Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94376 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astrid Asmarajaya
"Dengan maraknya perkembangan media yang semakin menjadi khusus, telah terbit sebuah majalah yang membahas topik seputar dunia selancar (surfing). Dengan kehadiran media ini setidaknya dalam isinya menggambarkan sejumah aspek dari subkultur yang sebenarnya telah ada di masyarakat. Kekhususan media yang memusatkan topiknya pada dunia surfing ini memang merupakan potensi tersendiri untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap dunia surfing ini sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan komunitas dan subkultur. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran media claim] perkembangan subkultur. Media sebagai pembentuk gagasan memiliki kekuatan dalam memproduksi gagasan dan memberikan pengaruh baik kepada individu maupun masyarakat. Peneliti juga berusaha menelaah hal-hal yang terkait dalam pembentukan gagasan oleh media dan gagasan yang disampaikan media untuk mengembangkan subkultur tersebut. Ditunjuang dengan konsep-konsep utarna mengenai fungsi dan peran media dalam masyarakat, aktivitas media, dan gagasan media; penelitian kualitatif-deskriptif ini mempergunakan metode studi kasus dimana penggunaannya bertujuan untuk menelaah mengenai media yang juga berkaitan dengan adanya subkultur. Dengan menggunakan metode ini diharapkan peneliti mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sehingga mendapat gambaran dan pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang diteliti. Studi kasus ini diperkuat dengan studi literatur, wawancara mendalam yang dilakukan terhadap beberapa responden, dan pengamatan (observasi). Dari hasil analisa penelitian menunjukan 'bahwa media berperan dalam perkembangan subkultur. Hal ini diperkuat dengan basil analisa gagasan mengenai gaya hidup dalam komunitas surfing yang termuat dalam isi dan kegiatan off-print yang dilakukan media. Dad temuan lain juga dapat dilihat bahwa media terkait dengan komersialisasi dimana di dalamnya terdapat komodifikasi. Namun bagaimanapun juga media tetap berperan dalam mengembangkan subkultur surfing ini karena media telah membentuk dan menyalurkan gagasan-gagasan surfing sehingga mempengaruhi kerangka pikir dan perilaku (cognitive mind) audiens yang menimbulkan minat untuk terjun dan bergabung dalam komunitas ini. Disini juga peneliti menemukan bahwa hasil pembentukan subkultur yang terjadi terdiri dari berbagai level yaitu individu yang hanya mengikuti gaya hidup dan yang menjadi surfer sekaligus anggota komunitas yang sesungguhnya. Dari penelitian yang dilakukan dengan metode studi kasus ini memungkinkan adanya generalisasi dengan fenomena lainnya yang serupa. Sehingga dari hash penelitian ini diharapkan bahwa dengan bermunculannya media-media baru yang semakin mengkhususkan topik bahasannya, tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan, tapi juga harus memiliki tanggung jawab sosial pada masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4326
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apit Andrianto
"Kaum muda atau remaja banyak melakukan eksperimen untuk mencari jati diri antara lain dengan menggunakan musik. Mereka bahkan kemudian menjadi pendorong dari kelahiran subkultur. Musik rock dipakai sebagai salah satu satu yang mampu merangsang pemikiran dan pembentukan kelompok tandingan yang direpresentasikan melalui lahirnya komunitas-komunitas subkultur. Kelahiran subkultur, pada awalnya, tidak pernah bisa dipisahkan dengan gaya hidup menyimpang. Anggota-anggota subkultur dianggap melakukan praktek-praktek penyimpangan perilaku seperti tindakan kriminal, alkohol, drugs, atau seks bebas. Rock sebagai musik yang muncul dengan semangat pemberontakan dijuluki sebagai musik 'iblis' karena dianggap merangsang kebiasaan hidup menyimpang tersebut.
