Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12761 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Saeful Muhtadi
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
297.6 ASE k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhurorudin
"Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia diwarnai oleh pergulatan elit politik yang terpilah dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan mini atau bahkan spektrum ideologi. Kelompok Islam dan atau yang memakai simbol-simbol Islam merupakan salah satu dari sekian kelompok yang ikut andil dalam "pertarungan" politik tadi.
Bahkan, kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya belasan partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kubu Islam tadi. Bahkan, selain partai-partai politik Islam, ternyata masih muncul pula kekuatan-kekuatan politik Islam non-partai seperti terefleksi dari munculnya berbagai milisi (seperti Front Pembela Islam, Front Hizbullah, Laskar Jihad dan lain-lain) yang banyak diantaranya tak punya afiliasi -apalagi koordinasi- dengan partai politik Islam tadi.
Yang pasti, setiap varian kekuatan politik Islam tadi ternyata masing-masing mengklaim sebagai representasi dari aspirasi ummat. Masing-masing memakai bermacam simbol dan berbagai idiom Islam guna menarik simpati massa, bahkan cukup sering menggerakkan massa untuk tujuan politik mereka.
Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam.
Jika dicermati, fragmentasi politik kaum santri di Indonesia ini tak terlalu mengherankan mengingat akar-akarnya telah lama tertanam dalam wujud khilafiah-fiqhiah (perbedaan pemahaman nilai), yang pada akhirnya berpengaruh pada interpretasi pemaknaan kebijakan politik. Selain itu adanya kepentingan politik dari setiap kelompok kaum santri juga ikut menjadi benih bagi tumbuhnya fragmentasi. Berbagai perbedaan penyebab fragmentasi politik santri pasca Orde Baru ternyata bertambah variasinnya dibanding era sebelumnya. Memang, antara subkultur modern dan tradisional (yang menjadi trade-mark utama era Orde Lama) sebenarnya telah melakukan dialog panjang dan proses pendekatan, sehingga jurang pembeda antara dua kultur tadi relatif menyempit.
Namun, realitas perbedaan antara dua sub kultur terutama dalam konteks akar rumput (grass root) bahkan dalam pola hubungan elit dan basis massa tampaknya masih eksis (ada) dan tak mungkin untuk diabaikan. Fakta inilah yang menyebabkan keterbelahan politik Wasik yang berpijak pada dua sub kultur tadi tetap ada, kendati tak setajam era sebelumnya. Bahkan, pasca Orde Baru berkembang pula fenomena lain dalam politik kaum santri (terutama telah dimulai era Orde Baru) yakni perbedaan antara penganut pemikiran Islam kultural (kaum substansialis) dan Islam politik (kaum formalis). Fenomena baru ini telah pula meramaikan keterbelahan politik di lingkungan santri.
Fragmentasi politik Islam dengan segala penyebabnya tadi tentu saja potensial menumbuhkan konflik intra ummat, bahkan dapat melebar menjadi konflik antar ummat. Namun, perlu dipaharni bahwa politik dalam perspektif Islam hakekatnya merupakan pentakwilan sosial atas ajaran Islam. Sebagai pentakwilan pluralitas akhirnya merupakan sebuah kewajaran, sebagai sebuah kekayaan pemikiran yang seharusnya berguna untuk mencapai kemajuan. Hal yang justru tak wajar adalah bila fragmentasi disikapi dengan cara ekstrim, anti pluralitas, yakni : pertama, bahwa di tengah perbedaan (pluralitas) seolah tak ada sesuatupun yang dapat menyatukan (menjembatani) untuk mencipta kebersamaan. Pemikiran ini dapat menimbulkan sikap ekstrim bahwa kelompok berbeda mesti diperangi, dinihilkan, dihancurkan, karena pihak pesaing akan mengganggu sebuah kemapanan (status quo). Kedua, bahwa pluralitas dipandang sebagai ancaman bagi keharmonisan dan oleh karena itu secara antusias berusaha menciptakan sebuah uniformity dengan mengabaikan realitas perbedaan.
