Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81618 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Antonius Budi Satria
"Tesis ini membahas penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, model dan teori pertanggungjawaban yang dapat digunakan untuk menjerat korporasi, proses konstruksi dakwaan dan konstruksi penuntutan pidana terhadap korporasi, dan kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut. Disertakan juga tinjauan terhadap posisi korporasi dalam RKUHP Tahun 2008 dan analisa terhadap dimuat ulangnya kriminalisasi terhadap tindak pidana lingkungan dalam RKUHP Tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian nonnatif-empiris dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Permasalahan tesis ini adalah penuntutan terhadap korporasi selama ini belum seragam menggunakan dan mendasarkan diri pada model-model dan doktrin- doktrin pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang ada dan masih ada kesulitan Penuntut Umum merumuskan surat dakwaan maupun surat tuntutannya. Termasuk kendala belum ada aturan yang memuat secara tegas khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, untuk menentukan siapa sebenarnya yang mewakili korporasi di depan persidangan. Hasil tesis ini menyarankan perlu adanya peningkatan pemahaman dan persamaan persepsi aparat penegak hukum khususnya penuntut umum tentang trend merebaknya corporate erime di bidang lingkungan hidup dalam wadah triangle environmental criminal justice system serta perlunya segera memberikan kurikulum mengenai kejahatan korporasi dalam penegakan hukum lingkungan pada pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sejak awal.

This thesis discusses the determination of the Corporation as the subject of criminal action in the Law. 23, 1997 on Environmental Management, questioned the theory and models that can be used to trap the Corporation, the process of construction claims and construction of criminal prosecution against the Corporation, and the obstacles in the criminal law enforcement against corporate crime in the environment and efforts to overcome obstacles - these constraints. Also included a review of the corporation's position in RKUHP Year 2008 and analysis of re-criminalization of the criminal environment in RKUHP Year 2008. This research is a normative-empirical research using secondary data as the primary data and primary data as supporting data. The problem of this thesis is that the prosecution against the Corporation for this use has not been uniform and base themselves on the models and the doctrines of criminal responsibility to the Corporation and who have still have difficulty formulating public prosecutor and the indictment of scale down one's demands. There are no obstacles, including rules that explicitly especially in the case of the representatives of the Corporation, to determine who is actually representing the Corporation in front of the trial. Results suggest that this thesis will need to increase the understanding and perception of law enforcement, especially on the prosecutor general about expansion of the symptoms corporate crime in the area of the environment in the forum of triangle environmental criminal justice system and the need to immediately provide the curriculum on corporate crime in the law enforcement environment in the education and training establishment prosecutors since the beginning."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26097
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alamsyah Bahari
"Penegakan hukum Keimigrasian di Indonesia mengalami banyak permasalan akibat tidak pastinya peraturan dalam Undang-Undang Keimigrasian, karena adanya kewenangan diskresi yang diberikan kepada Pejabat Imigrasi untuk memilih apakah akan memberikan tidakan sanksi Administrasi atau sanksi Pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas ultimum remedium dalam Undang-Undang Keimigrasian, faktor-faktor yang menyebabkan Pejabat Imigrasi menggunakan sanksi Administrasi atau sanksi Pidana dan bagaimana praktik penegakan hukum Keimigrasian di Indonesia. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa cukup dengan penerapan tindakan sanksi administrasi berupa Deportasi, denda dan Penangkalan dapat menyelesaikakan proses penegakan hukum keimigrasian secara cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga asas ultimum remedium dapat diterapkan dalam penegakan hukum Keimigrasian. Penjatuhan sanksi administrasi dapat diterapkan kepada semua pelanggaran dan kejahatan dalam Undang-Undang Keimigrasian, kecuali terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana harus dipertimbangkan dampak dari pelanggaran dan kejahatan yang terjadi apakah pelanggaran dan kejahatan dapat di toleransi oleh masyarakat atau meresahkan masyarakat. Praktek penerapan sanksi pidana keimigrasian di Indonesia masih mengalami kendala diantarahnya overcrowded Lembaga Permasyarakatan, Rudenim, peningkatan biaya operasional setiap kasus, pengungsi yang tinggal tanpa batasan waktu, dan kurangnya koordinasi antara pejabat Imigrasi dengan Kepolisian RI.