Komunitas slanker merupakan salah satu kelompok subkultur kaum muda di Indonesia yang mendasarkan pada musik rock. Seperti halnya subkultur-subkultur lain, slanker juga tidak bisa melepaskan diri dari stigma negatif berupa penyimpangan hidup. Di awal kemunculannya, anggota-anggota kelompok slanker juga banyak melakukan gaya hidup menyimpang seperti mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang. Namun pada perkembangannya, mereka meninggalkan kebiasaan hidup menyimpang itu. Dipengaruhi oleh kelompok musik idola mereka Slank, subkultur slanker menentang budaya bangsa yang penuh dengan korupsi, kolusi, dominasi, segregasi, dan kepalsuan yang dianggap sebagai 'kultur dominan'. Sebagai kelompok subkultur mereka menciptakan simbol-simbol spesifik untuk menegosiasikan bentuk budaya alternatif atas budaya dominan dan atau tradisional. Busana mereka cuek dan apa adanya, gaya bahasa mereka terbuka dan kadang kasar, mereka memiliki cara jabat tangan khas, dan mereka juga menciptakan pesan-pesan tertentu terkait dengan focal concern sebagai kritik sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali identitas subkultur slanker dengan mengaitkan peran media KoranSlank terhadap pembentukan identitas mereka. Paradigms konstruksionisme dipakai sebagai landasan penelitian dengan mengaplikasikan metode etnografi. Pengetahuan dan realitas dalam kerangka pemikiran konstruksionisme bersifat dialektis. Proses pemahaman terhadapnya, tidak dapat mengabaikan faktor historis dan kultural. Oleh sebab itu, etnografi dipilih sebagai metode untuk menggali data alamiah dengan lebih dalam, berkaitan dengan kebutuhan informasi historis dan kultural. Aplikasi metode penggalian data menggunakan tekhnik observasi Iangsung, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Etnografi juga dipilih agar memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dengan para informan berkaitan dengan informasi-informasi yang mereka berikan ataupun atas interpretasi-intepretasi hasil yang didapatkan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa identitas slanker terangkum dalam gaya yang disebut dengan slengean. Identitas tersebut beroperasi dalam interaksi antara apa yang dimiliki secara personal oleh masing-masing anggota (identitas personal) dengan gaya kolektif yang mencerminkan milik komunitas (identitas kelompok). Media KoranSlank berperan besar dalam membentuk gaya slengean, memberi pemaknaan aimbol-simbol komunitas, dan membangun kohesifitas slanker yang akan memperkuat identitas slengean. Implikasi dari hasil penelitian ini memberi pemahaman tentang komunitas slanker sebagai bentuk subkultur yang merespon dominasi budaya tidak dengan praktek-praktek penyimpangan hidup. Pembentukan subkultur slanker lebih merupakan negosiasi atas budaya darninan negeri yang dianggap penuh dengan korupsi, segregasi, hipokrisi, dan kepalsuan. Respon terhadap dominasi budaya tidak dilakukan seperti halnya gerakan politik, tetapi lebih melalui bentuk-bentuk ide budaya seperti gaya busana, gerakan sosial, dan gerakan moral melalui pembuatan kata-kata mutiara. Jumlah anggota, daya kreativitas, dan kohesifitas kelompok menjadi potensi besar bagi pengembangan dan pemberdayaan komunitas.
