Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5940 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Selu Margaretha Kushendrawati
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Gahral Adian
"Metafisika bisa dibilang merupakan disiplin filsafat yang terumit. Disiplin ini berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang perbedaan antara penampakan dan realitas sesungguhnya; antara opini dan pengetahuan, Disiplin ini berkembang menjadi sebuah tradisi yang kokoh dengan empat asumsi dasar: (a) dikotomi adafpenampakan (b) dikotomi adalperubahan (c) dikotomi ada/seharusnya ada dan (d) dikotomi adalpikiran. Singkatnya, tradisi metafisika selalu berpihak pada ada yang sesungguhnya berlawanan dengan penampakan yang selalu berubah dan semu sebagai fokus konsentrasi para metafisikus.
Tradisi metafisika juga disertai oleh reaksi-reaksi anti metafisika. Reaksi anti metafisika pertama muncul dari murid tercerdas Plato, Aristoteles. Aristoteles menolak metafisika Plato karena terlalu abstrak dan mengabaikan realitas kongkrit. Aristoteles menolak keberpihakan metafisika Plato pada yang universal, transendental, dan ideal menggantinya dengan keberpihakan pada yang individual, kongkret dan indrawi.
Metafisika Yunani Kuno menghasilkan suatu asumsi epistemologis yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia mampu memahami realitas sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total terpahami. Asumsi epistemologis tersebut ditentang oleh Hume yang kemudian mengajukan tesisinya bahwa pengetahuan manusia terbatas pada pengetahuan inderawi.
Kritik Hume diadopsi Kant untuk mereformasi metafisika. Metafisika di tangan Kant dirombak menjadi filsafat antropologi. Artinya metafisika tidak lagi berkutat dengan realitas sesungguhnya (das-Ding-an-sich) melainkan justru pada penelitian pada keterbatasan human faculties dalam memahami realitas sesungguhnya. Benak manusia menurut Kant tidak pasif menerima informasi dari obyek eksternal melainkan aktif memaksakan kategori-kategori-nya pada obyek sehingga menjadi terpahami. Kategori-kategori bisa diibaratkan sebagai kacamata yang selalu kita pakai mempersepsi obyek. Pertanyaan tentang realitas sesungguhnya menjadi tidak relevan lagi.
K1aim metafisika Yunani tentang realitas sesungguhnya memang telah runtuh di tangan Kant, namun hal itu belum cukup karena seperti halnya para filosof sebelumnya, Kant-pun belum bisa secara total melepaskan diri dari tradisi metafisika. Kelemahan Kant adalah ia tetap mempertahankan ego transendental yaitu ego yang terlepas dari konteks keberadaanya dan memutlakkan sudut pandangnya. Dalam hal ini sudut Pandang Kant adalah perspektif Newtonian yang memandang realitas sebagai realitas mekanis - teratur oleh hukum kausalitas. Kelemahan Kant tersebut menjadi titik tolak Heidegger untuk meruntuhkan tradisi metafisika sekali untuk selamanya. Ego transendental Kant dikongkretisasi oleh Heidegger menjadi dasein yang tak pernah berstatus transendental karena selalu berada dalam dunia eksistensial `dimana' ia `hidup', Dasein oleh Heidegger dimaksudkan sebagai kritik terhadap tradisi metafisika kehadiran yaitu metafisika yang memandang obyek sebagai ekstemal-berjarak dari subyek yang berkat status transendentalnya mampu memperoleh pemahaman total-menyeluruh tentang obyek.