Immigration law enforcement in Indonesia has many problems due to uncertain regulations in the Immigration Act, because of the discretionary authority granted to Immigration Officials to choose whether to provide administrative sanctions or criminal sanctions. This study aims to find out how the application of the ultimum remedium principle in the Immigration Act, factors that cause Immigration Officials to use Administrative sanctions or Criminal sanctions and how Immigration law enforcement practices in Indonesia. In this study, the type of research used is normative research using historical, legal and conceptual approaches. The results of the study concluded that sufficient implementation of administrative sanctions in the form of Deportation, fines and deterrence could solve the immigration law enforcement process quickly, simply and at a low cost so that the principle of ultimum remedium can be applied in the enforcement of Immigration law. Administrative sanctions can be applied to all violations and crimes under the Immigration Act, except for victims of trafficking and people smuggling. Before imposing a criminal sanction, it must be considered the impact of the violation and the crime that occurred whether the violation and crime can be tolerated by the community or disturbing the community. The practice of implementing immigration criminal sanctions in Indonesia is still experiencing problems in overcrowded Correctional Institutions, Rudenim, increased operational costs for each case, refugees who live without time limits, and lack of coordination between Immigration officials and the Indonesian Police.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Arija Br
"ABSTRAK
Karakteristik delik korporasi yang berbeda dari street crime membuat sejumlah
ahli memandang bahwa ultimum remedium tidak lagi relevan dalam konteks
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertanyaannya adalah (1) bagaimanakah
konsep dan makna ultimum remedium dalam hukum pidana dan kaitannya dengan
Hak Asasi Manusia? (2) bagaimana perumusan ultimum remedium di dalam
konteks pertanggungjawaban pidana korporasi? dan (3) bagaimanakah
implementasi ultimum remedium dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di
Indonesia?. Penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan multi-pendekatan.
Wawancara dilakukan untuk mengklarifikasi data sekunder yang ada. Hasilnya
menunjukkan bahwa sejak tahun 1955-2016 terdapat 115 UU yang menempatkan
korporasi sebagai subjek delik, diantaranya korupsi, perpajakan, lingkungan
hidup, dan pencucian uang. Keempat UU yang dianalisis menunjukkan bahwa
administrative penal law cenderung bersifat ultimum remedium dibandingkan UU
Pidana. PERMA No.13 Tahun 2016 cenderung bersifat primum remedium karena
substansinya lebih banyak memuat aturan prosedural daripada substantif.
Sedangkan RKUHP 2015 memiliki pola ultimum remedium yang kuat, yakni
adanya pedoman pemidanaan, double track system, dan pidana tambahan berupa
pembubaran korporasi merupakan sarana terakhir. Putusan hakim cenderung
bersifat primum remedium (analisis dilakukan terhadap putusan PT Giri Jaladhi
Wana, Asian Agri Group, dan PT Kallista Alam). Pengecualian ultimum
remedium seperti itu boleh saja dilakukan mengingat karakteristik delik korporasi,
yakni serius, lintas batas, mengancam sendi perekonomian, dan korban yang
samar dan luas. Namun demikian, terdapat pula kemungkinan penerapan ultimum
remedium melalui partisipasi korporasi dalam kebijakan hukum pidana.

