Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128378 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Boef, August Hans den
Depok: Komunitas Bambu, 2008
899.22 BOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vltchek, Andre
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006
809.8 VLT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Hasta Mitra, 1981
899.22 PRA a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Feminism refers to the social ideological trends that women ask for equal rights as well as the results of ideology when women know the world, the ego, and the sexual relationship in their process of seeking self liberation This starts with describing the in which Indonesian women acknowledged and was associated with western feminism periods as well as analyzing its period of development This paper aims at researching the feminism ideology of Pramoedya Ananta Toer, a leading Indonesian writer including the factors which affect his opinion on women and the expression of his feminism, which is richly displayed throughout his works. The finding of research shows that in Pramoedya Ananta Toer's perspective, equality between men and omen is manifested in the partnership between men and women that this partnership is applied in every aspect of lives, which is advanced-throught in Indonesian patriarchal society."
LINCUL 7:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Apsanti Djokosuyatno
Magelang: Indonesiatera, 2004
899.221 09 APS m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Scherer, Savitri
Depok: Komunitas Bambu, 2012
928 SAV p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"Pramoedya Ananta Toer rewrote the tragic story of Ki Ageng Mangir into aply in 1976 while he was imprisoned in Buru Island and finally saw its publication, entitled Mangir, in 2000. This work owes its importance to pramudya's ability to use the framework of the story to expose the similarities between the Mataram era and the new order era,particularly their manipulations of power. In the traditional story, the tragig hero, Ki Ageng Mangir, is betrayed by his wife and killed by his father-in-law Panembahan Senopati, but Pramoedya reconstructured these myths in a series of "corrections" that move the story closer into history. These"corrections are deconstruction of traditional Javanese symbolisms . This paper explains and explores the historical paradigm that Pramoedya Ananta Toer employs in his rewriting of the story."
2006
SJIS-2-3-2006-53
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Trianda Florentina Hulu
"Skripsi ini berjudul Politik dan Buku di Indonesia pada Masa Orde Baru 1971-1989: Pelarangan Terhadap Tetralogi Pramoedya Ananta Toer, skripsi ini membahas permasalahan dalam munculnya pelarangan buku di Indonesia, melihat faktor-faktor munculnya kebijakan pelarangan buku yang memengaruhi dunia perbukuan di Indonesia, serta tindakan pelarangan buku yang tidak sesuai dengan ideologi pemerintah melalui peraturan dan kebijakan yang berlaku. Salah satu tindakan pelarangan buku yang beredar di tengah masyarakat adalah buku tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer.
Metode Peneltian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode sejarah yakni heuristik, kritik sumber sehingga didapatkan fakta sejarah dalam mengonstruksi penelitian ini. Kemudian tahap yang ketiga adalah tahap interpretasi data, tahap yang terakhir adalah historiografi. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah arsip, surat kabar, majalah sezaman, jurnal ilmiah, dan buku-buku yang mendukung dalam penelitian ini. Pelarangan buku sudah ada sejak masa kolonial Belanda hingga masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pelarangan buku terlihat sangat mencolok yakni bersifat represif, pelarangan juga terjadi pada karya-karya kreatif lainnya pada masa itu.
Dari pelarangan buku ini, terlihat bahwa pelarangan buku merupakan bentuk kecemasan pemerintah, kecemasan pemerintah tersebut mewarnai sejak masa kolonial hingga masa Orde Baru. Sesungguhnya setiap gagasan yang tertuang, tidak perlu dicemaskan oleh pemerintah, nyatanya hal ini semakin ditegaskan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk hegemoni kekuasaan dengan menyatakan untuk menjaga stabilitas keamanan negara. Kecemasan tersebut tergambar sebagai langkah yang politis dari pemerintah.

This thesis Politics and Books in Indonesia in the New Order Period 1971 1989 The Prohibition against Tetralogy Pramoedya Ananta Toer, discusses the problems of the emergence of book bans in Indonesia, looking at the factors of the policy of book banning that affect the world of book keeping. The book banning act by New Order conducted against the prohibition of books that are inconsistent with the ideology of government through re enacted policies. One of the act of banning books circulating in the community is a book tetralogy of Pramoedya Ananta Toer.
The method of research used in this research is to use historical method of heuristic, source critic to get historical fact in construct this research. Then the third stage is the data interpretation stage, the last stage is historiography. The sources used in this study are archives, newspapers, contemporary magazines, scientific journals, and supporting books in this study. Book banning has existed since the Dutch colonial period until the reign of the New Order. During the New Order period, the banning of the book was so striking that it was repressive, the ban also occurred in other creative works of the time.
From the prohibition of this book, it appears that the banning of books is a form of government anxiety, the government's anxiety colored since the colonial period until the New Order era. Indeed every idea that is stated, no need to worry about by the government, in fact this is increasingly affirmed by the government as one form of hegemony of power by declaring to maintain the stability of state security. The anxiety is reflected as a political step from the government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S68016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Acep Iwan Saidi, 1969-
"Di dalam tesis ini dibahas roman Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer dalam perbandingan dengan karya sastra klasik, Serat Pararaton. Analisisnya didasrkan pada teori semiotika dan resepsi. Semiotika yang digunakan adalah semiotika Ferdinand De Saussure yang dikembangkan Roland Barthes, sedangkan resepsi yang dimaksud teori yang dikembangkan Hans Robert Jauss tentang penerimaan yang dilakukan pengarang terhadap sastra klasik yang menjadi sumber penulisan romannya.
