Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1267 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vauriz Bestika
"Skripsi ini membahas drama "Republik Reptil" karya Radhar Panca Dahana yang mengungkap kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan dominasi kekuasaan di Republik Dwipantara yang dikuasai oleh hewan-hewan dari ordo reptil. Penelitian ini menggunakan metode sosiologis yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann strukturalisme genetik untuk menganalisis keterkaitan antara fakta literer dalam hal ini drama "Republik Reptil" dengan fakta dunia dalam hal ini konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian di sekitar tahun 2009. Drama "Republik Reptil" merupakan hasil tanggapan Radhar Panca Dahana terhadap perkara korupsi yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian.

Abstract
This thesis discusses the drama "Republik Reptil" written by Radhar Panca Dahana that revealed the cases of corruption, misuse of authority, and domination of power in the Republic Dwipantara which controlled by the order of reptiles. This research uses sociological methods proposed by Lucien Goldmann genetic structuralism to analyze the relation between literary facts in this case is drama "Republik Reptil" with the world facts in this case is the conflict between Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) with police around the year 2009. Drama "Republik Reptil" is Radhar Panca Dahana's response to the corruption case that involving Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) and the police. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S436
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurfitriah Farah Dewi
"Salah satu penyakit yang dapat merusak tatanan perekonomian suatu negara adalah korupsi. Namun ada banyak pendapat yang menyatakan pula bahwa korupsi juga dapat berlaku sebagai efficiency enhancing grease, dimana korupsi justru dapat meningkatkan berbagai sisi perekonomian antara lain pertumbuhan dan investasinya. Sehingga perlu diketahui apakah benar korupsi tersebut dapat menurunkan sisi-sisi perekonomian, dengan kata lain korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan, investasi dan juga foreign direct investment atau justru berlaku sebaliknya.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi untuk data panel 11 negara Asia selama periode 1995-2000. Variabel terikat yang digunakan adalah pertumbuhan, investasi domestik dan juga foreign direct investment, sedangkan variabel bebasnya adalah pendapatan perkapita, tingkat pendidikan, korupsi, tingkat keterbukaan dan juga populasi.
Hasil regresi untuk wilayah Asia menunjukkan bahwa korupsi memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap pertumbuhan dan investasi domestik, pengaruh yang negatif juga terjadi pada foreign direct investment namun tidak memildti kecukupan dalam signifikansi. Sedangkan jika dilihat berdasarkan wilayah ASEAN maka pengaruh korupsi terhadap tiga variabel terikatnya adalah negatif dan signifikan.
Dan basil analisis, dapat dilakukan perbandingan antar negara. Apabila dilakukan perbandingan dengan negara lain, misalnya dengan Jepang sebagai negara yang sudalb maju, maka jika Indonesia yang memiliki indeks korupsi rata-rata sebesar 8.73 marnpu menurunkan tingkat rata-rata korupsinya sampai dengan tingkat rata-rata yang dicapai oleh Jepang yaitu 3.61, maka Indonesia akan dapat memiliki pertumbuhan sebesar 6.73%. Sedangkan jika dilakukan perbandingan dengan indeks rata-rata korupsi Singapura yang sebesar 1.17, maka Indonesia dapat memiliki pertumbuhan sebesar 10.68%.
Demikian pula balnya dengan investasi domestik dan juga FDI, dalam menganalisanya dilakukan perbandingan antara Indonesia dengan negara yang lain, sehingga dapat terlihat seberapa besar pengaruh korupsi tersebut pada kedua variabel tersebut. Dari basil analsis dapat terlihat bahwa korupsi dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang sama, di satu sisi korupsi dapat rnenurunkan efisiensi, dengan melihat adanya hubungan yang negatif dengan investasi domestik, di sisi lain korupsi dapat saja meningkatkan efisiensi dalarn hat ini terlihat pada sisi FDI, yang terlihat dari basil regresi yang negatif namun tidak signifikan, dimana meskipun Asia memiliki tingkat korupsi yang tinggi namun tidak terlalu mempengaruhi investor asing natal( cnasuk ke kawasan tersebut, karena mereka lebih melihat dari sisi cost of doing bussiness, dimana Asia terhitung sebagai kawasan yang lebili kompetitif dalam melakukan investasi.
