Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33010 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Salman Luthan
"Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan meliputi tiga unsur, yaitu dasar pembenaran kriminalisasi, kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi, dan gradasi keseriusan tindak pidana. Untuk mengetahui fenomena ketiga unsur kriminalisasi tersebut diteliti 17 macam undang-undang, khususnya aspek tindak pidananya. Kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi adalah kepentingan pembangunan yang terdiri dari kepentingan pembangunan politik, ekonomi, kesejahteraan sosial dan SDM, lingkungan hidup, dan kepentingan pembangunan tata nilai sosial. Kepentingan hukum yang dilindungi tersebut lebih mencerminkan perlindungan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
Dasar pembenaran kriminalisasi memiliki lima pola dasar pembenaran, yaitu peranan dan arti penting suatu hal bagi kehidupan manusia dan penyalahgunaan hal itu dapat mendatangkan kerugian kepada masyarakat, bangsa dan negara, merugikan kepentingan masyarakat dan/atau negara, bertentangan dengan norma agama, moral atau kesusilaan, kepatutan dan budaya bangsa, bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan sosial budaya. Dasar pembenaran kriminalisasi tersebut mencermin tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan, pendekatan nilai, dan pendekatan ilmu pengetahuan.
Kebijakan legislatif menetapkan dua kriteria umum dan tujuh kriteria khusus gradasi keseriusan tindak pidana. Kedua kriteria umum tersebut adalah pembedaan tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan substantif perbuatan, sedangkan ketujuh kriteria khusus itu adalah pembedaan tindak pidana dalam kesengajaan dan kealpaan, perbedaan kualitas karya cipta, perbedaan kualitas zat bahan terlarang, perbedaan modus operandi pelaksanaan tindak pidana, perbedaan akibat hukum, perbedaan subjek hukum tindak pidana, dan perbedaan status kelembagaan. Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi menunjukkan adanya tiga kelemahan, yaitu perbedaan gradasi keseriusan tindak pidana yang cukup tajam dalam satu rumpun delik, perumusan perbuatan yang berbeda kualitasnya dalam satu delik, dan perlindungan hukum yang berlebihan terhadap aparatur pemerintah."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T3931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
"ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai atternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga setelah generasi pertama yang dimuiai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda.
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP dalam perjalanannya dipengaruhi oieh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana daiam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal perkembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan, Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang reiatif tinggi. Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang- undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kerugian (restitutif) dan/atau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa.
Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni ?Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah penavujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oieh tindak pidana. Pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat."
Depok: 2009
D1026
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
"ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga seteiah generasi pertama yang dimulai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda.
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP daiam perjalanannya dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidalia denda. Selain itu, piclana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan ydan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal pencembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi aiternatif (altemative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau altematif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan rnasyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda iika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian pula piidana denda yang ditentukan- sabagai' ancaman kurnulaiif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutarna untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan hafta benda atau kekayaan.
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan piclana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang be1um atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konfiik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kenugian (restitutif) daniatau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa.
Keseluruhan upaya di atas pada dasamya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana, pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusia n yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang rnelakukan tindak pidana herat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat."
Depok: 2009
D1023
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Syaiful Bakhri
"Pidana denda adalah jenis pidana yang tergolong tua dalam pelaksanaannya di berbagai negara, dan secara umum bermula dari hubungan keperdataan, yakni berupa ganti kerugian, seterusnya ikut campurnya pemerintah dalam hal ganti kerugian itu. Dalam perkembangannya, sekurangnya ada empat fase sejarah pertumbuhannya yakni pada awal abad pertengahan hingga akhir abad pertengahan. Pada tahun 1600 sampai abad kedelapan belas dengan ditandai berkembangnya aliran klasik.
Perubahan pemikiran dalam hukum pidana diwarnai oleh berbagai aliran, terutama aliran klasik, aliran modern dan aliran kontrol sosial, dan perkembangan yang terakhir ini ialah, memandang hukum pidana sebagai suatu konsep pengendalian sosial. Sehubungan dengan tujuan dari pelaksanaan pemidanaan maka pidana penjara mendapatkan sorotan, terutama oleh gerakan Abolisionis yakni suatu gerakan yang berkeinginan untuk menghapuskan pidana penjara dengan suatu alternatif baru dari pidana perampasan kemerdekaan.
