Ditemukan 73570 dokumen yang sesuai dengan query
Susi Fauziah
"Penelitian ini meneliti perkembangan arek, salah satu morfem gramatikal penanda futur dalam bahasa Sunda, secara diakronis mulai dari abad ke-18 sampai dengan abad ke-21 dengan meneliti fungsi-fungsi arek dalam teks wawacan Jayalalana , wawacan Barjah, wawacan Surya Mana dan buku kumpulan puisi Jaladri Tingtrim. Berdasarkan penelitian, arek memiliki fungsi yang sama mulai dari abad ke-18 sampai dengan abad ke-21, yaitu sebagai 1) Verba 'Ingin', 2) Verba 'Mau' dan 3) Verba Bantu 'Akan'. Akan tetapi, frekuensi fungsi-fungsi tersebut berubah dari abad ke abad. Berdasarkan analisis, dengan menggunakan teori Gramatikalisasi, skema perkembangan arek adalah Verba 'Ingin' > Verba 'Mau' > Verba Bantu 'AKAN'.
This research studies the development of arek, one of future markers in Sundanese language diachronically from 18th century until 21st century by analyzing functions of arek that are found in wawacan Jayalana, wawacan Barjah, wawacan Surya Mana and Jaladri Tingtrim. Based on the research, arek has the same functions from 18th century until 21st century: 1) Verb 'Desire', 2) Verb 'Willing' and 3) Auxiliary 'Predict'. Nevertheless, the frequency of the functions keeps changing from one century to the next. Based on the analysis, using Grammaticalization theory, the evolution scheme: Verb 'Desire' > Verb 'Willing' > Auxiliary 'Predict'."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T28705
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
MUL 11 (1-2) 2012
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Alya Siti Maulidiya
"Kata aing adalah salah satu pronomina persona pertama tunggal dalam bahasa Sunda yang saat ini mulai digunakan dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri perkembangan kata aing dalam bahasa Sunda dan menjelaskan penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan data secara deskriptif. Selain itu, penelitian ini juga berlandaskan kajian sosiolinguistik berupa variasi tingkat tutur. Data yang digunakan diambil dari naskah abad ke-16 berjudul
Carita Parahyangan, naskah abad ke-18 berjudul Carita Waruga Guru, dan novel abad ke-20 berjudul Babalik Pikir sebagai data bahasa Sunda dan korpus deipzig Corpora Corporation (LCC) sebagai data bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa kata aing pada naskah abad ke-16 digunakan pada empat variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah, penutur kelas lebih rendah kepada mitra tutur kelas lebih tinggi, penutur dan mitra tutur dari kelas sosial yang sama, dan penutur kepada dirinya sendiri, pada naskah abad ke-18 kata aing digunakan pada dua variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah dan penutur kepada dirinya sendiri, dan pada naskah abad ke-20 digunakan pada tiga variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah, penutur dan mitra tutur dari kelas sosial yang sama, dan penutur kepada dirinya sendiri. Sementara itu, kata aing dalam bahasa Indonesia digunakan pada empat variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah, penutur kelas lebih rendah kepada mitra tutur kelas lebih tinggi, penutur dan mitra tutur dari kelas sosial yang sama, dan penutur kepada dirinya sendiri.