Akan tetapi jika kita kaitkan secara keseluruhan, baik investasi domestik dan juga FDI pada akbimya dapat mempengaruhi nilai turunnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, sehingga dapat dikatakan bahwa sekecil apapun korupsi, tetap dapat menurunkan efisiensi suatu negara (Efficiency Reducing), hanya dengan pemerintahan yang baik dan transparan, penyakit ini dapat diberantas."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T20214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radhar Tribaskoro
"Pemberantasan korupsi telah menjadi harapan masyarakat sejak lama. Sayangnya sampai sekarang belum diketahui strategi paling efektif untuk memberantas korupsi. Strategi yang efektif adalah strategi yang mampu menghapuskan sebab-sebab korupsi. Masalahnya, belum ada kepastian tentang apa yang dianggap sebagai sebab-sebab korupsi. Satu pihak memandang korupsi disebabkan oleh lemahnya insititusi, sementara pihak lain mengatakan korupsi disebabkan oleh sistem dan budaya. Kedua pendekatan ini memberi petunjuk yang berbeda tentang strategi pemberantasan korupsi. Pendekatan institusional menekankan perlunya reformasi hukum dan birokrasi, sementara pendekatan kultural penghapusan kesenjangan ekonomi dan budaya feodal.
Sejauh ini belum ada upaya ilmiah mempelajari kedua pendekatan. Tesis ini bermaksud mengisi celah kosong itu. Tesis ini akan menguji keabsahan kedua pendekatan itu dengan menggunakan metoda kuantitatif yang dibantu pengumpulan data menggunakan kuesioner. Hasil pengujian menolak proposisi institusional dan, sebaliknya, mendukung pendekatan kultural. Temuan ini konsisten dengan pendapat Geertz (1959) dan Faith dan Castle (1970) yang menegaskan kuatnya pengaruh kultural terhadap perilaku politik masyarakat Indonesia. Tetapi yang agak mengejutkan, penelitian ini mengkonfrrnasi kecenderungan uncoupling atau terlepasnya hubungan rakyat dengan pemerintahnya. Semakin berbudaya seseorang justru semakin tidak mempercayai pemerintah. Richard Rose dalam penelitiannya di Rusia pasca-komunisme, juga memperoleh temuan serupa. Penindasan negara telah mendorong rakyat Rusia untuk membangun jaringan sosial justru untuk menentang keinginan negara. Rakyat Rusia memperkukuh ikatan sosialnya tetapi membatasi relevansinya hanya kepada kelompok primordial, gang, dsb. Suatu penelitian yang lebih luas dibutuhkan untuk mendapatkan kesimpulan definitif tentang hadirnya fenomena people-state uncoupling, sebagaimana disinyalir Rose, juga terjadi di Indonesia.

People of Indonesia have long been asking for corruption eradication. Unfortunately, we still don't know the right strategy to do it. The strategy will be effective if it can eliminate causes of corruption. The problem is there are still disputes concerning what can be said as causes of corruption. Some experts said that corruption is determined by institutional weaknesses, while some other depict corruption caused by system and culture. Those two approach send indicate different strategy to cope with corruption. Institusionalist assert immediate needs to reform law and bureaucracy, while culturalist propose a consistent fair courts, reducing wealth inequality and strengthening people's self-confidence.
