Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178997 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stella
"Pengobatan tuberkulosis biasanya menggunakan obat kombinasi yang disebut fixed dose combination (FDC) yang dapat terdiri dari 2 atau 4 zat aktif yaitu isoniazid (INH), pirazinamid (PZA), rifampisin (RIF), dan etambutol (ETA). Dikarenakan toksiknya obat yang digunakan, maka diperlukan suatu metode analisis untuk mengetahui kadar obat dalam darah. Metode kromatografi cair kinerja tinggi yang sederhana dan reprodusibel telah dikembangkan untuk penentuan kadar INH dan PZA secara simultan di dalam tablet dan plasma manusia secara in vitro. Sistem kromatografi terdiri dari kolom Shimpack® C18 (250 × 4,6 mm, 5 μm) dengan fase gerak kalium dihidrogen fosfat pH 6,2-asetonitril (97:3) untuk analisis di dalam tablet dan fase gerak kalium dihidrogen fosfat pH 6,2-asetonitril (99:1) untuk analisis pada plasma manusia secara in vitro. Larutan dideteksi pada panjang gelombang 242 nm dan laju alir 1,0 mL/menit. Sebagai baku dalam digunakan asam nikotinat. Pada validasi tablet, metode dinyatakan linear dengan nilai koefisien korelasi (r) untuk INH dan PZA berturut-turut 0,9992 dan 0,9992; presisi dengan nilai koefisien variasi (KV) 1,46% dan 0,92%; serta akurat dengan nilai perolehan kembali untuk 3 konsentrasi sebesar 98% - 102%.
Proses ekstraksi plasma dilakukan dengan metode pengendapan protein menggunakan asetonitril kemudian dikocok dengan vortex selama 1 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 5 menit. Supernatan kemudian diuapkan dan direkonstitusi dengan fase gerak. Pada validasi plasma, nilai perolehan kembali rata-rata untuk INH dan PZA berturut-turut 99.79% dan 99,08% serta nilai LLOQ berturut-turut 4,74 µg/mL dan 16,00 µg/mL. Metode ini juga memenuhi kriteria akurasi dan presisi intra hari dan antar hari selama 5 hari dengan % diff tidak melampaui ± 20% pada LLOQ dan ± 15% pada konsentrasi selain LLOQ. Pada uji stabilitas, INH dan PZA dalam plasma dinyatakan stabil selama 7 hari.

Treatments for tuberculosis commonly use combination of drugs called fixed dose combination (FDC). It consists of 2 or 4 active ingredient pharmaceutical namely isoniazid (INH), pyrazinamide (PZA), rifampicin (RIF), and ethambutol (ETA). Due to the drug toxicity, analytical method is required to determine the concentration of antituberculosis drug in human plasma. A simple and reproducible high-performance liquid chromatography method was developed for simultaneous determination of INH and PZA in the tablet and human plasma. Chromatography was performed on a Shimpack® C18 column (250 × 4.6 mm, 5 μm) under isocratic elution with potassium dihydrogen phosphate pH 6.2-acetonitrile (97:3) for tablet and potassium dihydrogen phosphate pH 6.2-acetonitrile (99:1) for analytical in human plasma. Detection was made at 242 nm and analysis was run at a flow-rate of 1.0 ml/min. Nicotinic acid was used as internal standard. In tablet validation, the calibration curve was linear by r values 0.9992 and 0.9992, precision by coefficient of variation (CV) were 1.46% and 0.92% also accurate by % recovery for 3 concentrations were 98% - 102% for INH and PZA, respectively.
