.307) and sanitations did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 6.108 lower than x2 table = 18.307); clean water resources did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 2.406 lowest than x2 table = 18.307).
As a whole, based on research results and in conjunction with the perspective of environmental research (basic guidance on managing the environment), spatial planning affected to quality of life, and there was correlated between spatial planning to environmental safety but not affected to social institutions. In order to the community requested, Cilegon government should have open management in manage their town.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 2953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati Amir
"Lingkungan hidup dengan seluruh komponennya yang saling bergantung satu sama lain haruslah selalu dalam keadaan seimbang. Upaya pemenuhan kebutuhan penduduk meningkatkan pembangunan gedung dan perkerasan di seluruh penjuru kota sehingga lugs lahan yang diperuntukkan bagi hutan, jalur hijau, taman, dan jenis RTH lainnya semakin berkurang. Ketidakseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan ini tentu mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan, seperti iklim mikro yang tidak menyenangkan, karena Iuas permukaan yang menimbulkan suhu tinggi (struktur dan perkerasan) semakln bertambah sementara luas permukaan yang menimbulkan suhu rendah (tumbuhari dan air) semakin berkurang.
Karena nilai lahan di kawasan perkotaan semakin tinggi dan tidak nyaman untuk menjadi kawasan permukiman, maka semakin banyak kawasan permukiman dibangun dl pinggir kota, contohnya Kota Taman Bintaro Jaya (KTBJ), Tangerang, Banten. Walau banyak pengembang berlomba menawarkan konsep hunian yang ramah lingkungan, kenyataannya, perencanaan RTH masih memprioritaskan aspek estetika dibandingkan aspek ekologis. Untuk mengefektifkan fungsi ekologis dari RTH, khususnya fungsi pengendalian iklim mikro (biasa dlsebut fungsi klimatologis), maka kualitas RTH ini perlu ditingkatkan karena mempertimbangkan kecukupan dari aspek luas saja tidak memadai.
Dengan demikian, dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimana kondisi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH di kawasan permukiman KTBJ?
Apa tanggapan warga KTBJ terhadap RTH yang sudah ada berkaitan dengan efektivitas fungsi ekologlsnya?
Bagaimana memperbaiki kondisi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH di kawasan permukiman?
Mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya waktu, tenaga, dan Jana fungsi ekologis yang akan diteliti dibatasi pada fungsi pengendalian iklim mikro (fungsi klimatologis) karena lebih sesuai dengan permasalahan yang ada di lokasi studi.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengevaluasi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH (seperti luas, distribusi, struktur, bentuk tajuk, kerapatan potion, dan perkerasan) dengan membandingkan terhadap literatur yang ada.
Mengetahui tanggapan warga tentang kondisi RTH di kawasan permukiman yang diteliti berkaitan dengan efektivitas fungsi ekologisnya.
Mencari konsep penataan RTH yang bisa meningkatkan efektivitas fungsi ekologis yang sesuai bagi kawasan permukiman.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah dan pengembang dalam pengelolaan RTH di kawasan permukiman.
Penelitian ini adalah penelitian penilaian yang bertujuan untuk menilai suatu program, dalam hal ini adalah program pembangunan RTH di kawasan permukiman. Obyek yang akan dinilai RTH di kawasan permukiman balk secara keseluruhan maupun beberapa jenis RTH secara individu. Varlabel penelitian ini adalah faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis, khususnya fungsi klimatologis, yaitu Iuas, distribusi, struktur, bentuk tajuk, kerapatan pohon dan perkerasan. Penilaian akan mengacu pada kriteria penliaian yang dibuat berdasarkan literatur.
Lokasi penelitian adalah kawasan permukiman terencana yang akan berkembang menjadi permukiman berskala besar, yaitu Kota Taman 8intaro Jaya. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti jurnal, buku teks, laporan seminar, lembaga terkait, maupun data dart pengelola. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan lapangan dan wawancara (wawancara intensif dengan pihak pengelola kawasan permukiman, serta tenaga ahli yang berkaitan dengan studi dan wawancara dengan warga yang dipandu dengan daftar pertanyaan).
