Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100204 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suharto
"ABSTRAK
Banten adalah daerah yang terkenal, di antaranya karena suka memberontak. Dalam abad ke-19 terjadilah serangkaian pemberontakan terhadap Belanda yang mencapai puncaknya pada pemberontakan petani tahun 1888. Tahun 1926 di daerah ini terjadi lagi pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia yang mencemaskan pemerintah Hindia Belanda. Semasa pendudukan Jepang, kaum ulama mendapat kedudukan-kedudukan resmi yang panting.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, di daerah ini terjadi suatu revolusi sosial yang dilakukan oleh kerjasama antara kaum ulama, komunis setempat dan jawara. Namun masa kekuasaan kaum revolusioner itu tidak lama, hanya sekitar tiga bulan, setelah itu pemerintahan jatuh
ke tangan pemerintah RI setempat.
Pada waktu Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama, tahun 1947, daerah ini luput dari serangan itu. Namun daerah ini diblokade Belanda sedemikian rupa sehingga Banten cukup menderita.
Mengingat sifat rakyat Banten yang suka memberontak maka cukup menarik untuk melihat keadaan Banten pada masa akhir revolusi, saat daerah ini diserang dan diduduki Belanda. Mengapa Banten barn diserang Belanda pada aksi militer kedua? Bagaimanakah aksi militer Belanda kedua berjalan, bagaimana perlawanan dari pihak Banten dan bagaimana keadaan daerah itu setelah daerah itu diduduki Belanda?
Dari hasil penelitian nenunjukkan bahwa Banten sebagai daerah yang diblokade, cukup menderita. Jual-beli pernah dilakukan secara barter, namun demikian, rakyat Banten tetap tabah dan teguh pendiriannya.
Pada tanggal 23 Desember 1948 Banten diserbu Belanda dengan aksi militernya kedua. Daerah ini diduduki, namun pemerintah RI tetap bertahan yaitu mengungsi ke daerah pedalaman bersama-sama tentara. Dari sana penerintah sipil mengatur pemerintahan, dan militernya melakukan perang gerilya. Terdapat kerjasama yang baik sekali antara pemerintah dengan TNI dan rakyat setempat. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda meninggalkan Banten dan daerah ini kembali ke tangan RI.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto
"ABSTRAK
Banten yang terletak di bagian paling barat dari Pulau Jawa terkenal karena kefanatikannya dalam agama dan sifatnya yang suka memberontak. Dalam abad ke-19 tradisi revolusionernya menemukan ungkapannya dalam serangkaian pemberontakan yang berpuncak pada pemberontakan petani Banten tahun 1888. Tahun 1926, Banten menjadi panggung pemberontakan komunis yang cukup meresahkan pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan itu gagal, namun akibatnya praja dan orang-orang Belanda. Pada jaman pendudukan Jepang beberapa Ulama Banten diangkat dalam jabatan-jabatan resmi. Pengangkatan ini nampaknya dimaksudkan untuk menentramkan perasaan orang Banten.
Bagaimana sikap mereka setelah Indonesia merdeka, khususnya pada masa awal? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan penelitian. Dari hasil penelitian, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut.
Setelah proklasmasi kemerdekaan dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, berita itu sampai di Bantentanggal 20 Agustus 1945, disampaikan langsung oleh beberapa pemuda dari Jakarta yang disuruh oleh Chairul Saleh. Berita itu diterima oleh beberapa tokoh masyarakat dan pemuda Banten, selanjutnya mereka sebarluaskan pada masyarakat di seluruh Banten.
