Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107574 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Yogyakarta: Banjar Aji, 2008
959.8 MAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Yogyakarta: Banjar Aji, 2008
959.82 DJO s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Sejak usia muda, Sultan Hamengku Buwono II (HB II) telah menunjukkan pribadinya sebagai bangsawan Yogyakarta yang menjaga integritas dan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Ia menjadi musuh utama Belanda yang dianggap telah melakukan intervensi terlalu jauh dalam kehidupan kraton Yogyakarta yang menurunkan wibawa raja-raja Jawa. Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, ia tetap menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya benturan dengan tuntutan
dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada raja-raja Jawa. Atas dasar itu, Sultan HB II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Sebagai akibat dari sikapnya itu, pemerintah kolonial menggunakan berbagai alasan untuk menurunkan tahtanya. Selama hidupnya, Sultan HB II mengalami dua kali penurunan tahta (tahun 1811 oleh Daendels dan 1812 oleh Raffles), bahkan dibuang sebanyak tiga kali sebagai hukuman yang dijatuhkan kepadanya (Penang 1812, Ambon 1817, dan Surabaya 1825). Pemerintah kolonial akhirnya harus mengakui kewibawaan Sultan HB II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya perang Diponegoro. Ia dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Yogyakarta. Sampai akhir hayatnya Sultan HB II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda apalagi untuk menangkap Diponegoro atau menghentikan perlawanannya. Hingga kini masih banyak karya peninggalan Sultan HB II yang mengingatkan pada watak dan masa pemerintahannya. Baik karya sastra, karya seni maupun bangunan fisik mengingatkan pada kebijakan, tindakan dan watak Sultan HB II semasa hidupnya.

Abstract
Since his younger age, Sultan Hamengku Buwono II indicated that he always refused the Dutch intervention in the sultanate?s palace of Yogyakarta. He became rival of the Dutch governments because of his opinion that the Dutch had intervented too much in the cultural and noble life?s sultanate of Yogyakarta. After his coronation as a sultan in Yogyakarta in 1792, he kept his mind to guard the Java?s glorious tradition and the traditional power of the Sultan. This condition caused a great conflict between the Sultan and the Dutch government. Sultan HB II tried to refuse all the intervention of Dutch Government. As consequences of his character, the colonial government proposed to replace the Sultan with the crown prince. During his life, he accepted twice decoronation (in 1811 by Gouvernor General Daendels and in 1812 by Leutnant General Raflles) and he was exiled three times (Penang in 1812, Ambon in 1817 and Surabaya in 1825). Finally, the Dutch Government recalled him to be a sultan in Yogyakarta to persuade all princes who supported Prince Diponegoro?s revolt. Unfortunately, till his death, he still refused to cooperate with the colonial government. To the present, there are many works of this sultan as: literary works, philosophy, arts dan physical buildings, which describes his characters toward the colonial government."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia], 2008
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"Sejak usia muda, Sultan Hamengku Buwono II (HB II) telah menunjukkan pribadinya sebagai bangsawan Yogyakarta yang menjaga integritas dan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Ia menjadi musuh utama Belanda yang dianggap telah melakukan intervensi terlalu jauh dalam kehidupan kraton Yogyakarta yang menurunkan wibawa raja-raja Jawa. Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, ia tetap menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya benturan dengan tuntutan dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada raja-raja Jawa. Atas dasar itu, Sultan HB II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Sebagai akibat dari sikapnya itu, pemerintah kolonial menggunakan berbagai alasan untuk menurunkan tahtanya. Selama hidupnya, Sultan HB II mengalami dua kali penurunan tahta (tahun 1811 oleh Daendels dan 1812 oleh Raffles), bahkan dibuang sebanyak tiga kali sebagai hukuman yang dijatuhkan kepadanya (Penang 1812, Ambon 1817, dan Surabaya 1825). Pemerintah kolonial akhirnya harus mengakui kewibawaan Sultan HB II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya perang Diponegoro. Ia dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Yogyakarta. Sampai akhir hayatnya Sultan HB II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda apalagi untuk menangkap Diponegoro atau menghentikan perlawanannya. Hingga kini masih banyak karya peninggalan Sultan HB II yang mengingatkan pada watak dan masa pemerintahannya. Baik karya sastra, karya seni maupun bangunan fisik mengingatkan pada kebijakan, tindakan dan watak Sultan HB II semasa hidupnya.