So far there are still no serious attempt to study those dillemma scientifically. This thesis tried to fill this gap. This thesis will test legitimation of those approaches using quantitative method and collecting data by questionnaire. The results reject institutional hipothesis and accept cultural hipothesys. This result meet consistently proposition by Geertz (1959) and Feith and Castle (1970) that Indonesian people were deeply influenced by its tradition and culture. But, surprisingly this research reveal society-state uncoupling, i.e. a phenomena when society disentangle their connection with government. This phenomena happened when more civilized a person (generous, humane, socially active, egalitarian) then more distrust him to the government. Richard Rose found similar phenomena when he studied Russian society post-communist. Long experience of abusive government officials drove Russian to build social networks just to defense them from more state exploitation. People's of Russia increase their bondings but limit it to relevant primordial groups or gangs. But more extensive research is needed if phenomena of people-state uncoupling should be concluded."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ineke Indraswati
"Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan hares diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah kerusakan hutan akibat perambahan oleh manusia secara tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun banjir. Kasus perambahan hutan di Indonesia masih kerap terjadi walaupun telah ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kasus-kasus ini masih terjadi karena penegakkan hukum yang belum berlangsung secara maksimal. Pada tahun 2005, Kejaksaan Agung R.I. menyidik suatu kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 di Sumatera Utara. Kasus ini sudah lama akan tetapi belum berhasil dibawa ke Pengadilan oleh aparat yang berwenang. Kejaksaan Agung R.I., dalam hal ini JAMPIDSUS, milakukan penyidikan atas kasus ini dengan menyangkakan ketentuanketentuan dalam tindak pidana korupsi terhadap kasus tersebut. Penyidikan dan penuntutan atas perkara ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus adalah merambah kawasan hutan yang merupakan milik negara dan menimbulkan kerugian negara sehingga terhadap Darianus Lungguk Sitorus didakwa dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan. Akan tetapi dalam putusan tingkat pertama dan tingkat kasasi, tindak pidana yang terbukti adalah tindak pidana kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan yaitu mengenai asas lex specialis derogat legi generasi dan definisi kerugian negara itu sendiri. Dengan demikian penerapan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan khususnya kasus Darianus Lungguk Sitorus belum dapat digunakan.

Forest is one of the national development potential which have real benefit to Indonesia, such as ecological benefit, social cultural and economic. Therefore forest should be taking care of and organized, protected, and continuation usable to Indonesian welfare. The damage of forest in Indonesia happened because a lot of reasons, one of them is the cleared away by human that cause environmental pollution and flood. Such clear away forest cases in Indonesia still happened even though there are Law No. 41, 1999. These cases still happened because the law enforcement is not maximized. In 2005, Attorney General Office investigated a clear away forest by Darianus Lungguk Sitorus in Area 40 in North Sumatera. Its been years, yet it still can not be brought to the court. Attorney General Office investigated the case based on the accusation of anti corruption. The investigation and prosecution on this case based on facts that Darianus Lungguk Sitorus act to cleared away the forest which belong to Indonesia government impact on the lost of capital, hence it convicted with anti corruption. On the first verdict and cessation, the crime that proved is the Forest Law and not Anti Corruption. These happened because several problems faced by the Attorney General such as lex specialis derogate legi generali and the difference definitions of state lost capital. Therefore the implementation of anti corruption can not be use in the clear away forest cases especially case of Darianus Lungguk Sitorus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuna Farhan
"Korupsi sistemik merupakan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini ditunjukan dari Laporan Transparency International tahun 2005 mengenai Corruption Perception Index yang menempatkan Negara Indonesia pada rangking 134 dan 158 negara yang di survey. Korupsi sistemik yang melanda birokrasi dad berbagai instansi di struktur pemerintahan. Walaupun, telah banyak peraturan perundangundangan anti korupsi yang telah diterapkan, namun persoalan korupsi ini tidak kunjung usai. Bahkan, Komisi Pemilihan Urnum, sebagai lembaga pengawal dan instrumen demokrasi yang menentukan kualitas kepemimpinan negara ini dan berasal dari unsur kalangan independen, juga tidak terlepas dan "virus" korupsi. Dalam konteks seperti ini, upaya pemberantasan korupsi belum menampakan hasil nyata dan masih dilihat sebagai upaya elitis penegak hukum dan belum melibatkan peran serta masyarakat sipil. Sebagai kejahatan luar biasa, cara-cara luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi, dengan melibatkan elemen masyarakat sipil seperti LSM, merupakan salah satu altematif ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi yang diintrodusir oleh pemerintah.
Berangkat dari permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran peran dan pengalaman koalisi LSM dalam pengungkapan kasus korupsi KPU, strategi dan bentuk advokasi yang dilakukan, pola hubungan anggota Koalisi LSM, hasil dan dampak yang dicapai serta faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan gerakannya. Pada akhimya, penelitian ini mengajukan tawaran solusi untuk peningkatan peran serta LSM dalam pemberantasan korupsi, dan tawaran kebijakan agar kasus korupsi KPU tidak terulang, berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi selama penelitian. Dalam konteks ini, penelitian peran Koalisi LSM dalam pemberantasan korupsi dengan studi kasus korupsi KPU mempergunakan pendekatan kualitatif. Sementara kerangka teori yang dipergunakan meliputi teori civil society diantaranya dan Toqueville, Habemas dan Putnam, LSM dan korupsi dari Alatas dan Klitgaard.