Seperti halnya pemikiran filosofis lainnya, pemikiran Heidegger khususnya tentang anti metafisika tak lepas dari kelemahan. Kelemahan Heidegger tersebut terungkap dalam kritik Hannah Arendt dalam bukunya Essays in Understanding (1994) yang kemudian diperkuat oleh pemikiran Richard Rorty. Arendt dan Rorty melihat terdapatnya kecenderungan anti dunia publik dalam pemikiran sederet filosof termasuk Heidegger yang diwarisi dari Plato. Dunia publik oleh pars filosof tersebut dilihat sebagai sesuatu yang mengaburkan, menyembunyikan, dan ilusif sehingga seorang filosof dituntut mengambil jarak darinya demi kebenaran sejati. Keberadaan pemikiran Heidegger dalam tradisi anti dunia publik warisan Plato menunjukkan bahwa ia belum berhasil mengatasi secara tuntas tradisi metafisika Barat karena ia sendiri masih menganut salah satu asumsi dasarnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bakker, Anton
Yogyakarta: Kanisius, 1992
110 BAK o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sutan Takdir Alisjahbana
Jakarta: Dian Rakyat, 1981
142 SUL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suhermanto Ja`far
"Iqbal merumuskan sebuah metafisika yang menekankan pada aspek dinamisitas, gerak ego yang dalam istilah Islam disebut dengan amal atau tindakan yang bermakna. Pemikiran Iqbal tentang hidup yang kreatif dengan tindakan dan aksi yang yang terus bergerak dipengaruhi oleh unsur-unsur pemikiran Nietzsche mengenai filsafat kehendak. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia. Pemikiran ontologi Iqbal lebih mengarah pada eksistensi Realitas absolut, sebagai realitas yang sebenarnya dalam hubungannya dengan manusia dan alam. Realitas yang ada menurut Iqbal merujuk pada Wujud Tuhan, Manusia dan alam, tetapi realitas yang ada dan sebenarnya ada adalah wujud dari Realitas absolut, Wujud absolut atau Ego Mutlak. Manusia dalam mencari Tuhan, kata Iqbal harus berangkat dari kemauan dan kekuatannya sendiri. Tuhan menurut Iqbal adalah hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Tuhan yang digambarkan sebagai kekuatan adalah pilihan sadar seseorang yang berangkat dari kesadaran eksistensialnya. Dengan demikian, gagasan Iqbal tentang Tuhan sebagai Ego dan kekuatan, tidak lain adalah proyeksi gagasannya tentang manusia sempurna, yaitu manusia yang memiliki ego yang sangat unik dan kuat, serta pada saat-saat yang sama adalah manusia yang mampu menyerap kebaikankebaikan Tuhan ke dalam dirinya. Metafisika Iqbal tentang diri (ego) pada intinya adalah filsafat manusia yang bicara tentang diri/ego. Diri atau ego adalah titik tolak Iqbal dalam hubungannya tentang alam dan Tuhan. Hidup adalah kehendak kreatif yang oleh Iqbal disebut Soz. Pemikiran Iqbal tentang alam semesta tidak terlepas dari pemikirannya tentang Tuhan dan Diri manusia. Bagi Iqbal Alam harus dipahami sebagai suatu organisme yang selalu tumbuh tidak mempunyai batas-batas yang berkesudahan, kecuali adanya imanensi yang menjiwai dan yang memelihara keseluruhan tersebut dengan cara evolusi yang digambarkan sebagai suatu gerak menanjak yang teratur dari individu yang paling sederhana, yaitu kepribadian manusia menuju pada realitas Absolut (Ego Mutlak), yaitu Tuhan. Tindakan yang bermakna dalam metafisika Iqbal tidak hanya untuk individu dan sesama, tetapi juga berkaitan dengan yang Ilahiyah dan alam. Karena itu, tindakan-tindakan yang dilakukan manusia merupakan sebuah tindakan yang memelihara diri dari kematian. Hanya tindakan yang bermakna sajalah yang mempersiapkan manusia menghadapi kehancuran tubuh. Iqbal hendak mengubah wajah Islam menjadi agama tindakan yang menekankan pada progresivitas dan dinamisitas, sehingga perubahanperubahan dalam pemikiran Islam akan terbangun. Rekonstruksi pemikiran Islam akan terbentuk melalui ijtihad dan tindakan yang bermakna (meaningfull action).