Aing is one of the first-person singular pronouns in the Sundanese language that is currently starting to be used in Indonesian. This research aims to trace the development of the word of aing in the Sundanese language and its usage in Indonesian. The study employs a qualitative method by describing the data descriptively. Additionally, it is grounded in sociolinguistic studies, focusing on variations in speech levels. The data used is extracted from 16th-century manuscripts titled Carita Parahyangan, 18th-century manuscripts titled Carita Waruga Guru, and a 20th-century novel titled Babalik Pikir as Sundanese language data. The Leipzig Corpora Corporation (LCC) corpus is used as Indonesian language data. The analysis results indicate that the word of aing in 16th-century manuscripts is used in four variations of speech levels: speakers of higher classes to lower-class interlocutors, speakers of lower classes to higher-class interlocutors, speakers and interlocutors from the same social class, and speakers referring to themselves, in 18th-century manuscripts, the word of aing is used in two variations: speakers of higher classes to lower-class interlocutors and speakers referring to themselves, and in 20th-century manuscripts, aing is used in three variations: speakers of higher classes to lower-class interlocutors, speakers and interlocutors from the same social class, and speakers referring to themselves. Meanwhile, the word of aing in Indonesian is used in four variations of speech levels: speakers of higher classes to lower-class interlocutors, speakers of lower classes to higher-class interlocutors, speakers and interlocutors from the same social class, and speakers referring to themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Jung Yoo Jin
"Bahasa sunda merupakan salah satu bahasa daerah Indonesia dengan penutur terbanyak kedua setelah bahasa Jawa. Bahasa Sunda mengalami proses morfologis, salah satunya afiksasi. Prefiks dan sufiks dalam bahasa Sunda memiliki kesamaan dan perbedaan dengan prefiks dan sufiks dalam bahasa Indonesia. Tulisan ini akan membandingkan prefiks dan sufiks dalam kedua bahasa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan teknik penelitian kajian pustaka. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahasa Sunda dari buku Pangrumat Basa Sunda Pikeun Murid SD Kelas 6. Dari penelitian ini, didapatkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai berbagai alomorf, sedangkan bahasa Sunda tidak. Selain itu, terdapat salah satu prefiks dan sufiks dalam bahasa Sunda yang sama dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, dalam data juga ditemukan prefiks dan sufiks berbahasa Sunda yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
Sundaness language is the second most used language in Indonesia followed by Javanese. Sundaness language proceeds through one of the morphologies, which is called “affixation”. Sundaness and Indonesian language have both several comparisons and contrasts in suffix and prefix. This paper aims to investigate the characteristics of both languages and to compare the prefix and suffix of both languages. Besides, the method used in this journal is comparative method, and the type of study for this jurnal is descriptive study with secondary sources. The data mainly used in this study is sundaness book entitled Pangrumat Basa Sunda Pikeun Murid SD Kelas 6. The study attempts to elucidate that Indonesian language indeed has various allomorph, while sundaness language does not contain. Furthermore, this study also proues that some of the prefixs and suffixs of sundaness language contain the same prefix and suffix of Indonesian language; however, both Indonesian and sundaness language contain its own characteristics in its prefix and suffix."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Wulan Triyani
"Indonesia merupakan negara yang kaya dengan bahasa daerah. Banyaknya jumlah bahasa di Indonesia terlihat dari jumlah bahasa yang dikemukakan oleh Badan Pusat Data dan Statistik dan Glottolog. Menurut Badan Pusat Data dan Statistik, bahasa yang ada di Indonesia berjumlah 750 bahasa. Sementara itu, menurut Glottolog, bahasa yang ada di Indonesia berjumlah sebanyak 763 bahasa. Namun, dari banyaknya bahasa yang ada di Indonesia masih belum banyak dilakukan pemetaan bahasa untuk mengetahui berbagai variasi bahasa di setiap daerah seperti di Kotamadya Sukabumi. Oleh karena itu, penelitian mengenai variasi bahasa yang ada di Kotamadya Sukabumi perlu untuk dilakukan. Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode pupuan lapangan, sedangkan dalam proses pengolahan data digunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Adapun dalam penelitian ini, data penelitian diambil dari hasil wawancara kepada tujuh orang informan di setiap kecamatan yang ada di Kotamadya Sukabumi. Data tersebut terdiri atas 200 kosakata Morris Swadesh, 11 kosakata bidang ganti, sapaan, dan acuan, dan 25 kosakata kekerabatan. Kemudian, data tersebut divisualisasikan dengan peta lambing dan diberikan garis isogloss dan isofon guna mengatahui jarak bahasa antartitik penelitian. Garis isogloss tersebut kemudian disatukan dalam berkas isoglos berdasarkan dengan kelompok kosakatanya. Selanjutnya, dilakukan penghitungan dialektometri dan hasil penghitungannya diubah menjadi jaring laba-laba. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa Sunda di Kotamadya Sukabumi adalah bahasa Sunda Loma. Tidak ditemukan bahasa lain selain bahasa Sunda di Kotamadya Sukabumi. Selain itu, tidak ditemukan perbedaan penggunaan bahasa Sunda antara laki-laki dan perempuan di Kotamadya Sukabumi.
