Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170537 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Klien demam tifoid dngan manifestasi klinik sedang sampai berat biasanya
dilakukan perawatan di rumah sakit. Dalam perawatannya klien dianjurkan untuk tirah
baring sampai 7 hari bebas demam yang diteruskan mobilisasi bertahap. Pada masa tirah
baring ini dapat terjadi perubahan pada sistem kardiovaskular dajam bentuk penurunan
tekanan darah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi hubungan tirah
baring Iama dengan penurunan tekanan darah, yang dilakukan dengan cara mengukur
tekanan darah pada saat baru datang ke ruang rawat dan pada hari ketiga. Setelah tekanan
darah didapat dicari masing-masing mean arterial pressure (MAP).
Setelah dilakukan penelitian pada klien demam tifoid sebanyak 19 responden
yang menjalani tirah baring, hasilnya menunjukkan 58% responden mengalami
penurunan MAP 6-10 mmHg, 21% 16-20 mmHg, 11% 11-15 mmHg, 21-25 mmHg dan
0-5 mmHg masing-masing 5%. Setelah dilakukan uji statistik Person Product Moment
Coefocient Corelation disimpulkan adanya hubungan yang sedang (r=0,543) antara
tirah baring lama dengan penurunan tekanan darah. Pada pengujian t rest nilai t (2,666)
Iebih besar dari titik kritis (2,110) yang berarti H0 ditolak dan hubungan bermakna."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4962
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Untuk mengetahui hubungan antara hasil pengukuran tekanan darah dengan waktu pengukuran yang dilakukan setelah klien bangun tidur dan menentukan waktu yang tepat untuk pengukuran tekanan darah setelah kiien bangun tidur, dilakukan penelitian kuantitatif analitik terhadap 120 klien di Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok dari tanggal 27 Desember 2001 sampai dengan 22 Januari 2002. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna / korelasi tinggi / sangat kuat (r = 0,99 - 1) antara hasil pengukuran tekanan darah dengan waktu pengukuran yang dilakukan setelah klien bangun tidur dan waktu pengukuran tekanan darah terbaik adalah 20 menit setelah klien bangun tidur."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5222
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Asti Werdhani
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi program latihan Klub Jantung Sehat Pondalisa sekaligus mengetahui hubungan frekuensi dan keteraturan senam terhadap penurunan tekanan darah. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan tekanan darah yang terkendali pada anggota KJS Pondalisa khususnya dan masyarakat usia dewasa tua umumnya.
Studi kohort retrospektif dilakukan dengan menggunakan data yang terdapat pada buku anggota KJS Pondalisa. Digunakan pendekatan analisis Cox Regression untuk melihat efek frekuensi dan keteraturan senam yang telah dilakukan oleh para anggota KJS Pondalisa selama 1 tahun pertama keanggotaan terhadap penurunan tekanan darah. HR (hazard ratio) digunakan sebagai estimasi RR (risiko relatif) efek frekuensi dan keteraturan senam terhadap penurunan tekanan darah. Anatisis multivariat digunakan untuk mengendalikan variabel-variabel perancu.
Sebanyak 132 data anggota K7S Pondalisa dianalisis dalam penelitian ini. Dalam 1 tahun pertama keanggotaan terdapat 11,36% anggota yang melakukan senam 2x1minggu, 39,39 % anggota yang melakukan senam > 8 minggu (9-15 minggu) berturut-turut, dan 11,36% anggota yang melakukan senam 2xlminggu selama > 8 minggu (9-15 minggu) berturut-turut. Tidak ada anggota yang melakukan senam 3xlminggu sesuai program dan tidak ada anggota yang melakukan senam 2x1minggu selama < 8 minggu berturut-turut_ Keteraturan senam anggota maksimum selama 15 minggu. Didapatkan penurunan tekanan darah pada 32,58 % anggota dengan rata-rata penurunan tekanan darah sistolikldiastolik sebesar 6 mmHg/4 mmHg yang dapat dipertahankan minimal selama 1 bulan. Besarnya penurunan TD ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat hipertensi; sedikitnya dapat memperlambat perjalanan penyakit hipertensi serta bermanfaat dalam pencegahan primer.