Plasma extraction was done by deproteination with acetonitrile, mix with vortex for 1 minute, then centrifuge it on 10000 rpm for 5 minutes. The residue was evaporated and reconstituted in eluen. In plasma validation, the recovery was 99.79% and 99.08% for INH and PZA, respectively. The lower limit of quantification (LLOQ) in plasma was 4.74 μg/ml and 16.00 μg/ml for INH and PZA, respectively. The method also fulfill the criteria for accuracy and precision intra and inter day by % diff values not exceed ± 20% for LLOQ and ± 15% for concentrations except LLOQ. On the stability study, INH and PZA in plasma is pronounced to be stable for 7 days.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S351
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Menurut WHO (World Health Organization) sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi dengan tuberkulosis (TB). Sekitar 2 juta orang meninggal akibat penyakit ini setiap tahunnya dan akan muncul lebih dari 8 juta penderita TB baru setiap tahunnya. Selain itu, kembali menurut WHO (2000), jumlah kematian akibat tuberkulosis akan menjadi 35 juta orang pada tahun 2000-2020. Sebagian besar pasien tuberkulosis di dunia masih tetap diobati dengan beberapa obat-obat tunggal, atau mungkin dengan obat TB kombinasi dosis tetap (KDT) yang berisi 2 obat. Untuk meningkatkan mutu hasil pengobatan maka WHO merekomendasikan penggunaan obat TB dalam bentuk TB kombinasi dosis tetap (KDT) yang berisi 2 dan 3 obat dalam strategi DOTS. Sejak 1999, KDT yang berisi 4 obat telah dimasukkan pula dalam “WHO Model List of Essential Drugs”. Dewasa ini KDT merupakan alat penting untuk makin meningkatkan mutu pelayanan pada pasien TB, dalam akselerasi program DOTS untuk segera mencapai target global. Obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dapat menyederhanakan cara pengobatan dan juga manajemen pengelolaan / distribusi obat TB serta mampu mencegah timbulnya resistensi. KDT menyederhanakan cara pengobatan karena jumlah tablet yang harus ditelan pasien akan berkurang, ddari 15 – 16 buah menjadi 3 – 4 buah saja, dan juga menurunkan kesalahan penulisan resep. Juga jauh lebih mudah untuk menerangkan kepada pasien bahwa ia harus makan 4 tablet yang sejenis, daripada harus makan berbagai tablet dalam berbagai bentuk dan warna yang berbeda. Kemungkinan tidak memakan semua obat yang diharuskan juga dapat dicegah karena satu obat KDT sudah merupakan campuran dari beberapa obat sekalligus. KDT juga akan memudahkan para dokter dan petugas kesehatan karena hanya harus mengingat satu macam obat, lebih sederhana dan tidak membingungkan. Akhirnya, seluruh aspek distribusi obat (pembelian, pengapalan, penggudangan) juga jauh lebih sederhana dalam bentuk KDT ini.Efek samping obat tidaklah akan bertambah bila kita menggunakan KDT. Bila terjadi juga efek samping maka mungkin diperlukan obat dalam bentuk tunggal. Kualitas, keamanan dan efektivitas KDT ditentukan oleh proses pembuatannya, artinya seberapa jauh produsen mematuhi kaidah “good manufacturing practices (GMP)” dan spesifikasi farmakopea. Pengelola program TB nasional harus membuat sistem jaga mutu (“QA system”). Dalam hal ini WHO telah membangun jaringan laboratorium untuk menilai KDT yang ada sesuai dengan permintaan pihak industri farmasi. (Med J Indones 2003; 12: 114-9)

According to the World Health Organization, a third of the world’s population is infected with tuberculosis. The disease is responsible for nearly 2 million deaths each year and over 8 million were developing active diseases. Moreover, according to WHO (2000), tuberculosis deaths are estimated to increase to 35 million between 2000-2020. The majority of tuberculosis patients worldwide are still treated with single drugs, or with 2-drug fixed-dose combinations (FDCs). To improve tuberculosis treatment, 2- and 3-drug FDCs were recommended by the World Health Organization (WHO) as part of the DOTS strategy. Since 1999 a 4-drug FDC was included on the WHO Model List of Essential Drugs. Today, FDCs are important tools to further improve the quality of care for people with TB, and accelerate DOTS expansion to reach the global TB control targets. Fixed dose combination TB drugs could simplifies both treatment and management of drug supply, and may prevent the emergence of drug resistance .Prevention of drug resistance is just one of the potential benefits of the use of FDCs. FDCs simplify administration of drugs by reducing the number of pills a patient takes each day and decreasing the risk of incorrect prescriptions. Most tuberculosis patients need only take 3–4 FDCs tablets per day during the intensive phase of treatment, instead of the 15–16 tablets per day that is common with single-drug formulations It is much simpler to explain to patients that they need to take four tablets of the same type and colour, rather than a mixture of tablets of different shapes, colours and sizes. Also, the chance of taking an incomplete combination of drugs is eliminated, since the four essential drugs are combined into one tablet. FDCs are also simpler for care-givers as they minimize the risk of confusion. Finally, drug procurement, in all its components (stock management, shipping, distribution), is simplified by FDCs. Adverse reactions to drugs are not more common if FDCs are used. Nevertheless, whenever side-effects to one or more components in a FDC are suspected, there will be a need to switch to single-drug formulations. Quality, safety and efficacy of FDC drugs are determined by the manufacturing process i.e. by compliance of the manufacturer with the requirements of good manufacturing practices (GMP) and pharmacopoeial specifications. National TB programmes must establish a QA system WHO established a laboratory network that tests the quality of FDCs in the marketplace and registers products upon request from the pharmaceutical industry. (Med J Indones 2003; 12: 114-9)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 114-119, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-114
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Tri Susanti
"Terapi antiretroviral biasanya menggunakan kombinasi obat yang terdiri dari 3 zat aktif, salah satunya adalah kombinasi zidovudin (AZT), lamivudin (3TC), dan nevirapin (NVP). Adanya peningkatan kegagalan terapi pada pasien yang berhubungan dengan perubahan parameter farmakokinetik, maka diperlukan suatu metode analisis untuk mengetahui kadar obat dalam darah.