Evaluasi terhadap Iuas dan distribusi RTH dilakukan dengan menggunakan data citra satelit terhadap kawasan permukiman secara keseluruhan. Luas penutupan vegetasi di kawasan permukiman ini dominasi oleh pohon-pohon dan rumput. Areal berpohon lebih kurang 11,5% sedangkan rumput/semak lebih kurang 93% dan nilainya termasuk kategori sedang. Karena jumlah areal berpohon tersebut hanya 38 % dari Iuas minima! yang disarankan, maka daerah berpohon masih perlu ditambah. RTH jugs belum terdistribusi dengan baik. Penutupan tajuk pohon hanya dominan di sektor terbaru, yaitu sektor 9 di sektor lain, penutupan pohon hanya tampak di sepanjang saluran air sehingga nilai variabel ini termasuk rendah. Evaluasi terhadap faktor lain dilakukan melalui pengamatan pada beberapa jenis RTH yang dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk jalur (jalur hijau jalan utama, jalur hijau jalan lingkungan, dan jalur hijau tepian air) dan bentuk zonal (taman kingkungan dan taman kota). Struktur sebagian besar RTH termasuk kategori sedang (strata 3). bentuk tajuk sebagian besar RTH termasuk kategorl sedang. Kerapatan pohon rata-rata RTH termasuk sedang. Satu-satunya faktor penentu yang nilainya tinggi adalah perkerasan pada area! RTH, yaitu kurang dari 10% untuk RTH berbentuk Jalur dan kurang dad 30% untuk RTH berbentuk zonal.
Evaluasi terhadap tanggapan warga menunjukkan bahwa hampir semua responden memilih tinggal di KTBj karena mengidamkan daerah hunian yang nyaman. Diantara responden yang diwawancarai, hanya sebagian kecil yang menyadari bahwa RTH bisa berfungsi sebagai pengendali iklim mikro, mereka lebih mempersepsikan RTH sebagai peneduh Baja. Namun, persepsi yang cukup balk tentang fungsi ekologis lain tampaknya cukup untuk membuat warga menyadari pentingnya RTH untuk menjamin keberlanjutan sebuah kawasan permukiman.
Hampir semua responden lebih menyukai jalan lingkungan yang diteduhi oleh pohon rindang daripada yang tidak diteduhi pohon, sementara preferensi untuk taman lingkungan hampir sama. Pemanfaatan jalur hijau jalan Iingkungan masih terbatas pada pagi dan sore harl, sementara berjalan kaki di jalan utama terbatas hanya untuk aktivitas sehari-hari pada beberapa responden. Kunjungan ke taman lingkungan masih terbatas pada aktivitas anak-anak balita, sedangkan taman kota yang selalu ramai pada had libur masih jarang dikunjungi oleh responden.
Semua responden menyadari pentingnya keterlibatan warga di dalam keberhasllan program penghijauan di kawasan permukiman namun hanya sebagian kecil yang benar-benar mau terlibat secara aktif. Sebagian menganggap hal itu sebaiknya dilakukan secara terkoordinir melalui RT misalnya. Secara umum seluruh responden juga menganggap perlu perbaikan di sana sini agar motto kawasan permukiman ini sesuai dengan kenyataannya.
Kondisi faktor-faktor penentu fungsi ekologis yang perlu dilakukan karena fungsi pengendalian iklim mikro yang tidak efektif bisa menimbulkan masalah Iingkungan yang lain sehingga perbaikan perlu segera dilakukan diantaranya dari aspek fisik maupun sosial.
Sintesis aspek fisik antara lain dengan pembangunan taman hutan, membangun sistem jaring RTH: perbaikan struktur, bentuk tajuk, dan kerapatan pohon, serta mernbuat zonasi pada ruang RTH berbentuk zonal, terutama taman kota.
Sintesis aspek sosial meliputi peningkatan peranserta masyarakat serta kampanye penghijauan yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kesimpulan penelitian ini adalah:
Evaluasi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis, dalam hal Ini fungsi klimatologis, pada RTH di kawasan permukiman menunjukkan bahwa luas termasuk kategori sedang, distribusi termasuk kategorl rendah, struktur termasuk kategori sedang, bentuk tajuk termasuk kategorl sedang, kerapatan palm termasuk kategori sedang, dan perkerasan termasuk kategori tinggi.
Evaluasi terhadap masalah warga menunjukkan bahwa kondisi RTH saat ini masih belum sesuai dengan motto "Hidup Ivyaman di Alam Segar' sehingga diperlukan banyak perbaikan dari segi kuantitas dan kualitas.
Peningkatan efektivitas fungsi ekoiogis RTH, dalarn hat ini fungsi klimatologis, dapat dilakukan dengan perbaikan secara fisik dengan meningkatkan kualitas RTH yang ada maupun dari aspek sosial untuk menjamin keberlangsungan perhatian warga terhadap keberhasilan program penghijauan yang dijalankan.

Environment, which it's components are depending on each other, must always be in a dynamic balance. Efforts to meet citizens needs have caused increasing development of structures dan pavements all around the cities so that woodlands, greenbelts, parks, street trees, and any kind of green open space have been decreasing. Disturbance to the balance can cause environmental problems, such as, mlcroclimatic problems due to the domain of high surface temperature (structures and pavements) is getting wider and the contrary, the domain of low surface temperature (plants and water) is getting less.