Efek frekuensi senam 2xlminggu terhadap penurunan tekanan darah meningkat sebesar 1 Va dibandingkan dengan frekuensi senam < 2xlminggu [RR 1,01;95%CI [0,43-2,38]. Efek senam teratur 9-15 minggu berturut-turut terhadap penurunan tekanan darah meningkat sebesar 36 % dibandingkan dengan senam teratur < 8 minggu berturut-turut [RR 1,36;95%CI [0,63-2,93]. Senam yang dilakukan 2xlminggu selama 9-15 minggu berturut-tunrt memberikan manfaat penurunan tekanan darah sebesar 34 % dibandingkan dengan senam <2xlminggu selama 8 minggu berturut-turut [RR 1,34;95% CI [0,50-3,60]. Tidak ada perbedaan manfaat penurunan tekanan darah antara senarn < 2xlminggu selama 9-15 minggu berturut-turut dengan senam < 2xlminggu selama < 8 minggu berturut-turut [RR 0,99;95% CI [0,42-2,32].
Dan basil penelitian ini disimpulkan bahwa efek frekuensi senam 2xlminggu terhadap penurunan tekanan darah tidak berbeda dengan efek frekuensi senam < 2xlminggu. Efek keteraturan senam 9-15 minggu berturut-turut terhadap penurunan tekanan darah lebih besar dibandingkan efek frekuensi senam 2xlminggu. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertahankan keteraturan senam untuk mendapatkan basil penurunan tekanan darah yang lebih baik. Manfaat penurunan tekanan darah pada frekuensi senam 2xlminggu didapatkan bila dilakukan selama 9-15 minggu berturut-turut. Walaupun senam sudah dilakukan secara teratur sarnpai dengan 15 minggu berturut-turut, bila dilakukan dengan frekuensi < 2x1minggu tidak didapatkan manfaat penurunan tekanan darah.
Masih adanya faktor-faktor yang belum diperhitungkan seperti durasi dan intensitas latihan, peran obat anti hipertensi, dan adaltidaknya penyakit lain, serta masih lebar dan tidak konsistennya rentang interval kepercayaan yang dihasilkan, menyebabkan basil penelitian ini belum sepenuhnya menunjukkan efek frekuensi dan keteraturan senam terhadap penurunan tekanan darah yang sebenarnya pada populasi. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lanjutan menggunakan berbagai nilai frekuensi dan keteraturan senam, dengan memperhitungkan berbagai faktor di atas dan jumlah sampel yang lebih besar, untuk memperoleh manfaat penurunan tekanan darah yang sebenarnya dan presisi yang lebih akurat.

The aim of this research is to evaluate the performance of `Klub Jantung Sehat Pondalisa' as well as the association of frequency and regularity of exercise with blood pressure reduction. The long-term benefit achieved will be adequate control of blood pressure among members of the club and adults as a whole.
Retrospective cohort study was conducted, using data found on the member's logbook. Cox Regression analysis approach was used to find the benefit of blood pressure reduction through exercise's frequency and regularity which have been done by all member of KJS Pondalisa during the first year of membership. HR (hazard ratio) was used to estimate the RR (relative risk) of both exercise's frequency and regularity to reduce blood pressure. Confounders were adjusted by multivariate analysis.
There were 132 members analyzed in this research. In the first year of membership, there were 11.36% members doing exercise twice weekly, 39.39 % members doing exercise > 8 weeks (9-15 weeks) regularly, and 11.36% members doing exercise twice weekly in > 8 weeks (9-15 weeks) regularly. There were no member doing exercise thrice weekly as programmed. There were no member doing exercise twice weekly in < 8 weeks regularly. The maximum exercise's regularity was 15 weeks. There were 32.58 % blood pressure reduction among members. The mean systolic/diastolic reduction which can be maintained for at least I month were 6 mmHg/4 mmHg, This amount of BP reduction might reduce morbidity and mortality among hypertensives; at least might retard the natural history of hypertension and give benefit to primary prevention.
The effect of twice weekly's exercise on blood pressure reduction increase 1 % as compared to less than twice weekly's exercise [RR 1,01;95%CI [0,43-2,38]. Effect of doing 9-15 weeks regular exercise on blood pressure reduction increase 36 % as compared to members doing 8 weeks regular exercise [RR 1,36;95%CI [ 0,63-2,93]. Members doing exercise twice weekly in 9-15 weeks regularly get benefit on blood pressure reduction 34 % more as compared to members doing exercise less than twice weekly in < 8 weeks regularly [RR 1,34;95% CI [0,50-3,60]. There were no difference in blood pressure reduction between members doing exercise less than twice weekly in 9-15 weeks regularly and members doing exercise less than twice weekly in < 8 weeks [RR 0,99;95% CI [ 0,42-2,32].