Makna teoritik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelahiran subkultur sebagai bentuk dari budaya kaum muda menjadi penyedia bentuk identitas kelompok alternatif diluar dari yang ditawarkan oleh sekolah dan pekerjaan. Kaum muda merespon dominasi budaya dengan melakukan negosiasi budaya. Perubahan sosial yang tidak mungkin terhindarkan menyebabkan sifat otentisitas subkultur bersifat lentur, mengikuti perubahan tersebut. Subkultur slanker lebih menunjukkan perlawanan budaya dalam praktek kompromistis. Para anggota subkultur masih mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang dimiliki orang tua. Norma-norma dan nilai-nilai tradisi atau religi tetap dihormati. Berbeda dengan subkultur lain yang banyak muncul di Barat, subkultur di Indonesia lebih terlihat masih memperhatikan nilai-nilai tradisional. Karenanya, cakupan teoritik (theoretical scope) terkait dengan subkultur perlu memperhatikan faktor lokalitas. Sifat kompromi subkultur terhadap budaya dominan dan atau budaya orang tua perlu diperhatikan terutama terhadap subkultur-subkultur yang lahir di dunia timur."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ully Puriandari
"Otaku mengacu pada orang-orang yang tenggelam pada sekelompok subkultur yang saling sangat berkaitan satu sama lain, seperti komik, anime, game, PC, science fiction (tema perang luar angkasa dalam anime, komik, dll), tokusatsu (tema kepahlawanan dalam film yang diperankan oleh manusia), figure (patung kecil dari tokoh suatu anime), dan lain sebagainya (Azuma Hiroki). Subkultur sendiri memiliki makna sebagai sebuah cabang kebudayaan atau kebudayaan cabang yang memiliki nilai dan norma yang khas, yang berbeda dengan masyarakat dominan. Parameter sebuah kebudayaan untuk dapat digolongkan sebagai subkultur adalah memiliki otonomi namun tetap memiliki ketergantungan, serta memiliki karya yang merupakan hasil dari pengekspresian diri (Ina Masato). Seseorang akan dapat dikatakan sebagai seorang otaku apabila orang tersebut menggemari subkultur-subkultur Jepang seperti anime, komik, dsb secara mendalam dalam kehidupan mereka. Bahkan kegemaran mereka yang berlebihan terhadap hal-hal tersebut dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan masyarakat sekitarnya. Tingginya intensitas seorang otaku melakukan berbagai kegiatan mereka menyebabkan semakin minimnya komunikasi mereka dengan masyarakat sekitar, bahkan keluarga mereka. Seperti masyarakat pada umumnya, otaku bekerja dan mencari nafkah, tetapi sebagian besar panghasilannya dihabiskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan otakunya. Kegiatan otaku antara lain, berburu barang koleksi yang berkaitan dengan kegemaran mereka, chatting di Internet dengan teman-teman dunia mayanya, mengunjungi maid cafe (kafe dengan pelayanan yang unik), menghadiri komike (comic market), dan lain sebagainya. Otaku sering melakukan kegiatan-kegiatan otakunya di Akihabara, di Tokyo. Dalam kaitannya dengan subkultur Jepang seperti anima, komik, dsb, otaku berperan sebagai penggemar subkultur-subukltur tersebut. Akan tetapi, dengan melihat parameter sebuah kebudayaan yang digolongkan ke dalam subkultur, pada perkembangannya, otaku dapat juga disebut sebagai subkultur Jepang itu sendiri. Karena otaku terbebas dari sistem masyarakat yang berlaku dominan dengan memisahkan diri mereka dari masyarakat. Tetapi otaku masih tetap tergantung pada sistem ekonomi, karena mereka membutuhkan uang untuk melakukan kegiatan mereka. Selain itu otaku juga menghasilkan karya yang berupa pengekspresian diri mereka, karena tidak sedikit otaku yang membuat anima atau komik yang terkenal di Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa
"Dalam perkembangannya, industri kini menjadi semakin dinamis dan kompetitif. Hal ini menuntut sebuah merek untuk semakin kreatif dalam merancang strategi yang tepat kepada konsumennya untuk berlomba menciptakan daya tarik dan minat khalayak terhadap suatu merek tersebut. Keterlibatan konsumen yang kuat kemudian menjadi unsur yang ingin dicapai dari sebuah merek demi memenangkan hati konsumen di antara merek-merek lain. Pemahaman akan konsumen dapat dianalisis menurut subkultur umur yang antara lain terbagi ke dalam generasi X dan Y.
