Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38338 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shinta Wiraswasti Ningsih
2010
S3695
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Churniatun
"Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana komunikasi dan penanganan konflik yang terjadi antara suami dan isteri khususnya dari sisi atribusi yang diberikan suami/isteri terhadap pasangannya dalam upaya peningkatan hubungan antar pribadi ketika mengetahui anak mereka menderita autis. Autis sendiri merupakan suatu penyakit yang belum dapat diketahui secara pasti penyebabnya.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dengan paradigma konstruktivis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Komunikasi dan konflik tidak dapat dilepaskan dan segala aspek kehidupan rumah tangga. Perkawinan yang bahagia tidak ditentukan oleh ada tidaknya konflik, melainkan pada bagaimana mereka menangani konflik tersebut. Dalam suatu peristiwa yang tidak diinginkan orang seringkali berusaha mencari penyebab dari terjadinya peristiwa tersebut. Disisi lain proses atribusi yang diberikan sate pihak kepada pihak lain sangat menentukan strategi penyelesaian masalah yang dihadapi. Hasil dan penyelesaian konflik tersebut sangat mempengaruhi tingkat kepuasan yang dicapai oleh suami isteri dan selanjutnya tingkat kepuasan akan memperkuat komitmen dan meningkatkan hubungan menjadi lebih erat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan informan dalam penelitian ini memiliki beberapa daya tarik sehingga mereka makin yakin dalam menjalani hubungan perkawinan yang terjadi. Pasangan informan juga mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menjaga keutuhan hubungan perkawinan tersebut. Kehadiran anak autis menimbulkan konflik yang lebih bersifat karena keadaan yang tidak diinginkan oleh masing-masing informan. Pertentangan antara harapan dan kenyataan ini menimbulkan bermacam reaksi. Sebagaimana diketahui penyebab autis sangat beragam dan tidak dapat ditentukan secara pasti sehingga masing-masing informan menentukan atribusi yang beragam pula. Atribusi ini diberikan baik pada penyebab antis maupun pada perilaku, baik perilaku diri sendiri maupun perilaku pasangannya. Proses ini sangat menentukan strategi penyelesaian konflik yang digunakan oleh masing-masing informan.
Dari penelitian ini didapat beberapa kesimpulan, yaitu usaha peningkatan hubungan antar pribadi terkait dengan keefektifan komunikasi yang terjadi, dimana usaha tersebut makin mudah dilakukan apabila komunikasi dapat berjalan efektf karena komunikasi yang efektif memungkinkan mereka melakukan keterbukaan, saling berempati dan bersikap positif. Pemberian atribusi yang positif juga akan mendukung strategi penyelesaian konflik yang bersifat win win solution. Kemampuan suami/isteri untuk bertahan pada tuduhan yang tidak benar dan tidak adil (negative assertion) sangat membantu pasangan suami isteri dalam menghadapi konflik. Kekuatan komitmen suami/istri terhadap perkawinan juga menentukan keberhasilan pasangan suami istri dalarn mempertahankan dan meningkatkan hubungan antar pribadi diantara mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sali Rahadi Asih
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada tiga tahun perkembangan pertama anak. Gangguan ini memiliki karakteristik anak tidak dapat mengembangkan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi secara verbal. Anak penyandang autisma memperlihatkan pola tingkah laku tertentu yang dipertahankan dan diulang-ulang. Kehadiran anak penyandang autisma membawa kesedihan bagi suami istri sebagai orang tua. Hasil diagnosa anak memunculkan masalah-masalah baru. Baik yang berhubungan langsung dengan anak maupun yang tidak berhubungan langsung. Masalahmasalah ini bila tidak teselesaikan dapat menimbulkan konflik yang akhirnya merenggangkan hubungan perkawinan suami istri. Sedangkan bila masalah terselesaikan dengan baik dapat mempererat hubungan perkawinan mereka.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran kualitas hubungan perkawinan suami istri yang memiliki anak penyandang autisma. Kualitas hubungan perkawinan, menurut Benokraitis (1996) ditentukan berdasarkan 3 hal, yaitu sikap positif yang ditunjukkan oleh suami atau istri saat mengatasi masalah, komitmen suami atau istri dalam mengatasi masalah, komitmen perkawinan dan dukungan emosi yang diberikan oleh suami atau istri dalam mengatasi masalah. Juga ditanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri berkaitan dengan diagnosa anak sebagai penyandang autisma.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa masalah utama adalah keterbatasan anak mengungkapkan keinginan secara verbal dan mempertahankan konsentrasi. Diikuti dengan masalah tingkah laku stereotipi anak berupa mengetuk-ngetuk benda, berguling-guling di lantai dan memainkan alat kelamin. Masalah pendidikan mencakup kesulitan mendapatkan alat terapi, ketidakjelasan masa depan pendidikan anak dan kurangnya alternatif metode terapi yang ada di Indonesia. Juga kesulitan keuangan dan kesulitan menjelaskan gangguan anak kepada keluarga besar. Pada sikap positif, dua pasangan saling memperlihatkan sikap positif terhadap usaha-usaha mengatasi masalah. Sedangkan satu pasangan menunjukkan inkonsistensi sikap positif terhadap usaha-usaha yang dilakukan.