From this research, we conclude that there was no different effect of blood pressure reduction between twice weekly's exercise and less than twice weekly's exercise. The effect of exercise in 9-15 weeks regularly toward blood pressure reduction is bigger compared with effect of twice weekly's exercise. This fording shows the importance of maintaining exercise's regularity to get benefit of reducing blood pressure. The benefit of twice weekly's exercise for blood pressure reduction will be achieved when it is conducted in 9-15 weeks regularly. Although exercise has been conducted regularly up to 15 weeks, if done less than twice weekly, it will not yield the benefit of blood pressure reduction.
There are still many factors which have not been considered such as the duration and intensity of exercise, the role of anti hypertensive drugs, and the presence of other diseases. All of those factors together with the wide range and inconsistent of confidence interval, make the results of this study fail to show the maximal effect of exercise's frequency and regularity to reduce blood pressure in population. Therefore, further research is needed using several degrees of exercise's frequency and regularity, considering also the above mentioned related factors and bigger number of sample size, to obtain the true benefit of blood pressure reduction and more accurate precision.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T19090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Mario
"ABSTRAK
Latar belakang Pasien penurunan kesadaran merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat IGD Penilaian awal diperlukan untuk memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai kemungkinan yang akan terjadi dan membantu keluarga dalam pengambilan keputusan GCS telah menjadi salah satu penilaian yang digunakan untuk menilai luaran pasien penurunan kesadaran tetapi dinilai masih kurang dalam memprediksi luaran yang terjadi Penelitian ini bertujuan untuk menilai gabungan GCS tekanan darah sistolik dan umur dapat memprediksi luaran pasien penurunan kesadaran Metode Penelitian ini merupakan studi observasional kohort retrospektif 76 pasien penurunan kesadaran yang datang ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Peneliti melakukan pencatatan penilaian Glasgow Coma Scale GCS tekanan darah sistolik dan umur saat pasien diperiksa di triase Luaran dinilai setelah dua minggu pasca kedatangan di IGD Hasil Hasil analisis bivariat pada GCS dan umur memperoleh hasil berbeda bermakna antara pasien kelompok luaran buruk dengan kelompok luaran baik p.
ABSTRACT
Background Patients loss of consciousness is one case that is often encountered in the Emergency Room ER The initial assessment is required to provide information to the patient 39 s family about the possibility that will happen and help families in decision making GCS has become one assessment used to assess outcomes of patients with loss of consciousness but is insufficient in predicting the outcome of some cases This study aims to assess the combined GCS systolic blood pressure and age can predict the outcome of patients with loss of consciousness Methods This was a retrospective cohort observational study 76 patients with loss of consciousness that comes into the ER RSUPN Cipto Mangunkusumo Researchers conducted the recording of the Glasgow Coma Scale GCS systolic blood pressure and age when patients checked in triage Outcomes assessed after two weeks after arrival in the emergency room Results The results of the bivariate analysis on the GCS and ages get results significantly different between patients with poor outcome group with good outcome group p ."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Levina Azarine T.
"Latar Belakang. Tekanan darah tinggi merupakan ancaman terhadap kesehatan pada masyarakat termasuk usia produktif khususnya pekerja. Berdasarkan status pekerjaan utama, sebanyak 65% proporsi penduduk DKI Jakarta merupakan karyawan ataupun buruh. Gaya hidup sedenter berkontribusi terhadap kesehatan secara umum dan meliputi berbagai lapisan masyarakat termasuk pekerja. Individu yang sedenter maupun memiliki tingkat kebugaran yang rendah meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan seperti hipertensi. Aktivitas fisik dan kebugaran cukup berhubungan, dengan demikian penilaian tingkat kebugaran dapat menggambarkan profil kesehatan yang salah satunya diukur dengan tekanan darah. Peregangan merupakan aktivitas fisik yang memperbaiki fleksibilitas dan berpotensi memiliki hubungan dengan tekanan darah karena adanya perbaikan kekakuan pembuluh darah pada individu yang melakukan peregangan secara teratur. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari corporate wellness program. Subjek yang berusia 19-59 tahun, memiliki kelengkapan data fleksibilitas dan tekanan darah, serta tidak mengkonsumsi obat yang mempengaruhi tekanan darah. Pasien yang tidak memiliki data yang lengkap di eksklusi. Hasil. Didapatkan 54% subjek berjenis kelamin laki-laki dengan nilai tengah usia subjek 36 tahun. Sebanyak 85,5% subjek memiliki tekanan darah yang normal dengan 78,3% memiliki fleksibilitas yang cukup. Secara statistik tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin dan tekanan darah, juga tidak didapatkan hubungan antara fleksibilitas dan tekanan darah. Kesimpulan. Faktor usia berhubungan dengan tekanan darah, sedangkan jenis kelamin dan fleksibilitas tidak memiliki hubungan terhadap tekanan darah.