Salah satu alternatif perampasan kemerdekaan itu ialah penggunaan lebih maksimal dari pidana denda dengan tujuan pemidanaannya, melalui pemikiran atau prinsip menghukum menjadi membina dan menjadikan terpidana sebagai subjek dari manusia seutuhnya. Perkembangan pemikiran ini dibarengi pula oleh pembaharuan hukum pidana kita dewasa ini melalui serangkaian politik kriminal, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pelaksanaan dan sistem peradilan pidana Indonesia dewasa ini.
Kecenderungan dan perkembangan pidana denda mengalami kemajuan pesat, melalui serangkaian Undang-Undang di bidang Administratif dimana rumusan pidana dendanya sangat tinggi, hingga mencapai lima belas milyar rupiah, dalam Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian dalam hal penerapannya perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam sistem penerapan serta batas waktu pembayaran denda, demikian pula mengenai tindakan paksaan serta pedoman atau kriteria penjatuhan pidana denda tersebut. Antisipasi terhadap ini, telah dilakukan oleh Tim Rancangan KUM Pidana dengan rumusan sistem pemidanaan melalui pedoman, yakni mencantumkan pidana mati sebagai pidana khusus dan lebih banyak menggunakan pidana denda dengan sistem kategori serta membatasi dan mengganti ancaman pidana jangka pendek dengan pidana denda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Fera Aswianida
"Penulisan hukum ini menggunakan metode penulisan
Yuridis- Normatif, dengan sumber-sumber dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dan makalah. Penulisan ini
bertujuan untuk melihat efektivitas dan peran pidana denda
dalam PJN jika dibandingkan dengan perkembangan yang
terjadi saat ini. Latar belakang penulisan ini karena
Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk
membuat suatu akta atau perjanjian yang mempunyai kekuatan
hukum. Sifat dari akta atau perjanjian yang dibuat oleh
atau dihadapan notaris adalah kuat. Selain mempunyai
kewenangan yang besar untuk membuat akta otentik, juga
mempunyai tanggung jawab yang besar. Hal ini dikarenakan
peran notaris adalah untuk memberikan pelayanan umum kepada
masyarakat. Besarnya tanggung jawab notaris menjadikan
notaris harus berhati-hati dan seksama dalam membuat suatu
akta. Hal ini tidak luput dari perhatian pembuat UndangUndang.
Peraturan yang mengatur tentang notaris adalah
Peraturan Jabatan Notaris(PJN), didalamnya terdapat sanksi
yang akan dijatuhkan jika terjadi pelanggaran oleh notaris.
Salah satunya adalah sanksi denda, yang juga merupakan
sanksi pidana pokok dalam Hukum Pidana. Sanksi pidana dalam
PJN sangat jarang digunakan, hal ini disebabkan oleh kurang
efektifnya pengawasan oleh Pengadilan Negeri kepada
notaris, dan kurang pentingnya kedudukan pidana denda di
masyarakat karena dianggap tidak dapat memenuhi rasa
keadilan. Perkembangan yang terjadi adalah pidana denda
mulai dilirik sebagai pidana yang dapat memberikan suatu
hukuman kepada pelanggar peraturan, dengan ketentuan
besarnya denda disesuaikan dengan perkembangan perekonomian
masyarakat Indonesia. Hal ini akan berpengaruh pada PJN,
PJN diharapkan akan dapat menyesuaikan dengan perkembangan
yang terjadi."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36345
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudji Astutui, examiner
"Pornography is criminal act, which be able to make the other criminal act. So that is important to find efforts fight it. But many problems appear when we do it., they are :
1. How far is the regulation of pornography in Indonesia
2. How far is it done?
3. What kind efforts can we do to build it
The aims of this writing are:
1. To know the regulation of pornography in Indonesia,
2. To know its execution
3. To know the efforts, which can be done for building it
The analysis technique, which used in this research in percentage system, is descriptive analysis. The sample is taken by stratified random sampling, from the population is in Bangkalan district. After finishing the research? the findings, which are found, are:
1. Pornography has been regulated on articles 281 to 283 and 532 to 535 of KUHP.
2. In fact, it has still found the pornography.
3. The efforts which be able to done are:
a. Law-court can make jurisprudence about the limitation of something considered porno or not.
b. To improve ability of judicial person to overcome pornography.
c. To improve the facility needed to overcome the problem.
d. To improve the consciousness of society to participate in overcoming pornography."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
T104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>