Pada penelitian ini telah dikembangkan metode kromatografi cair kinerja tinggi yang sederhana dan reprodusibel untuk penentuan kadar AZT, 3TC, dan NVP secara simultan di dalam tablet dan plasma manusia secara in vitro. Sistem kromatografi terdiri dari kolom Shimpack® C18 (250 × 4,6 mm, 5 μm) dengan fase gerak dapar natrium dihidrogen fosfat 20 mM pH 6,45 - asetonitril (75:25) untuk analisis di dalam tablet dan fase gerak dapar natrium dihidrogen fosfat 20 mM pH 6,45 - asetonitril (78:22) untuk analisis dalam plasma manusia secara in vitro, masing-masing dengan laju alir 1,0 mL/menit. Sampel dideteksi pada panjang gelombang 270 nm. Pada penelitian ini, digunakan famotidin sebgai baku dalam.
Pada metode analisis dalam tablet, metode divalidasi pada rentang 4,592 - 49,520 μg/mL untuk AZT; 2,424 - 24,240 μg/mL untuk 3TC; dan 3,296 - 32,960 μg/mL untuk NVP dengan nilai koefisien korelasi (r) untuk AZT, 3TC, dan NVP berturut-turut 0,9999; 0,9999 dan 0,9998; nilai koefisien variasi (KV) 0,89%, 0,88% dan 1,01%; serta nilai perolehan kembali untuk 3 konsentrasi sebesar 98,74% - 100,19%. Pada validasi metode bioanalisis, proses ekstraksi plasma dilakukan dengan metode pengendapan protein menggunakan asetonitril dan semua kriteria memenuhi persyaratan yang diberikan oleh FDA, Guidance for Industry, Bioanalytical Method Validation.
Metode divalidasi pada rentang 0,301 - 6,06 μg/mL untuk AZT; 0,151 - 3,056 μg/mL untuk 3TC; dan 0,201 - 4,015 μg/mL untuk NVP dengan nilai koefisien korelasi (r) untuk AZT, 3TC, dan NVP berturut-turut 0,9978; 0,9993; dan 0,9989. Metode ini memenuhi kriteria akurasi dengan % diff sebesar -14,76 - 14,77%, serta presisi dengan koefisien variasi < 11%. Pada uji stabilitas, AZT, 3TC, dan NVP dalam plasma dinyatakan stabil selama 14 hari pada suhu -20°C.

Antiretroviral therapy commonly uses combination of drugs. It consists of three active pharmaceutical ingredients namely Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), and Nevirapine (NVP). Due to the increasing of therapeutic failure as a result of changes in patient's pharmacokinetic parameters, analytical method is required to determine the concentration of antiretroviral drug in human plasma.
A simple and reproducible high-performance liquid chromatography method was developed for simultaneous determination of AZT, 3TC, NVP in the tablet and human plasma. Chromatography was performed on a Shimpack® C18 column (250 × 4.6 mm, 5 μm) under isocratic elution with 20 mM sodium dihydrogen phosphate buffer pH 6.45 - acetonitrile (75:25) for tablet and 20 mM sodium dihydrogen phosphate buffer pH 6.45 - acetonitrile (78:22) for analytical in human plasma, and the flow-rate was 1.0 mL/min. Detection was made at 270 nm. In this research, famotidine was used as internal standard.
In tablet, method was validated over the range 4,592 - 49,520 μg/mL for AZT; 2,424 - 24,240 μg/mL for 3TC; dan 3,296 - 32,960 μg/mL for NVP, by r values 0.9999, 0.9999 and 0.9998; coefficient of variation (CV) were 0.89%, 0.88% and 1.01%, respectively, and % recovery for 3 concentrations were 98,74% - 100,19%. In bioanalytical method validation, plasma extraction was done by deproteination with acetonitrile and all the parameters were fulfilled the criteria that were given by FDA, Guidance for Industry, Bioanalytical Method Validation.
The method was validated over the range of 0.301-6.060 μg/mL for AZT, 0.151-3.056 μg/mL for 3TC and 0.201-4.015 μg/mL for NVP, by r values 0.9978, 0,9993, and 0.9989, respectively, and was validated with accuracies of (% diff) -14.76 % to 14.77 % and precision < 11%. On the stability study, AZT, 3TC, and NVP in plasma are stable for 14 days in -20°C.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43849
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Salikha Rizky Dirgantara
"Rifampisin dan isoniazid adalah obat anti-tuberkulosis yang digunakan bersamaan sebagai dasar regimen kombinasi kemoterapi untuk tuberkulosis. Namun, telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya bahwa sebagian besar pasien penderita tuberkulosis paru memiliki kadar kedua obat ini yang berada di bawah rentang terapeutik. Kadar yang rendah ini berhubungan erat dengan resistensi dan kegagalan terapi, sehingga perlu dilakukan pemantauan kadar obat. Analisis dilakukan pada 9 pasien tuberkulosis dengan tujuan untuk memantau kadar rifampisin dan isoniazid pada pasien yang mendapat regimen terapi kedua obat tersebut. Sampel dianalisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan detektor photodiode array dan menggunakan cilostazol sebagai baku dalam. Pemisahan dilakukan menggunakan kolom C18 (Waters, Sunfire TM 5 µm; 250 x 4,6 mm), fase gerak yang terdiri dari kombinasi dapar amonium asetat-asetonitril-metanol (40:30:30), dan laju alir 0,5 mL/menit. Metode analisis dinilai telah memenuhi validasi parsial metode bioanalisis untuk linearitas kurva kalibrasi serta akurasi dan presisi within-run. Kurva kalibrasi rifampisin dan isoniazid linear pada konsentrasi 1-30 dan 0,4-10 µg/mL. Hasil analisis kadar rifampisin dan isoniazid menunjukkan konsentrasi terukur pada rentang 1,94-13,86 µg/mL untuk rifampisin dan 0,68-7,16 µg/mL untuk isoniazid. Pada hasil analisis, terdapat 3 dari 9 pasien yang memiliki konsentrasi kedua obat yang berada di bawah rentang terapeutik, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis.