Indonesia is a country that is rich in regional languages. The large number of languages in Indonesia can be seen from the number of languages stated by the Central Data and Statistics Agency and Glottologist. According to the Central Bureau of Data and Statistics, there are 750 languages in Indonesia. Meanwhile, according to Glottologist, there are 763 languages in Indonesia. However, of the many languages in Indonesia, language mapping has not been carried out to find out the various language variations in each region, such as in the Municipality of Sukabumi. Therefore, research on language variations in Sukabumi Municipality needs to be carried out. In the data collection process, this study used the field training method, while in the data processing used qualitative and quantitative methods. As for this study, the research data was taken from the results of interviews with seven informants in each sub-district in the Municipality of Sukabumi. The data consists of 200 Morris Swadesh vocabularies, 11 vocabularies of pronouns, greetings, and references, and 25 kinship vocabularies. Then, the data is visualized with a symbol map and isogloss and isophone lines are given to determine the language distance between research points. The isogloss lines are then put together in isogloss files according to the vocabulary groups. Next, dialectometric calculations are performed and the calculation results are converted into spider webs. The findings in this study indicate that Sundanese in Sukabumi Municipality is Loma Sundanese. There are no other languages other than Sundanese in Sukabumi Municipality. In addition, there was no difference in the use of Sundanese between men and women in Sukabumi Municipality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Davin Rusady
"
ABSTRAKSkripsi ini membahas persebaran bahasa Sunda di wilayah Badui Dalam dan Badui Luar. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pupuan lapangan dan wawancara dengan empat belas informan di empat belas titik pengamatan. Data diolah menggunakan teknik penghitungan dialektometri dan pembuatan berkas isoglos. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa situasi kebahasaan di wilayah Badui Dalam dan Badui Luar tidak menunjukkan adanya perbedaan bahasa atau dialek, melainkan hanya perbedaan wicara. Meski begitu, ada sumber-sumber yang menyebutkan bahwa masyarakat adat di wilayah Badui Dalam dan Badui Luar menggunakan bahasa yang berbeda karena wilayah yang terpisah. Selain itu, terdapat variasi bahasa yang cukup tinggi pada kosakata budaya dasar. Hal itu disebabkan oleh adanya undak usuk atau tingkatan bahasa yang terdapat di wilayah Badui Dalam dan Badui Luar. Adapun kosakata-kosakata arkais dalam bahasa Sunda ditemukan di wilayah Badui Dalam dan Badui Luar.
ABSTRACT<>br>
This thesis discusses the distribution of Sundanese language at Inner Badui and Outer Badui. Data was gathered by doing a survey on the field and interviewing fourteen informants in fourteen observation points. The data was processed by doing dialectometry calculation and making isoglos files. Results of this study show that the language situation at Inner Badui and Outer Badui do not represent any language nor dialect differences, but the difference of pronunciations instead. Even so, there are some sayings about Badui society at Inner Badui and Outer Badui are using a different kind of language just because they were separated. Moreover, the language variation on cultural vocabulary is quite high. That happened because of the level of language that occurs at Inner Badui and Outer Badui. There are also some Sundanese archaic words found at Inner Badui and Outer Badui."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rifka Najmatullail
"Konstruksi aplikatif adalah sarana untuk mengubah unsur non-inti menjadi unsur inti dalam kalimat dengan pelibatan verba. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan oblik (unsur non-inti) menjadi objek (unsur inti). Namun, beberapa penelitian mengenai konstruksi aplikatif menunjukkan bahwa tidak semua kategori oblik dapat berubah menjadi objek. Penelitian ini menggunakan teori konstruksi aplikatif Peterson (2007) dan Trask (1993) juga menerapkan teori verba turunan dalam bahasa Sunda (Coolsma, 1985). Pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) Oblik mana saja yang dapat berubah menjadi objek dalam konstruksi aplikatif bahasa Sunda?, (2) Apa saja jenis konstruksi aplikatif bahasa Sunda?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga kategori yang dapat berubah menjadi objek dalam konstruksi aplikatif, yaitu oblik tujuan, oblik lokatif, dan oblik instrumental. Selain itu, terdapat empat jenis konstruksi aplikatif bahasa Sunda, yakni konstruksi aplikatif benefaktif, aplikatif malefaktif, aplikatif lokatif, dan aplikatif instrumental.