Makalah ini meneliti keterlibatan konsumen yang terbangun dalam kampanye perayaan 100 tahun Oreo dikaitkan dengan karakter generasi X dan Y. Melalui penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi kasus, makalah ini ingin membuktikan bagaimana pemahaman akan konsumen dilihat dari kategori umurnya, dapat menghasilkan strategi komunikasi yang tepat dan menciptakan keterlibatan konsumen yang kuat dengan sebuah merek.

Nowadays, industries are acting dynamically and competitively as their development. This is the reason, that brands are competing against each other when it comes to creativity, and planning the right strategy that eventually create public awareness and interests for the brand itself. Customer engagement is the key factor for a brand to win the hearts of consumer among other brands. Understanding the consumer behavior can be analyze by doing an age sub-culture that are divided by X generation and Y generation.
This paper is about a research of customer engagement that applied on the Oreo 100th year anniversary that is associated with X generation and Y generation. By doing a qualitative research with study case method on the research, this paper wants to prove how understanding consumer based on their age, can create an effective communication strategies and strong involvement between consumer and brands.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Desideria Lumongga Dwihadiah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan Imperialisme Budaya Korea yang dilakukan melalui Media pada Sub Kultur Penggemar K-Pop di Indonesia serta mengungkapkan adanya Dominasi Budaya Korea di Indonesia serta bentuk-bentuk dominasinya, mengetahui Sub Kultur Fandom K-Pop di Indonesia serta menjabarkan media sosial sebagai saluran hegemoni Imperialisme Budaya Korea di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir yang berangkat dari Teori Imperialisme Budaya dan dihubungkan dengan konsep Fandom sebagai sebuah sub kultur. Paradigma dalam penelitian adalah critical constructivist dan merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui in depth interview, observasi serta studi literatur untuk sumber-sumber sekunder. Informan penelitian berjumlah lima orang yang semuanya merupakan penggemar K-Pop.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Hegemoni Budaya Korea di Indonesia dilakukan dengan menggunakan media sosial dan web site sebagai alat utama. Media sosial dan web site-web site khusus penggemar sudah akrab di kalangan anak muda di Indonesia. Bentuk-bentuk imperialisme budaya Korea pada sub kultur penggemar terbentuk melalui sebuah proses yang disebut Proses Fandomisasi. Proses Fandomisasi dimulai dari level individu, kelompok lalu masyarakat, diawali dengan Idol Recognition, Emotion Building, Text Collection, Sub Culture Engagement lalu terakhir Sub Culture Emergence. Bentuk-bentuk Imperialisme Budaya Korea pada penggemar menyentuh tiga aspek : artefak, shared meaning dan social behavior, di mana di dalamnya terjadi adaptasi terhadap imperialisme budaya (adjusted cultural imperialism).

ABSTRACT
This research aims to reveal the Korean Cultural Imperialism conducted through media on Sub Culture K-Pop Fans in Indonesia as well as revealing the dominance of Korean Culture in Indonesia as well as other forms of domination, knowing Sub K-Pop fandom culture in Indonesia as well as social media describe as Korean Cultural Imperialism hegemony channel in Indonesia. This study uses a framework that departs from Cultural Imperialism Theory and linked with the concept of fandom as a sub-culture. Paradigm used in this research is critical constructivist and a descriptive qualitative research. Data collection techniques used were through in-depth interviews, observation and study of literature for secondary sources. Informants for this research are five people who are fans of K-Pop.