Korupsi di KPU merupakan gambaran korupsi sistemik yang berada di birokrasi, karena melibatkan aktor dari instansi lain seperti Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Para pengusaha yang melakukaan pengadaan barang dan jasa di KPU. Kalangan KPU yang dikenal sebagai akademisi tidak terlepas dari jerat korupsi sistemik yang disebabkan iemahnya mekanisme pengawasan atau kelembagaan di KPU, kebijakan penganggaran yang tidak aplikatif diterapkan dalam proyek politik Pemilu yang menelan anggaran besar, dan sistem pengadaan barang dan jasa yang memberika kondisi atau mendorong terjadinya korupsi di lembaga ini. Pada akhimya, menimbulkan modus-modus korupsi seperti mark-up dalam pengadaan logistik Pemilu, suap untuk melakukan pencairan anggaran maupun pemeriksaan, dan aliran dana "kick -back" yang berasal dari pengusaha ke sejumiah oknum di KPU.
Peran Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas yang terdiri dari 5 LSM ini (FITRA, FORMAPPI, LBH Jakarta, IPW dan KIPP Indonesia) masih belum mampu untuk membedah secara mendalam korupsi sistemik yang terjadi di KPU. Laporan dugaan korupsi KPU yang disusun Koalisi LSM masih sebatas pengungkapan kasus korupsi yang muncul ke permukaan dan belum menunjukan secara nyata terjadinya korupsi di KPU. Namun demikian, Laporan Koalisi LSM ini, merupakan bukti awal bagi KPK untuk mengungkap kasus korupsi ini lebih jauh. Dalam advokasi-advokasi yang dilakukannya, Koalisi LSM mempergunakan kontrol ekstemal melalui pembentukan opini publik di media massa dalam bentuk diskusi publik dan kofrensi pers dan mempergunakan mekanisme kenegaraan yang ada dengan melakukan tekanan-tekanan kepada DPR, KPK dan BPK untuk menindakianjuti laporannya. Gerakan Koalisi LSM ini dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru karena tidak lagi mengandalkan massa. Pola hubungan internal koalisi dengan kepemimpinan kolektif dan mekanisme pengambilan keputusan secara bersama, menumbuhkan adanya solidaritas, kepercayaan dan etika berjaringan yang dipahami bersama.
Di tingkat eksternal, dalam melakukan advokasinya Koalisi LSM dihadapi oleh isu sebagai gerakan yang berupaya menggagalkan Pemilu dan tuntutan pencemaran nama baik. Ditingkat internal, data-data yang dilaporkan Koalisi LSM belum menunjukan bukti yang kuat terjadinya korupsi di KPU, besaran dugaan korupsi yang berubah-ubah dan kesulitan mengkases data serta slat bukti. Meskipun demikian, pengungkapan kasus korupsi KPU merupakan tonggak titik terang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kasus korupsi KPU sebagai kasus terbesar pertama yang ditangani KPK, menjadikan lembaga ini memperoleh kepercayaan publik ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, penguatan pecan LSM dalam pemberantasan korupsi, dengan visi yang jelas menjadi penting untuk diperhatikan.