Background. High blood pressure is a threat to human health, including to people at productive age, especially workers. Based on the main occupation status, 65% population of DKI Jakarta are employees or laborers. Sedentary lifestyle contributes to general health including workers. Sedentary individuals or those who have low fitness levels increase the risk of health problems such as hypertension. Physical activity and fitness are quite related, thus the assessment of fitness level can describe a health profile, one of which is measured by blood pressure. Stretching is a physical activity that improves flexibility and has the potential to be associated with blood pressure due to the improvement in stiffness of blood vessels in individuals who stretch regularly. Method. This research is a cross-sectional study using secondary data from the corporate wellness program. Subjects aged 19-59 years, have complete flexibility and blood pressure data, do not take specific medication that affect blood pressure. Uncomplete data were excluded. Results. It was found that 54% of the subjects were male. The mean age of the subjects were 36 years. As many as 85,5% of subjects had normal blood pressure with 78,3% having sufficient flexibility. There was no statistical relationship between sex and blood pressure, nor was there a relationship between flexibility and blood pressure. Conclusion. The age was a related factor to blood pressure, while gender and flexibility had no relationship to blood pressure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Nugraha
"ABSTRAK
Tekanan darah merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskuler yang mortalitasnya meningkat sampai 20 kali lipat pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Pemahaman yang benar mengenai mekanisme yang melibatkan perubahan tekanan darah intradialisis dapat mengarahkan pada
pemilihan tatalaksana yang lebih baik. Kami meneliti pada 108 subjek, yakni pasien penyakit ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisis 2 kali seminggu minimal selama 3 bulan. Kemudian dilakukan pengambilan data pre dan pascadialisis berdasarkan hasil pengukuran menggunakan sphigmomanometer raksa selama menjalani bulan Februari 2009. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal
Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009.
Berdasarkan perubahan tekanan darah intradialisis, pasien dibagi menjadi kelompok peningkatan tekanan darah sistolik, peningkatan tekanan darah diastolik, penurunan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai korelasi perubahan tekanan darah dengan lama menjalani menjalani hemodialisis. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani HD rerata 3,73 ± 3,8 tahun. Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani HD dengan peningkatan (p<0.05, r = 0.522) maupun penurunan tekanan darah sistolik (p<0.05,r = 0.912). Disimpulkan bahwa lama menjalani HD
mempengaruhi derajat peningkatan maupun penurunan tekanan darah sistolik intradialisis

ABSTRACT
Blood pressure is a determinant factor of cardiovascular disease and its mortality is 20 times greater in hemodialysis patients. A greater understanding of the mechanisms involved leads to more rational treatment and better BP control. In this study, we selected 108 patients that has already undergo hemodialysis twice a week for at least three months in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo in February 2009. We categorized patients into
intradialytic systolic blood pressure increase, intradialytic diastolic blood pressure increase, intradialytic systolic blood pressure decrease, and intradialytic diastolic blood pressure decrease. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 3,73 ± 3,8 years, 47% were male and 43% were
female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between intradialysis systolic blood pressure increase (p<0.05, r = 0.522) and intradialysis systolic blood pressure decrease (p<0.05, r = 0.912) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis was related to intradialytic systolic blood pressure changes."
2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Christin Natalia
"Hipertensi adalah penyakit degeneratif yang salah satu faktor penyebabnya adalah penuaan. Penuaan dapat dipicu oleh stres oksidatif, yang mana merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan RONS (reactive oxygen-nitrogen species). Antioksidan di dalam tubuh ada banyak, salah satunya adalah enzim katalase. Enzim katalase berperan dalam mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara enzim katalase dengan penyakit degeneratif, dalam hal ini adalah hipertensi. Sampel yang digunakan berjumlah 94 sampel. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross-sectional. Data yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan aktivitas enzim katalase eritrosit. Aktivitas enzim katalase didapatkan dari lisat eritrosit sampel dengan bantuan spektrofotometer yang mana perhitungan absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. Keseluruhan data kemudian dianalisis korelasinya menggunakan Uji Korelasi Pearson karena distribusi keseluruhan data normal. Uji T-test juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok sampel hipertensi dan normotensi. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik dan diastolik populasi lansia secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, ditemukan korelasi lemah pada hubungan antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik kelompok populasi normotensi, juga antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah diastolik kelompok populasi hipertensi (p<0,05). Hasil uji T-test menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok hipertensi dan normotensi (p>0,05). Aktivitas enzim katalase eritrosit berkorelasi lemah dengan tekanan darah sistolik pada kelompok populasi lansia dengan normotensi, juga dengan tekanan darah diastolik pada kelompok populasi lansia dengan hipertensi.