Seluruh pasangan memperlihatkan komitmen yang tinggi dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul. Pada komitmen perkawinan, dua pasangan berpendapat bahwa kehadiran anak penyandang autisma meningkatkan komitmen perkawinan mereka dan satu pasangan berpendapat kehadiran anak penyandang autisma menurunkan komitmen perkawinan mereka. Satu pasangan saling memberi dukungan emosi saat berusaha mengatasi masalah. Sedangkan pada dua pasangan ditemukan inkonsistensi pemberian dukungan emosi yang berbeda intensitasnya.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan memasukkan lebih banyak faktorfaktor yang mempengaruhi hubungan perkawinan agar mendapat gambaran lebih utuh. Perlu diteliti lebih lanjut persepsi keluarga besar terhadap kehadiran anak penyandang autisma. Juga perlu diteliti penyesuaian saudara kandung terhadap kehadiran anak penyandang autisma dalam keluarga."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S3122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bety Diana
"ABSTRAK
Gangguan autis adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya mulai tampak pada tiga tahun pertama (Simpson, 2005). Gangguan ini khususnya ditandai dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, hendaya pada kemampuan berbahasa dan komunikasi, serta tidak dapat disembuhkan. Kehadiran seorang anak autis seringkali membawa kesedihan bagi suami-istri tersebut. Hasil diagnosis anak juga akan memunculkan banyak masalah baru. Selain itu menurut Powers (1989), pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis harus melakukan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Mereka akan memperoleh banyak tambahan tugas rumah tangga (domestic tasks), seperti menyediakan lebih banyak waktu untuk mengurus dan mengawasi perilaku anak mereka, memikirkan bentuk pengobatan atau terapi yang diperlukan, memikirkan permasalahan seputar pendidikan yang akan diberikan bagi anak autis mereka, dan masih banyak lagi. Semua ini menuntut ekstra waktu, perhatian, dan tenaga, serta memerlukan kerja keras dan adaptasi yang besar. Perjuangan yang terus menerus dari orangtua seringkali dapat membuat mereka lupa menjaga keseimbangan hidupnya dan hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan pasangan. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anak autisnya secara pasti akan berdampak pada pola interaksi di antara pasangan suami-istri tersebut. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual, dll yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepuasan pernikahan pada masing-masing pasangan. Kepuasan pernikahan adalah suatu evaluasi subjektif mengenai keseluruhan aspek pernikahan dari individu yang bersangkutan (www.charismatest.comlresearch141what-is marital-satisfaction,1999). Menurut Rosen-Grandon, Myers, & Hattie (2004) kepuasan pernikahan ini dapat dilihat dari 6 (enam) pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri. Berdasarkan fenomena di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Subjek penelitian yang digunakan terdiri dari 2 (dua) pasang suami-istri yang diambil dengan menggunakan metode "snowball". Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kehadiran anak autis sedikit banyak akan mempengaruhi pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri dan seringkali menambah keragaman konflik yang terjadi. Pada satu pasangan, kehadiran anak autis menyebabkan menurunkya kepuasan pernikahan mereka. Kehadiran anak autis cukup menyita waktu mereka sehingga waktu yang diberikan kepada pasangan semakin berkurang. Pada akhirnya hal ini akan mempengaruhi keintiman dan kemesraan (ekspresi afeksi) di antara mereka, komunikasi juga menjadi memburuk. Sedangkan kehadiran anak autis pada satu pasangan lainnya tidak menurunkan kepuasan pernikahan mereka. Waktu dan perhatian yang mereka berikan untuk pasangan masing-masing tidak jauh berbeda dari sebelumnya sehingga keintiman di antara mereka tetap terjaga. Pada akhirnya keintiman yang terjalin juga akan mempengaruhi kehidupan seksual mereka dan pola interaksi yang lain. Perbedaan penghayatan kepuasan pemikahan di antara kedua pasangan ini dapat disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menghayati kehadiran anak autis. Kemungkinan lainnya juga dapat disebabkan karena urutan anak yang menderita autis pada kedua pasangan responden ini berbeda sehingga besarnya stres atau tekanan yang dialami oleh kedua pasangan juga berbeda. Oleh karena itu kedua hal di atas perlu dipertimbangkan untuk dikontrol atau diteliti pada penelitian selanjutnya."