Ke depan untuk mencegah terjadinya korupsi di KPU dan meminimaiisir terjadinya korupsi sistemik di lembaga lain, perlu dilakukan penguatan sistem pengawasan kelembagaan KPU dengan meningkatkan posisi dan kewenagan Panwaslu, pembenahan dalam sistem penganggaran dengan menerapkan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEFIMedium Term Expenditure Framework), dan reformasi dalam pengadaan barang dan jasa publik, seperti pembentukan badan indpenden. Sementara untuk LSM-LSM anti korupsi perlu melakukan konsolidasi untuk tidak sekedar mengungkap kasus korupsi melainkan juga mendorong adanya kondisi, instrumen dan kebijakan yang anti korupsi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhyiddin
"ABSTRAK
Karya Lulis ini mencoba menyelidiki dan mcnjelaskan dampak korupsi lerhadap GDP perkapita pada panel data 105 negara. Kekhususan paper ini jika dibandingkan dengan studi-studi terdahulu adalah mencoba menyelidiki bahwa dampak korupsi terhadap pembangunan berbeda antar Negara dengan menambahkan variabel dummy negara maju dan negara berkembang Serta pengelompolcan dummy berdasarkan wilayah geogran (yaitu negara barat dan maju, Negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin dan r Karibia, serta Eropa Timur dan bekas Uni Soviet). Metode yang dipakai adalah OLS . panel, ZSLS, dan fixed effects regressions. 1-lasilnyamenunjukkan bahwa perlama, dengan meuggunakan OLS dan ZSLS, dampak korupsi terhadap GDP per kapita adalah . ncgatif dan signifikan. Dengan memakai fixed effects, hasilnya menunjukkan bahwa l dampak tersebut tidak si gnilikan clikarenakan adanya kemungkinan data panel yang terlalu pendek (hanya 6 tahun durasi data) Serta measurement emor (kesalahan pengukuran variabcl korupsi). Kedua, dampak negatif korupsi dirasakan lebih besar di negara berkembang dibandingkan di negara maju, Ketiga, jika dilihat dari wilayah 0 geografi, dampak negatif korupsi terhadap pembangunan dirasakan paling besar di negara berkembang di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, lalu berturut-turut di Asia, Atnka, rl Negara Barat dan Maju, serta paling kecil dampaknya di Negara berkembang di Amerika Latin dan Karibia.

ABSTRACT
This paper tries to investigate and explain the impact ofcomiption on per capita GDP across 105 countri cs. The distinction of this paper comparing to earlier studies is to investigate that the impact of corruption on development is different among countries by involving dummy developed and developing countries and cluster geographical areas (Western and developed countries, Developing oountries in Asia, Africa, South America and Caribbean, and Eastern Europe and Ex Soviet Union). The methods used are OLS, ZS LS, and fixed effects regressions. The results show that first, by using OLS and ZSLS, the impact of corruption on per capita GDP is negatively significant. Fixed effects estimation show no impact ofoorruption on pcr capita GDP but this is probably duc to the short panel as well as measurement error. Second, developing countries have higher impact of con-uption on per capita GDP rather than developed countries. Third, looking on across geographical areas, developing countries in Eastern Europe and Ex Soviet Union have the highest negative impact, and then in Asia, Afiica, Westem and developed countries, and the lowest is in developing countries in South America and Caribbean.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T34222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Pramoti
"ABSTRAK
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan sebuah nuansa baru
dalam perkembangan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di
Indonesia yaitu dengan dikenalnya pembalikan beban pembuktian terutama
berkaitan dengan pembuktian tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Permasalahannyamasih jarang ditemui perkara yang
menerapkan ketentuan tentang gratifikasi, padahal penggunaan pasal ini Penuntut
Umum akan lebih diuntungkan karena kewajiban untuk membuktikan sudah ada
pada pihak terdakwa. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana
konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian pada perkara gratifikasi terhadap
proses pembuktian di muka persidangan oleh Penuntut Umum, penerapannya
dalam kasus Dhana Widiatmika dan Gayus Tambunan, dan hal-hal apakah yang
masih menjadi permasalahan dalam penerapannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penerapan pembalikan beban pembuktian perkara Gratifikasi dalam
Pasal 12 B terdapat kerancuan, karenapasal ini memuat dua unsur pasal yang
masing-masing memiliki sistem pembuktian yang berbeda yaitu unsur “pemberian
kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” (sistem pembuktian
konvensional) dan unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya” (sistem pembuktian terbalik). Dimana dalam
proses pembuktian Pasal 12 Btetap mengacu pada KUHAP, sehingga menjadikan
pembuktian terbalik mekanismenya tidak terlihat dalam pemeriksaan di
persidangan, karena dengan tetap saja pola hakim digiring pada pola
pemikirannya Jaksa Penuntut Umum.