Hypertension is a degenerative disease which one of the causes being aging. Aging can be triggered by oxidative stress, which is an imbalance between antioxidants and RONS (reactive oxygen-nitrogen species). There are many antioxidants in the body, one of which is the enzyme catalase. Catalase enzyme plays a role in converting hydrogen peroxide into water. Previously, there was no known relationship between the catalase enzyme and degenerative diseases, in this case hypertension. The sample used is 94 samples. The research was carried out using a cross-sectional method. The data needed are blood pressure and erythrocyte catalase enzyme activity. The activity of the catalase enzyme was obtained from the sample erythrocyte lysate with the help of a spectrophotometer where the absorbance calculation was carried out at a wavelength of 210 nm. The entire data was then analyzed for correlation using the Pearson Correlation Test because the overall data distribution was normal. T-test was also performed to see whether or not there was a difference between the mean values of the catalase enzyme activity data for the hypertensive and normotensive groups. There was no correlation between catalase enzyme activity and systolic and diastolic blood pressure in the elderly population as a whole (p>0.05). However, a weak correlation was found in the relationship between catalase enzyme activity and systolic blood pressure in the normotensive population group, as well as between catalase enzyme activity and diastolic blood pressure in the hypertensive population group (p<0.05). The results of the T-test showed that there was no significant difference between the mean values of the catalase enzyme activity data in the hypertension and normotensive groups (p>0.05). The activity of the erythrocyte catalase enzyme was weakly correlated with systolic blood pressure in the normotensive elderly population group, as well as with diastolic blood pressure in the elderly population group with hypertension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainil Mardiah
"Latar Belakang: Kontrol tekanan darah lebih buruk pada pasien hipertensi dengan sindrom metabolik. Lingkar leher telah diperkenalkan sebagai salah satu indikator obesitas sentral dan adipositas tubuh bagian atas. Tidak seperti lingkar pinggang, lingkar leher tidak dipengaruhi oleh pergerakan pernapasan dan distensi abdominal postpandrial. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut hubungan lingkar leher dengan tekanan darah pada populasi dewasa.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 94 subjek berusia > 18 tahun. Dilakukan pengambilan data lingkar leher dan tekanan darah bersamaan dengan kadar trigliserida, kolesterol-HDL, dan glukosa darah puasa.
Hasil: Rerata lingkar leher subjek 33.89 cm. Tekanan darah sistolik dan diastolik subjek didapatkan retata 131.63 + 13.16 mmHg dan 84.26 + 8.01 mmHg. Pada analisis korelasi Pearson, ditemukan korelasi positif yang signifikan antara lingkar leher dengan tekanan darah sistolik (r = 0.438, p < 0.001), dan tekanan darah dastolik (r = 0.385, p < 0.001).
Kesimpulan: Lingkar leher secara signifikan berkorelasi dengan tekanan darah sistolik dan diastolik pada populasi dewasa.

Background: Blood pressure control is worse in hypertensive patients with metabolic syndrome. Neck circumference has been introduced as an indicator of central obesity and upper body adiposity. Unlike waist circumference, neck circumference neck circumference is not affected by respiratory movements and postprandial abdominal distension. This study aimed to investigate the association between neck circumference and blood pressure among adult population.
Methods: This cross-sectional study was conducted in Faculty of Medicine Universitas Indonesia involving 94 subjects aged > 18 years. Anthropometric, neck circumference and blood pressure data were collected together with triglyceride levels, HDL-Cholesterol, and fasting blood glucose.
Results: The mean of the neck circumference was 33.89 cm. Subject’s systolic and diastolic blood pressure were 131.63 + 13.16 mmHg dan 84.26 + 8.01 mmHg. In a Pearson’s correlation analysis, there were positive significant correlation between neck circumference with both systolic blood pressure (r = 0.438, p < 0.001) and diastolic blood pressure (r = 0.385, p < 0,001).