ABSTRACT
The characteristics of corporate offense that are different from street crime make
some experts consider that ultimum remedium is no longer relevant in the context of
corporate criminal liability. The questions are (1)how is the concept and meaning of
ultimum remedium in criminal law and its relation to human rights? (2)how is
ultimum remedium formulated within the context of corporate criminal liability? and
(3)how is the implementation of ultimum remedium in corporate criminal liability in
Indonesia?. This research is juridical-normative with multi-approach. Interviews are
conducted to clarify the existing secondary data. The results are: Since 1955-2016
there are 115 laws that place corporations as the subject of offenses, including
corruption, taxation, environment, and money laundering. The four laws analyzed
indicate that administrative penal law tends to be ultimum remedium compared to the
Criminal Acts. Supreme Court Regulation No.13 of 2016 tends to be primum
remedium because the substance contains more prosedural law than substantive.
While Model Penal Code 2015 has a strong ultimum remedium pattern, namely the
sentencing guidelines, double track system, and corporate dissolution is a last resort
of additional criminal sanction. The judge's verdict tended to be primum remedium
(analysis was made on PT Giri Jaladhi Wana, Asian Agri Group and PT Kallista
Alam). Such exclusion of ultimum remedium are justifiable because of corporate
offences that are serious, transboundary, threatening the economic pillar, and the
vague and widespread of victim. However, there is also the possibility of applying
ultimum remedium through corporate participation in criminal law policy."
2017
T48755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariman Satria
"ABSTRACT
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku. "
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Kamaratih
"Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan salah satu dari jenis upaya hukum luar biasa. Permohonan Peninjauan Kembali dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah terpidana dan ahli warisnya. Namun belakangan ini yang terjadi adalah Penuntut Umum yang merupakan pihak-pihak di luar yang disebutkan dalam KUHAP diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Dalam tulisan ini perkara yang akan diangkat adalah Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah pihak-pihak manakah yang mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali, bagaimanakah putusan Mahkamah Agung selama ini menanggapi permintaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Penuntut Umu, dan apa yang menjadi legitimasi yuridis dari Mahkamah Agung dalam menerima permohonan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian yang bersifat normatif, sumber data sekunder dengan bahan hukum primer dan sekunder yang berupa peraturan perundang-undanganm yurisprudensi, dan buku. Analisa datanya bersifat deskriptif analitis. Pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali bersifat limitatif menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP, sehingga dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung yang menerima Peninjauan Kembali terhadap Pollycarpus dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir merupakan awal dari ketidakpastian hukum apalagi beberapa bulan sebelum diterimanya permohonan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung menolak pengajuan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum dalam putusan No.84/PK/PID/2006. Mahkamah Agung harus menentukan ketentuan mana dan penafsiran seperti apa yang harus digunakan dalam memberikan hak pada pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumadi
"Proses pembuktian di dalam persidangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses beracara di dalam suatu peradilan. Pada perkara pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup fungsi alat bukti keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah adalah sangat penting membantu majelis hakim untuk memahami masalah-masalah teknis ilmiah. Oleh sebab itu pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bagaimana pendapat hakim dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan oleh para pihak, baik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun dari terdakwa atau penasihat hukum dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Skripsi ini juga membahas mengenai acuan atau dasar hukum apa yang dapat dipakai dimasa yang akan datang untuk melakukan penelitian/pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup. Alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terdakwa atau penasihat hukum terdapat pertentangan yang sangat jauh berbeda satu sama lain. Hal ini menjadi tugas majelis hakim dalam menilai kebenaran keterangan alat bukti keterangan ahli dan dapat dilihat bagaimana majelis hakim menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli. Mengenai acuan atau dasar hukum yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian/pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup adalah dapat dipakai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan-peraturan yang ada dibawahnya termasuk Keputusan Kepala Bapedal Nomor 113 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.