The result shows that the Korean Cultural Hegemony in Indonesia is done by spreading through the media especially social media and web sites. The greatest role of social media spread is already familiar among young people. And the forms of Korean Cultural Imperialism can be seen through a process called Fandomization. The process of Fandomization start from the level of individual, group and society. Fandomization process start with Idol Recognition, Emotion Building, Text Collection, Sub Culture Engagement and Sub Culture Emergence. The forms of Cultural Imperialism can be seen in three aspects: artefacts, shared meaning and social behavior. Social media plays an important role in each stage of the process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2050
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sava Ainaya Madjid
"Tugas akhir ini membahas mengenai representasi subkultur menhera yang terlihat dalam budaya populer berupa karya musik. Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis data deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebagai subkultur, menhera memungkinkan individu untuk mengekspresikan emosi dan rasa yamu (病む; sakit), mengkomunikasikan pengalaman mereka dengan self-injury, ikizurasa (生きづらさ; pain of living) dan gangguan mental, serta membentuk komunitas yang saling mendukung. Karya musik Takayan merepresentasikan menhera secara keseluruhan, mencakup mereka yang mencari kesehatan mental dan mereka yang menunjukkan manifestasi subkultur menhera. Proses representasi dilakukan melalui penggunaan bahasa yang berkaitan dengan menhera, baik berupa kata maupun tanda visual. Dengan karya musiknya, selain mewakili menhera, Takayan memberikan afirmasi, pengakuan, pemberdayaan, dan dukungan bagi pendengarnya.

This final project discusses the representation of the menhera subculture in music as a product of popular culture. The research utilizes qualitative descriptive data analysis method. The findings suggest that as a subculture, menhera enables individuals to express emotions and feelings of yamu (病む; suffering), communicate their experiences with self-injury, ikizurasa (生きづらさ; pain of living), and mental disorders, as well as form supportive communities. Takayan's music represents menhera as a whole, encompassing those seeking mental health and those exhibiting manifestations of the menhera subculture. The process of representation is achieved through the use of language related to menhera, with words and visual symbols. Through their music, Takayan not only represents menhera but also provides affirmation, acknowledgement, empowerment, and support to their listeners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Sarma Ramalo
"Studi ini memberikan pemahaman bagaimana perempuan melakukan adaptasi di dalam subkultur musik cadas sebagai ranah maskulin. Penelitian ini juga memberikan pemahaman mengenai alasan di balik adaptasi yang dilakukan oleh penggemar perempuan tersebut. Penelitian mengenai adaptasi perempuan di dalam ranah maskulin dilakukan terutama karena adanya kuasa laki-laki sebagai bentuk hegemoni maskulinitas di dalam ranah-ranah tertentu yang membuat identitas mereka menjadi norma. Subkultur musik cadas di Indonesia menggambarkan adanya kuasa laki-laki tersebut, baik sebagai musisi maupun sebagai penggemar. Padahal, subkultur ada sebagai ruang perjuangan melawan nilai-nilai dominan, namun kenyataannya subkultur justru melanggengkan patriarki sebagai budaya dominan. Dalam menganalisis mengenai adaptasi perempuan terhadap maskulinitas, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif serta menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipan. Penelitian kritis ini berhasil membuktikan bahwa perempuan di dalam subkultur musik cadas mengakui, mengizinkan, dan justru turut melanggengkan dominasi laki-laki sebagai bentuk hegemoni maskulinitas. Maskulinitas kemudian menjadi norma dalam hierarki identitas. Perempuan di dalam subkultur musik cadas pun melakukan adaptasi perilaku dan gaya berpakaian agar menyesuaikan dengan penggemar laki-laki di dalam subkultur musik cadas.