Dua pemikiran dan sikap ekstrim tadi akhirnya akan berpengaruh negatif pada stabilitas, integrasi dan atau ketahanan nasional, karena pola pikir dan sikap seperti itu pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan yang tak kalah ekstrimnya. Terjadi atau tidaknya implikasi negatif dari pluralitas dan atau fragmentasi politik Islam tadi tergantung pada kapabilitas (kemampuan) elit-elit politik Islam dalam menformulasikan managemen konflik antar mereka. Selain itu campur tangan pemerintah dalam tingkat tertentu untuk mengelola konflik agar tak melebar dan tak mengarah pada pembusukan politik juga menjadi penting. Namun efektifitas peran pemerintah untuk mengelola konflik antar elemen politik di masyarakat tentu sangat tergantung pada kredibilitas independensi pemerintah terhadap elemen-elemen politik yang terfragmentasi tadi."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Mujani
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
305.6 SAI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dhuroruddin Mashad
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998
345. 958 DHU k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kacung Marijan
Jakarta: Kencana Prenada Media , 2011
320.959 8 KAC s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kacung Marijan
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
320.959 8 KAC s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syahirul Alim
"NU sebagai salah satu kekuatan sosial-politik di Indonesia memiliki serangkaian pengalaman yang panjang, baik ketika menjadi organisasi sosial keagamaan maupun ketika berubah menjadi organisasi politik. Organisasi yang pernah dicap sebagai "tradisionalis" oleh sementara kalangan ini ternyata mendapat tempat cukup penting dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Paling tidak, berbagai karya ilmiah yang dilakukan untuk mengamati perkembangan sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini menempatkan NU sebagai fenomena menarik ketika dihadapkan dengan proses perubahan sosial di Indonesia. NU tidak lagi menjadi kekuatan sosial-politik yang marjinal terutama setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Bahkan, salah seorang pemimpin utamanya, K.H. Abdurrahman Wahid diakui sebagai salah satu tokoh popular yang disegani semua pihak, sehingga kepiawaiannya dalam membangun NU, berhasil membawanya ke kursi kepresidenan dalam suatu pemilihan umum yang demokratis pada 1999.
Perubahan sosial-politik yang terjadi pasca Orde Baru diakui telah berhasil membuka peluang yang cukup besar bagi proses liberalisasi politik, sehingga semua elemen masyarakat yang tersebar dalam berbagai kelompok kepentingan, organisasi politik maupun organisasi sosial mulai melibatkan diri secara aktif kedalam kegiatan politik. Reformasi jelas telah mendorong secara luas peran politik masyarakat yang didentifikasikan melalui fenomena bermunculannya partai politik. (Huntington: 2003). NU sebagai salah satu elemen dari bangsa ini ternyata terdorong untuk kemudian terjun kembali secara aktif kedalam dunia politik, hal ini jelas .dari munculnya beragam partai yang juga berafiliasi kepada NU. Kemunculan beberapa partai politik yang berafiliasi NU juga telah merubah pola perjuangannya selama ini dari gerakan kultural menjadi gerakan struktural. Perubahan strategi perjuangan yang dilakukan NU dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu keadaan dimana perubahan sistem politik terjadi pasca Orde Baru semakin membuka peluang kebebasan masyarakat untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Keadaan ini biasanya ditandai oleh peningkatan partisipasi politik dalam masyarakat serta kesediaan individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sistem politik yang ada (Welch: 1995).