Applicative constructions is a means to change non-core arguments into core arguments in sentences by involving verbs. The change in question is an oblique change (non-nuclear arguments) into an object (nuclear arguments). However, several studies on applicative constructions show that not all oblique categories can turn into objects. This study uses the applicative constructions theory of Peterson (2007) and Trask (1993) also applies qualitative research methods. The questions in this study are (1) which obliques can be turned into objects in the applicative construction of Sundanese? (2) What are the types of applicative constructions of Sundanese?. The results showed that there are three categories that can turn into objects in applicative constructions, namely objective oblique, locative oblique, and instrumental oblique. In addition, there are four types of applicative constructions in Sundanese, namely benefactive applicative constructions, malefactive applicative, locative applicative, and instrumental applicative."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
MET 8:2 (2010)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Yusup Irawan
"Penelitian ini bertujuan (1) mencari prototipe intonasi kalimat deklaratif dan interogatif berpola SVO, (2) mencari ambang kontras akustik intonasi kalimat deklaratif dan interogatif, dan (3) mengkaji sejauh mana variasi pola intonasi kalimat deklaratif dan interogatif berterima sebagai tuturan yang baik atau wajar. Di konstituen subjek prototipe intonasi kalimat deklaratif diawali oleh alir nada turun landai kemudian diakhiri oleh alir nada naik. Kontur di konstituen verba ditandai oleh alir nada turun di seluruh konstituen. Kontur di konstituen objek diawali oleh alir nada naik-turun kemudian diakhiri oleh naik-datar. Prototipe intonasi kalimat interogatif di konstituen subjek dikarakterisasi oleh alir nada naik landai-naik-datar. Kontur di konstituen verba ditandai oleh alir nada turun di seluruh konstituen. Kontur di konstituen objek diawali oleh alir nada turun kemudian diakhiri oleh alir nada naik-datar. Ambang kontras deklaratifinterogatif terjadi ketika rentang alir nada akhir kontur (P3 dan P4) sebesar 14,63st hingga 16,63st. Ambang kontras interogatif-deklaratif terjadi ketika rentang alir nada akhir kontur (P2 dan P3) sebesar 7,27st hingga 9,27st. Pola intonasi kalimat deklaratif yang diakhiri oleh alir nada naik, datar dan turun berterima sebagai tuturan yang wajar. Pola intonasi kalimat interogatif yang berterima wajar adalah tuturan dengan alir nada akhir naik. Intonasi kalimat deklaratif dan interogatif yang diakhiri oleh alir nada naik di akhir konstituen subjek berterima sebagai tuturan yang wajar, sedangkan alir nada datar atau cenderung datar kurang berterima sebagai tuturan yang wajar.
The research intends (1) to look for intonation prototype of declarative and interrogative sentence with the pattern SVO, (2) to look for contrastive acoustic threshold of intonation between declarative and interrogative sentence, and (3) to study intonation variations of declarative and interrogative as a normal speech. Intonation prototype of declarative at subject constituent started by gradual fall pitch movement and closed by rise pitch movement. Verb constituent characterized by fall pitch movement. Object constituent characterized by rise-fall pitch movement and ended by rise-level pitch movement. Intonation prototype of interrogative begins with gradual rise-rise-level pitch movement. Verb constituent characterized by fall pitch movement. Object constituent characterized by riselevel pitch movement. Contrastive acoustic threshold of declarative-interogative occurs when the pitch range (P3 dan P4) of the final pitch movement is 14,63st until16,63st. Contrastive acoustic threshold of interogative-declarative occurs when the pitch range (P2 and P3) of the final pitch movement is 7,27st until 9,27st. Declarative intonation pattern which is ended by rise, level, and fall is acceptable as normal speech. Interrogative intonation pattern of normal speech is ended by rise pitch movement. Declarative and interrogative intonation which ended by rise pitch movement at the end of subject constituent is acceptable as normal speech. However, level or close to level pitch movement is less acceptable as normal speech."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T28702
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library