Conclusion: The neck circumference is significantly correlated with systolic and diastolic blood pressure in adult population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Luthfiyah
"Kematian janin merupakan masalah kesehatan yang cukup besar tetapi sering diabaikan. Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan kematian janin, salah satunya yaitu kondisi tekanan darah ibu saat hamil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kematian janin dan hubungannya dengan tekanan darah ibu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2011. Penelitian menggunakan desain cross-sectional dan data diambil dari rekam medis pasien. Ibu hamil yang memiliki data tekanan darah sistolik dan diastolik di dalam rekam medisnya sebanyak 866 orang. Data diolah menggunakan program SPSS versi 21.0 dan dianalisis dengan uji Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kematian janin sebesar 5,5% (48 per 866 kelahiran). Uji Chi-square menunjukkan tidak terdapat perbedaan proporsi kematian janin berdasarkan tekanan darah (p=0,388) secara bermakna. Rasio prevalensi untuk pre-hipertensi adalah 0,7, hipertensi tahap 1 1,4, dan hipertensi tahap 2 1,2 (IK 95%). Disimpulkan bahwa prevalensi kematian janin di atas 20 minggu di RSCM tahun 2011 adalah 5,5% dan tidak berhubungan dengan status tekanan darah ibu, dengan pre-hipertensi sebagai faktor protektif sedangkan hipertensi tahap 1 dan 2 sebagai faktor resiko.

Fetal death is a health problem that is quite large but often overlooked. Many risk factors can cause fetal death, one of them is state of the maternal blood pressure during pregnancy. This study aimed to determine the prevalence of fetal death and its association with the maternal blood pressure at General Hospital Cipto Mangunkusumo in 2011. The study used a cross-sectional design and the data taken from the patient's medical record. Maternal who have data systolic and diastolic blood pressure in medical records were 866 people. Data were managed with SPSS version 21.0, and analyzed with Chi-square test. The results showed that the prevalence of fetal death was 5.5% (48 per 866 total births). Chi-square test have shown no significant difference between the prevalence of fetal death with maternal blood pressure (p = 0.388), with a ratio prevalence was 0.7 for pre-hypertension, 1.4 for stage 1 hypertension, and 1.2 stage 2 hypertension (IK 95%). In conclusion, the prevalence of fetal death at RSCM in 2011 was 5.5% and there was no association between the prevalence of fetal death with state of maternal blood pressure; the pre-hypertension was a protective factor, while stage 1 and 2 hypertension was a risk factor."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Putu Wilandari Dewi, auhthor
"Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan, salah satunya dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah dan apabila terjadi terus menerus akan berakibat pada hipertensi. Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan yang serius saat ini, dimana 27,5% penduduk di Indondesia menderita hipertensi. Kasus hipertensi di DKI Jakarta terbanyak terdapat di Wilayah Jakarta Timur yaitu 75.099 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sesudah kerja pada pekerja di PT. Sanggar Sarana Baja Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dengan jumlah sampel 196 orang.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara umur (5,97; 3,03–11,76) dan kebiasaan merokok (5,85; 2,91–11,77) dengan kejadian peningkatan tekanan darah. Besar risiko yang dialami oleh pekerja yang berumur > 40 tahun dan memiliki kebiasaan merokok dalam satu hari > 2 batang untuk mengalami kejadian peningkatan tekanan darah adalah 7,87 kali dibandingkan dengan pekerja yang berumur ≤ 40 tahun dan memiliki kebiasaan merokok dalam satu hari ≤ 2 batang.

Noise is unwanted sound and can cause health problems, one of which can result in increased blood pressure and the event will continue to result in hypertension. Hypertension is one of the non-communicable diseases are a serious health problem today, where 27,5% of the population suffers from hypertension in Indondesia. Cases of hypertension in Jakarta are the highest in the East Jakarta District 75.099 cases. This study aims to analyze the risk factors associated with increased blood pressure after work on workers at PT. Sanggar Sarana Baja in 2013. This study uses cross-sectional design with a sample of 196 people.
The results showed a significant relationship between age (5,97; 3,03-11,76) and smoking (5,85; 2,91-11,77) with an increased incidence of blood pressure. Major risks faced by workers aged > 40 years and have a habit of smoking in one day > 2 sticks to experience an increased incidence of blood pressure was 7,87 times compared with workers aged ≤ 40 years and has a habit of smoking in one day ≤ 2 sticks.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>