Rifampicin and isoniazid are antituberculosis drugs that are used together as the basis for combination chemotherapy regimens for tuberculosis. However, it has been reported in previous studies that most patients with pulmonary tuberculosis had levels of these drugs that were below the therapeutic range. This low concentration is closely related to resistance and therapy failure, so it is necessary to do the determination of rifampicin and isoniazid levels in blood which has correlation of its therapeutic. The analysis was conducted to monitor the levels of rifampicin and isoniazid in 9 patients who received these drugs. Samples were analyzed using HPLC-PDA and cilostazol as the internal standard. Separation was carried out using a C18 column (Waters, Sunfire TM 5 µm; 250 x 4.6 mm), the mobile phase is a combination of ammonium acetate buffer-acetonitrile-methanol (40:30:30), and a flow rate of 0.5 mL/ minute. The calibration curve of rifampicin and isoniazid was linear at concentrations of 1-30 and 0.4-10 µg/mL, respectively. The results of the analysis of rifampicin and isoniazid levels showed the concentrations range of 1.94-13.86 µg/mL and 0.68-7.6 µg/mL, respectively. In conclusion, there were 3 out of 9 patients who had concentrations of both drugs that were below the therapeutic range, so dosage adjustments were necessary."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hema Novita Rendati
"Rifampisin dan isoniazid merupakan regimen pengobatan tuberkulosis utama yang memerlukan pengukuran kadar dalam darah untuk mengoptimalkan proses pengobatan dan mencegah resistensi. Metode biosampling yang sering digunakan memiliki keterbatasan terkait kenyamanan pasien. Volumetric Absorptive Microsampling (VAMS) hadir untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknik biosampling VAMS untuk analisis rifampisin dan isoniazid pasien tuberkulosis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi-photodiode array. Sampel VAMS diekstraksi menggunakan 1 mL asetonitril dengan baku dalam cilostazol dan dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi pada suhu kolom 40°C yang terdeteksi pada 261 nm. Fase gerak yang digunakan terdiri dari 50mM buffer amonium asetat pH 5,0-asetonitril-metanol (40:30:30) dengan laju alir 0,5 mL/menit selama 15 menit. Metode ini telah memenuhi persyaratan parameter validasi yang ditetapkan oleh FDA tahun 2018 yaitu selektivitas, carry-over, batas bawah kuantifikasi, linearitas, akurasi, presisi, perolehan kembali, integritas pengenceran, dan stabilitas. Analisis dilakukan dengan kurva kalibrasi pada kisaran 1,0–30 μg/ml untuk rifampisin dan 0,4-20 μg/ml untuk isoniazid. Hasil analisis dari 21 pasien tuberkulosis RSUD dr. Chascullah Abdulmadjid Kota Bekasi menunjukkan bahwa 52,38% pasien memiliki konsentrasi darah yang rendah pada setidaknya salah satu obat, 28,57% pasien berada dalam kisaran terapeutik, dan 23,81% memiliki konsentrasi isoniazid yang tinggi dalam darah. Penyesuaian dosis diperlukan untuk sebagian besar pasien yang memiliki konsentrasi subterapetik. Metode ini efektif untuk mendukung pemantauan terapi rifampisin dan isoniazid terkait kenyamanan dan keamanan pasien.