NU memang telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat penting, terutama dimulai sejak dekade 80-an, ketika NU dibawah pengaruh kuat KH. Abdurrahman Wahid menjalankan manuver Khittah. Strategi ini diambil NU untuk mengurangi tekanan politik pemerintah Orde Baru yang semakin membesar. Oleh karena itu, Khittah tidak pernah menyurutkan semangat berpolitik NU. Politik NU dilaksanakan melalui strategi kultural yang bertujuan untuk mengembangkan kesadaran politik warganya. Upaya cerdik NU jelas merupakan bagian dari survival NU dalam menghadapi setiap perubahan zaman. Terbukti, NU tetap bertahan sebagai organisasi massa yang sangat besar dan berpengaruh dalam wacana perkembangan sosial politik di Indonesia. Namun, ketika tatanan sosial politik mulai direkonstruksi dan diperbaharui pasca Orde Baru, NU nampaknya mengambil bagian dari proses pembaruan tersebut. Strategi kultural yang selama ini dijalankan mulai mengalami pergeseran ke arah strategi struktural dengan ditandai oleh pembentukan partai politik yang berafiliasi NU sebagai aktualisasi dari peran politik NU selama ini.
Kajian mengenai perubahan orientasi NU pasca Orde Baru akan dibahas dengan serangkaian penelitian yang mengungkap fenomena yang menyebabkan mengapa NU melakukan perubahan orientasinya dari gerakan kultural manjadi gerakan politik. Pengungkapan fenomena ini terkait dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan pengalaman pribadi, pengamatan teks sejarah serta melibatkan serangkaian wawancara dengan orang-orang yang terlibat langsung dalam objek kajian yang sedang diteliti. Dari serangkaian penelitian ini, dapat diungkap sebab-sebab mengapa NU melakukan perubahan terhadap strategi perjuangan politiknya:
1. Terpinggirkannya NU oleh sistem politik Orde Baru yang selama hampir 15 tahun NU benar-benar berada dalam kondisi politik yang terjepit. NU misalnya dipaksa untuk berfusi dengan PPP sehingga mengakibatkan aspirasi politik NU yang dititipkan kedalam PPP tidak sepenuhnya terakomodasi
2. Keputusan Khittah yang kontroversial mengakibatkan ketidakjelasan arah politik NU, antara menerima Khittah dan meninggalkan politik praktis, atau menolak dan terus terlibat secara aktif dalam politik. Khittah mengakibatkan kepolitikan NU tidak memiliki pijakan yang pasti karena munculnya tekanan, baik dari kalangan internal maupun eksternal NU
3. Pasca Orde Baru yang ditandai oleh liberalisasi politik, sehingga memungkinkan lahirnya partai politik berjumlah banyak. NU, dalam hal ini tidak rela jika harus kehilangan lebih dari tiga juta suara warganya yang akan menjadi ajang rebutan beragam partai politik. Akibatnya, NU mendirikan partai politik sendiri yang sedianya dapat menampung seluruh aspirasi politik warga NU, yaitu PKB. Bahkan, akibat pluralitas po1itik warga NU, muncul juga beberapa partai yang juga mengidentifikasikan dirinya partai warga NU.
(Rincian Isi Tesis: ix, 158 halaman, Bibliografi: 65 buku, 4 jurnal, 9 artikel)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnia Solihah
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran relevan tentang orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru. Pertanyaan tesis adalah: "Bagaimana orientasi politik birokrat Pemerintah Kota Bandung yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif pasca Orde Baru? Bagaimana pengaruh latar belakang atau karakteristik internal birokrat terhadap orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru? Serta bagaimana pengaruh konteks politik terhadap orientasi politik birokrat pemerintahan Kota Bandung pasca Orde Baru?
Teori yang digunakan untuk menganalisis orientasi politik birokrat pemerintah di Kota Bandung pasca Orde Baru ini adalah teori tentang Budaya Politik yang intinya adalah orientasi politik yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba. Untuk Iebih mempertajam analisis teori tersebut digunakan latar belakang atau karakteristik internal birokrat yang meliputi suku bangsa, usia, pendidikan, masa kerja, jabatan dan pengalaman organisasi birokrat; serta konteks politik yang meliputi kondisi kepolitikan birokrasi Indonesia, budaya politik birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta budaya politik sunda yang sedikit banyak mempengaruhi orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru.