K.H. Tubagus Ahmad Khatib diangkat sebagai Residen Banten dan K.H. Syam'un sebagai pimpinan militer. Kebencian mereka terhadap pamong praja dan orang-orang Belanda tidak hilang. Pada bulan Oktober dilakukan penurunan dan penggantian pejabat-pejabat lama dan menggantinya dengan pejabat-pejabat baru yang terdiri dari kaum ulama, meskipun mereka tidak punya keahlian dalam bidang itu. Bersamaan dengan itu, di sana muncul Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat. Dewan ini yang berpusat di Ciomas, melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap pejabat-pejabat yang tidak mereka sukai karena tingkah laku mereka di masa kolonial. Dewan ini yang bertindak sebagai lembaga eksekutif tidak lama berkuasa. Pada bulan Januari 1946 Dewan dapat ditumpas oleh TNI. Untuk sementara, kaum ulama masih dapat menduduki jabatan-jabatan pamong praja akan tetapi mereka lambat laun diganti."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prapto Yuwono
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto
"ABSTRAK
Banten yang terletak di bagian paling barat dari Pulau Jawa, terkenal karena kefanatikannya dalam agama dan sikapnya yang suka memberontak. Dalam abad ke-19 tradiei revoluaionernya menemukan ungkapannya dalam serangkaian pemberontakan yang berpuncak pada pemberontakan petani Banten tahun 1888. Tahun 1928, Banten kembali menjadi ajang pemberontakan komunis yang meresahkan pemerintah kolonial. Pemberontakan itu gagal, namun akibatnya keberanian mereka yang tak kunjung padam terhadap orang-orang Belanda dan pangreh praja. Banten oleh Belanda dibiarkan bodoh dan terbelakang. Pada Jaman Jepang
beberapa ulama Banten diangkat dalam Jabatan-Jabatan resmi. Pengangkatan ini nampaknya dimaksudkan untuk menenteramkan perasaan mereka.
Setelah Indonesia merdeka, di daerah ini kembali terjadi pergolakan soaial. Setelah Balanda melanoarkan agresi militernya pertama, daerah ini tidak diserang dan
diduduki, dan baru diduduki tahun 1948 dengan agresi militernya kedua. Nampaknya, untuk melemahkan Banten, Belanda memblokade daerah Banten eecara ketat. Bagaimana Banten dapat memenuhi kebutuhan sendiri? Bagaimana sikap dan uaaha pemerintah daerah Banten dalam
mengatasi keadaan itu? Dari hasil penelitian dapat diuampaikan hal-hal sebagai berikut.
Blokade yang dilakukan Belanda merupakan blokade total, dengan makaud untuk melemahkan Banten yang terkenal keras itu. Banten ditutup sama sekali dari arua orang dan
barang. Orang yang keluar dan masuk daerah Banten diperiksa aecara ketat oleh Balanda.
Akibat blokade itu, Banten harue memenuhi kebutuhan sendiri. Beberapa barang yang dibutuhkan, dipenuhi dengan berbagai cara, seperti dengan cara membuat sendiri barang
itu, mencarinya barang kebutuhan itu di daerah Jakarta lewat seseorang, membeli barang-barang selundupan, dan lain sebagainya.
Untuk menghindari menipisnya barang produksi aendiri, pemerintah daerah Banten membuat aturan terhadap hasil produkai itu seperti hasil bumi dan ternak yang akan di
bawa ke luar daerahnya. Dalam kaitan' dengan jual-beli barang dan_ untuk pengawasan, dibentuk polisi ekonomi. Untuk memperkuat perekonomian daerah Banten, oleh kalangan
pedagang dan Jawatan terkait dibentuk Majelis Perniagaan Daerah Banten. Untuk mengatasi kesulitan alat pembayaran, pemerintah daerah mencetak uang kertas sendiri yaitu URIDAB atas ijin pemerintah pusat. Oleh karena begitu sederhananya ujud mata uang itu, akibatnya muncul uang palsu yang cukup meresahkan masyarakat- Selain itu bertambahnya mata uang itu, maka inflasi pun tidak dapat dihindari. Untuk mengatasi kesulitan komunikasi ke luar
daerah terutama ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jawa Barat maupun di dalam daerah itu sendiri, dibuatlah pemancar radio di Serang.