Rifampicin and isoniazid are anti-tuberculosis drugs that require measurement of blood levels to optimize the treatment process and prevent resistance. The conventional biosampling technique often used has limitations related to patient comfort. Volumetric Absorptive Microsampling (VAMS) exists to overcome it. This study aims to develop and apply the VAMS technique for the analysis of rifampicin and isoniazid in tuberculosis patients using a high-performance liquid chromatography-photodiode array. VAMS samples were extracted using 1 mL of acetonitrile with internal standard cilostazol and analyzed using high-performance liquid chromatography at a column temperature of 40°C detected at 261 nm. The mobile phase used consisted of 50 mM ammonium acetate buffer pH 5.0, acetonitrile, and methanol (40:30:30) with a flow rate of 0.5 mL/minute for 15 minutes. This method has met the validation parameter requirements set by the FDA in 2018, namely selectivity, carry-over, lower limit of quantification, linearity, accuracy, precision, recovery, dilution integrity, and stability. Analysis was carried out with a calibration curve in the range of 1.0–30 μg/ml for rifampicin and 0.4–20 μg/ml for isoniazid. The results from 21 tuberculosis patients of RSUD Dr. Chascullah Abdulmadjid Bekasi showed that 52.38% of patients had low blood concentrations of at least one of the drugs, 28.57% of patients were in the therapeutic range, and 23.81% had high concentrations of isoniazid. Dosage adjustments are necessary for most patients who have subtherapeutic concentrations. This method is effective in supporting the monitoring of rifampicin and isoniazid therapy regarding patient comfort and safety."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Epin Yunanta
"Rabeprazol merupakan obat golongan penghambat pompa proton yang digunakan untuk pengobatan refluks gastroesophageal. Konsentrasinya sangat kecil dalam plasma sehingga diperlukan metode analisis yang sensitif, selektif, dan akurat. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi dan validasi metode analisis rabeprazol dalam plasma in vitro menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi UV-Vis dengan pantoprazol sebagai baku dalam. Pemisahan menggunakan kolom Kromasil® C18, 100-5, (4,6 × 250 mm, 5 μm) dengan fase gerak isokratik yang terdiri dari 50 mM natrium dihidrogen fosfat pH 7,2 - asetonitril (55:45, v/v). laju alir 0,5 mL/menit dan dideteksi pada panjang gelombang 294 nm. Waktu retensi rabeprazol dan pantoprazol adalah 8,7 dan 9,8 menit dengan total waktu analisis adalah 12 menit. Sampel plasma (500 μL) diekstraksi menggunakan dietil eter-diklorometan (90:10, v/v).
Metode ini spesifik karena tidak adanya puncak pengganggu plasma pada waktu retensi analit dan baku dalam. Metode ini valid dan linear pada rentang konsentrasi 10,08 - 1008,00 ng/mL dengan LLOQ 10,0 ng/mL (n = 6, koefisien variasi (KV) = 3,16%). Nilai % diff dan koefisien variasi untuk akurasi dan presisi intra hari dan antar hari tidak lebih dari 15%. Nilai perolehan kembali absolut dari rabeprazol sebesar 76 - 87% (KV = 6,54%) dan baku dalam sebesar 74% (KV = 3,13%). Rabeprazol dalam plasma dinyatakan stabil selama minimal 1 bulan pada suhu -20°C dan -80°C, stabil selama minimal 12 jam pada suhu kamar. Rabeprazol dinyatakan stabil selama 3 siklus beku dan cair. Metode ini memenuhi kriteria penerimaan seperti pada pedoman USFDA dan bisa diaplikasikan untuk analisis rabeprazol dalam plasma in vivo.

Rabeprazole is a proton-pump inhibitor, used in gastroesophageal reflux treatment. Its concentration is very small in human plasma, so it requires a sensitive, selective, and accurate method of analysis. In this study, carried out optimization and validation of rabeprazole analysis in human plasma using high performance liquid chromatography UV-Vis using pantoprazole as internal standard. Separation was performed on Kromasil® 100-5 C18, (4.6 × 250 mm, 5μm) column with an isocratic mobile phase composed of 50 mM sodium dihydrogen phosphate pH 7.2 - acetonitrile (55:45, v/v), flow rate at 0.5 mL/min and was detected at 294 nm. Retention time of rabeprazole and pantoprazole were 8.7 and 9.8 minutes and total analytical run time was 12 minutes. Plasma sample (500 μL) was extracted with diethyl eter - dichloromethane (90:10, v/v).