Iqbal formulate a metaphysics which emphasizes the aspects dynamicity, ego motion in terms of Islam called charity or meaningful action. Iqbal's thoughts about the creative life within attitude and action that continues to move was influenced by elements of Nietzsche's thought about the philosophy of the will. Iqbal still maintain God and put forward arguments that could reconcile the omnipotence of God and human freedom. His ontological Thought is more directed to the existence of absolute reality, a reality which is actually in relation to man and nature . The reality ?according to Iqbal, not only refers to the manifestation of God, man and nature, but also the reality that exists and eventually exists as manifestation of the Absolute Reality, Absolute Being or Absolute Ego. Man in search of God ?said Iqbal, had to depart from its own will and power. God ?according to Iqbal, is the essence of a whole which is spiritual. God which portrayed as a force is ?in fact- an aware of one's choice based on his existential consciousness. Thus, Iqbal idea of God as ego and power is nothing but the projection of his idea of a perfect man, the man who has an ego that is very unique and strong, and at the same time capable of absorbing the good of God into himself. Iqbal metaphysics of the self (ego) ?in essence is a human philosophy which is talking about the self /ego. Self or ego is a starting point of Iqbal thought about the connection of nature and God. Life is a creative will that is called Soz. Iqbal's thoughts about the universe can not be separated from his thoughts on God and the human self. For Iqbal, nature should be understood as an organism that is always growing and doesn?t have endless boundaries, except the immanence that animates and maintains overall with the way evolution is portrayed as a regular upward simplest movement of individuals, namely the human personality toward an Absolute Reality (Absolute Ego) or God. Meaningful action in Iqbal?s metaphysics is not only belongs to individuals and others, but also relates to the divine and nature. Therefore, the actions of a man are ?in fact- an action which preserves him from the death. The meaningful action alone prepares man to face the destruction of his body. Iqbal wanted to change the face of Islam into religion which emphasizes the progressivity and dynamicity, so that the changes in Islamic thought will awaken. Reconstruction of Islamic thought will be formed through ijtihad and meaningful action."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T28958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail
"Metafisika Aristoteles merupakan sebuah kritik terhadap dualisme Plato. Dalam teori bentuk, Plato berusaha menjelaskan sifat alami benda-benda namun ia menganggap benda alami tersebut merupakan tiruan yang tidak berarti. Sebuah tiruan dari dunia ide yang jauh di sana dan merupakan ide abadi sehingga antara dunia materi dan dunia ide terdapat jarak yang tak terjembatani. Kemudian Aristoteles datang dengan hylemorphisme bukan makna inti dari bentuk abadi pengetahuan melainkan pada pemisahan antara esensi dengan benda yang riil. Bagi Aristoteles benda merupakan kesatuan materi dan bentuk.
Bentuk benda ada dalam benda itu sendiri bukan di atas sana sebagaimana yang dikemukakan Plato. Materi dan bentuk merupakan aspek tak terpisahkan dari setiap substansi, bersifat universal dan partikular tersatukan dalam sebuah benda. Dari sini memungkinkan relevansi antara metafisika Aristoteles dengan pengetahuan modern. Untuk sampai pada pengetahuan modern, Comte diangkat sebagai pembanding, karena ia sebagai pencetus positivisme, ia menjelaskan tiga tahap pemikiran manusia: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. Ia menekankan dan identifikasi atas fakta-fakta, dengan pengamatan indera, dan berupaya untuk menjelaskan hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta. Metafisika Aristoteles dan relevansinya terhadap pengetahuan modern di sini disatukan pada karakteristik yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan modern yang mana antara lain memiliki sifat objektif, rasional dan universal. Di mana sifat-sifat ilmu pengetahuan ini telah ada pada Aristoteles."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11225
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ishrat Hasan Enver
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
110 ISH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Piliang, Yasraf Amir
Yogyakarta: Jalasutra, 2010
301 PIL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Loux, Michael J.
London: Routledge, 2002
110 LOU m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vaske, Martin O.
New York: McGraw-Hill, 1963
120 VAS i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>