2006
T18092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Rita M.M.
"Ada kontradiksi antara Undang-undang Perkawinan dan ketentuan hukum agama, khususnya hukum agama Kristen dan Katholik, salah satunya ialah dalam hal perceraian. Undang-undang Perkawinan Pasal 39, 40, 41 mengatur dan membolehkan adanya perceraian. Ketentuan hukum Agama Kristen dan Katholik, bukan saja tidak mengatur dan tidak membolehkan, tetapi malah melarang terjadinya perceraian. Hukum agama Kristen dan Katholik tidak bisa menerima dan tidak bisa mengakui perceraian walaupun perceraian itu atas Keputusan Pengadilan. Jika Undang-undang Perkawinan memberikan peranan kepada agama dan/atau kepercayaan sesuai dengan falsafah Pancasila yang menjiwai Undang-undang tersebut. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Mengapa Undang-undang Perkawinan tidak menentukan bahwa perceraian adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan/atau kepercayaannya. Penelitian menggunakan bahan primer berupa perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan putusan-putusan Pengadilan Negeri, yang berkaitan dengan perkawinan dan Perceraian menurut hukum negara dan agama Kristen. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku dan wawancara dengan para pastor dan pendeta. Bahan-bahan hukum dianalisis secara kualitatif dengan proses berpikir deduktif. Metode penemuan hukum yang dipakai oleh hakim adalah metode argumentum a contrario, penafsiran sosiologis dan penafsiran grammatical. Tidak ada perceraian bagi pasangan suami isteri yang beragama Kristen Katolik bagi perkawinan yang ratum et consummatum, meskipun telah bercerai melalui Pengadilan Negeri, tidak dapat dilakukan perkawinan baru, walaupun dapat ditolong secara pastoral. Gereja-gereja Kristen Protestan memungkinkan adanya perceraian dan perkawinan baru.

There is Contradiction between the marriage law and religious law, especially Christian and catholic law, among others is about divorce. The marriage law article 39, 40, 41 regulate and even allow divorce to happen. The law of Christian and catholic, not only does not regulate such thing neither not allow, they even forbid such divorce. The Christian and catholic law can not accept and accept divorce even though such divorce is made by the court of law. If the marriage law give such role to a religion and/or belief in accordance to principals of Pancasila which is the guidance to the that law. Article 2 paragraph (1) of the marriage law, determine that when a marriage is legal when it is done in accordance with the person?s religious belief. Why does not the marriage law determine that the divorce is law when it is done in accordance with the person?s religious belief. The type of law study is descriptive critical doctrines. Even the law is primary law material, including regulations, documents, and public justices, related to marriage and divorce of Christians. The secondary law materials consist of books, interviews with priests, and pastoral councils. The law materials are analyzed qualitatively by descriptive thinking process.. The law method used by jugde is argumentum a contrario method, sociological and grammatical estimations. There is not disforce of Catholic-Christians spouses in ratum et consummatum marriage, even though the divorce has occurred in the public justice, the new marriage can not be carried out, even though it can do pastorally. The exception is that the cancel of marriage and engament for the sake of faith (privilegi paulinum). Protestant Christian churches enable the occurrence of divorce and permission of new marriage."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24616
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Tjiunata
"Fokus dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kuantitas perilaku menyelesaikan tugas, termasuk di dalamnya, menurunkan durasi perilaku tidak mengerjakan tugas. Penerapan metode ccrita sosial dan metodc contingency contract (dilcngkapi prompt) menghasilkan peningkatan kuantitas pada perilaku menyelcsaikan tugas, serta penurunan durasi perilaku tidak mengerjakan tugas. Akan tetapi, kualitas dari perubahan pcirlaku belum menunjukkan perbaikan. Hal tcrscbut disebabkan karena komik oerita sosial yang digunakan dalam intervensi belum secara detil menggambarkan perilaku yang diharapkan muncul. Selain itu, pemberian fading yang terlalu cepat juga menyebabkan konsistensi perubahan perilaku belum terlihat.