The method was specific as there were no interfering peaks of human plasma eluting at the retention times of the rabeprazole and the internal standard. The method was valid and linear within the concentration ranges of 10.08-1008.00 ng/mL with LLOQ 10,0 ng/mL (n = 6, coefficient variation (CV) = 3.16%). Intra-day and inter-day accuracy and precision was not more than 15% in both % diff and coefficient of variation. Absolute recovery were 76-87% (CV = 6.54%) for rabeprazole and 74% (CV = 3.13%) for internal standard. Rabeprazole was stable in human plasma for at least 1 month at -20°C and -80°C, and for 12 h at room temperature. Rabeprazole were stable to three freeze thaw cycles. This method also fulfil the acceptance criteria following USFDA guidelines and suitable to be applied for analysis of rabeprazole in human plasma.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43652
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sary Nur Natalia
"Meropenem merupakan suatu derivat dimetilkarbamoil pirolidinil dari tienamisin yang mempunyai spektrum luas, efektif untuk bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Diperlukan metode yang sederhana dan ekonomis agar diperoleh kondisi optimum untuk pemantauan kadar meropenem dalam darah. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi dan validasi metode analisis meropenem dalam plasma in vitro secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan detektor UV-Vis. Pemisahan menggunakan kolom Kromasil®, 100-5C18, (5 µm, 4,6 x 250 mm) dengan fase gerak isokratik yang terdiri dari metanol - 0,05 M natrium dihidrogen fosfat pH 7,0 (20:80, v/v). Laju alir 0,8 ml/menit dan dideteksi pada panjang gelombang 298 nm. Sebagai baku dalam digunakan imipenem. Sampel plasma (100µL) diekstraksi menggunakan asetonitril dengan perbandingan yang sama (1:1) kemudian dik°Cok dengan vorteks selama 90 detik dan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Metode ini linear pada rentang 0,5 - 80 µg/ml dengan r = 0,9999. Nilai LLOQ yang diperoleh 0,5 µg/ml. Nilai %diff dan koefisien variasi (KV) untuk akurasi dan presisi intra hari dan antar hari selama 2 hari tidak lebih dari 15% dan tidak lebih dari 20% pada konsentrasi LLOQ. Nilai perolehan kembali absolut dari meropenem sebesar 81 - 89%. Pada uji stabilitas, meropenem stabil dalam plasma pada suhu -20°C dan -70°C selama 14 hari.

Meropenem is a derivative of the pyrrolidinyl dimetilkarbamoil tienamisin having broad spectrum, effective for Gram-positive and Gram-negative bacteria. Required a simple and economical method to obtain the optimum conditions for the monitoring of meropenem levels in the blood. In this research, optimization and validation of methods of analysis of meropenem in plasma in vitro by high performance liquid chromatography (HPLC) with UV- Vis detector. Separation using column Kromasil®, 100-5C18, (5 μm, 4.6 x 250 mm) with an is°Cratic mobile phase consisting of methanol - 0.05 M sodium dihydrogen phosphate pH 7.0 (20:80, v/v) . Flow rate of 0.8 mL/min and detected at a wavelength of 298 nm. As internal standard uses imipenem. Plasma samples (100 µL) was extracted using acetonitrile with the same ratio (1:1) and then shaken with a vortex for 90 seconds and centrifuged at a speed of 10000 rpm for 15 minutes. The method is linear in the range of 0.5 to 80 µg/mL with r = 0.9999. LLOQ values obtained 0.5 µg/mL. % diff values and coefficient of variation (CV) for accuracy and precision intra day and interday for 2 days no more than 15% and not more than 20% at the LLOQ concentration. Absolute recovery values of meropenem by 81 - 89%. In the stability test, meropenem is stable in plasma at a temperature of -20°C and -70°C for 14 days."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45254
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Setianingsih
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Salah satu
penyebab tingginya kasus TB disebabkan adanya resistensi Mycobacterium
tuberculosis (Mtb) terhadap obat anti tuberkulosis. Isoniazid (INH) yang merupakan
salah satu obat lini pertama dalam pengobatan TB adalah pro-drug yang akan diubah
menjadi bentuk aktifnya melalui aktivitas protein KatG Mtb. Mutasi pada gen katG
yang mengkode protein KatG kemungkinan mempengaruhi aktivitas katalase dan
peroksidase protein sehingga menyebabkan resistensi Mtb terhadap INH. Dalam
studi ini, dilakukan kontruksi plasmid rekombinan protein KatG tipe liar dan protein
KatG dengan mutasi baru pada residu N330D dan H400Y, serta mutasi yang umum
dijumpai pada residu S315T dan S315N. Ekspresi protein KatG rekombinan
dilakukan menggunakan host E. coli. Over ekspresi kelima protein rekombinan KatG
terjadi setelah induksi IPTG. Purifikasi protein KatG rekombinan dilakukan
berdasarkan prinsip kromatografi afinitas menggunakan Nikel sepharose. Setelah
purifikasi diperoleh protein KatG yang murni. Aktivitas katalase dan peroksidase
protein rekombinan KatG diukur pada berbagai konsentrasi substrat yang diperlukan
dalam pengukuran efisiensi katalitik kedua aktivitas protein KatG. Hasilnya
menunjukkan bahwa mutan protein KatG memiliki efisiensi katalitik yang lebih
rendah dari protein KatG tipe liar. Penurunan efisiensi katalitik aktivitas katalase
mutan N330D dan H400Y sebesar 31% dan 37% dan untuk aktifitas peroksidase
sebesar 39% dan 3% dibandingkan KatG tipe liar. Struktur 3 dimensi protein KatG
dari mutan tersebut dibuat menggunakan perangkat Modeller dan divisualisasikan
menggunakan perangkat Pymol. Tidak terdapat adanya perubahan konformasi 3
dimensi protein KatG mutan dibandingkan dengan struktur 3 dimensi protein KatG
tipe liar. Namun, letak residu N330D dan H400Y yang berada dekat daerah aktif
ikatan INH pada protein KatG kemungkinan berpengaruh terhadap penurunan
aktivitas enzimatik protein KatG.