Since the price of land in cities is extremely expensive and on the other hand, comfortable is decreasing gradually, many new planned communities built In the hinterland, for example Kota Taman Bintaro Jaya (KTBJ), Tangerang, Banten. Although the developers compete to create ecological sound communities, the fact is, aesthetical aspect in green open space planning still has priority over ecological aspect. To activate the ecological functions of green open space, especially climatological functions, we have to enhance It's quality because the consideration of land size alone seems not enough.
Therefore, the problem statements are as follows: What is the condition of determinant factors of green open space ecological function effectiveness in KTBJ?
What is the inhabitants' comments about the current condition of green open space regarding their ecological function effectiveness?
How to improve the condition of determinant factors of greenspaces ecological function effectiveness in KTBJ?
Considering the limitation of resources, the evaluation of ecological functions is focused only on climatological functions which are more suitable with environmental issues in study area.
The aims of this study are: To evaluate the determinant factors of green open space ecological function effectiveness, such as area, distribution, structure, crown form, tree density, and pavement, by comparing them to the literature available.
To find out the inhabitant comments about the current condition of green open space regarding their ecological function effectiveness.
To look for suitable green open space planning concept to improve the effectiveness of ecological functions in KTBJ.
The results are expected to be useful for the consideration in green open space planning and development in planned communities.
This is an evaluation research with the objective is to evaluate the green open space development program in a settlement area. The objects evaluated are the community green open space in a total area and some kinds of green open space individually. The variables are determinant factors of green open space ecological functions effectiveness, especially, climatological functions, such as area, distribution, structure, canopy form, trees density and pavement. Evaluation will be based on conditions recommended by previous researches.
The study area was a planned community which growing into big scale community, Kota Taman Bintaro Jaya, Tangerang, Banten. Secondary data were collected from many sources, such as journals, text books, seminar proceedings, proper institution, etc. Primary data were collected from field observation and interviews (deep interview with the developers and professionals; structured interview with the inhabitants).
Evaluation on area and distribution of green open space was conducted by using the remote sensing visual data. Vegetation coverage is classified into two classes, trees and lawn/shrubs. Trees occupied the scene as much as 11,5%, white lawn/shrub occupied only 9,3%. Since tree coverage was only 38% from minimum percentage recommended, than it needs to be broadened. The green open space are not well distributed. The largest trees area was located only in newest sector (IX Sector). In other sectors, trees coverage appeared only along the water bodies.
Evaluation on other key factors were conducted by observing some kinds of green open space grouped into two forms. They were line (street trees in main and neighborhood streets, and stream corridors) and zonal (neighborhood and community parks). The structure in most of the green open space was medium level (consists of three-layered vegetation: lawn, shrubs and trees). The crown form was medium level. The trees density also was medium level. The pavement was high level (less than 10% for line and less than 30% for zonal) . Evaluation on inhabitants aspect showed that almost all of the inhabitants chose to live in this community to have a comfortable living. The motto "Comfortable Living in a Fresh Nature" itself, effected more to their expectation for a better quality of the green open space. Only some of the respondents aware that green open space have microclimatic functions, they percepted it only as shading. They know about other green open space ecological functions such as erosion controller, oxygen producers, Those perceptions seemed enough to build their awareness about the importance of
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Dwiyanthi
"Sistem kompensasi merupakan komponen penting dalam manajemen SDM suatu perusahaan, karena erat kaitannya dengan kinerja karyawan dan kemampuan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas. Sistem kompensasi ini terdiri dari struktur gaji pokok, sistem insentif dan sistem tunjangan.
Lembaga Teknologi FTUI merupakan sebuah institusi milik Fakultas Teknik UI, yang bergerak dalam penyediaan jasa konsultan dan pelatihan. Dengan semakin meningkatnya persaingan dalam memperoleh SDM yang berkualitas, dan dengan semakin meningkatnya biaya hidup, maka perbaikan sistem kompensasi untuk para karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi institusi.
Penelitian ini merancang sistem kompensasi total untuk LEMTEK dengan mempertimbangkan hasil dari survei kepuasan karyawan pada seluruh karyawan internal LEMTEK dan survei kompensasi pasar pada 7 institusi yang sejenis dengan LEMTEK. Dari hasil survei kepuasan karyawan diketahui bahwa tingkat kepuasan karyawan terhadap sistem kompensasi LEMTEK masih berada dalam skala kurang puas. Sedangkan dari hasil survei kompensasi pasar diketahui bahwa garis gaji pokok LEMTEK dengan persamaan Y = -6.3 + 1OOX, masih ada di bawah garis gaji pokok pasar dengan persamaan Y = 21.8 + 123K. Selain itu sistem insentif dan tunjangan yang diterapkan oleh LEMTEK belum teratur dan konsisten serta masih bersifat subyektif. Rancangan sistem kompensasi yang baru menghasilkan garis kebijakan gaji pokok dengan persamaan Y = 120 + 235X, rancangan sistem insentif berdasarkan tingkat keterlibatan dan kinerja karyawan, serta rancangan sistem tunjangan yang sesuai dengan kecenderungan pasar dan memperhatikan kesejahteraan karyawan.