Banten dapat mengatasi keadaan yang sulit itu dengan tekad dan perjuangan keras. Blokade itu ternyata tidak dapat melemahkan semangat rakyat Banten. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa akibat blokade itu kemadian di bidang sosial ekonomi daerah ini ketinggalan dibandingan dengan daerah lainnya. Namun ketinggalan itu kemudian dikejar setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anto Dwiastoro Slamet
"Aksi-aksi gerilya dan anti-gerilya dari dua kekuatan yang bertarung merebut dominasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah perang revolusioner. Fenomena demikian turut mewar_nai perjalanan sejarah Perang Kemerdekaan RI (1945-1949). Aksi-aksi gerilya RI, bagaimanapun, menampilkan suatu kecenderungan unik, yakni aspek pertempuran yang merupakan sisi yang tidak terlalu menonjol ketimbang aspek psikologis yang diwujudkan sebagai sebuah senjata nasional. Perbenturan senjata-senjata psikologis antara RI dan Belanda tampaknya menjadi dampak sampingan dari kegagalan--kegagalan di bidang strategi militer dan diplomasi. Perang urat-syaraf lantas menggeser dan menempatkan dirinya sebagai medium alternatif yang membelah perbedaan-perbedaan kepentingan antara penomorsatuan diplomasi atau, sebalik_nya, mengutamakan konflik bersenjata."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2000
959.8 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Roeslan Abdulgani
Djakarta: Departemen Penerangan R.I., 1963
959.8 ROE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mashuri
"Berbagai daerah di Indonesia dalam periode 1947-1949 terlibat dalam perlawanan bersenjata dalam rangka menegakkan kedaulatan Indonesia yang terancam oleh kehadiran Belanda yang berkeinginan menguasai kembali Indonesia. Daerah Malang Selatan menjadi salah satu basis perjuangan sebagai akibat keputusan perjuangan diplomasi dalam bentuk Persetujuan Renville, namun yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana para pejuang dan rakyat menjalankan strategi untuk melawan Belanda, tanpa mengabaikan kebijakan yang digariskan oleh pemerintahan pusat dan Masrkas Besar Komando Djawa (MBKD). Kegiatan penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Langkah yang dimaksud meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan penyajian. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenang-kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah dan buku.
Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 membawa perubahan terhadap tatanan politik. Belanda yang menggunakan strategi pendadakan dan pemusnahan (annihililation) menyulitkan posisi tentara Indonesia yang menggunakan sistem Linier mengakibatkan jatuhnya Kota Malang dan sekitarnya. Aparat pemerintahan mengundurkan diri ke daerah Malang Selatan. Jumlah aparat pemerintahan dan rakyat serta tentara yang menuju ke Malang Selatan semakin bertambah setelah disepakatinya Persetujuan Renville yang memisahkan wilayah Republik dengan daerah pendudukan Belanda.
Menjelang berakhirnya tahun 1948 MBKD menetapkan pemilihan sistem wehrkreise sebagai upaya melanjutkan perjuangan. Sistem itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Perintah Siasat Nomor 1 dari MBKD. Wehrkreise hakekatnya adalah upaya memobilisasi rakyat demi kepentingan perjuangan. Mobilisasi dana dan tenaga dilakukan dalam bentuk dukungan yang bervariasi. Kebutuhan logistik gerilyawan diperoleh berkat partisipasi rakyat dalam bentuk sumbangan wajib, sistem maro penggarapan tanah milik negara (PPN) yang terlantar. Partisipasi rakyat dalam perjuangan juga berupa terbentuknya Pasukan Gerilya Desa yang koordinasinya dibawah Komando Militer Karesidenan Malang.
Penyempurnaan organisasi perjuangan yang dilakukan secara terus menerus bersamaan dengan upaya pemberdayaan seluruh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam, mampu meningkatkan operasi gerilya kedaerah pendudukan Belanda. Tekanan seperti itu membawa korban yang besar terhadap Belanda, lebih-lebih ketika dalam waktu yang sama mendapat tekanan diplomatik dari PBB. Perjuangan dalam diplomatik dan militer itu mampu memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Di Malang hal itu ditandai dengan kembalinya Walikota dan Bupati ke Kota Malang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>