ABSTRACT
Tuberculosis (TB) is currently a major health problem in Indonesia. One of the many
causes of the high incident of TB is due to the resistance of the Mycobacterium
tuberculosis (Mtb) to anti-TB drugs. Isoniazid (INH), one of the first line anti-TB
drugs for TB treatment, is a pro-drug that is converted to its active form through the
activity of Mtb KatG protein. Mutations in the katG gene encoding KatG may affect
the catalytic efficiency of the catalase and peroxidase activities of the protein that
eventually confers resistance to INH. In this study, recombinant plasmids containing
katG gene that have new mutations on residue N330D dan H400Y, wild type, as well
as mutant proteins with common mutations at residue S315T and S315N were
constructed. Expression of recombinant KatG was performed using E. coli as an
expression host. Over expression of recombinant KatG was facilitated by IPTG
induction. Purification of recombinant KatG was performed using affinity
chromatography employing Nickel sepharose. Pure recombinant proteins were
obtained, and the catalase and peroxidase activities of the recombinant KatG protein
were measured at various concentration of substrates. Result showed that mutant
KatGs have a lower catalytic efficiency for both catalase and peroxidase activities
than the wild type protein. Decreasing catalytic efficiency for catalase of mutants
N330D and H400Y were 31% and 37% than that of wild type KatG, while catalytic
efficiency for peroxidase of mutants N330D and H400Y were 39% and 3% lower
than that of wild type. Three dimensional structures of mutant KatGs were generated
using Modeller and visualized using PyMol softwares. The three dimensional
structural of mutant KatG showed no conformational change compared with that of
wild type KatG. However, the location of residues N330D and H400Y which are in
the close proximity to the active site of KatG for INH binding is likely to have an
effect on the decreased enzymatic activities of mutant KatG proteins."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Pito Supeni
"Tujuan Penelitian: Penelitian ini mengukur rata-rata kinerja petugas dengan melakukan pengamatan terhadap penampilan kerja petugas pengelola program TB Paru di Puskesmas, dan kemudian melihat hubungannya dengan faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi. Pengumpulan data selain dengan pengamatan juga dilakukan wawancara untuk mengetahui faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi.
Metode Penelitian: Desain studi crossectional. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan menggunakan checklist dan wawancara menggunakan kuesioner.
Hasil Penelitian: Hasil dari penelitian ini adalah rata-rata kinerja petugas pengelola TB Paru mencapai skor 45,54. Dalam faktor individu penghasilan berhubungan bermakna dengan kinerja petugas demikian juga kemampuan berhubungan bermakna dengan kinerja petugas. Sedangkan dalam faktor psikologis motivasi dan persepsi peran keduanya berhubungan bermakna dengan kinerja petugas. Adapun faktor organisasi, sumberdaya dan struktur organisasi berhubungan dengan kinerja petugas. Analisa multivariat menghasilkan model dimana kemampuan, sumberdaya, motivasi, struktur, penghasilan dan interaksi sumberdaya dan motivasi berhubungan dengan kinerja petugas secara bersama-sama. Model yang dihasilkan bermakna dengan nilai p pada uji F kurang dari 0,05 dan R square sebesar 0,782.
Rekomendasi : Melihat rata-rata kinerja yang baru mencapai 45,54 maka masih perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan kinerja dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan, sumberdaya, motivasi dan penghasilan. Perlu dilakukan peningkatan kemampuan teknis petugas Kabupaten, pedoman supervisi dan advokasi kepada pengambilan keputusan di daerah.

Objectives: This research has objectives to measured provider?s performance by making observation to such on lung tuberculoses program at health center and then examines correlations between the individual, the psychology and the organization factors.
Method: Study design in this research is crossectional study. Collecting the data has been done by observation which the checklist used and interview which questionnaire used.
Result: This research show that the averages score of performance as much as 45.541. On the individual factor, level of income variables correlations significantly performance, so do with the level of competency show significant correlations. Furthermore motivation and perception (Psychology factors) correlation significantly to the provider's performance. Within the organization factor, variable of resources and organizational structure are significantly correlated. The multivariate analysis showed variables of competency, resources, motivation and income together explain the performance significantly with p value on the F test less of 0,05 and adjusted R Square of 0.773.
Recommendation: Considering low provider's performance it is suggested that specific intervention should bee done on improving provider's competency, providing adequate resources, improving motivation level, and providing attractive incentive for the providers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Yudistira
"Pendahuluan : Infeksi tuberkulosis masih menjadi salah satu permasalah kesehatan di negara Indonesia. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 100 per 100.000 populasi. Infeksi tuberkulosis muskuloskeletal terjadi dari 10% - 15% seluruh kejadian infeksi tuberkulosis di negara-negara non-industri, termasuk negara Indonesia. Sel punca telah dikembangkan menjadi harapan dan tantangan yang baru dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Aplikasi sel punca mesenkimal dalam mengobati infeksi tuberkulosis masih menjadi hal yang kontroversial. Sel punca mesenkimal dipercaya memiliki efek immunomodulator yang efektif dalam rangka eradikasi kuman / antigen. Di dalam penelitian ini, kami melakukan penelitian ko-kultur Mycobacterium tuberculosis bersama dengan sel punca mesenkimal di dalam satu medium tunggal. Di dalam penelitian ini kami mengevaluasi interaksi sel punca mesenkimal bersama dengan kuman Mycobacterium tuberculosis. Dan hasil ini akan menentukan efek sel punca mesenkimal terhadap pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis.