ABSTRACT
Act No. 20 of 2001 on Amendments to Act No. 31 Year 1999 on
Eradication of Corruption gives a new nuance in the development of law
enforcement in the field of eradication of corruption in Indonesia, with the
familiar reversal of the burden of proof is primarily concerned with proving the
crime of gratification as provided for in Article 12 B of paragraph (1) letter a. The
problem is rarely encountered cases that apply the provisions of gratification,
whereas the use of this article Prosecutor will be benefited from the existing
obligation to prove the defendant. This study intends to find out how the
consequences of a reversal of the burden of proof on the graft case against the
evidence in court by prosecution , its application in the case of Gayus Tambunan
and Dhana Widiatmika, and if things are still a problem in its application. The
results of this study demonstrate the applicability of the reversal of the burden of
proof in the case of Article 12 B Gratuities are ambiguous, because this article
contains two elements, each chapter has a different system that is an element of
proof "gift to an official or state officials" (conventional verification system) and
element "associated with his position and contrary to the obligations or
duties"(reverse authentication system). Where in the process of proving Article 12
B still refer to the Criminal Code, making the reverse authentication mechanism is
not visible in the examination in the trial, because the judge still herded the
pattern of his thinking pattern Prosecution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hidayah Putri
"Latar belakang penelitian ini adalah adanya komitmen bersama pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi secara nasional untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dan berwibawa, salah satunya melalui pelaksanaan strategi komunikasi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi. Strategi komunikasi melalui kampanye komunikasi ini bertujuan untuk mengembangkan budaya anti korupsi secara efektif dan efisien di lingkungan aparatur pemerintahan. Sebagai suatu kampanye perubahan sosial (ideological or cause-oriented campaign- Charles U. Larson), maka diperlukan serangkaian kegiatan komunikasi yang dirancang dan dapat diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan.
Penelitian ini bertujuan membahas tentang Evaluasi Strategi Komunikasi Kampanye Anti Korupsi di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini dibahas tentang bagaimana perencanaan kampanye komunikasi dilakukan untuk mendukung kegiatan Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi dengan unit kerja pilot project Direktorat Operasi Sumber Daya. Unit kerja ini memiliki layanan perizinan yang dianggap rentan terhadap praktik korupsi.
Berdasarkan evaluasi tahap formatif dan pelaksanaan ditemukan fakta bahwa pesan yang disampaikan dalam kampanye dianggap mampu mempersuasi khalayak untuk menghindari tindakan korupsi, khususnya menghindari gratifikasi dan suap. Namun di sisi lain, pesan yang diangkat ini tidak sesuai dengan rencana strategi komunikasi yang ingin mengangkat nilai disiplin dan keterbukaan. Penggunaan media komunikasi interpersonal seperti kegiatan tatap muka dinilai dapat menjadi pelengkap (supplementation) dalam kampanye perubahan sosial, sehingga akan sukses.

The background of this research is the shared commitment of the government in preventing and eradicating corruption nationally to actualize the implementation of clean and respectable country, through the implementation of communication strategy of The Anti-Corruption Education and Culture. Strategic communication through communication campaign aims to develop a culture of anti-corruption effectively and efficiently in the government agency. As a social change campaign (ideological or cause-oriented campaign- Charles U. Larson), it would require a series of communication activities designed to be effectively implemented in order to achieve certain goals.
This study aims to discuss the Evaluation of Strategic Communication Implementation on Anti-Corruption Campaign at the Ministry of Communication and Information Technology. This research is a descriptive qualitative research. This study discussed how communication campaign planning undertaken to support the activities of the Anti-Corruption Education and Culture pilot project with the working unit of the Directorate of Radio Frequency Spectrum Resources Operation. The work unit was chosen because it has a licensing service that is considered vulnerable to corruption.
Based on the evaluation and implementation of the formative phase, it was discovered that the messages conveyed in the campaign is considered able to persuade the public to avoid corruption, especially to avoid gratification and bribery. But on the other hand, the message does not correspond with the communication strategy planned in raising the value of discipline and openness. The use of interpersonal communication media such as face-to-face activities is considered to be complementary/supplementation in social change campaigns, so it will be a success.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willi Sutanto
"Banyak peneliti yang tertarik untuk mempelajari korupsi dengan menggunakan beberapa Negara dan teknik cross section. Beberapa peneliti telah menguji hubungan antara korupsi dan perdagangan menggunakan share perdagangan terhadap GDP. Akan tetapi, kesimpulan dari beberapa studi empiris berkenaan dengan efek dari korupsi terhadap perdagangan adalah bervariasi. Beberapa literature menemukan bahwa korupsi dapat mengurangi volume perdagangan sedangkan literature lain menunjukkan kesimpulan yang sebaliknya. Oleh karena itu, tulisan ini ditujukan untuk meneliti hubungan antara korupsi dan volume perdagangan pada beberapa komoditi yang terpilih seperti barang mentah, barang capital, barang penghubung (intermediate), dan barang konsumsi di Indonesia.