Penelitian tesis ini bersifat deskriptif analisis dan dalam menganalisis data digunakan pendekatan kuantitatif sederhana dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif sederhana digunakan untuk menganalisis latar belakang atau karakteristik internal birokrat dan orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif pasca Orde Baru yang diperoleh melalui kuisioner berupa perhitungan modus atau frekuensi jawaban info man dalam bentuk prosentase; kemudian hasil kuantitatif tersebut dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil wawaneara Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis konteks politik; yang diperoleh dari data primer berdasarkan basil wawancara dan Bari data sekunder melalui berbagai literature. Informan dalam penelitian ini adalah birokrat pemerintah Kota Bandung yang memiliki eselon IV ke atas; pimpinan dan anggota DPRD Kota Bandung pimpinan, pengurus dan anggota LSM; serta akademisi dari UNPAD yang concern dengan penelitian ini.
Kesimpulan yang diperoleh: Orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasta Orde Baru yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif berada dalam kategori sedang dengan klasifikasi budaya politik subyek Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang atau karakteristik internal birokrat pemerintah Kota Bandung pasta Orde Baru serta konteks politik yang melingkupinya yang meliputi kondisi kepolitikan birokrasi saat ini, budaya politik birokrasi pemerintah di Indonesia dan budaya politik Sunda.

This research aim to get relevant descriptions about political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru. There are three questions of tesis, are: "How political orientation at the goverment bureaucrate in Bandung City post Orde Baru which comprises cognitive, affective and evaluative orientation?; How influence of background or internal characteristic bureaucrate toward political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru; and how influence of politics context toward political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru? ".
Theory of political Culture is taken from Gabriel Almond and Sidney Verba are used to analyze political orientation at the goverment bureaucrate in Bandung City post Orde Baru, that essence is political orientation comprises cognitive, affective and evaluative orientation. In order to clear this theory analysis are used the background or internal characteristic bureaucrate such as tribe, sex, education, long of work,, salary ranks and experience of organization at the bureaucrate; and politics context which describe conditions bureaucratic polity, political culture of government bureaucracy in Indonesia, and Sundanese political culture.
This research use analitis descriptive, by using simple quantitative and qualitative approaches. The simple quantitative approach is used to analyze political orientations and background or internal characteristic bureaucrate in Bandung City, which are got from questionare with modus or frequency count on procentage. Then, the result of quantitative data are analyzed with qualitative data by using interview. Meanwhile qualitative approah to analyze politics context which are got from literatures. Infonnan in this research are government bureaucrate in Bandung City who have echelon IV and up; leader and members of DPRD Bandung City; Leader, official and member of NGO in Bandung City and academicians from UNPAD who concern with this reserach.
The conclusion: Political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru, comprises cognitive, affective and evaluative orientation belong in middle category with political culture is subject clasifcation. This condition was influenced by background or internal characteristic bureaucrate of government in Bandung City; and so by politics contect post Orde Baru which comprises condition of bureaucracy polity, political culture of government bureaucracy in Indonesia and Sundanese political culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singgih Sasongko
"Tesis ini berangkat dari pertanyaan pokok yang intinya mempertanyakan bagaimana interaksi antara negara, media dan civil society dalam bingkai ekonomi-politik negara Orde Reformasi (Era Transisi). Penulis melihat adanya pertarungan berbagai macam kepentingan dalam menyusun kebijakan penyiaran di. Indonesia yang ternyata sangat dipengaruhi oleh dinamika interaksi ketiga komponen tersebut. Secara lebih spesifik, penelitian ini mencoba menyajikan realitas empiris menyangkut kebijakan penyiaran yang diterapkan oleh pemerintah terhadap stasiun TVRI.