Metode : M.tuberculosis strain H37Rv dilakukan kultur pada medium LJ selama 14 hari, diikuti dengan optimasi di dalam medium RPMI dalam waktu 3 hari, Sementara kultur Sel Punca Mesenkimal dilakukan di dalam medium RPMI selama 13 hari. Dilakukan ko-kultur M.tuberculosis sebesar 0.5 McFarland (104 cfu/ml) dan Sel Punca Mesenkimal sebesar 5000 sel/cm2 dalam medium (RPMI) di dalam Tc Flask 25 cc. Kelompok kontrol adalah M.tuberculosis 0.5 McFarland dalam RPMI dan Sel Punca Mesenkimal 5000 sel/cm2 dalam RPMI. Dilakukan penilaian Bakteri Tahan Asam (BTA), kultur kuman Mycobacterium tuberculosis, dan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada pengamatan hari ke-3, ke-7, dan ke-9.
Hasil : Hasil BTA, PCR, dan kultur MTB ditemukan positif (+) pada kedua kelompok, yaitu kelompok kontrol MTB dan kelompok ko-kultur (perlakuan) pada pengamatan hari ke-3, ke-7, dan ke-9. Hasil BTA, PCR dan kultur MTB pada kelompok kontrol Sel Punca Mesenkimal ditemukan negatif (-) pada pengamatan hari ke-3, ke-7, dan ke-9. Tidak didapatkan perbedaan nilai Cyclus Threshold PCR dari ketiga kelompok (kelompok kultur MTB, kelompok kultur SPM, dan kelompok kokultur) dengan p=0.04 pada hari ke-3, p=0.07 pada hari ke-7, dan p=0.07 pada hari ke-9. Sulit ditemukan jumlah sel hidup SPM pada grup ko-kultur dibandingkan dengan grup kontrol SPM pada pengamatan hari ke-3 (p = 0.05), ke-7 (p = 0.05), dan ke-9 (p = 0.04).
Kesimpulan: Pada penelitian ko-kultur Sel Punca Mesenkimal bersama Mycobacterium tuberculosis, tidak didapatkan bukti eradikasi kuman Mycobacterium tuberculosis oleh Sel Punca Mesenkimal.

Background : Tuberculosis infection remains one of major health problems in Indonesia. Tuberculosis prevalence in Indonesia reaches 100 per 100.000 population in 2009. Musculoskeletal tuberculosis accounts for 10% - 15% among of all tuberculosis notifications in non-industrialized world, including Indonesia. Stem cells have been developed as new hope and chalenge on medical aspect in treatments of various disease. Mesenchymal stem cells applications in treating tuberculous infections remain controversial. Mesenchymal stem cells are believed to have effective immunomodulator properties in order to antigen eradication. In this study, we performed co-culture study to evaluate interaction between Mycobacterium tuberculosis and Mesenchymal stem cells in a single medium. And the result will define the effect of Mesenchymal stem cells to Mycobacterium tuberculosis growth.
Methods : M.tuberculosis H37Rv strain were cultured in LJ medium for 14 days, followed by optimization in RPMI medium for 3 days, while BMSCs culture was performed in RPMI medium within 13 days. 0.5 McFarland (104 cfu/ml) of M.tuberculosis and 5000 cells/cm2 of MSCs were co-cultured in single medium (RPMI) within 25 cc Tc Flask , 0.5 McFarland M.tuberculosis in RPMI and 5000 cells/cm2 MSCs in RPMI are being our control groups. Acid fast staining bacillli (AFB), PCR, TB culture were evaluated between the 3 groups in day 3, day 7, and day 9 of observation.
Result : AFB, PCR, and TB culture were found positive (+) in both TB control group and also the co-culture group (+) on day 3, day 7, and day 9 of observation. While the AFB, PCR, and TB culture in MSCs control group were found negative (-) in day 3, day 7, and day 9 of observation. Cyclus threshold PCR values between co-culture group and control groups were not significantly different (p>0.05). Viable Mesenchymal Stem Cells are hardly found in co-culture group compared with MSCs control group. The difference was found to be significant between co-culture group and th MSCs control group. (p<0.05).
Conclusion : In co-culture study, Mesenchymal Stem Cells do not affect Mycobacterium tuberculosis growth. Instead, Mycobacterium tuberculosis growth are increased in co-culture with Mesenchymal Stem Cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>