Dari analisis dengan menggunakan kedua teori ini ditemukan bahwa Arok Dedes merupakan sebuah roman yang melakukan rasionalisasi terhadap mitos Ken Arok dan Ken Dedes. Hal yang paling menonjol dirasionalisasi adalah masalah kekuasaan. Jika dalam mitos yang dikukuhkan Serat Pararaton kekuasaan merupakan masalah Dewa, dalam Arok Dedes tidaklah demikian. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang sakral yang hanya bisa dimiliki atas kehendak Dewa, melainkan sesuatu yang dapat diraih oleh siapa saja dengan syarat memiliki kemampuan untuk mendapatkannya. Perasionalan yang dilakukan Pram tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh kehidupan Pram dan ideologi yang dianutnya. Arok Dedes adalah representasi dari sikap Pram terhadap kekuasaan dan faham realisme sosialis yang dianutnya.

This thesis is a comparative study between the Pramoedya Ananta Toer's novel Arok Dedes and a clasical literature Serat Pararaton. Analysis is based on theory of semiotics and reception. This thesis use the semiotics by Ferdinand de Saussure which is developed by Roland Barthes, and the reception by Hans Robert Jauss, is the understanding of the writer (Pram) towards the clasical literatur which inspiring his novel.
Based on these theories, the analysis shows that Arok Dedes is a novel that is rationalizing the myth of Ken Arok and Ken Dedes. The most prominent rationalization here is power. In Pararaton, power is related to divinity, while in Arok Dedes it isn't. Power is not sacred. Everyone can have it as long as the has ability be on power. Pram's rationalization of power evidently based on this life background and ideology. Arok Dedes is representation of Pram's understnading about power and his belief in realist socialism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T37149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus R. Sarjono
"Pada dasarnya rumah dalam KG bukan rumah yang baik. Buruknya rumah KG disebabkan oleh perilaku dan sosok kaum tua keluarga Gerilya, yakni kopral Paidjan (sang ayah) dan Amilah (Sang Ibu). Meskipun demikian, peluang untuk menjadikan rumah keluarga gerilya sebagai rumah yang baik dan membuat krasan masih terbuka di tangan kaum muda. Namun, revolusi kemerdekaan mernbtrat semua kaum muda keluarga gerilya memilih untuk merelakan hancurnya rumah mereka demi rumah yang lebih besar dan lebih mulia yakni nasion. Hal yang berbeda terjadi pada JTU. Pada dasrnya rumah keluarga Guru Isa adalah rumah yang baik. Namun revolusi menebarkan ketakutan pada Guru Isa yang menyebabkan is mengalami impotensi. Impotensi guru Isa menjadikan rumah mereka sekedar menjadi rumah tanpa rasa krasan. Situasi ini diperparah oleh perselingkuhan Fatimah -istri Guru Isa- dengan Hazil, sahabat Guru Isa. Semua ini masih ditambah dengan ditangkapnya Guru Isa -juga Hazil- oleh Belanda sehingga keduanya mengalami penyiksaan di sana. Baik pada KG maupun JTU terdapat konflik antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua dalam KG maupun JTU digambarkan sebagai hamba kolonial, buruk secara moral, dan tidak memiliki idealisme, sementara kaum muda digambarkan sebagai sosok yang penuh idealisme dan cita-cita. Baik pengarang KG maupun JTU berpihak pada kaum muda dan tidak bersimpati kepada kaum tua. Konflik antar generasi ini, Baik dalam KG maupun JTU, dimanifestasikan dengan kehendak untuk meniadakan (membunuh) kaum tua. Pada JTU kehendak itu hanya digagaskan, sementara dalam KG benar-benar dilaksanakan dengan membunuh ayah. Pembunuhan terhadap ayah menutup segala kemungkinan bagi sebuah rumah untuk menjadi tempat yang membuat krasan Di dalam rum' h dipersepsikan dalam KG maupun JTU sebagai tempat yang nyaman dan membuat krasan. Sekalipun dernikian, dalam KG di dalam rumah bukanlah tempat yang didambakan kalangan tua. Amilah beranggapan bahwa di luar rumah lah sumber rasa krasannya. Di dalam rumah, Amilah senantiasa membayangkan masa muda dan kebahagiaannya bertualang di luny rumah, yakni dari tangsi militer ke tangsi militer Belanda. Kaum muda keluarga gerilya justru beranggapan bahwa di dalam rumah lah semestinya rasa krasan itu berada. Namun para pemuda keluarga gerilya harus meninggalkan rumah dan berjuang di luar rumah demi rumah yang lebih besar yakni nasion. Meskipun di luar rumah penuh ancaman dan bahaya, mereka dengan antusias berjuang di luar rumah. Sementara rumah yang diidamkan semua kaum muda..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T37418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>