Since his younger age, Sultan Hamengku Buwono II indicated that he always refused the Dutch intervention in the sultanate?s palace of Yogyakarta. He became rival of the Dutch governments because of his opinion that the Dutch had intervented too much in the cultural and noble life?s sultanate of Yogyakarta. After his coronation as a sultan in Yogyakarta in 1792, he kept his mind to guard the Java?s glorious tradition and the traditional power of the Sultan. This condition caused a great conflict between the Sultan and the Dutch government. Sultan HB II tried to refuse all the intervention of Dutch Government. As consequences of his character, the colonial government proposed to replace the Sultan with the crownprince. During his life, he accepted twice decoronation (in 1811 by Gouvernor General Daendels and in 1812 by Leutnant General Raflles) and he was exiled three times (Penang in 1812, Ambon in 1817 and Surabaya in 1825). Finally, the Dutch Government recalled him to be a sultan in Yogyakarta to persuade all princes who supported Prince Diponegoro?s revolt. Unfortunately, till his death, he still refused to cooperate with the colonial government. To the present, there are many works of this sultan as: literary works, philosophy, arts dan physical buildings, which describes his characters toward the colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
920 IND b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arsanti Wulandari
Yogyakarta: Museum Negeri Sonobudoyo, 2021
959.8 ARS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Monfries, John
"This book is a political biography of Sultan Hamengku Buwono IX (1912-88), one of Indonesia's most respected founding fathers. Altough revered and admired at home and abroad, this is his first biography in English. This is largely because the Sultan was an intensely private person who meticulously guarded his public persona, and information about his life is not readily accessible."
Singapore: ISEAS , 2015
e20453081
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Sunardian Wirodono
Tangerang: Javanica, 2017
808.83 SUN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ghofur
"Studi ini dilakukan untuk mengetahui dua masalah pokok, pertama; bagaimanakah pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang kepemimpinan perempuan dalam perspektif Jawa, dan masalah kedua ; apakah pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono X yang akan diungkapkan masih merupakan representasi pemikiran Jawa terdahulu, atau terdapat perubahan pemikiran.
Metode penelitian dalam studi ini menggunakan tehnik kualitatif dengan melakukan analisis terhadap data primer, yaitu hasil wawancara mendalam pemikiran yang diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan data sekunder yaitu data yang peroleh diluar data primer, seperti penelusuran kepustakaan dan teks, studi ini menggunakan beberapa pendekatan teori dari sudut pandang gender, yaitu teori patriarki, teori gender dalam Islam, teori the privat dan the public serta teori interpretasi atas teks, selain itu untuk mempernudah tangkah kerja dalam analisis digunakan model analisa yang menggambarkan konstruksi kerja analisis dengan menampilkan variabel-variabel yang berkaitan dengan obyek penelitian, sehingga akan menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menjawab masalah dalam penelitian ini.
Studi ini menemukan hal penting tentang pandangan umum masyarakat Jawa terhadap kepemimpinan perempuan yang terbagi atas dua pandangan yaitu, pandangan yang masih mempertahankan persepsi tradisional dan sebaliknya pandangan yang telah terakulturasi dengan persepsi barat, atau kita sebut dengan istilah moderen, faktor sosiologis dan politis setidaknya sangat mempengaruhi persepsi akan hal itu, hasil analisis terhadap pemikiran yang dikemukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang kepemimpinan perempuan diketahui bahwa persepsi barat, atau moderen sangat jelas terlihat dari peniikirannya, beberapa faktor yang menyebabkan hal itu antara lain, yaitu (a) politis, (b) edukasi, (c) psikologis, kesimpulan dalam studi ini adalah diharapkan pemikiran yang dikemukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dapat menjadi pencerahan atas persepsi negatif tentang budaya Jawa dalam memandang kepemimpinan perempuan).

