Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulfahmi
"Tesis ini membahas pengaturan dan mekanisme serta pelaksanaan penyidikan kembali terhadap perkara yang dihentikan penyidikannya dengan alasan ditemukannya bukti baru. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menyarankan perlunya pengaturan yang tegas dalam undangundang mengenai penyidikan kembali perkara yang pemah dihentikan penyidikannya dengan alasan ditemukannya bukti baru; perlunya mekanisme pengeluaran Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang transparan dan SP3 tersebut dapat memberi kepastian hukum serta keadilan bagi tersangka.

The focus of this study is arrangement and mechanism with implementation reinvestigation on the case already dismissed its investigation by reason finding new evidence. This research is qualitative descriptive interpretive.
The researcher suggests that be needed a clear arrangement in legislation about reinvestigation on the case already dismissed its investigation reinvestigation on the case already dismissed its investigation by reason finding new evidence; be needed mechanism Letter of Command Dismissed Investigation with transparent and its be able to give certainty of law with justice for suspected."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T37427
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pandiangan, Marolop
"Permasalahan Korupsi merupakan salah satu persoalan serius yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Korupsi mengakibatkan perekonomian dan kredibilitas bangsa Indonesia terpuruk, oleh karena itu korupsi harus diberantas. Salah satu cara pemberantasan korupsi adalah dengan penegakan hukum dengan menggunakan hukum pidana (penal).
Pemberantasan korupsi dengan menggunakan hukum pidana (penal) tentunya akan melibatkan aparat penegak hukum yang mewujudkan pemberantasan korupsi melalui proses peradilan pidana mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Institusi yang berwenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi di Indonesia adalah Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tesis ini akan membahas bagaimana penggunaan upaya paksa penangkapan dan penahanan oleh penyidik kejaksaan dalam penyidikan perkara korupsi serta bagaimana korelasinya dengan penyelesaian proses penyidikan. Bagaimana sikap dan pandangan para Jaksa Penyidik dalam penggunaan penggeledahan dan penyitaan terhadap asset atau harta benda para tersangka dihubungkan dengan penemuan alat bukti dan barang bukti serta tujuan pengembalian kerugian negara.
Penggunaan penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka korupsi ternyata mempunyai korelasi dengan percepatan proses penyidikan disamping faktor rumitnya kasus korupsi yang sedang di sidik. Sementara penggunaan penggeledahan sangat jarang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan RI. Demikian juga dalam hal penyitaan tidak dapat dilakukan secara maksimal oleh penyidik hal ini disebabkan oleh kendala yuridis dan juga kurangnya anggaran dana yang tersedia.
Sehubungan dengan jangka waktu yang dibutuhkan mulai dari penyidikan hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap rata-rata membutuhkan waktu 2 (dua) hingga 3 (tiga) tahun, hal ini menunjukkan bahwa proses peradilan korupsi di Indonesia masih lamban dan belum dapat memenuhi azas peradilan yang cepat (speedy trial).
Agar proses penanganan perkara korupsi dapat lebih cepat diselesaikan maka apabila Penyidik sudah memiliki cukup bukti dan syarat untuk melakukan penangkapan dan penahanan telah terpenuhi supaya setiap tersangka korupsi segera ditangkap dan ditahan, kemudian penggeledahan dan penyitaan harus dimaksimalkan pada saat penyidikan agar kemungkinan untuk menemukan alat bukti dan barang bukti lebih besar. Kemudian hal penting lainnya adalah dibutuhkan komitmen dari aparatur penegak hukum itu sendiri disamping perlunya peningkatan anggaran untuk melakukan penyidikan perkara korupsi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Jenti Oktavia
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22563
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S22423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardamean, Robinson
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S22153
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: O.C. Kaligis & Associates bekerjasama dengan penerbit P.T. Alumni, 2006
345.023 KAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Salahuddin Luthfie
"Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negaranegara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan; mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando.

This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service. This type of research is the juridical-normative. The results of research reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption should be viewed from the aspect of historical, sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries: the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have the authority of investigations but given the authority supervising the investigations, the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic, centralized, hierarchical accountability and command system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
"Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.

Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>