Substantiation process before court is a critical part in a proceeding. In environment pollution or devastation lawsuit, professional opinion as one of legal exhibits serves as an important part in supporting the court understanding of scientific technical issues. The subject matter in this thesis, therefore, concerns with the judge opinion in assessing the intensity of substantiation of professional opinion proposed by the parties, both the general prosecutor (JPU) and the defendant or legal counsel in the environment pollution crime alleged against PT. Newmont Minahasa Raya in Buyat Gulf. This thesis also discusses about future applicable reference or legal basis to carry out study/inquiry of environment pollution crime. The professional opinion exhibits presented by either General Prosecutor (JPU) and defendant or legal counsel contradict significantly against each other. It is the duty of the court to evaluate the professional opinion exhibits and it can be observed there from how the judges consider the intensity of the professional opinion substantiation. With respect to the reference or legal basis applicable in this study/inquiry of environment pollution crime, it can be used Law Number 23 of 1997 on Environment Management and existing regulations under it including Decision of the Chief Environment Impact Controlling Agency Number 113 of 2000 on General Guide and Technical Guide for Environment Laboratory."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22592
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Evi Riyanti
"Penahanan merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang membatasi kebebasan bergerak seseorang. Pemberlakuan KUHAP menetapkan secara limitatif wewenang penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk menghindarkan tersangka atau terdakwa dari pembatasan hak asasi tanpa dasar. Penahanan mempunyai arti penting karena dapat mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Penahanan bukanlah pemidanaan karena seseorang yang berstatus tahanan belum tentu bersalah. Hal ini didasarkan pada asas praduga tidak bersalah yang terdapat dalam KUHAP. Tersangka atau terdakwa wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. Pengaturan penangguhan penahanan dalam Pasal 31 KUHAP sesuai dengan asas praduga tidak bersalah dan hak asasi manusia untuk hidup bebas. Penuntut umum memiliki wewenang untuk memberikan penangguhan penahanan setelah menerima tanggung jawab atas tersangka. Berdasarkan Pasal 31 KUHAP penuntut umum dapat memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan berdasarkan syarat yang ditentukan. Tidak ada ketentuan yang mengatur secara rinci dan jelas mengenai alasan dan jaminan dalam pemberian penangguhan penahanan. Pada praktiknya penuntut umum memberikan penangguhan penahanan terhadap tersangka berdasarkan pertimbangan yang bersifat subyektif. Hal ini kurang memberikan kepastian hukum dan tidak ada pembatasan yang obyektif untuk menilai tindakan penuntut umum dalam memberikan penangguhan penahanan."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Evi Riyanti
Depok: Universitas Indonesia, 2008
PK III 593/8023
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kusuma Wardhani
"Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini bank telah menjadi sasaran utama tindak pidana pencucian uang karena sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyamarkan asal usul dana. Besarnya jumlah dana yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang dapat mempengaruhi atau merusak sistem ekonomi dan politik suatu negara. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya penerapan Prinsip Mengenal Nasabah untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang.
Berkaitan dengan hal tersebut, apakah Prinsip Mengenal Nasabah dapat digunakan sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui bank?; Bagaimanakah upaya penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dilakukan oleh bank umum, khususnya Bank Mandiri dan Bank Bukopin?; Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh kedua bank tersebut dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah? Dengan diterapkannya Prinsip Mengenal Nasabah, bank dapat mengenal dan memahami sebaik mungkin setiap calon nasabah dan nasabah, termasuk kegiatan yang mereka lakukan yang berkaitan dengan rekening yang dimilikinya.
Dengan demikian, apabila nasabah tersebut melakukan transaksi keuangan mencurigakan, bank dapat langsung melaporkankannya kepada PPATK dan pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Sebagai bank umum, Bank Mandiri dan Bank Bukopin telah melakukan berbagai upaya secara serius dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Salah satunya adalah dengan menetapkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang memuat beberapa kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan pengorganisasian, penerimaan dan identifikasi, pemantauan dan pelaporan, dan manajemen risiko yang didalamnya tercakup pelatihan karyawan.
Jika dilihat dari segi pelaksanaannya, penerapan Prinsip Mengenal Nasabah di kedua bank tersebut belum efektif karena masih menemui berbagai kendala yang berasal dari pihak bank, pihak masyarakat, dan pihak PPATK. Oleh karena itu upaya penyempurnaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah perlu terus-menerus ditingkatkan agar tercapai penerapan yang efektif sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui bank."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>