The Thinking of Sri Sultan Hamengku Buwono X on Women Leadership in Javanese PerspectiveThis study is done to research on 2 main topics, firstly: what is the thinking of Sri Sultan Hamengku Buwono X on Women Leadership in Javanese Perspective, and secondly: whether the thinking of Sri Sultan Hamengku Buwono X is actually still representing the Javanese thinking from the former period, or there is a change of thinking. The research method used in this study is the qualitative method through analysis of primary data of in-depth interview with Sri Sultan Hamengku Buwono X and on secondary data such as results of library and text research.
This study used several theory paradigms from gender point of view, on patriarchy theory, gender theory in Islam, the private-public theory and also text-interpretation theory. In addition, analysis model was used to depict the construction of how the analysis work on various variables related to the research object, which will produce a conclusion to answer the research problem in this study.
The important findings in this study are the general perspective of Javanese society on women leadership is divided into 2 views; the traditional view and the western-acculturated view (or modem view). Sociological and political factors are very influential on those perspectives. The analysis result on the thinking of Sri Sultan Hamengku Buwono X is that western or modern perception is highly visible in his thinking. Few factors which caused this are (a) political factor, (b) education, (c) psychology. The aim of this study is that the thinking of Sri Sultan Hamengku Buwono X can served as enlightenment to negative perceptions of the way Javanese culture see women leadership.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarto
"ABSTRAK
Berangkat dari asumsi bahwa untuk meningkatkan Ketahanan Nasional, maka peranan para pemimpin adalah sangat menentukan.
Selanjutnya teori Ketahanan Nasional berjenjang menyatakan, bahwa kondisi ketahanan suatu Wilayah itu akan mempunyai pengaruh bagi peningkatan ketahanan nasional.
Oleh karena itu berdasarkan teori tersebut, maka kondisi Ketahanan Wilayah Yogyakarta yang dipimpin Sultan HB.IX, baik langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap ketahanan nasional secara keseluruhan. Apalagi sehubungan dengan kota Yogyakarta sebagai Ibukota negara RI.
Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai suatu institusi kehidupan politik di wilayah Yogyakarta,upaya untuk peningkatan Ketahanan Wilayah itu secara tidak langsung kiranya telah dilakukannya jauh sebelum negara Republik Indonesia itu sendiri lahir. Upaya itu antara lain ditunjukan oleh sikapnya sewaktu melakukan perundingan politik dengan pihak penguasa penjajah Belanda.Perundingan yang memakan waktu selama lima bulan itu, merupakan waktu terpanjang dalam sejarah perundingan kontrak politik yang pernah dilakukan antara raja -raja di Indonesa dengan pihak Belanda,dan peristiwa itu dapat dianggap sebagai suatu isyarat bahwa dirinrya saat itu tidak dapat begitu saja tunduk kepada kemauan Penjajah.
Pada masa penjajahan jepang upaya peningkatan ketahanan wilayah , dilakukan antara lain dengan melakukan pembenahan di bidang pemerintahan daerah,sehingga selain berguna untuk pembangunan,juga dapat untuk mempersiapkan rakyat Yogyakarta dalam menyambut datangnya kemerdekaan Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan,langkah-langkah peningkatan ketahanan wilayah itu tentu dilakukan,terutama yang secara langsung mendukung peningkatan Ketahanan di bidang Pertahanan Keamanan Negara. Sehingga berkat kepemimpinan Sultan itulah, maka Ketahanan Wilayah Yogyakarta saat itu dapat dipakai sebagai modal perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.
Selama masa Kepemimpinannya itu, ternyata Sultan berlandaskan pada asas kepemimpinan yang berakar pada budaya masyarakat Yogyakarta, yaitu asas kepemimpinan Manunggaling Kawulo Gusti, yang dilaksanakan dengan pola kepemimpinan Legal Rasional, yaitu yang mengacu pada berbagai ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>