Dari hasil obsewasi, diketahui juga bahwa pembahan perilaku tersebut, secara tidak langsung, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan seperti kehadiran guru dan situasi kelas. Akan tetapi, karena singkatnya sesi intervensi dan pemilihan waktu intervensi yang berdekatan dengan jadwal uiangan umum, konsistensi pelubahan perilaku belum terlihat. Oleh karena itu, beberapa saran yang dapat diberikan antara lain: 1) gambar berikut penjelasan pada komik cerita sosial sebaiknya dibuat lebih detil; 2) pemberian prompt dan fading sebaiknya lebih diperhatikan lagi; 3) sesi intervensi dibuat lebih banyak dengan jangka waktu yang lebih panjang; 4) perlu diperhalikan pemilihan waktu intervensi agar tidak berdekatan dengan jadwal ulangan umum; 5) kerjasama antara guru dan teman-tcman di kelas untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif agar pelaksanaan intervensi lebih efektif.

The focus of this training is to increasing the quantitiy of on-task behavior. including, decreasing the duration of off-task behavior. Result of this intervention, using social story method and contingency contract method (also using prompt method), indicated that the quantitiy of on-task behavior is increasing and the duration of ofiltask behavior is decreasing. However, the quality of the alteration of behavior has not improved yet. This is because the comic social story in this intervention has not describe the behavior that is expected, The prompts which have been faded too quickly also make the consistency ofthe behavior’s alteration has not been observed. The environments, such as teacher’s present and class-rooms’s situation, also influence the alteration of behavior.
Unfortunately, because the length ofthe session and the time of intervention wich is too short and too close to the end of school year, the consistency of the behavior’s alteration has not been appeared yet. Therefore, several suggestions should be provided to improve the future study: 1) picture in the comic social story should be made more detail; 2) the use of prompt and fading should be more improved; 3) the session of intervention should be madc in great quantities and in more length duration; 4) the intervention should be held in the middle of school year; 5) the cooperation of teacher and tiiends is needed to make the more supporting classroom environment.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34118
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Gemayuni Yusman
"Terdapat berbagai masalah klinis yang dapat terjadi dalam masa perkembangan anak. Masalah-masalah tersebut seharusnya menjadi perhatian karena berbagai konsekuensi yang mungkin terjadi dan dapat berlanjut hingga masa dewasa. Salah sate masalah klinis adalah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), yang merupakan suatu gangguan perkembangan, dalam bentuk gangguan pemusatan perhatian. Gangguan ini memiliki tiga gejala utama, yaitu inattention (kurang mampu memperhatikan), impulsivitas, dan hiperaktivitas (Wenar & Kerig, 2000).
Anak yang didiagnosa ADHD seringkali memiliki gangguan psikiatris lain dan mengalami serangkaian resiko kesehatan, perkembangan, dan sosial. ADHD diklasifkasikan dalam DSM-IV sebagai disruptive behavior disorder' karena adanya kesulitan yang signifikan dalam perilaku sosial dan penyesuaian sosial. Perilaku interpersonal anak ADHD lebih impulsif, mengganggu, berlebihan, tidak teratur, agresif, intens, dan emosional, sehingga mereka mengalami kesulitan dan gangguan dalam alur interaksi sosial biasa yang resiprokal dan kooperatif, yang merupakan bagian yang penting dalam kehidupan sosial anak. Barkley (2004) mengungkapkan bahwa ketika anak ADHD memasuki sekolah dasar, masalah dalam ketiga karakteristik utama berlanjut dan ditambah dengan berbagai kesulitan karena sekarang masalah mungkin terjadi di sekolah dan rumah. PrevaIensi ADHD pada usia sekolah mencapai sekitar 5 % dari anak usia sekolah (Wenar & Kerig, 2000). Masalah sosial pada anak ADHD muncul bukan hanya karena perilaku inattentive, hiperaktif, dan impulsif mereka, namun juga merupakan konsekuensi dari ekspresi emosi, raut muka, nada bicara, dan Bahasa tubuh yang berlebihan, lebih terbatasnya timbal batik dalam interaksi, kurang digunakannya pemyataan sosial yang positif, lebih negatifnya aksi fisik, dan terbatasnya pengetahuan akan keterampilan sosial (Barkley, 2004).