This study provides an understanding on how women adapt in a rock subculture as a masculine terrain. This study also sheds an understanding about the reason behind the said adaptation done by female fans. The discourse on women's adaptation in a masculine terrain is conducted particularly due to men's power as a hegemonic masculinity in some particular terrains that renders their identity as a norm. Indonesian rock subculture helps delineate male power, as a musician and a fan. Ironically, subcultures are established as a form of struggle against dominant cultures, but really subcultures even perpetuate patriarchy as adominant culture. In analyzing women's adaptation to masculinity, this study employs qualitative approach as well as in-depth interviews and participant observation methods. This critical inquiry manages to prove that women inside rock subculture acknowledge, permit, and even help perpetuate male's domination as a form of hegemonic masculinity. Masculinity then becomes the norm in a hierarchy of identity. Women inside rock subculture then mimic men's behaviors and clothing style in order to appropriate themselves with men inside the rock subculture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S59318
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Nurkhoiron
"Islam Ortodoks vis a vis abangan merupakan dua kekuatan dalam sistem keagamaan di Jawa yang terus menampilkan pergulatannya sampai saat ini (Geertz,1960 ;Wodward,1989 Bruinessen, 2000; Stange, 1986). Pergulatan atau konflik ini temyata juga pemah muncul pada masa kerajaan Islam Demak abad ke-15 ketika proses pembentukan kerajaan Islam Jawa baru dimulai (Florida, 1995). Dalam konteks negara Indonesia, pergulatan dua kekuatan ini dapat dilihat muara persoalannya dan penentuan dasar negara Pancasila vis a vis Piagam Jakarta yang masih belum dianggap ?final? - setidaknya oleh sebagian kelompok Islam ortodoks. Studi ini diambil pada masa reformasi, sebuah masa paska runtuhnya Soeharto namun struktur Orde Baru yang dibangun pada masa paska peristiwa 1965 masih menorehkan jejak-jejaknya. Jejak ini salah satunya bisa dirunut dari kebijakan kebudayaan dan keagamaan. Sampai sekarang kita masih melihat islamisasi sebagai proses politik yang terus mengeras setidaknya karena akibat dari kebijakan kebudayaan dan keagamaan Orde Baru yang secara relatif memberikan upembelaan" bagi kepentingan kelompok Islam (Dhakidae, 2003).
Dengan menfokuskan kepada kajian mikro, studi ini ingin melihat pola pergulatan keagamaan di masyarakat Pati Jawa Tengah masa kini dan hubungannya dengan berbagai akibat dari kebijakan kebudayaan masa Orde Baru. Sebagai salah satu wilayah di Jawa, Pati memiliki gambaran spesifik bagaimana kontestasi dan resistensi antara Islam santri yang menganut pengetahuan Islam Ortodoks dan kaum abangan berlangsung. Pergulatan kultural antara santri-abangan di Pati ini salah satunya ditengarai melalui pembelahan sosio-kultural; yakni antara Pati Utara sebagai pusat wilayah kultur santri dan Pati Selatan khususnya Bakaran sebagai wilayah abangan. Melalui pendekatan kualitatif studi ini melacak proses hegemoni dan counter hegemony Subkultur (Gramsci 1971; Hebdige, 1979) di dalam wilayah yang terbelah tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa meskipun islamisasi terus berlangsung, kaum abangan di Bakaran Pati Selatan tidak kalah kreatifnya dalam melontarkan perlawanan (resistensi) terhadap simbol-simbol dan kode-kode kultural islamisasi yang hegemonik. Upaya resistensi kultural Masyarakat Bakaran terutama teridentifikasi dalam situs kesenian Ketoprak (lakon Ondorante), dan situs legenda Nyi Bakaran. Cerita Ondorante merepresentasikan gugatan terhadap kekuasaan status quo, dan perlawanan terhadap paham keagamaan yang terlalu terpaku kepada aspek-aspek formalitas semata. Mitos Tanding Nyi Bakaran melakukan counter terhadap simbol-simbol, kode-kode Islam mainstream, dengan melakukan pembalikan makna (deformasi). Namun resistensi subkultur tidak berlangsung dalam pola linear, tetapi di dalamnya mengandung pola pola konvergensi, negosiasi dan hibridisasi.
Studi ini menarik dan penting mengingat pendekatan kritis atas dinamika keagamaan di Indonesia jarang dilakukan apalagi dalam level mikro dimana kajian sosiologi nampak begitu ketinggalan dibandingan dengan kajian-kajian antropologi -- padahal kedua pendekatan ini tidak mungkin dipisahkan satu sama lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14378
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2001
S31224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>