Tulisan ini menggunakan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index, CPI) dan control terhadap korupsi (control of corruption, CC) sebagai indikator-indikator korupsi. Sementara itu, volume perdagangan diwakili oleh nilai ekspor dan impor Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Gravitasi. Model tersebut diestimasi menggunakan regresi fixed effect model atau random effect model. Hasil-hasil empiris menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia, baik itu CPI ataupun CC, berpengaruh buruk terhadap volume perdagangan barang capital di Indonesia. Adapun untuk barang konsumsi, barang intermediate, dan barang mentah, hubungan negative terhadap korupsi di Indonesia hanya ditunjukkan untuk CPI saja. Untuk CC dari Negara partner Indonesia, efeknya beragam terhadap volume perdagangan dari komoditas-komoditas terpilih tersebut.

Many researchers are interested to study corruption using multiple countries and cross section techniques. Other scholars have examined the relationship between corruption and trade using share of trade to GDP. However, the conclusions of several empirical studies concerning the effect on trade are mixed. Some literatures found that corruption reduce trade volume whereas other literatures showed the opposite conclusion. Therefore, this paper attempts to investigate the association between corruption and trade volume on selected commodities like raw material goods, capital goods, intermediate goods, and consumer goods focusing on Indonesian case.
This paper used Corruption Perception Index (CPI) and control of corruption (CC) as corruption indicators. Meanwhile, trade volume was indicated by Indonesian export and import value. Gravity model is used to formulate the problem of this topic and this model is regressed using fixed effect or random effect model. Empirical results demonstrate that trade volume of capital goods is adversely affected by the degree of corruption in Indonesia either CPI or CC. Meanwhile for consumer goods, intermediate goods and raw material goods, these commodities have negative relationship with the level of corruption in Indonesia, only CPI. For CC of Indonesia's trading partner, its effects are mixed for the selected commodities."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sultandar Zulkarnain
"ABSTRAK
Kami mempelajari ekonomi korupsi melalui eksperimen berupa survey. Hubungan antara kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku korupsi dan beberapa karakteristik diantaranya adalah jenis kelamin, usia, kebangsaan dan “pengalaman internasional” kemudian diteliti melaui kuesioner. Penelitian ini menggunakan mahasiswa program master tahun 2013-2014 di ISS.
Penelitian ini menemukan bahwa, pertama, perilaku korup tidak hanya digerakkan oleh jumlah uang yang ada dalam “kegiatan” korupsi tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh seberapa besar kemungkinan tertangkap. Kedua, meskipun beberapa peneliti percaya bahwa perilaku korupsi adalah fenomena yang umum, namun demikian, tidak ada hubungan pasti antara kecederungan untuk terlibat korupsi dan jenis kelamin, usia, kebangsaan, ataupun “pengalaman internasional”. Ketiga, persepsi korupsi mungkin tidak mewakili seluruh fenomena realitas korupsi di Negara tertentu. Keempat, institusi-institusi memiliki pengaruh tertentu dalam membentuk pandangan hidup masyarakat.

ABSTRACT
We study the economics of corruption through survey experiment. The relationship between the likelihood to engage in corrupt behavior and several characteristics such as sex, age, nationality and international exposure is then examined through questionnaire. This study uses ISS students MA batch 2013-2014 as the respondents.
This research finds that, firstly, corrupt behavior is not only driven by the amount of money involved in the corrupt activities, but also affected by the probability of being caught. Secondly, even though some scholars believe that corruption is a widespread phenomenon, there is no exact relationship between the propensity to engage in corruption and gender, age, nationality or international exposure. Thirdly, corruption perception may not represent the whole phenomena of corruption reality in a specific country. Fourthly, institutions have certain influences in shaping people’s way of life."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>