Menurut Combs & Slaby (dalam Cartledge & Milburn, 1995), keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain secara timbal balik. Selain treatment dengan obat-obatan, anak ADHD membutuhkan bantuan khusus untuk mengembangkan tehnik dalam mengelola pola perilaku, termasuk cara berinteraksi dengan orang lain (National Institute of Mental Health, 2000). Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk menyusun suatu program pelatihan keterampilan sosial bagi anak ADHD usia sekolah (6 -- 12 tahun). Pelatihan yang dilakukan merupakan modifikasi dari program pelatihan keterampilan sosial yang dikembangkan oleh Goldstein & Pollock (1988).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan sosial anak usia sekolah yang mengalami ADHD melalui program pelatihan keterampilan sosial. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Pengambilan sampel penelitian akan dilakukan melalui pemeriksaan psikologis. Subyek penelitian adalah 3 anak usia sekolah dengan diagnosis ADHD pada Axis I. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner asesmen keterampilan sosial yang diisi oleh guru dan orangtua sebelum dan sesudah subyek mengikuti pelatihan (pre and post training). Berdasarkan hasil kuesioner sebelum pelaksanaan program pelatihan serta wawancara dengan guru dan orangtua subyek, peneliti menentukan target pelatihan yaitu keterampilan sosial yang dianggap masih kurang atau buruk pada ketiga subyek. Tiga keterampilan sosial yang menjadi target pelatihan adalah Bertanya dengan Baik, Mengikuti PerintahlInstruksi, dan Menyadari Akibat Tindakannya terhadap prang Lain. Peneliti juga menggunakan token reinforcement berupa stiker "senyum" untuk menguatkan keterampilan sosial yang dilatihkan dan agar subyek bersikap kooperatif selama pelatihan. Token yang telah dikumpulkan oleh subyek dapat ditukarkan dengan hadiah pada hari terakhir pelatihan. Selama pelaksanaan pelatihan, peneliti melakukan observasi terhadap perilaku maupun jawaban-jawaban yang diberikan subyek pada tiap pertemuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial yang telah dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan (dengan tiga kali pertemuan inti untuk melatih keterampilan sosial yang menjadi target pelatihan) memperlihatkan terjadinya perkembangan keterampilan sosial pada subyek penelitian. Hasil kuesioner yang diisi 10 hari sesudah pelatihan (post training) menunjukkan bahwa dua subyek mengalami perubahan dalam hal keterampilan sosial sedangkan satu subyek lainnya tidak mengalami perubahan. Penerapan token reinforcement ditemukan cukup berhasil pada dua subyek yang mengalami perubahan namun kurang berhasil pada subyek yang tidak mengalami perubahan.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suksesyadi
"Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke pemerintahan Orde Baru pada periode tahun 1960-1970 melahirkan kebijakan baru di bidang kependudukan. Pemerintahan Orla berikap prenatalis sedangkan pemerintahan Orba justru sebaliknya. Pemerintahan orba yang berorientasi pada pembangunan ekonomi menganut kebijakan kependudukan yang antinatalis. Salah satu kebijakan kependudukan yang diambil pemerintah adalah menekan angka pertumbuhan penduduk melalui upaya penurunan angka kelahiran dan juga menekan angka kematian. Hasilnya, laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,35 % pada periode tahun 1990-2000. Keberhasilan tidak terlepas CIO dukungan prNrard KB Melalui penyuluhan yang diarahkah kepada suami isteri pasangan usia subur (PUS). Terutama dalam pelaksanaan penggunaan kontrasepsi oleh PUS.
Pemilihan jenis kontrasepsi tertentu merupakan keputusan yang diambil suami Isteri PUS. Dalam proses pengambiian keputusan memilih kontrasepsi tersebut terdapat relasi gender antara keduanya. Berlcaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan penelitian dilokasikan pada proses pengambilan keputusan suami isteri pasangan usia subur dalam memilih kontrasepsi.