Metode yang digunakan untuk menggambarkan secara rinci dan jelas topik yang dibahas adalah metode Studi Kasus. Sedangkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam studi ini adalah pendekatan ekonomi-politik kritis. Pendekatan ini umumnya berangkat dari perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan. dan mekanisme kerja kekuatan pasar media (McQuail, 1996:63). Selain itu, implikasi bagi kepentingan publik hanya dapat dipahami secara lebih komprehensif jika digunakan pendekatan ekonomi-politik kritis karena era transisi ditandai oleh adanya tarik-ulur dan benturan kepentingan antara variabel-variabel ekonomi dan variabel-variabel politik.
TVRI digunakan sebagai fokus kajian dalam penelitian ini mengingat selarna ini keberadaannya masih dianggap penting dan ternyata TVRI memiliki dinamikanya sendiri ditengah maraknya industri pertelevisian di Indonesia. Selain itu, eksistensi TVRI akan semakin diperhitungkan seiring dengan perubahan status yang disandangnya sebagai lembaga penyiaran publik, sebuah lembaga yang mempunyai posisi sangat strategis di era demokrasi.
Penibahasan tentang W No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran digunakan untuk melihat lebih tajam bagaimana realitas empiris kebijakan yang ditempuh oleh negara dalam interaksinya yang dinamis dengan media dan civil society/publik dalam konteks era Orde Reformasi. Sebagai sebuah produk hukum, UU Penyiaran ini ternyata masih mengundang kontroversi yang begitu dahsyat karena bersinggungan langsung dengan kepentingan berbagai kelompok.
Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa ada penibahan yang cukup mendasar menyangkut pola hubungan kekuasaan antara negara - media -- dan masyarakat. Namun dernikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa perubahan struktur ekonomi-politik telah memunculkan peran kekuatan masyarakat dan media dalara mengontrol kekuasaan negara (state power). Perubahan pola hubungan ini tercermin dalam kebijakan penyiaran di Indonesia: Pertarna, intervensi pemerintah dalam bidang penyiaran sudah tidak terlalu dominan. Indikasi ini terlihat dengan dihapuskannya lembaga penyiaran negara dan diakuinya lembaga penyiaran publik, juga lembaga penyiaran komunitas. Selain itu, pemerintah juga tidak bisa lagi mengatur lembaga penyiaran melalui sebuah lembaga khusus bentukan negara atau lembaga di bawah departemen negara. Pengaturan institusi penyiaran diserahkan kepada sebuah lembaga independen yakni Komisi Penyiaran Indonesia (PI) yang tidak bertanggungjawab kepada Pemerintah tetapi bertanggungjawab kepada DPR/DPRD sebagai representasi rakyat.
Kedua, kontroversi seputar pengesahan UU Penyiaran No. 32 Tabun 2002 mencerminkan masih adanya benturan kepentingan antara negara dan publik. Di antara kelompok masyarakat/publik sendiri muncul pro-kontra khususnya antara kelompok pemilik modal dan praktisi penyiaran yang menolak tegas UU ini dengan beberapa pihak yang mendukungnya. Implikasi praktis situasi seperti ini adalah semakin meningkatnya kesadaran publik akan hak-hak mereka dalam penyelenggaran penyiaran. Paling tidak, ada peluang munculnya civil society yang kuat sehingga publik bisa lebih berperan dalam proses pelembagaan referensi etik, normatif, dan regulatif bidang komunikasi massa.
Secara teoritis, deregulasi bidang penyiaran yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR belum sepenuhnya mencerminkan model penyiaran yang demokrass. Dalam hal ini, filosofi kepentingan publik (public interest) sebagai konsep kunci demokrasi masih akan sulit diwujudkan. Dalam masyarakat demokrass, regulasi penyiaran harusnya memenuhi kriteria: Pertama, akuntabilitas publik (accountability), yang berarti lembaga penyiaran bertanggungjawab memenuhi kepentingan publik. Kedua, kecukupan (adequacy), berwujud keanekaragaman program yang menyentuh seluruh segmen masyarakat secara adil, proporsional, dan berimbang. Ketiga, akses (access), yakni upaya memberikan hak seluas-luasnya kepada publik untuk memperoleh informasi (Kellner, 190:185)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>