Compensation system, a component of human resource management, played a critical role in modern organizations. it has great influence on employee performance and links directly to organizations ability to attract and to retain high-qualified employee. The major categories of compensation include base wage, short and long-term incentives, and employee benefits and services.
LEMTEK FTUI is an institute owned by Faculty of Engineering University of Indonesia, which provides a comprehensive range of consultancy services and training LEMTEK has realized that the improvement of compensation system is a critical internal strategy, due to the tough competition in recruiting high-qualified employee and the increasing of living cost.
This research aims to design compensation system for LEMTEK, with reference to the result from both employee satisfaction survey and market compensation survey. It is recognized from employee satisfaction survey that the satisfaction level of employee for the present compensation system is still relatively low. Market survey results in market pay line Y = 21.8 + 123X which means the LEMTEK pay line Y = -6.3 + 100X is still below the market pay line. Beside that, the present incentives and employee benefits and services system in LEMTEK still relatively subjective and inconsistent. The new design of compensation system suggested by writer, generates a pay policy line Y = 120+ 235X, incentives system based on the degree of involvement and employee performance, and also a competitive employee benefits system which is suitable with the financial condition of LEMTEK and increase employee welfare."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S48592
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christa Indah Saptarini
"Dapur kota merupakan sebuah istilah yang saya berikan terhadap kegiatan memasak yang di lakukan di jalan. Kegiatan memasak pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat privat, ditinjau dari sejarah dapur yang merupakan bagian dari sebuah rumah tinggal. Dalam keseharian di ruang kota yang dipenuhi keragaman, banyak individu yang menempatkan ruang privat pada ruang publik, sehingga menciptakan suatu ruang yang tidak sesuai dengan order yang berlaku. Kejelian melihat eksisting, pemanfaatan tata ruang, dan pemilihan waktu ketika order lemah merupakan taktik arsitektur yang dilakukan dapur kota agar dapat melakukan aktivitasnya pada ruang publik. Akibat dari perlakuan taktik arsitektur ini, order semula mengalami perubahan.

Urban kitchen is a term which I applied to the cooking activities happened on the street. Cooking is basically private activities in reference to the history of kitchen, that kitchen has always been part of residential. In the city with plurality in its everyday life, individuals tend to claim their private territories in public space, thus creating space which is not proper in actual given order. The sharpness in understanding existing condition, the ability to turn existing spatial arrangement into an advantage, and the ability to define time of weakness in actual order, are architectural tactics executed by the urban kitchen in order to seize existence in public spaces. The executions of those tactics change the actual order."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51602
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Devina
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh citra merek terhadap loyalitas pelanggan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah 100 pelanggan merek mobil Toyota di dealer authorized Toyota Margonda Depok dengan menggunakan metode non-probability sampling serta teknik purposive sampling. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan linear regression. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa citra merek memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap loyalitas pelanggan. Citra merek memiliki hubungan terhadap loyalitas pelanggan sebesar 49.2% dan sisanya sebesar 50.8% dipengaruhi oleh faktor lain.

The objective of this research is to analyze how the effect of brand image toward customer loyalty. This research applied quantitative approach. The sample of this research is 100 customers Toyota Brand at dealer authorized Toyota Margonda Depok, collected using non-probability sampling and purposive technique. This research used questionnaire as research instrument and analyzed with linear regression. The result of this research indicate that brand image have a very strong effect toward customer loyalty. Brand image effect customer loyalty equal to 49.2%, and the residue equal to 50.8% effected by some other factor."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anom Kurnia Nugraha
"Kota adalah sebuah wadah hidup manusia, yang memiliki identitas yang berbeda antara satu dengan lainnya. Identitas kota dibentuk oleh ruang yang ada di dalamnya.
Setiap ruang akan memberikan identitasnya sehingga terbentuk satu kesatuan identitas kota. Ada ruang yang tidak dapat memberikan identitasnya kepada kota. Ruang ini disebut sebagai ruang negatif kota. Ada tidaknya elemen yang membentuk lingkungan fisik kota akan menentukan terbentuknya identitas ruang. Interaksi antar elemen pun sangat mempengaruhi terbentuknya identitas ruang oleh karena itu, terbenmknya ruang negatif tidak terlepas dari elemen yang membentuk lingkungan fisik kota dimana ruang tersebut berada.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S47890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>