Sacaraa umum, teori-teori yang dipakai untuk menjelaskan masalah tersebut antara lain teori yang dikemukakan oleh Amal, Amran, Baumholz, Budiman, Effendy, Lestari, Moffat, Safilios-Rotschild, Sajogyo, Schramm, dan Singarimbun. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran tentang proses pengambilan keputusan suami istri pasangan usia subur dalam memilih kontrasepsi dan bagaimana penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh kepada suami Isteri pasangan usia subur untuk memperoleh gambaran tentang pees pengambilan keputusan suami isteri PUS dalam memilih kontrasepsi dan bagaimana penyuluhan yang dilakukan penyuluh kepada suami isteri PUS, maka dalam penelitian ini dipilih pendekatan kualitatif bersifat studi kasus dengan Jenis penelitian deskriptif. Untuk memperoleh data yang komprehensif dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap 16 subjek penelitian dan observasi terhadap penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh sebagai sampal penelitian, ditetapkari Secara purposif Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan suami isteri PUS dalam memilih kontrasepsi adalah sebagai berikut. Panama, suami isteri membuat keputusan untuk menunda ketahiran atau tidak ingin menambah anak lagi. Terdapat 2 variasi dalam pengambilan keputusan yaitii : (a) keputusan yang dibuat berdataskan kesepakatan bersama antara suami isteri; (b) suami menyerahkan pengambilan keputusannya kepada isteri. Kedua, suami isteri mencari informasi mengenai cara-cara menunda kelahiran atau tidak ingin menambah anak lagi. Dalam proses ini, suami dan isteri baik secara bersama-lama maupun sendiri-sendiri mencari informasi kepada kader KB, pengurus posyandu, penyuluh KB, bidan atau dokter. Ketiga, suami isteri membuat kaputusan rnemilih kontrasepsi yang sasuai dengan kebutuhannya. Terdapat 4 variasi dalam pengambilan keputusan memilih kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan suami isteri, yaitu : (a) keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara suami isteri dengan isteri sebagai akseptor; (b) keputusan yang dibuat oleh isteri sendiri dengan isteri sebagai akseptor; (c) keputusan yang dibuat oleh suami sendiri dengan isteri sebagai akeptor; (d) keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara suami isteri dengan suami sebagal akseptor. Keempat, suami isteri memilih tempat pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhannya. Terdapat 3 variasi dalam pengambilan keputusan suami isteri dalam memilih tempat pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, yaitu : (a) keputusan isteri seorang diri; (b) keputusan suami seorang diri; (e) keputusan bersama suami isteri. Kelima, suami isteri baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama mendatangi tempat pelayanan kontrasepsi sesuai dengan Jenis kontrasepsi pilihannya.
Dari hasil penelitian ini, kepada instansi pembuat kebijakan kependudukan, khususnya kepada pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung diusulkan rekomendasi sebagai berikut: (a) program KB hendaknya dibuat dengan Memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan perempuan. Jangan hanya perempuan yang menjadi sasaran utama bagi pemakaian kontrasepsi tapi juga laki-laki. Caranya, dengan menyedihkan kontrasepsi untuk laki-laki - di luar kondom dari vasektomi-seperti berbagai kontrasepsi yang diperuntukan bagi perempuan; (b) dibuat kampanye iklan seperti suami Siaga pada iklan persalinan dan penyuluhan KS dilakukan juga ditempat/kantor suami bekerja untuk menggugah kepedulian suami terhadap kesejahteran isteri/perempuan; (c) supaya suami terlibat secara aktif dalam program KB maka advokasi harus menjadi prioritas program KB."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Riana
"Hidup bersama orang lain dalam suatu pernikahan, penuh dengan tuntutan dan masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah konflik suami istri dan kehadiran anak yang dapat menambah konflik tersebut. Jika masalah-masalah tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, maka dapat menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan yang terus menerus disertai stres kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya burnout.
Tujuan dari penelitian ini untuk melihat gambaran burnout pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan memiliki anak usia sekolah. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan metode wawancara Pengambilan data dilakukan pada tiga orang ibu rumah tangga yang telah mengalami burnout.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi ibu rumah tangga sehingga dapat menimbulkan burnout adalah overload, conflicting, demands, Kebosanan, perselingkuhan suami tidak terpenuhinya kebutuhan afeksi dan komunikasi sering perubahan sikap suami. Upaya subyek untuk menghadapi masalah mereka adalah dengan menggunakan strategi emolionfocusea' coping, yaitu subjek cenderung menerima keadaan mereka saat ini. Hal ini menyebabkan mereka berada pada kondisi humour. Mereka mengalami kelelahan fisik berupa badan terasa Lelah, keluhan sakit badan seperti sulit bernafas. sakit kepala mudah terkena sakit dan badan panas. Kelelahan mental, berupa perasaan tidak berharga, tidak berguna, merasa lebih tua dari umur yang sebenarnya dan merasa terjebak. Sedangkan kelelahan emosional berupa merasa kesal, marah, berubahnya perasaan terhadap suami dan merasa tidak pernah merasakan bahagia. Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan untuk menambah subjek penelitian dan juga mewawancarai suami."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>